Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 209494 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Elia Aditya Bani Kuncoro
"Pendahuluan : Radioterapi pada regio thorakal dan abdominal semakin menimbulkan peminatan seiring dengan berkembangnya teknik pencitraan, perencanaan penyinaran, dan imobilisasi. Pergerakan tumor karena pernafasan menjadi tantangan yang harus diatasi dalam penyampaian dosis radiasi. Diperlukan mekanisme radioterapi adaptif untuk dapat melakukan penyelarasan terhadap pergerakan nafas.
Metode penelitian : Penelitian ini merupakan studi cross-sectional yang mengambil data pengukuran gerakan dinding dada menggunakan sensor ultrasonik secara real-time dan dibandingkan dengan pengukuran sesungguhnya yang diperoleh dari MotionView™. Setiap pengukuran dilakukan setiap 0,22 detik. Dilakukan pengukuran nilai korelasi antar dua set data pengukuran serta dihitung selisih kedua pengukuran untuk mendapatkan nilai estimasi dan simpangan deviasi dari nilai yang diperoleh.
Hasil : Sembilan orang sampel berhasil direkrut dalam penelitian ini, pada masing-masing sampel, data diambil sebanyak 3 kali. Diperoleh median selisih pengurukuran dari kedua instrumen adalah 1,1 mm dengan simpangan deviasi 2,0 mm. Pada uji korelasi antar hasil pengukuran didapatkan bahwa nilai yang diperoleh dari instrumen berbasiskan ultrasonik memiliki korelasi 0,97 (positif sangat kuat; p=0,000).
Kesimpulan : Hasil penelitian menunjukkan bahwa instrumen berbasiskan ultrasonik memiliki kemampuan untuk mengukur pergerakan dinding thorakoabdominal dengan kekuatan korelasi sangat kuat, dengan ketepatan resolusi sebesar 1,1 mm dengan simpangan deviasi ± 2,0 mm.

Introduction : The interest of radiotherapy in thoracic and abdominal malignancy is increasing in accordance with the advance of imaging, treatment planning, and immobilization technique. Tumor motion as a consequences of respiration is a challanging issue in the dose delivery. Adaptive radiotherapy is demanded to be able to synchronize radiation delivery with the respiratory motion.
Methods : This research compares the measurements of thoracic wall movement acquired from two different device: ultrasound based instrument vs MotionView™ as a reference standard. Each measurement data is collected every 0,22 second, and after the data are completed, the two datasets are then analyzed to obtain the correlation coeficient and the absolut difference between the two datasets to calculate the point of estimate and the deviation standard between instruments.
Results : Nine samples were recruited and completed the data collection for three sequential fractions. Median of difference between instruments were 1,1 mm with standard deviation of 2,0 mm. Correlation test between measurements shows positive correlation with the coeficient of 0,97 (very strong; p=0,00).
Conclusion : This study shows the ability of ultrasound based instrument to measure the chest wall movement with a very strong correlation compared to the reference standard. Individual point measurements show a difference of 1,1 mm with standard deviation of 2,0 mm.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Faisal Adam
"Pendahuluan : Radioterapi pada kanker kepala dan leher menggunakan teknik Three-dimensional Conformal Radiotherapy (3DCRT) atau Intensity-modulated Radiotherapy (IMRT) membutuhkan akurasi yang tinggi dalam pelaksanaannya. Upaya ini dilakukan dengan mengetahui kesalahan set-up melalui proses verifikasi yang disesuaikan dengan beban kerja setiap unit radioterapi. Dengan demikian dapat diterapkan margin CTV-ke-PTV yang ideal untuk mendapatkan dosis yang adekuat pada area target radiasi.
Metode penelitian : Penelitian ini merupakan studi potong lintang yang mengambil data verifikasi menggunakan Cone Beam Computed Tomography (CBCT) dari 9 pasien kanker kepala dan leher yang mendapatkan radioterapi dengan teknik 3DCRT/IMRT di Departemen Radioterapi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) antara bulan Oktober 2013 hingga Desember 2013. Pergeseran pada lapangan radiasi yang didapatkan dari hasil verifikasi dalam lima fraksi awal dianalisis untuk memperoleh kesalahan sistematik dan kesalahan acak, yang selanjutnya dihitung untuk mendapatkan margin CTV-ke-PTV.
Hasil : Sebanyak 135 data verifikasi CBCT dianalisa. Besar kesalahan sistematik dan kesalahan acak yang didapatkan berturut-turut sebesar 1.5 mm dan 2.7 mm pada sumbu laterolateral, 2.2 mm dan 3.1 mm pada sumbu kraniokaudal, serta 2.2 mm dan 1.9 mm untuk sumbu anteroposterior. Margin CTV-ke-PTV yang diperoleh sebesar 4.9 mm, 6.6 mm dan 5.8 mm untuk masing-masing sumbu laterolateral, kraniokaudal dan anteroposterior.
