Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 146000 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Soefiandi Soedarman
"Tujuan : Untuk mengetahui perubahan ketebalan makula sebelum dan sesudah operasi fakoemulsifikasi pada pasien dengan NPDR ringan-sedang dengan dan tanpa profilaksis tetes mata nepafenac 0.1%.
Metode : Penelitian ini adalah uji klinis acak tidak tersamar. Sebanyak 36 subyek yang memenuhi kriteria inklusi menjalani fakoemulsifikasi. Secara acak 18 subyek mendapatkan tetes mata nepafenac 0,1 % dan sisanya mendapatkan tetes mata plasebo yang dipakai 3 hari pre fakoemulsifikasi hingga 14 hari pasca fakoemulsifikasi. Ketebalan fovea dan volume makula diukur dengan SD-OCT pre-fakoemulsifikasi dan minggu ke-4 pasca fakoemulsifikasi. Dilakukan juga pengukuran tajam penglihatan dengan koreksi (TPDK) dan tingkat peradangan di bilik mata depan.
Hasil : Didapatkan peningkatan ketebalan fovea pada kelompok plasebo 4 minggu pasca fakoemulsifikasi secara statistik berbeda bermakna (uji-t berpasangan, p=0,022). Pada kelompok nepafenac tidak didapatkan perubahan ketebalan fovea yang bermakna 4 minggu pasca fakoemulsifikasi (uji-t berpasangan, p = 0,538). Didapatkan 1 pasien pada kelompok plasebo mengalami CME. Pada penilaian perubahan volume makula 4 minggu pasca fakoemulsifikasi, terdapat peningkatan volume makula pada ke-2 kelompok yang bermakna secara statitistik (uji-t berpasangan, p<0,05) tetapi antar kedua kelompok tidak bermakna (uji-t tidak berpasangan, p= 0,621). Secara klinis presentase tingkat peradangan di bilik mata depan pada kelompok plasebo lebih besar dibandingkan kelompok nepafenac pada hari-1 pasca fakoemulsifikasi (38,9% : 5,6%) walaupun secara statistik antara kedua kelompok tidak berbeda bermakna (uji Kolmogorov-Smirnov, p=0,27). Kelompok nepafenac secara klinis mendapatkan TPDK yang lebih baik dibandingkan kelompok placebo 4 minggu pasca fakoemulsifikasi walaupun secara statistik tidak berbeda bermakna (uji t tidak berpasangan, p=0,991).
Kesimpulan : Pemberian tetes mata nepafanac 0,1% dapat mencegah penebalan fovea secara bermakna (klinis dan statistik) 4 minggu pasca fakoemulsifikasi pada penderita NPDR ringan-sedang. Secara klinis pemberian tetes mata nepafenac 0,1% dapat mengurangi resiko peradangan di bilik mata depan, resiko terjadinya CME, dan penurunan tajam penglihatan meskipun tidak mencapai kemaknaan secara statistik bila dibandingkan dengan plasebo.

Aim : To evaluate the effect of prophylactic nepafenac eye drops on macular thickness changes after phacoemulsification surgery in mild to moderate NPDR patients.
Method : This study is an open label randomized clinical trial. Thirty-six subjects who met the inclusion criteria underwent phacoemulsification. One group (18 subjects) were given nepafenac 0,1% eye drops and the rest were given placebo; both products were used 3 days before phacoemulsification until 14 days after phacoemulsification. Foveal thickness and total macular volume were measured by SD-OCT before surgery and the fourth week after phacoemulsification. Best corrected visual acuity (BCVA) and degree of inflammation in the anterior chamber were also being assessed.
Result : There was a statistically significant increase foveal thickness in the placebo group 4 weeks after phacoemulsification (paired t-test, p=0,022). In the nepafenac group there was no significant changes in the foveal thickness 4 weeks after phacoemulsification (paired t-test, p = 0,538). One patient in the placebo group had CME. There was an increased in total macular volume, which were statistically significant in both groups (paired t-test, p<0,05) although not significantly different between the two groups (unpaired t-test, p= 0,621). Clinically, percentage degree of inflammation in anterior chamber in placebo group was higher than nepafenac group (38,9% : 5,6%) but not significantly different between 2 groups (Kolmogorov-Smirnov test, p=0,27). Nepafenac group achieved clinically better BCVA than the placebo group 4 weeks after phacoemulsification, although statistically there was no significant difference between two groups (unpaired t-test, p=0,991).
