Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 230207 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Aruan, Rompu Roger
"Latar Belakang : Frambusia adalah infeksi yang disebabkan oleh spirochetes, yaitu Treponema pallidum subspesies pertenue. Penyakit ini merupakan jenis infeksi non venereal kronis dan menular terutama pada anak-anak dengan usia di bawah 15 tahun. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia mencatat sebanyak 7.400 kasus frambusia baru dalam periode Oktober 2008 - Oktober 2009 di propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Diagnosis frambusia sangat memerlukan pemeriksaan serologis sehingga diperlukan metode pemeriksaan yang sederhana, cepat, dan akurat. Rapid Plasma Reagin (RPR) merupakan pemeriksaan penunjang serologis akurat, ekonomis, cepat, dan dapat diulang dengan hasil yang sama.
Tujuan : Mengetahui sensitivitas, spesifisitas, nilai prediksi positif (NPP), dan prediksi negatif (NPN) RPR sebagai penunjang serologis untuk diagnosis frambusia dibandingkan dengan TPHA sebgai baku emas diagnostik frambusia pada anak usia 1-5 tahun.
Subyek dan metode : Penelitian ini merupakan uji diagnostik. Subyek penelitian (SP) adalah sebagian dari anak berusia 1 - 5 tahun di kecamatan Kodi dan Kodi Utara, kabupaten Sumba Barat Daya, NTT. Sejumlah 168 SP telah dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pengambilan spesimen darah. Serum didapatkan melalui proses sentrifugasi pada setiap spesimen yang kemudian disimpan dalam keadaan beku. Pemeriksaan RPR dilakukan di laboratorium poliklinik Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin. Pemeriksaan TPHA dilakukan di Departemen Patologi Klinik RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta.
Hasil : Nilai sentivitas RPR sebesar 77,8%, nilai spesifitas sebesar 94,7%, NPP sebesar 63,6%, NPN sebesar 97,3%, dan nilai akurasi 92,9%. Lokasi lesi yang paling sering didapatkan adalah di tungkai bawah 85,71%. Jenis lesi kulit yang paling sering didapatkan adalah ulkus 42,85%.
Kesimpulan : Dengan hasil-hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa pemeriksaan RPR pada anak usia 1 - 5 tahun sebagai pemeriksaan penunjang serologis dalam menegakkan diagnosis frambusia. Jenis dan lokasi lesi tersering yang ditemukan adalah ulkus dan tungkai bawah.

Background : Yaws is an infection caused by spirochetes, which is Treponema pallidum subspecies pertenue. Yaws is an infectious and chronic non-venereal disease, affecting mostly children between one and five years old. The Indonesian Ministry of Health reported 7,400 new cases of yaws in Nusa Tenggara Province (NTT) between October 2008 and October 2009. Diagnostic of yaws requires serological diagnostic tools. Hence, a simple, accurate and fast was needed. Rapid Plasma Reagin (RPR) was used as a serological diagnostic tool because RPR is considered to be an accurate, fast, cheap, and reliable tool.
Objective : to measure sensitivity, specificity, Positive Prediction Value (PPV), and Negative Prediction Value (NPV) of RPR as a serological diagnostic tool for yaws in children between one and five years old.
Subjects and method : randomized, diagnostic study was conducted among children between one and five years old in Kodi and Kodi Utara sub-districts of Sumba Barat Daya district , NTT province. Anamnesis, physical examination, and blood samples were collected from 168 subjects. Serum was obtained via the centrifugation of each blood sample, after which it was stored in below zero temperature. RPR test was conducted in an outpatient laboratory at the Department of Dermato-venereology while TPHA test was done at the Department of Clinical Pathology at dr. Cipto Mangunkusumo general hospital.
Result : RPR sensitivity result is 77,8%, specificity result is 94,7%, PPV is 63,6%, NPV is 97,3%, accuracy is 92,9%. Lower extremities are the most affected site in 85,71% subjects. Ulcers (42,85%) are the most common skin lesion recorded in this study.