Kesimpulan : Verifikasi menggunakan CBCT dalam lima fraksi awal merupakan metode yang efektif untuk deteksi dan koreksi kesalahan set-up. Hasil penelitian dapat digunakan sebagai rekomendasi pemberian margin CTV-ke-PTV dan menunjukkan pemberian margin sebesar 5 mm sudah cukup adekuat dalam pelaksanaan radioterapi kanker kepala dan leher dengan teknik 3DCRT/IMRT di Departemen Radioterapi RSCM. Diperlukan upaya tambahan untuk meningkatkan koreksi kesalahan set-up dengan memperhitungkan beban kerja unit radioterapi.

Introduction : Three-dimensional Conformal Radiotherapy (3DCRT) or Intensity Modulated Radiotherapy (IMRT) for head and neck cancer is a highly accurate procedure. Verification is needed to detect and correct set-up errors, adjusted according to workload of each radiotherapy center. Therefore, an ideal CTV-to-PTV margin can be applied to ensure adequate target volume coverage.
Methods : This is a cross-sectional study using Cone Beam Computed Tomography (CBCT) verification data of 9 head and neck cancer patients treated with 3DCRT/IMRT in Department of Radiotherapy, Cipto Mangunkusumo Hospital between October 2013 and December 2013. Translation errors from the first five fractions were analyzed to count for systematic and random errors. These errors were then calculated to acquire CTV-to-PTV margin.
Results : A total of 135 CBCT data were analyzed. Systematic and random errors were respectively 1.5 mm and 2.7 mm in laterolateral direction, 2.2 mm and 3.1 mm in craniocaudal direction, and 2.2 mm and 1.9 mm in anteroposterior direction. CTV-to-PTV margin were 4.9 mm, 6.6 mm and 5.8 mm in laterolateral, craniocaudal and anteroposterior direction, respectively.
Conclusions : CBCT verification in first five fractions was effective in detecting and correcting set-up errors. The calculated CTV-to-PTV margin can be used as recommended margin and showed that 5 mm margin was adequate in planning 3DCRT/IMRT technique for head and neck cancer in Department of Radiotherapy, Cipto Mangunkusumo Hospital. An extra effort might be done to improve the correction of set-up errors adjusted to workload.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rendra Dandi Sugandi
"Radioterapi merupakan pengobatan kanker yang menggunakan radiasi pengion untuk mematikan sel kanker tanpa akibat fatal pada jaringan sehat di sekitarnya untuk tujuan kuratif maupun paliatif. 3D-CRT menjadi salah satu teknik yang digunakan untuk penyinaran kanker dengan IMRT dan VMAT sebagai pengembangan teknik radiasi dengan memvariasikan modulasi lapangan dan gantry. Oleh karena itu, prosedur patient-specific quality assurance (PSQA) dibutuhkan untuk memverifikasi dosis perencanaan dengan dosis yang disampaikan ke pasien. PRIMO adalah program simulasi Monte Carlo yang dapat digunakan dalam verifikasi dosimetri plan treatment (TPS) radioterapi dengan cara menghitung distribusi dosis radiasi dan membandingkannya dengan hasil pengukuran. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi performa TPS dan membandingkan hasil perhitungan distribusi dosis TPS dengan simulasi PRIMO Monte Carlo. Perencanaan 3D-CRT, IMRT, dan VMAT dilakukan menggunakan Rando breast phantom pada TPS, kemudian distribusi dosis dibandingkan dengan hasil simulasi PRIMO untuk mendapatkan nilai HI dan CI, serta dapat mengevaluasi dose constraint pada OAR. Evaluasi dosimetrik dosis dari simulasi rekonstruksi pada volume target menghasilkan nilai HI sebesar 0,16 hingga 0,20 untuk perencanaan 3D, 0,08 hingga 0,40 untuk perencanaan IMRT dan 0,14 hingga 0,82 untuk perencanaan VMAT. Serta nilai CI sebesar 0,93 hingga 0,95 untuk perencanaan 3D, 0,81 hingga 0,99 untuk perencanaan IMRT dan 0,67 hingga 0,95 untuk perencanaan VMAT. Perbandingan antara TPS dan Monte Carlo menunjukkan bahwa PSQA yang dilakukan pada 3D-CRT memiliki deviasi HI dan CI yang lebih kecil daripada IMRT dan VMAT. Namun, terdapat penurunan HI dan CI yang signifikan pada simulasi perencanaan IMRT dan simulasi berkas Dynalog VMAT. Dosis yang diterima pada OAR masih berada dalam ambang batas penerimaan yang menandakan sparing yang baik pada jaringan sekitar. Untuk prosedur PSQA, teknik 3D-CRT masih menjadi yang paling aman karena tingkat kompleksitasnya yang lebih rendah dibandingkan dengan IMRT dan VMAT, namun tidak menutup kemungkinan bahwa distribusi dosis yang dihasilkan lebih merata.