Conclusion : Nepafenac 0,1% eye drops could prevent foveal thickening 4 weeks after phacoemulsification in mild to moderate NPDR patients. Clinically, nepafenac 0,1% eye drops could decrease the risk of inflammation in the anterior chamber, risk of CME, and vision deterioration although did not reach statistically significant.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Eka Putri Heriyati
"Latar Belakang: Sel endotel kornea (SEK) paling mudah mengalami kerusakan pasca fakoemulsifikasi (fako). Pengaturan parameter fako menjadi salah satu cara untuk mengurangi kerusakan SEK. Tekanan intaokular (TIO) selama fako berlangsung mempengaruhi kenyamanan pasien. TIO dipengaruhi oleh pengaturan parameter fako.
Tujuan: Membandingkan pengaturan fako dengan parameter high (H) dan low (L) di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) terhadap SEK dan persepsi nyeri pasien selama fako.
Desain: Uji klinis randomisasi tersamar ganda.
Hasil: 48 sampel untuk kedua kelompok fako parameter high dan low terkumpul selama periode November 2013-April 2014. Penilaian objektif SEK meliputi endothel cell density (ECD) dan central corneal thickness (CCT). Persepsi nyeri untuk menilai persepsi nyeri pasien digunakan kartu visual analog scale (VAS) yang telah menjadi standar JCI di RSCM. Terjadi peningkatan CCT dan penurunan ECD kedua kelompok parameter pasca fako 1 bulan, masing-masing 0.23VS2.23 dan 8.53VS6.99 (p>0.05). Tidak ada perbedaan signifikan pada VAS kedua parameter. Efikasi fako berdasarkan penilaian cumulative dissipated energy (CDE) kelompok H lebih baik daripada L (15.80VS21.29).
Kesimpulan: Tidak ada perbedaan keamanan dan kenyamanan pasien fako parameter H dan L.

Background: Corneal endothelial cell (CEC) prone to damage after phacoemulsification (phaco). Phaco parameter setting is an effort to reduce damage to the CEC. Patient?s comfort during phaco is influenced by IOP during phaco, in which are influenced by parameter settings.
Purpose: To compare phaco setting parameters from high (H) and low (L) parameters in Cipto Mangunkusumo (CM) hospitals impacted on CEC and patient?s pain perception (PP) during phaco procedure.
Study design: randomized control trial double blind.
Results: 48 outpatients were elegibly selected by RCT at CM hospital in periods of November 2013 ? April 2014. Impact of setting parameter difference were observed by objective measurement of endothel cell density (ECD), central corneal thickness (CCT). For PP a JCI approved standard using visual analog scale (VAS) were adapted. A built in software for phaco US energy count which is cumulative dissipated energy (CDE) used to objectively timed the phaco time, duration of operation (DO) were timed, and standard visual acuity (VA) was also noted. Analisis data using general linear model (GLM) repeated measures. Increase of CCT and decrease of ECD after 1 month in high and low phaco parameter are not significantly difference, respectively 0.23VS2.23 and 8.53VS6.99 (p>0.05).Significant difference were found in CDE between H and L; 15.80VS21.29 (p0.015).No statisticaly significant difference of VAS nor DO and VA.
Conslusion: No different in safety and patient's comfort using high and low parameter phaco.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Buratto, Lucio
Grove Road : SLACK , 2003
617.742 PHA
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: UI Publishing, 2022
617.742 BAS
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Windy Kusuma
"Latar Belakang : Anestesia regional dengan blok peribulbar merupakan teknik anestesia alternatif pada operasi katarak dengan teknik phacoemulsification. Umumnya anestetika lokal yang paling sering dipakai adalah campuran bupivakain yang mempunyai durasi panjang dan lidokain yang mempunyai onset cepat. Di rumah sakit kami, median waktu sejak dimulainya blok hingga dimulainya operasi adalah lebih dari 20 menit dan temuan ini menunjukkan bahwa untuk peribulbar anestesia tidak diperlukan anestetika lokal dengan onset yang cepat. Tujuan studi ini untuk mengetahui keefektifan blok peribulbar inferotemporal menggunakan anestetika tunggal bupivakain 0.5% dibandingkan dengan campuran bupivakain 0.5% dan lidokain 2% untuk blok peribulbar pada pasien yang menjalani operasi katarak dengan teknik phacoemulsification.