Conclusion : Based from this results, RPR test is a useful serological diagnostic tool for yaws in children between one and five years old. Lower extremities are the most affected site with ulcers as the most common skin lesion recorded.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Joses Saputra
"Indonesia saat ini merupakan penyumbang terbesar kasus frambusia di Asia Tenggara. Untuk mendukung eliminasi frambusia di Indonesia dibutuhkan uji diagnosik yang dapat mendiagnosis frambusia secara cepat, mudah, akurat sehingga uji tersebut dapat dipakai sebagai bagian dari survei komunitas. Uji diagnostik yang ada saat ini membutuhkan pemeriksaan serologi rapid plasma reagin (RPR)/veneral disease research laboratory (VDRL) sehingga akan menimbulkan kesulitan karena mayoritas kasus frambusia ditemukan di daerah terpencil yang tidak memiliki fasilitas laboratorium lengkap. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan nilai diagnostik dari rapid diagnostic test (RDT) Chembio Dual Path Platform® (DPP) Syphilis Screen and Confirm dalam mendiagnosis frambusia pada anak usia 2 - 15 tahun di Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur. Pemeriksaan RDT DPPÒ, RPR, dan treponema pallidum haemagglutination assay (TPHA) dilakukan pada setiap subjek penelitian. Sebanyak 197 subjek berpartisipasi dalam penelitian ini. Nilai sensitivitas, spesifisitas, nilai duga positif, dan nilai duga negatif garis non-treponemal RDT DPPÒ adalah tidak dapat dinilai, 73.6% (IK 95% 66.87- 79.61), 0%, dan 100%. Nilai sensitivitas, spesifisitas, nilai duga positif, dan nilai duga negatif garis treponemal RDT DPPÒ adalah 0%, 94.7% (IK 95% 90.63-97.47), 0%, dan 97.3% (IK 95% 97.24-97.41). Proporsi kasus frambusia, baik kasus konfirmasi maupun laten, berdasarkan pemeriksaan RPR dan TPHA adalah 0%. Berdasarkan hasil penelitian ini, kemampuan RDT DPPÒ untuk diagnosis kasus frambusia tidak dapat disimpulkan karena tidak ditemukan kasus aktif frambusia.

Indonesia is currently the largest contributor to yaws cases in Southeast Asia. To support yaws elimination in Indonesia, a diagnostic test that can diagnose yaws quick, easy, and accurate is needed so that the test can be used as part of a community survey. Current diagnostic tests require serologic rapid plasma reagin (RPR)/veneral disease research laboratory (VDRL) test, which will cause difficulties because the majority of yaws cases are found in remote areas that do not have complete laboratory facilities. This research aims to determine the diagnostic value of the rapid diagnostic test (RDT) Chembio Dual Path Platform® (DPP) Syphilis Screen and Confirm for diagnosing yaws in children aged 2 - 15 years in Alor, East Nusa Tenggara. RDT DPPÒ, RPR, and treponema pallidum haemagglutination assay (TPHA) test were performed on each subject. Total of 197 subjects participated in this study. The sensitivity, specificity, positive predictive value, and negative predictive value of the non-treponemal RDT DPPÒ line were unassessable, 73,6% (95% CI 66,87-79,61), 0%, and 100%. The sensitivity, specificity, positive predictive value, and negative predictive value of the treponemal RDT DPPÒ line were 0%, 94,7% (95% CI 90,63-97,47), 0%, and 97,3% (95% CI 97,24-97,41). The proportion of confirmed cases of yaws based on RPR and TPHA test was 0%. Based on the results of this study, the ability of RDT DPPÒ for the diagnosis of yaws cases cannot be concluded because there was no active yaws cases were found."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Reza Damayanti