Radiotherapy is a cancer treatment that uses ionizing radiation to kill cancer cells without fatal consequences to surrounding healthy tissue for curative and palliative purposes. The 3D-CRT is one of the techniques used for irradiation with IMRT and VMAT as an advanced radiation technique, where radiation doses are administered using variated beam modulation and gantry. Therefore, a patient-specific quality assurance (PSQA) procedure is needed to ensure the accuracy of the treatment plan. PRIMO is a Monte Carlo simulation program that can be used in the verification of radiotherapy treatment plan (TPS) by calculating and comparing the dose distribution with the measurement. This study aims to evaluate the performance of the TPS and compare the results of the TPS dose distribution calculation with the PRIMO Monte Carlo simulation. The planning of 3D-CRT, IMRT, and VMAT was carried out using Rando breast phantom at TPS, and then the dose distribution was compared with the results of PRIMO simulation to obtain HI and CI values and evaluate the dose constraint on OAR. Dosimetric evaluation of the dose from the reconstruction simulation at the target volume resulted in an HI value of 0.16 to 0.20 for 3D planning, 0.08 to 0.40 for IMRT planning, and 0.14 to 0.82 for VMAT planning. As well as a CI value of 0.93 to 0.95 for 3D planning, 0.81 to 0.99 for IMRT planning, and 0.67 to 0.95 for VMAT planning. The TPS and Monte Carlo comparison shows that the PSQA conducted on 3D-CRT has a smaller HI and CI deviation than IMRT and VMAT. However, there was a significant decrease in HI and CI in IMRT planning simulations and Dynalog VMAT file simulations. The dose received at OAR is still within the dose threshold tolerances, indicating good sparring in the surrounding tissues. For the PSQA procedure, the 3D-CRT technique is still the safest due to its lower level of complexity compared to IMRT and VMAT, but the resulting dose distribution may be more even."
Depok: Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mukhlisin
"Gerak tumor akibat pernapasan pasien merupakan masalah yang signifikan dalam pengobatan radioterapi kanker paru-paru, khususnya teknik radioterapi modern Intensity Modulated Radiotherapy (IMRT) dan Volumetric Modulated Arc Therapy (VMAT). Interaksi gerakan antara gerak target tumor dan MLC (interplay effect) memiliki keterbatasan dalam hal modulasi intensitas radiasi, probabilitasnya hanya sebagian kecil Planning Target Volume (PTV) menerima dosis radiasi sesuai perencanaan dosis Treatment Planning System (TPS) pada waktu tertentu.
Penelitian ini melakukan verifikasi dosimetri antara dosis yang direncanakan TPS dan dosis yang diterima volume tumor, akibat adanya interplay effect pada teknik IMRT dan VMAT. Penelitian menggunakan fantom toraks dinamik in-house dengan target tumor bergerak translasi arah superior-inferior dengan variasi amplitudo dan periode gerak tumor sebesar 9,3 mm dan 2,3 sekon, 20 mm dan 3,44 sekon, 30 mm dan 4,22 sekon. Pengukuran dosis titik dengan meletakkan dosimeter TLD-100 LiF:Mg,Ti dan Film Gafchromic EBT2 pada titik tengah target tumor dan organ at risk spinal cord. Penyinaran teknik IMRT menggunakan 7-field dan teknik VMAT menggunakan Rapidarc partial double arc dengan dosis preskripsi (95%) sebesar 200 cGy per fraksi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kehadiran gerak target tumor paru-paru menyebabkan efek dosimetri yang tidak diinginkan berupa underdosage dalam volume tumor. Deviasi dosis rata-rata pada target tumor antara perencanaan dosis TPS dan hasil pengukuran pada teknik IMRT dengan target tumor bergerak statis, bergerak 9,3 mm, bergerak 20 mm, bergerak 30 mm berturut-turut sebesar 0,3% sampai 0,5%, -2,7% sampai -3,0%, -3,7% sampai -4,6%, dan -6,0% sampai -6,6%, sedangkan deviasi dosis pada teknik VMAT berturut-turut sebesar 0,2% sampai 0,9%, -1,6% sampai -1,9%, -2,9% sampai -3,1%, dan -5,0% sampai -5,3%. Hal berbeda, deviasi dosis untuk organ at risk spinal cord pada teknik IMRT berturutturut sebesar -5,6% sampai -1,0%, -6,8% sampai -6,9%, -3,7% sampai -5,9%, dan 0,7% sampai 1,0%, sedangkan deviasi dosis pada teknik VMAT berturut-turut sebesar -1,4% sampai -3,1%, -3,0% sampai -6,3%, -1,6% sampai -4,2%, dan 0,1% sampai 0,9%. Kenaikan amplitudo gerak target tumor menyebabkan dosis yang diterima volume tumor menurun. Namun sebaliknya, adanya kenaikan amplitudo gerak target tumor menyebabkan dosis yang diterima organ at risk spinal cord meningkat.