Metode : Penelitian ini dilakukan pada 70 pasien yang menjalani operasi katarak dengan teknik phacoemulsification. Secara random 35 pasien menggunakan anestesia blok peribulbar dengan anestetika campuran bupivakain 0.5% dan lidokain 2% (kelompok 1) dan 35 pasien menggunakan anestesia blok peribulbar dengan anestetika tunggal bupivakain 0.5% (kelompok 2). Skor akinesia bola mata dinilai pada menit ke 5, 10, 15 dan 20 setelah penyuntikan anestetika lokal. Analgesia, waktu antara dimulainya blok hingga dimulainya operasi, lamanya operasi, penambahan anestetika topikal intraoperatif dan insidens efek samping terkait blok peribulbar dicatat.
Hasil: Skor akinesia pada menit ke 5 dan 10 setelah penyuntikan lebih rendah secara bermakna pada kelompok 1 (p<0.05). Tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada kedua kelompok dalam hal skor akinesia pada menit ke 15 dan 20 setelah penyuntikan. Analgesia, total lamanya operasi, penambahan anestetika topikal intraoperatif dan efek samping terkait blok peribulbar tidak berbeda bermakna pada kedua kelompok.
Simpulan : Kecuali onset yang lebih cepat pada kelompok anestetika campuran bupivakain 0.5% dan lidokain 2%, bupivakain tunggal 0.5% sama efektif dibandingkan campuran bupivakain 0.5% dan lidokain 2% untuk blok peribulbar pada operasi katarak dengan teknik phacoemulsification. Data tersebut didapatkan bahwa bupivakain tunggal 0.5% dapat digunakan pada kasus dimana blok dengan onset yang cepat tidak diperlukan.

Background : Regional anesthesia provided by a peribulbar block is an alternative anesthetic technique in cataract surgery. Generally, the most frequently used local anesthetic agent is a mixture of bupivacaine which has a long duration of effect and lidocaine which has a rapid onset of action. In our centre, the median time from the start of peribulbar blockade to start surgery was more than 20 minutes and these findings suggest that it is not necessary to use a local anesthetic with a quick onset of action for peribulbar anesthesia. The purpose of this study was to determine the effectiveness of single injection inferotemporal peribulbar block using 5 mL of plain bupivacaine 0.5% compared with a 1:1 mixture of bupivacaine 0.5% and lidocaine 2% in patients underwent cataract surgery with phacoemulsification.
Methods : A total of 70 patients scheduled for phacoemulsification cataract surgery with peribulbar anesthesia were randomly allocated into two groups of 35 patients each, to receive 5 ml of a 1:1 mixture of bupivacaine 0.5% and lidocaine 2% (group 1), or plain bupivacaine 0.5% (group 2). Ocular movement scores were evaluated at 5, 10, 15 and 20 minutes after injection. Analgesia, time from block to start surgery, duration of surgery, need for supplementary anesthesia and the incidence of perioperative complication were recorded.
Results: The ocular movement scores at mins 5 and 10 were significantly lower in group 1 (p<0.05). There were no significant difference among the groups in ocular movement scores at mins 15 and 20. Analgesia, time from block to start surgery, duration of surgery, need for supplementary anesthesia and the incidence of perioperative complication did not differ among the groups.
Conclusion : Except for a significantly faster onset of peribulbar block with a mixture of bupivacaine 0.5% and lidocaine 2%, 0.5% bupivacaine as the sole agent was equally effective in inducing satisfactory peribulbar anesthesia for phacoemulsification cataract surgery. These data suggest that plain bupivacaine 0.5% may be suitable where the rapidity of onset of block is not necessary.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Tujuan : membandingkan efektifitas dan keamanan antara teknik fakofragmentasi dan fakoemulsifikasi yang dilakukan pada katarak senilis matur.