"Di Indonesia, masalah gizi buruk masih sangat memprihatinkan dan salah satu daerah dengan status gizi buruk terbanyak adalah Nusa Tenggara Timur NTT. Salah satu desa di NTT yang juga merupakan desa miskin dan sulit air adalah Desa Pero Konda di Sumba Barat Daya. Oleh karena itu, diduga banyak kejadian kekurangan gizi pada daerah tersebut sehingga perlu dilakukan penelitian. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan status gizi dengan asupan protein pada anak usia 2-12 tahun di Desa Pero Konda. Desain penelitian ini adalah potong lintang analitik. Data yang digunakan adalah data primer. Data diambil melalui pengukuran berat badan dan tinggi badan, serta dengan bantuan instrumen kuesioner food recall 24 jam. Status gizi ditentukan berdasarkan Kurva CDC-2000 dengan indeks berat badan menurut usia BB/U, tinggi badan menurut usia TB/U, dan berat badan menurut tinggi badan BB/TB. Setelah itu, data diolah dengan SPSS versi 20 dan dianalisis dengan uji chi-square. Terdapat 99 responden pada penelitian ini. Hasilnya menunjukkan terdapat 52 orang responden perempuan 52,5 dan 47 orang responden laki-laki 47,5. Dari hasil pengukuran status gizi berdasarkan indeks BB/U, TB/U, dan BB/TB didapatkan 57 responden 57,6 berperawakan kurus, 33 responden 33,3 berperawakan pendek, dan 34 responden 34,3 memiliki status gizi kurang. Sebanyak 34 responden 34,3 memiliki asupan protein yang cukup dan 65 responden 65,7 memiliki asupan protein kurang. Berdasarkan anamnesis food recall, asupan protein terbanyak didapat dari protein hewani cumi dan ikan. Pada uji chi-square, tidak terdapat perbedaan bermakna antara kecukupan asupan protein dengan status gizi berdasarkan indeks BB/U, TB/U, dan BB/TB. Disimpulkan, status gizi pada anak di Desa Pero Konda tergolong kurang dan tidak terdapat hubungan yang bermakna secara statistik dengan asupan protein.

In Indonesia, undernourished is still become a concern problem and province which has the most undernourished children is Nusa Tenggara Timur NTT. One of its village where poverty and lack of water are common is Pero Konda at Sumba Barat Daya. Based on the data, a study needs to be done. This study aims to evaluate the association between protein intake with the nutritional status of children age 2-12 years old in Pero Konda. Analytic cross sectional studies using primary data was used in this study. The weight and height of the children were measured, and the 24 hour food recall was gathered through questionnaire. Nutritional statuses were assessed using curve of CDC 2000 grow chart with weighth for age index W/A, height for age index H/A, and weight for height index W/H. After that, the data processed using SPSS version 20 and analyzed with chi square test. There were 99 respondent in this study. The results showed there were 52 girl respondents 52,5 and 47 boy respondents 47,5. Based on the results of nutritional statusses rsquo measures using W/A, H/A, and W/H index, there were 57 respondent 57,6 wasting, 33 respondent 33,3 stunting, and 34 respondent 34,3 undernourished. A total of 34 respondents 34,3 had adequate protein intake and 65 respondents 65,7 have poor protein intake. Based on the anamnesis food recall, the highest protein sources were from animal protein squid and fish. In the chi square test, there are no significant differences between the protein intake and nutritional status based on W/A, H/A, and W/H index. In conclusion, the nutritional status of children in Pero Konda was considered undernourished and there was no statistically significant association with protein intake."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
S70358
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Barros, Terlinda da C.
"Tesis ini membahas kemampuan alat uji rapid test Hexagon Syphilis menggunakan spesimen whole blood dan serum dibandingkan dengan Treponema Pallidum Hemagglutination Assay (TPHA) dalam mendeteksi frambusia pada anak usia 1-14 tahun di distrik Dili dan Manatuto, Timor Leste. Penelitian ini merupakan uji diagnostik dengan rancangan potong lintang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemeriksaan rapid test Hexagon Syphilis menggunakan spesimen fingerprick whole blood sebagai pemeriksaan penunjang serologis mampu mendeteksi frambusia pada anak usia 1-14 tahun dengan nilai sensitifitas fingerprick whole blood sebesar 95%, spesifisitas 99,17%, Nilai Duga Positif (NDP) sebesar 86,36%, Nilai Duga Negatif (NDN) sebesar 99,72%.