Tumor motion due to patient's respiratory is a significant problem in radiotherapy treatment of lung cancer, especially in modern radiotherapy treatment of Intensity Modulated Radiotherapy (IMRT) and Volumetric Modulated Arc Therapy (VMAT). The interplay effect is the effect that may occur as the motion of Linac (primarily the MLC) and motion of the tumor target interferes. At delivery dose treatment, a small part of Planning Target Volume (PTV) does not recover dose according to Treatment Planning System (TPS) Prescription.
This investigation was carried out through dosimetry verification between TPS and actual dose by tumor volume due to the interplay effect in IMRT and VMAT treatment. Tumor target of in-house dynamic thorax phantom was designed in linier sinusoidal motion toward superior-inferior direction with amplitude and period variation of tumor motion of 9,3 mm and 2,3s, 20 mm and 3,44s, 30 mm and 4,22s respectively. For point dose measurement, TLD-100 LiF:Mg,Ti and gafchromic EBT2 film detectors were took placed at midpoint of tumor target and spinal cord. IMRT treatment irradiation was applied by 7-fields and VMAT treatment by partial double arc, with prescription dose (95%) of 200 cGy per fraction.
The results showed that the occurrence of lung tumor target motion causes underdosage dosimetry effect in tumor volume. Mean dose deviation of tumor target between TPS and measurement in IMRT treatment by tumor target moves at condition of static, 9,3 mm, 20 mm and 30 mm were 0,3% to 0,5%, -2,7% to -3,0%, -3,7% to -4,6%, and -6,0% to -6,6% respectively while dose deviation in VMAT treatment were 0,2% to 0,9%, -1,6% to -1,9%, -2,9% to -3,1%, and -5,0% to -5,3% respectively. On the other hand, mean dose deviation of spinal cord in IMRT treatment were -5,6% to -1,0%, -6,8% to -6,9%, -3,7% to -5,9%, and 0,7% to 1,0% respectively and in VMAT treatment were -1,4% to -3,1%, -3,0% to -6,3%, -1,6% to -4,2%, and 0,1% to 0,9% respectively. The increment amplitude of tumor target motion reduced dose received by tumor volume and conversely, increased dose received by spinal cord.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2015
T43728
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simanjuntak, Flowindy Bonauli
"Pendahuluan: LSTV merupakan anomali kongenital vertebra dengan karakteristik morfologi antara vertebra lumbal dan sakral, yang mencakup lumbalisasi dan sakralisasi. Prevalensi LSTV pada populasi umum yang dilaporkan bervariasi antara 4-37%. LSTV dipertimbangkan sebagai salah satu penyebab LBP (Low Back Pain) namun masih terdapat kontroversi mengenai implikasi klinisnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya hubungan antara LSTV dengan derajat nyeri pada individu dengan keluhan LBP di RSUPNCM sehingga diharapkan dapat mengoptimalkan diagnosis dan tatalaksana pasien LBP.
Metode: Data berupa radiografi dan derajat nyeri dengan metode NRS dikumpulkan secara konsekutif dari 116 pasien dengan keluhan LBP yang datang untuk menjalani pemeriksaan radiografi lumbosakral. Penilaian radiografi mencakup ada tidaknya LSTV dan degenerasi diskus intervertebralis. Pasien terbagi menjadi dua grup: yang memiliki LSTV dan tidak memiliki LSTV. Derajat nyeri terbagi menjadi ringan, sedang dan berat. Hubungan antara kedua grup dengan derajat nyeri dilakukan dengan uji statistik Chi Square.
Hasil: Prevalensi LSTV pada individu dengan keluhan LBP adalah 48,2% dengan LSTV yang cenderung lebih banyak ditemukan pada jenis kelamin laki-laki. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara LSTV dengan derajat nyeri pada individu yang memiliki keluhan LBP. Pada penelitian ini juga didapatkan individu dengan LBP yang memiliki LSTV subtipe II dan III cenderung mengalami keluhan nyeri yang lebih berat. Sebagai tambahan, pada penelitian ini juga tidak didapatkan hubungan yang bermakna antara LSTV dan degenerasi diskus intervertebralis lumbal.
Kesimpulan: LSTV pada individu yang memiliki keluhan LBP tidak berhubungan dengan derajat nyeri yang dirasakan. Penelitian lanjutan dapat dilakukan untuk menentukan hubungan antara berbagai subtipe LSTV dengan derajat nyeri LBP.

Introduction: LSTV is a congenital vertebrae anomaly with characteristic morphology intermediate between the lumbar and sacral vertebrae, which includes lumbalization and sacralization. LSTV prevalence in the general population is reported to vary between 4-37 %. LSTV is considered as one of the causes of LBP, but there is still controversy about its clinical implication. This study aims to investigate the relationship between LSTV and the degree of pain in individuals with LBP complaints in RSUPNCM which is expected to optimize the diagnosis and management of LBP patients.