Metoda : penelitian ini merupakan penelitian prospektif dengan metoda tersamar ganda terhadap 32 pasien katarak senilis matur putih yang dilakukan bedah katarak insisi kecil dengan pemasangan lensa intra okular (LIO). Pasien dibagi menjadi 2 kelompok secara acak,16 pasien menjalani bedah katarak dengan teknik fakofragmentasi (kelompok I) dan 16 pasien lain dengan teknik fakoemulsifikasi (kelompok II). Parameter keamanan adalah perubahan diameter pupil sesaat sebelum pembedahan dan sesaat sebelum implantasi LIO, ketebalan kornea dan jumlah suar di bilik mata depan (BMD). Lama waktu mengeluarkan nukleus, tajam penglihatan tanpa koreksi (TPTK) dan surgically induced astigmatism (SIA) yang terjadi dipakai sebagai parameter efektifitas. Tindak lanjut dilakukan pada hari ke-1, ke-7, ke-15 dan ke-30 pasca bedah.
Hasil : tidak terdapat perbedaan bermakna pada variabel usia, tajam penglihatan, ketebalan kornea dan jumlah suar sebelum pembedahan antara kedua kelompok. Rerata diameter pupil sebelum pembedahan dan sebelum implantasi LIO tidak berbeda bermakna, serta tidak didapatkan perubahan konstriksi pupil yang signifikan pada kedua kelompok. Lama waktu mengeluarkan nukleus lebih lama pada kelompok II (4.38+2.51 mnt) dibanding kelompok I (1.98+1.61 mnt). Perbedaan bermakna hanya terjadi pada TPTK (p=0.00067) dan ketebalan kornea (p=0.0044) pada tindak lanjut hari pertama. Namun, tidak didapatkan lagi perbedaan bermakna pada tindak lanjut selanjutnya. Tidak terdapat perbedaan bermakna pada variabel jumlah suar dan SIA selama tindak lanjut.
Kesimpulan : teknik fakofragmentasi dan teknik fakoemulsifikasi yang dilakukan pada katarak senilis matur memberikan hasil keamanan dan efektivitas yang sama baik. Teknik fakofragmentasi tampaknya dapat merupakan suatu alternatif bedah katarak insisi kecil dan dapat menggantikan bedah katarak konvensional, dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas bedah katarak. (Med J Indones 2003; 12: 94-102)

Purpose : To compare the effectiveness and safety of phacofragmentation and phacoemulsification techniques on senile white mature cataract.
Methods : Prospective, double masked, randomized study comprises 32 eyes of senile white mature cataract randomly divided into 2 groups, 16 eyes had phacofragmentation (group I) and 16 eyes had phacoemulsification (group II). The evaluated safety parameters were pupil diameter pre surgery and prior to intra ocular lens (IOL) implantation, corneal thickness and flaremeter. Nucleus delivery, uncorrected visual acuity (UCVA) and surgically induced astigmatism (SIA) were the effectiveness parameters. Follow-up were scheduled for post-operative day 1,7,15 and 30.
Results : prior to the surgery there were no significant differences in age, visual acuity, corneal thickness and flaremeter between two groups. Pre surgical and prior to IOL implantation mean pupilarry diameters in both groups were not significantly different. There was no significant difference in pupillary constriction on both groups. The mean of time to deliver the nucleus was significantly longer in the group II (4.38+2.51 min) than in the group I (1.98+1.61 min). There was significant difference on UCVA (p= 0.00067) and corneal thickness (p=0.0044) only on the first post-operative day. However, there was no significant difference on further evaluations (p>0.05). There were also no significant difference on flaremeter and SIA during follow-up.
Conclusion : Both phacofragmentation and phacoemulsification techniques were effective and safe for cataract surgery on senile white mature cataract. Phacofragmentation technique therefore could be an alternative small incision cataract surgery. (Med J Indones 2003; 12: 94-102)
"
Medical Journal of Indonesia, 12 (2) April June 2003: 94-102, 2003
MJIN-12-2-AprilJune2003-94
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Eni Dwijayanti
"ABSTRAK
Kemajuan teknologi dalam peralatan kedokteran menciptakan alternatif baru
dalam pelayanan kedokteran, termasuk di oftalmologi. Salah satu cara operasi
katarak yang baru disebut fakoemulsifikasi (Fako) yang memberikan hasil lebih
baik dibandingkan dengan cara konvensional yaitu Ekstraksi Katarak Ekstra
Kapsular (EKEK).
Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi efektivitas biaya dari dua
metode operasi katarak yaitu Fako dan EKEK yang dilakukan di RSUP Fatmawati
di Jakarta. Penelitian ini deskriptif, namun beberapa pendekatan analitis juga
digunakan. Pengambilan data secara cross sectional dengan sampel sebanyak 192
pasien operasi katarak (96 pasien Fako dan 96 pasien EKEK) yang dipilih secara
acak dari 300 populasi. Data sekunder diperoleh dari rekam medis pasien yang
menjalani operasi katarak pada tahun 2009 di rumah sakit untuk mengetahui tiga
indikator keberhasilan operasi.
Activity-based costing (ABC) digunakan untuk menghitung biaya dari
setiap metode, dan teknik pembobotan oleh duabelas dokter mata dari RSUP
Fatmawati dan RSU Dr. Sardjito dilakukan untuk mendapatkan nilai tunggal
(indeks komposit) dari efektivitas operasi katarak. Biaya yang dihitung adalah
biaya langsung yang berhubungan dengan operasi katarak, yaitu biaya
pemeriksaan mata, biaya laboratorium, biaya rontgen thorax, biaya konsultasi,
biaya operasi, biaya pelayanan farmasi, dan biaya administrasi. Efektivitas
diperoleh melalui pembobotan tiga indikator keberhasilan operasi katarak, yaitu
ketajaman visus pasca operasi, tidak adanya astigmat pasca operasi, dan tidak
adanya komplikasi intra-operasi dan pasca-operasi. Perhitungan efektivitas
operasi katarak dilakukan dengan modifikasi metode Bayes.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa biaya satuan normatif operasi Fako
sebesar Rp. 4.419.755,17, yang lebih mahal dibandingkan EKEK (Rp.
3.369.549,24). Biaya obat-obatan dan bahan medis adalah komponen biaya
terbesar pada operasi katarak di RSUP Fatmawati. Hasil penelitian menunjukkan
ketajaman visus pasca-operasi untuk grup Fako secara signifikan lebih baik
daripada kelompok EKEK (p <0,05 dan odds ratio = 28.5). Dalam hal tidak
adanya astigmat pasca-operasi, kelompok Fako secara signifikan lebih baik
daripada kelompok EKEK (p <0,05, rasio odds = 22.7). Namun, tidak ada
perbedaan yang signifikan antara kedua kelompok untuk tidak adanya komplikasi
intra-operasi dan pasca-operasi (p> 0,05).
Hasil penelitian ini juga menemukan bahwa Average Cost-effectiveness
Ratios (ACER) metode Fako lebih rendah (Rp.1.379.326,08) dibandingkan
dengan ACER EKEK (Rp. 1.485.113,49). Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa, dalam penelitian ini metode Fako lebih cost effective daripada metode
EKEK.
Disarankan penelitian lebih lanjut yang mencakup seluruh biaya yang
dikeluarkan untuk pasien operasi katarak dengan menggunakan jumlah sampel
yang lebih besar, sehingga dapat diperoleh pemahaman yang lebih komprehensif
terhadap dua teknik operasi katarak dan pilihan yang lebih baik terhadap teknik
operasi yang dapat ditawarkan untuk populasi yang lebih luas

Abstract
Technological advancement in medical equipment has created new
alternatives in medical care, including in ophthalmology. One of the new cataract
operation called Phacoemulsification (Phaco) provides better results as compared
to conventional Extracapsular Cataract Extraction (ECCE).
This study aimed at exploring the cost-effectiveness of two methods of
cataract surgeries i.e. Phaco and ECCE done at Fatmawati General Hospital in
Jakarta. It was a descriptive inquiry in nature; however, some analytical
approaches were also used. A cross sectional examination of a sample of 192
cataract surgery patients (96 phaco patients and 96 ECCE patients) was randomly
selected from 300 populations. Secondary data were obtained from patients?
medical records undergoing cataract surgeries in 2009 at the hospital to explore
three success indicators of the surgeries.