The aim of this study was to measure the performance of rapid test Hexagon Syphilis® using whole blood and serum specimens compared to Treponema Pallidum Hemagglutination Assay (TPHA) in detecting yaws in children age 1-14 years old. This is a diagnostic study with cross-sectional design. The results of the performance of rapid test Hexagon Syphilis® from fingerprick whole blood was: sensitivity 95%, specificity 99,17%, Positive Predictive Value (PPV) of 86,36, Negative Predictive Value (NPV) of 99,72%.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rani Rachmawati
"Latar belakang: Frambusia banyak ditemukan di negara tropis dan 75% kasus baru terdeteksi pada anak kurang dari 15 tahun. Diagnosis klinis sulit karena dapat menyerupai lesi penyakit lain. Namun pada praktiknya, diagnosis lebih sering ditegakkan berdasarkan temuan klinis dan epidemiologis, karena pemeriksaan serologis dianggap tidak praktis.
Tujuan: Mengetahui kesesuaian gambaran klinis frambusia menurut pedoman WHO dengan kepositivan TPHA pada anak usia 1-12 tahun.
Metode: Uji deskriptif. Subyek penelitian dilakukan pemeriksaan klinis sesuai lesi frambusia menurut WHO, lalu dikategorikan sebagai terduga frambusia dan bukan frambusia. Seluruh subyek dikonfirmasi dengan pemeriksaan TPHA. Dihitung besar kesesuaian keseluruhan, kesesuaian positif, dan negatif antara dugaan klinis dan TPHA.
Hasil: Total subyek penelitian adalah 493 anak. Sebanyak 32 subyek terduga klinis frambusia dan 22 subyek dengan hasil TPHA positif. Proporsi kesesuaian keseluruhan antara gambaran klinis WHO dan TPHA adalah 90,67%, dengan proporsi kesesuaian positif 18,18%, dan proporsi kesesuaian negatif 94,06%.
Kesimpulan: Nilai kesesuaian keseluruhan yang tinggi disebabkan karena kepositivan TPHA sangat kecil dibandingkan total subyek. Kepositivan gambaran klinis frambusia menurut WHO hanya memiliki kesesuaian sebesar 18,18% dengan pemeriksaan TPHA, sehingga tidak cukup sebagai sarana penapisan penyakit. Tidak ditemukannya gambaran klinis menurut WHO memiliki kesesuaian sebesar 94,06% dengan TPHA yang negatif.

Background: Yaws is most prevalent in tropical countries and 75% of new cases are in children younger than 15 years. Clinical diagnosis can be confused with other skin diseases. However, physician often diagnose the disease based on clinical and epidemiological finding, because serological examination is impractical.
Aim: To identify the conformity of yaws’ clinical manifestation based on WHO classification and TPHA in children age 1-12 years.
Method: Descriptive study. All subjects were examined based on WHO classification, and then categorized as suspected or nonsuspected cases. TPHA were done to all subjects. Data collected were calculated to identify the proportion of overall agreement, positive percent agreement and negative percent agreement between clinical diagnosis and TPHA.
Result: 493 subjects included in this study. There were 32 subjects with suspected yaws and 22 with reactive TPHA. The proportion of overall agreement between suspected case and TPHA were 90,67%, with positive percent agreement of 18,18%, and negative percent agreement of 94,06%.