Methods: The data consisted of radiography and degree of pain by NRS method collected consecutively from 116 patients with LBP complaints who come to undergo lumbosacral radiographs. Radiographic assessment includes the presence of LSTV and degenerative disc disease. Patients were divided into two groups: who has and does not have LSTV. The degree of pain is divided into mild, moderate and severe. Association between the two groups with the degree of pain is assessed with a Chi Square test.
Results: The prevalence of LSTV in individuals with LBP complaints was 48.2 % with LSTV tended to be more common in male. There was no significant correlation between the degrees of pain in individuals with LBP complaints with LSTV. This study also found that individuals with LBP having LSTV subtypes II and III are more likely to experience severe pain. In addition, this study also found no significant relationship between LSTV and lumbar degenerative disc disease.
Conclusion: LSTV in individuals with LBP complaints are not related to the degree of pain endured. However, further research can be conducted to determine the relationship between various subtypes of LSTV and degree of pain in LBP.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T59153
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Faqih
"Terapi radiasi berperan dalam mengobati kanker dengan keberhasilannya bergantung pada penentuan dosis radiasi yang tepat untuk setiap pasien. Penelitian ini memperkenalkan sebuah metode yang menggunakan pembelajaran dan Convolutional Neural Network (CNN) dengan arsitektur VGGNet untuk meramalkan dosis radiasi yang optimal dalam perencanaan pengobatan. Dengan memanfaatkan kemampuan VGGNet dengan jaringan konvolusi dalam yang terkenal karena kesederhanaan dan kedalamannya, model dilatih pada data hasil terapi radiasi. Evaluasi kinerja model menunjukkan akurasi dalam prediksi. Bidang ini menyoroti potensi pemanfaatan teknik pembelajaran untuk mempersonalisasi dan meningkatkan pengobatan kanker terutama yang berkaitan dengan perencanaan dosis radiasi yang presisi. Dalam penelitian ini akan difokuskan pada Perhitungan CI (Conformity Index) dan HI (Homogeneity Index). Pembangunan modelnya diawali dengan mengkondisikan data yang berasal dari MRCCC yang terdapat radiomic, dosiomic. Data dosiomic akan digunakan untuk mencari index tersebut, dengan membaca csv ke dalam environment model dan membangun modelnya sesuai tipe data yang terdapat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa model VGGNet mencapai CI rata-rata 0,86 dan HI rata-rata 0,07. CI yang kurang dari 1 menunjukkan bahwa distribusi dosis tidak sepenuhnya sesuai dengan volume target, sementara HI menunjukkan distribusi dosis yang cukup homogen dalam volume target. Metode yang menggunakan CNN dengan arsitektur VGGNet menunjukkan potensi besar dalam memprediksi dosis radiasi yang optimal dan meningkatkan personalisasi pengobatan kanker.

Radiation therapy plays a role in treating cancer with its success depending on determining the right radiation dose for each patient. This research introduces a method that uses learning and Convolutional Neural Network (CNN) with VGGNet architecture to forecast the optimal radiation dose in treatment planning. By utilizing the capabilities of VGGNet with deep convolutional networks that are well-known for their simplicity and depth, the model is trained on radiation therapy outcome data. Evaluation of the model performance showed accuracy in prediction. This field highlights the potential of utilizing learning techniques to personalize and improve cancer treatment especially with regard to precision radiation dose planning. This research will focus on the calculation of CI (Conformity Index) and HI (Homogeneity Index). The construction of the model begins with conditioning the data coming from MRCCC which contains radiomic, dosiomic. Dosiomic data will be used to find the index, by reading csv into the model environment and building the model according to the data type contained. The results showed that the VGGNet model achieved an average CI of 0,86 and an average HI of 0,07. CI less than 1 indicates that the dose distribution does not fully match the target volume, while HI indicates a fairly homogeneous dose distribution within the target volume. Methods using CNN with VGGNet architecture show great potential in predicting optimal radiation dose and improving the personalization of cancer treatment."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dinda Asparul Mijar
"Penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi distribusi dosis radioterapi pada kasus kanker payudara dengan Teknik EDW menggunakan simulasi monte carlo. Menggunakan fantom Rando female sebagai objek untuk mendapatkan nilai CT dengan pendekatan jaringan tubuh manusia. Penelitian dilakukan dengan 2 tahap. Tahap 1 commissioning Monte Carlo pada lapangan 10 × 10 dengan sudut wedge 25. Tahap 2 simulasi Monte Carlo menyesuaikan perencanaan pada TPS untuk kasus kanker payudara pada fantom rando. Evaluasi pada dosis titik dilakukan dengan membandingkan nilai dosis pada simulasi Monte Carlo dengan TPS dan pengukuran TLD. Hasil dari commissioning menunjukkan seluruh nilai profile pada kedalaman 10 cm berada dalam batas toleransi IAEA TRS 430. Hasil perbandingan pada fantom rando dengan pengukuran TPS dan TLD untuk organ Breast atas berturut-turut adalah 2,08% dan 5,45% sedangkan untuk Breast bawah adalah 4,59% dan 5,98%, untuk jantung adalah 12,76% dan 13,68%, dan untuk paru-paru adalah 12,76% dan 13,68%. Berdasarkan hasil tersebut hasil simulasi memiliki akurasi data yang cukup baik jika dibandingkan dengan pengukuran pada TPS dan pengukuran yang dilakukan dengan menggunakan TLD.