Activity-based costing (ABC) was used to calculate the costs of each
method, and weighing technique of twelve peer ophthalmologists from Fatmawati
General Hospital and Dr. Sardjito General Hospital was done to obtain a single
value (composite index) of the effectiveness indicators of the cataract surgery.
The costs were calculated for direct costs relevant to cataract surgery, i.e. the costs
of eye examinations, laboratory tests, thorax roentgen, consultation, surgical fees,
pharmaceutical services, and administrative costs. The effectiveness were
obtained through the weighing of three success indicators of cataract surgery, i.e.
post-operative visual acuity, the absence of post-operative astigmatism, and the
absence of intra-operative and post-operative complications. The calculation of
effectiveness of cataract surgery was performed by modified Bayes Method.
The findings of the study showed that the normative unit cost of Phaco
surgery was Rp. 4.419.755,17, which was more expensive than that of ECCE (Rp.
3.369.549,24). The costs of medicines and medical supplies were the largest cost
components in cataract surgery in Fatmawati General Hospital. The result of study
showed that post-operative visual acuity for Phaco group was significantly better
than ECCE group (p <0.05 and odds ratio = 28.5). In terms of the absence of
post-operative astigmatism, Phaco group was significantly better than ECCE
group (p<0.05, odds ratio = 22.7). However, there was no significant difference
between the two groups in the absence of intra-operative and post-operative
complications (p>0.05).
The result of this study also found that the average cost-effectiveness ratio
(ACER) of Phaco method was lower (Rp.1.379.326,08) than that of ECCE (Rp.
1.485.113,49). Therefore, it was concluded that, in this study, Phaco method was
more cost effective than ECCE method.More rigorous studies covering all the costs incurred to patients of cataract
surgeries using a bigger sample size were suggested, so that a more
comprehensive understanding of the two cataract surgery techniques could be
obtained and a better choice of the surgery technique could be offered for wider
population."
2010
T31393
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Azrina Noor
"Tujuan: membandingkan efektivitas yang dinilai berdasarkan Cumulative Dissipated Energy (CDE), Phaco Time, Best Corrected Visual Acuity (BCVA), dan Keamanan yang diukur berdasarkan Endothelial Cell Density (ECD), Central Corneal Thickness (CCT), dan Balanced Salt Solution. (BSS) volume yang digunakan, dari empat dan enam segmen nukleofraktis dalam teknik fakoemulsifikasi stop and chop untuk katarak sedang-keras.
Metode: Uji klinis prospektif yang melibatkan 42 dengan densitas nuklear derajat NO/NC 3-5 berdasarkan Lens Opacities Classification System III (LOCS III), dirandomisasi menjadi dua kelompok nukleofraksis, empat segmen (21 subjek) atau enam segmen (21 subjek). Pengukuran objektif dilakukan pre operatif, 1 hari, 1 minggu, dan 1 bulan pasca operasi yang meliputi ECD, CCT, dan TPDK. Intra- operatif dinilai CDE, phaco time, dan volume BSS yang terpakai.
Hasil: terjadi penurunan ECD (5.76 ± 29.08 μm VS 2.33 ± 13.73 μm) dan peningkatan CCT (346.42 ± 154.45 sel/mm2 VS 247.05 ± 160.40 sel/mm2) pada kedua kelompok pada satu bulan pasca operasi. Tidak ada perbedaan yang bermakna pada TPDK satu bulan pasca operasi kedua kelompok (logMAR 0.05 VS 0.04). Parameter intra-operatif dalam kelompok empat segmen (CDE 20.73 ± 6.46, phaco time 78.49 ± 23.63 detik, BSS 59.38 ± 12.04 ml) sebanding dengan kelompok enam segmen (CDE 20.46 ± 5.47, phaco time 78.62 ± 13.80 detik, BSS 58.86 ± 13.32 ml), dan tidak ada perbedaan yang bermakna secara statistik.