The research was conducted to evaluate the radiation dose distribution in breast cancer cases using the Electron Dynamic Wedge (EDW) technique through Monte Carlo simulations. The research comprised two phases: Phase 1 involved commissioning Monte Carlo for 10 x 10 field with a 25-degree wedge angle, while phase 2 entailed Monte Carlo simulations to adapt planning on the Treatment Planning System (TPS) for breast cancer cases in the Rando phantom. Point dose evaluation involved comparing dose values in Monte Carlo simulations with those in the TPS and Thermoluminescent Dosimeters (TLD) measurements. Commissioning results demonstrated that all profile values at a depth of 10 cm fell within the tolerance limits of IAEA TRS 430. Comparisons on the Rando phantom between TPS and TLD measurements for the upper breast organ yielded percentages of 2.08% and 5.45%, respectively. For the lower breast, the percentages were 4.59% and 5.98%. Comparisons for the heart resulted in percentages of 12.76% and 13.68%, while for the lungs, they were 12.76% and 13.68%. Based on these findings, the simulation results indicated reasonably good accuracy when compared to both TPS measurements and measurements conducted using TLD."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fatmasari
"Latar Belakang: Radioterapi baik sebagai terapi tunggal maupun sebagai terapi kombinasi, memegang peranan yang penting dalam penatalaksanaan kanker payudara kiri. Eskalasi dosis dikatakan mampu meningkatkan kontrol dan menurunkan angka kekambuhan namun di sisi lain dapat meningkatkan angka toksisitas. Hingga saat ini masih terus dilakukan studi untuk menganalisis parameter dosimetri diantara teknik Three Dimensional Conformal Radiotherapy-Field and Field, Volumetric Modulated Arc Therapy, dan Helical Tomotherapy pada kanker payudara di departemen Radioterapi RSUPN-CM.
Metode: Studi eksperimental eksploratorik dengan melakukan intervensi pada 10 data CT plan pasien kanker payudara kiri yang diradiasi di Departemen Radioterapi RSUPN-CM. Dosis 50 Gy diberikan pada PTV dalam 25 fraksi. Cakupan PTV dievaluasi menggunakan Indeks konformitas CI dan indeks homogenitas HI. Menilai perbandingan PTV lokal D98, D95, D2, D50 dan supraklavikula dan menilai organ kritis sekitar target seperti paru kiri ipsilateral V20 le; 30, paru kanan contralateral V5 le; 50, jantung V25 le;10, payudara kanan contralateral Dmean < 5Gy.
Hasil: Dari hasil analisis statistik tidak ditemukan adanya perbedaan yang bermakna antara 3DCRT-FIF, VMAT maupun HT dalam mencapai dosis D98 dan D95, pada D50 terdapat perbedaan yang bermakna antara 3DCRT-FIF dengan VMAT p=0,000, 3DCRT-FIF dengan HT p=0,000, namun tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara VMAT dengan HT p=0,508. Dalam hal ini, ketiga teknik mampu memberikan cakupan dosis minimal yang baik pada volume target, meskipun begitu dari hasil penelitian ini teknik HT mampu memberikan nilai rerata D95 yang superior. Untuk D50 lokal ditemukan adanya perbedaan yang bermakna di 3 kelompok yang ada yaitu antara 3DCRT-FIF dengan VMAT p=0,000, 3DCRT-FIF dengan HT p=0,000, maupun VMAT dengan HT p=0,005. Didapat teknik HT memiliki nilai rerata D50 yang paling baik 50.01 0.25. Untuk D2 dari hasil analisis statistik ditemukan adanya perbedaan yang bermakna di 3 kelompok yang ada yaitu antara 3DCRT-FIF dengan VMAT p=0,005, 3DCRT-FIF dengan HT p=0,005, maupun VMAT dengan HT p=0,005.
Kesimpulan: Tidak terdapat perbedaan bermakna rerata D98 dan D95, namun terdapat perbedaan bermakna pada cakupan dosis D2 dan D50 antara teknik 3DCRT-FIF vs VMAT, 3DCRT-FIF vs HT, dan VMAT vs HT, seluruhnya memperlihatkan perbedaan yang bermakna p < 0,05 . Rerata durasi penyinaran paling tinggi didapatkan dengan teknik HT dan paling rendah pada 3DCRT-FIF.