Simpulan: tidak terdapat perbedaan yang bermakna secara statistik parameter efektivitas dan keamanan antara kelompok nukleofraksis empat segmen dan enam segmen. Namun, pasca operasi nukleofraksis empat segmen mempunyai kecenderungan menimbulkan efek kerusakan endotel lebih banyak dibandingkan nukleofraksis enam segmen.

Objective: to compare effectiveness, assessed by cumulative dissipated energy (CDE), phaco time, best corrected visual acuity (BCVA), and safety which were observed by endothelial cell density (ECD), central corneal thickness (CCT), and balanced salt solution (BSS) volume used, of four and six segments nucleofractis in stop and chop phacoemulsification technique for moderate-hard cataract.
Methods: This prospective study comprised forty-two subjects with NO/NC 3-5 nuclear density according to the Lens Opacities Classification System III (LOCS III) system. Patients were equally randomized into four segments or six segments nucleofractis group. Stop-and-chop technique were applied in all subjects. The objective measurements of ECD, CCT, and BCVA were performed pre-operative, 1 day, 1 week, and 1 month post-operative. Phaco time, CDE and BSS volume were measured intraoperatively.
Results: The mean ECD were reduced (5.76 ± 29.08 μm VS 2.33 ± 13.73 μm) and CCT increased (346.42 ± 154.45 cells/mm2 VS 247.05 ± 160.40 cells/mm2) in both groups after 1 month follow-up. No statistically difference was found between mean BCVA at 1 month follow-up in both group (logMAR 0.05 VS 0.04). All intraoperative parameters of four segments group (CDE 20.73 ± 6.46, phaco time 78.49 ± 23.63 second, BSS 59.38 ± 12.04 ml) were comparable with six segments group (CDE 20.46 ± 5.47, phaco time 78.62 ± 13.80 second, BSS 58.86 ± 13.32 ml).
Conclusions: No effectiveness and safety difference between four and six segments nucleofractic in stop and chop phacoemulsification technique for moderate - hard cataract. However, our study demonstrates the tendency of higher endothelial cell loss in four segments nucleofractis.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kartini Rustandi
"Buta katarak merupakan masalah kesehatan dan sosial yang m gakibatkan kerugian ekonomis yang besar bagi penderita maupun keluarga, dapar diatasi dengan dndakan operasi. Terbatasnya mmber daya dan dana serta tingginya angka buta katarak pada masyamkat kumng mampu di Kabupaten Karawang, memerlukan altematif rchabilitasi yang paling cos! ejiecrive. Tiga altematif kegiatan pelayanan operasi katarak yang dilaksanakan di Knbupaxen Karawang tahun 2000, yaim di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD), Balai Kesehatan Mata Masyarakat (BKMM) dan puskesmas.
Penelitian ini mcrupakan penelitian deskmiptif, yang menggunakan data sekunder ditinjau dari sisi provider, di sarana pclayanan yang melaksanaknn kegiatan pelayanan operasi katarak di Kabupaten Karawang Tahun 2000, .dengan tujuan mendapatkan gambaran aiternatif terbaik dari kegiatan pelayanan operasi katarak di Kabupaten Kamwang dengan membandingkan biaya satuan dan cakupan kegiatan ketiga altematitf.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kegiatan pelayanan operasi katarak yang dilaksanakan di puskesmas merupakan altemaiif yang paling can qffecfive ditinjau dali segi biaya., dibandingkan kegiatan pelayanan di BICMM dan RSUD Tetapi BKMM memiliki jangkauan pclayanan yang paling Unmk mendukung Jawa Barat bebas buta katarak penduduk misldn tahun 2005 disarankan rneningkatkan iielcuensi kegiatan pelayanan operasi katarak di puskesmas dan melakukan kombinasi kegiatan di BKMM dan puskesmas Serta meningkatkan penyuluhan kebutaan karcna ka.ta.rak $66811 terpadu.

Cataract blindness is a health and social problem, which can bring great economic loss to the person as well as hisfher family, but it can be solved by taking an operation procedure. Because of limited resources in health sector and high cataract prevalence, most cost eE`ective altemative treatment is needed. There are 3 altematives of cataract operation service available in Karawang District.
The purpose of this smdy is to explore the best alternative or the most cost etfective cataract operation service rendered in-Karawang Disuict by comparing the unit cost and output of cataract operastion in District Hospital (RSUD), Community Eye Centre (BKMM) and Health Center. This study is a descriptive one, base on mondary data related to the cataract operation services and the data were collected using a specilic instruments.
The result of this study shows that cataract operation service held publicly in Health Center is the most cost elfective alternative, compare to those held in Community Eye Centre (BKMM) and District Hospital (RSUD), however Community Eye Centre (BKMM) has th largest coverage or output. To support "Jawa Barat Bebas Katarak Penduduk Miskin Tahun 2000" it is recommended to increase the Eequency of the cataract operation service in Health Center, combined with cataract operation services in Health Center and Community Eye Centre. It is also recommended to promote the dissemination of information about the rehabilitation of blindness due to cataract.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2001
T6436
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siregar, Simon Alberti
"ABSTRAK
Tujuan Membandingkan prediktabilitas refraksi pasca operasi katarak pada pasien yang telah dilakukan pemeriksaan kekuatan LIO menggunakan biometri optikal dengan dan tanpa sikloplegik.
Desain
Penelitian ini merupakan uji kuasi eksperimental 2 kelompok yang tidak berpasangan.
Metode
Sebanyak 34 mata dari 25 subjek penelitian dengan katarak senilis imatur yang memiliki axial length (AXL) 22-24.5 mm dilakukan pemeriksaan optikal tanpa dan dengan sikloplegik pada mata yang sama sebelum dilakukan operasi fakoemulsifikasi dengan implantasi lensa intraokular (LIO). Data pemeriksaan biometri optikal tanpa dan dengan sikloplegik merupakan dua kelompok tidak berpasangan. Lensa intraokular yang diimplantasikan kepada subjek penelitian ditentukan berdasarkan target refraksi minus terkecil pada mata tanpa pengaruh sikloplegik. Perhitungan power LIO dilakukan dengan menggunakan formula Haigis. LIO yang digunakan adalah 1 jenis berbahan akrilik foldable. Prediktabilitas refraksi dihitung berdasarkan selisih antara spherical equivalent (SE) pasca operasi 3 minggu dengan target refraksi pada masing-masing kelompok dalam nilai absolut.
Hasil
Rerata prediktabilitas refraksi pada kelompok tanpa sikloplegik 0,37 ± 0,22, sedangkan median kelompok dengan sikloplgeik 0,4 (0,04-1,21). Proporsi prediktabilitas refraksi pada kelompok dengan sikloplegik < 0,5 D adalah 70,6%, sedangkan kelompok dengan sikloplegik adalah 73,5%.
Kesimpulan
Prediktabilitas refraksi dan proporsi prediktabilitas refraksi dengan menggunakan rumus Haigis pada mata dengan AXL normal tidak berbeda signifikan secara statistik antara masing-masing kelompok penelitian

ABSTRACT
Aim Comparing the refractive predictability after cataract surgery in patients who undergo intraocular lens (IOL) calculation with and without effect of cycloplegia using optical biometry.
Design
This study is a quasi-experimental test of two unpaired groups.
Method
A total of 34 eyes from 25 subjects with immature senile cataract which has axial length 22-24.5 mm underwent intraocular lens (IOL) calculation with and without effect of cycloplegia using optical biometry before phacoemulsification and IOL implantation. The result data were separated into ?without cycloplegia? (first) group and ?with cycloplegia? (second) group. Implanted intraocular lenses were determined by the lowest myopic spheroequivalent residual refraction from the eye without effect of cycloplegia. Intraocular lens calculation were performed by using the Haigis formula. Intraocular lens used were made of acrylic foldable. Refractive predictability is calculated based on the difference between the refraction spherical equivalent (SE) 3 weeks postoperatively and target refraction for each group in absolute value.
Result
The refractive predictability mean in the first group is 0.37 ± 0.22, while the second group median is 0.4 (0.04 to 1.21). Proportion of refractive predictability in the first group <0.5 D is 70.6%, while the second group is 73.5%.
Conclusion
Refractive predictability and proportion of refractive predictability using the Haigis formula in eyes with normal AXL did not differ statistically significant between the respective research groups."
2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>