Background: Radiotherapy as a main or combination therapy, holds an important role in the management of left breast cancer. Dose escalation is said to increase control and lower recurrence rate. On the other hand, dose escalation increases toxicity. Until now there is many study comparing dosimetry parameters between three different techniques; Three Dimensional Conformal Radiotherapy ndash; Field and Field 3DCRT-FIF, Volumetric Modulated Arc Therapy VMAT and Helical Tomotherapy HT and in relation to left breast cancer in radiotherapy department RSUPN-CM.
Method: This is an experimental study with intervention on 10 left breast cancer patients, CT planning data. All the subjects underwent radiation in radiotherapy department RSUPN-CM. 50 Gy dose in 25 fractions was given for PTV. Afterwards, PTV coverage was evaluated using conformity index CI and homogeneity index HI . Comparison of critical organs was evaluated using Dmax le; 50 Gy spinal cord, V25 le; 10 heart, V20 le; 30 lung ipsilateral and V5 le; 30 lung contraleteral and Dmean < 5 Gy right breast.
Results: From the statistical analysis there is no difference between 3DCRT-FIF, VMAT and HT in achieving D98 in local PTV. At the D95 value there is a difference between 3DCRT- and VMAT p = 0.022, 3DCRT-FIF with HT p = 0.005, but no value exists between VMAT and HT p = 0.508. In this case, one of the techniques employed gives a good minimum amount of volume targets, although the results of this technique HT are able to provide a superior D95% average. For D50% locally found, there are three groups that exist between 3DCRT-FIF with VMAT p = 0,000, 3DCRT-FIF with HT p = 0,000, and VMAT with HT p = 0,005. HT technique has the highest mean D50 50.01 0.25. For D2 of the analysis results found there were significant differences in 3 groups that existed between 3DCRT-FIF with VMAT p = 0,005, 3DCRT-FIF with HT p = 0,005, and VMAT with HT p = 0,005.
Conclusion: There is no D98% and D95%, but there is still a difference with D2% and D50% between 3DCRT-FIF vs VMAT, 3DCRT-FIF vs HT, and VMAT vs HT, all significant differences (p <0.05). The highest average duration of exposure with HT and lowest on 3DCRT-FIF."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Andry Kelvianto
"Kuantitas dan kualitas asupan protein belum sepenuhnya diketahui perannya terhadap kualitas hidup. Prognostic Nutritional Index (PNI) juga belum diketahui dapat mencerminkan kualitas hidup dan apakah bisa ditingkatkan dengan asupan protein. Penelitian dengan desain potong lintang ini bertujuan untuk mengetahui korelasi antara asupan protein dengan PNI dan kualitas hidup serta korelasi PNI dengan kualitas hidup pada pasien kanker kepala leher dengan radioterapi di Departemen Radioterapi Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Sebanyak 61 subjek didapatkan dari consecutive sampling. Rerata usia subjek adalah 46,3 ± 12,4 dan 65,6% subjek berada pada kanker stadium IV dan mendapatkan terapi kemoradiasi. Sebanyak 32,8% subjek yang memiliki status gizi kurang. Median asupan protein adalah 1,42 (0,26-4,11) g/kg/hari. Nilai PNI pada subjek penelitian memiliki median 45,9 (29,4-54,2). Hasil penelitian menunjukkan adanya korelasi bermakna antara kuantitas asupan protein berdasarkan Food Frequency Questionnaire (FFQ) semikuantitatif dan beberapa aspek gejala pada kualitas hidup yaitu pada aspek pain (head and neck) (r=-0,32; p=0,01), swallowing (r=-0,37;p=0,004), social eating (r=-0,29; p=0,02), dry mouth (r=-0,41; p=0,001), sticky saliva (r=-0,32; p=0,01), fatigue (r=-0,28; p=0,03), nausea and vomiting (r=-0,26; p=0,04) dan appetite loss (r=-0,3; p=0,01). Kualitas asupan protein tidak berkorelasi bermakna dengan kualitas hidup. PNI berkorelasi bermakna terhadap 1 aspek fungsional yaitu physical function (r=0,378; p=0,003) dan 2 aspek gejala yaitu opening mouth (r=-0,325; p=0,01) dan dyspnea (r=-0,257; p=0,045). Meskipun tidak signifikan secara statistik, namun PNI memiliki arah korelasi yang positif terhadap aspek fungsional lainnya dan memiliki arah korelasi negatif terhadap aspek gejala lainnya yang berarti semakin tinggi PNI maka aspek fungsional semakin baik dan gejala semakin ringan. Studi ini tidak menemukan adanya korelasi bermakna antara asupan protein, baik kualitas maupun kuantitasnya, terhadap PNI. Hasil ini diduga berkaitan dengan penemuan bahwa sebagian besar penderita masih memiliki pola asupan yang mampu mencukupi kebutuhan kalori dan protein harian. Diperlukan studi prospektif yang menelusuri aspek prognostik kanker kepala leher dari segi kualitas hidup untuk mengetahui apakah PNI dapat memprediksi aspek kualitas hidup dengan lebih rinci.

Quality and quantity of protein intake has not been well understood that it can affect quality of life. Moreover, Prognostic Nutritional Index (PNI) also has not been well studied upon its usage to reflect quality of life of head and neck cancer patients undergoing radiotherapy. This cross sectional study was aimed to determine the correlation between protein intake and PNI and also the correlation between PNI and quality of life in head and neck cancer patients undergoing radiotherapy at Radiotherapy Department, dr. Cipto Mangunkusumo General Hospital, Jakarta. Total of 61 subjects were recruited with consecutive sampling method with mean age of 46,3 ± 12,4 years old and 65,6% subjects were on stage IV cancer and were getting a combination of chemo and radiotherapy. Only 32,8% subjects were on low nutritional status. Median of total protein intake was 1,42 (0,26-4,11) g/kg/day. Median of PNI was 45,9 (29,4-54,2) among subjects. The result of the study showed a significant correlations between quanitity of protein intake based on semiquantitative Food Frequency Questionnaire (FFQ) with several aspects of quality of life, that were pain (head and neck) (r=-0,32; p=0,01), swallowing (r=-0,37; p=0,004), social eating (r=-0,29; p=0,02), dry mouth (r=-0,41; p=0,001), sticky saliva (r=-0,32; p=0,01), fatigue (r=-0,28; p=0,03), nausea and vomiting (r=-0,26; p=0,04) dan appetite loss (r=-0,3; p=0,01). This aspects were all symptomatics. PNI was significantly correlated with 1 functional aspect, which was Physical function (r=0.378; p=0,003) and 2 symptomp aspects, which were opening mouth (r=-0,325; p=0,01) dan dyspnea (r=-0,257; p=0,045). Although not statistically significant, but there were positive direction of correlation with other functional aspects and negative direction of correlation with other symptomps aspects. This implicates that the higher the PNI, the lower the symptoms and the better the functional status of head and neck cancer patients undergoing radiotherapy. This study did not show a significant correlation between quality and quantity of protein intake with PNI. An adequate intake of calorie and protein in most subjects were found in this study which might explain the result. More studies, preferably prospective one, may be needed to show the usage of PNI to reflect quality of life, especially involving quality of life progresivity."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T58573
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kwan Francesca Gunawan
"Malnutrisi sering dialami oleh pasien kanker dan dapat menyebabkan penurunan kualitas hidup. Oleh karena itu, identifikasi awal pasien yang berisiko malnutrisi harus dilakukan pada semua pasien kanker, namun hingga saat ini, belum ada baku emas alat skrining yang digunakan di bagian rawat jalan radioterapi. Penelitian ini merupakan studi potong lintang yang dilakukan untuk membandingkan skrining malnutrisi Malnutrition Screening Tool (MST) dan Abridged Patient-Generated Subjective Global Assessment (abPG-SGA) pada 144 pasien kanker yang akan menjalankan radioterapi di RSUPNCM, dengan Patient- Generated Subjective Global Assessment (PG-SGA) sebagai baku emas. Didapati sebanyak 41% pasien berisiko malnutrisi (PG-SGA). Skrining MST dinilai mudah dan cepat dengan rerata waktu pengerjaan 21 detik, dan memiliki nilai sensitivitas 84,75%, spesifisitas 77,65%, nilai prediksi positif (NPP) 0,73, nilai prediksi negatif (NPN) 0,88, dan nilai area under the ROC curve (AUC) 0,812. Skrining abPG-SGA memiliki sensitivitas 98,31%, spesifisitas 92,94%, NPP 0,91, NPN 0,99, AUC 0,956, dan rerata waktu pengerjaan 2 menit 24 detik. Kesimpulan yang dapat diambil adalah abPG-SGA merupakan alat skrining yang lebih baik dan akurat untuk digunakan di bagian rawat jalan radioterapi.

Malnutrition is common among cancer patients and can lead to decreased quality of life. Therefore, early identification of patients at risk of malnutrition should be performed in all cancer patients, but until now, there is no gold standard of nutrition screening tool that should be used in outpatient radiotherapy setting. This study was a cross-sectional study conducted to compare Malnutrition Screening Tool (MST) and Abridged Patient-Generated Subjective Global Assessment (abPG-SGA) as nutrition screening tools in 144 radiotherapy outpatients against Patient-Generated Subjective Global Assessment (PG-SGA) as the gold standard. Forty-one percent of patients were at risk of malnutrition (PG- SGA). The MST was a simple and quick tool with an average of 21 seconds. It had 84.75% sensitivity, 77.65% specificity, positive predictive value (PPV)=0.73, negative predictive value (NPV)=0.88, and area under the ROC curve (AUC)=0.812. The abPG-SGA yielded 98.31% sensitivity, 92.94% specificity, PPV=0.91, NPV=0.99, AUC=0.956, and it took an average of 2 minutes 24 seconds. In conclusion, the abPG-SGA is a better and more accurate screening tool in outpatient radiotherapy setting.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>