Conclusion: The high value of overall agreement can be due to rare case compared to total subjects. The positiveness of yaws’ clinical manifestation based on WHO classification only had the conformity of 18,18% with TPHA result, which means that clinical diagnosis alone is nonreliable as screening tool. The negativeness of the clinical manifestation had the conformity of 94.06% with TPHA result.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rahma Evasari
"Sifilis merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh Treponema pallidum subspesies pallidum (T. pallidum), merupakan penyakit kronis dan bersifat sistemik. Sifilis merupakan penyakit yang progresif dengan gambaran klinis aktif (stadium primer, sekunder, dan tersier) serta periode tidak bergejala (sifilis laten). Sifilis masih merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia dengan 80-90% kasus baru terjadi di negara berkembang dengan sedikit atau tidak ada akses diagnostik. Sejumlah besar sifilis tidak bergejala. Akibatnya, sebagian sifilis tidak terdiagnosis dan tidak mendapatkan tatalaksana yang baik, sehingga berpotensi menimbulkan gejala sisa serius, manifestasi sifilis tersier, kardiovaskular, neurologik, oftalmologik, otologik, dan berlanjutnya rantai penularan. Penelitian ini bertujuan untuk menilai kemampuan rapid Test STANDARD Q Syphilis Ab dengan menggunakan spesimen serum dan darah kapiler dibandingkan dengan TPHA dalam mendeteksi sifilis pada populasi risiko tinggi yang terdiri atas waria, lelaki yang berhubungan seksual dengan lelaki, dan wanita penjaja seks di Puskesmas Kecamatan Pasar Rebo, Jakarta Timur. Penelitian ini adalah uji diagnostik dengan dengan rancangan studi potong lintang. Hasil penelitian menggunakan spesimen serum memberikan hasil sensitivitas 91,30%, spesifisitas 97,53%, nilai duga positif 95,45%, nilai duga negatif 95,18%, dan akurasi 95,28% dibandingkan dengan TPHA sebagai baku emas. Hasil pengujian dengan spesimen darah kapiler memberikan hasil sensitivitas 84,78%, spesifisitas 98,77%, nilai duga positif 97,50%, nilai duga negatif 91,95%, dan akurasi 93,70% dibandingkan dengan TPHA sebagai baku emas. Kesesuaian hasil rapid test STANDARD Q Syphilis Ab antara spesimen serum dan darah kapiler sangat baik (κ = 0,8223). Rapid test STANDARD Q Syphilis Ab dapat dijadikan alternatif uji treponemal dalam menunjang diagnosis sifilis, baik sebagai penapisan rutin maupun konfirmasi hasil uji nontreponemal serta penggunaan spesimen darah kapiler dapat dijadikan alternatif uji treponemal yang lebih cepat dan mudah dilakukan.

Syphilis is a chronic and systemic disease caused by Treponema pallidum subspecies pallidum (T. pallidum). Syphilis is a progressive disease with active clinical features (primary, secondary, and tertiary syphilis) and asymptomatic periods (latent syphilis). Syphilis is still a worldwide health problem with 80-90% of new cases occurring in developing countries with little or no diagnostic access. A large number of syphilis are asymptomatic. As a result, some syphilis is undiagnosed and does not get good management, potentially causing serious sequelae, the manifestation of tertiary syphilis, cardiovascular, neurologic, ophthalmologic, otologic, and continuous chain of transmission. This study aimed to assess STANDARD Q Syphilis Ab's rapid test capability using serum and fingerprick whole blood specimens compared with TPHA in detecting syphilis in high-risk populations comprised of transgenders, men who have sex with men, and female sexual workers in Puskesmas Pasar Rebo. This study is a diagnostic test with a cross sectional study design. The results of this study using serum specimens were sensitivity of 91.30%, specificity of 97.53%, positive predictive value 95.45%, negative predictive value of 95.18%, and accuration 95.28%, compared to TPHA as the gold standard. Test results with fingerprick whole blood specimens gave sensitivity of 84.78%, specificity of 98.77%, positive predictive value of 97.50%, negative predictive value of 91.95%, and accuration 93.70%, compared to TPHA as the gold standard. Compatibility of rapid test STANDARD Q Syphilis Ab results between serum and fingerprick whole blood specimens was very good (κ = 0.8223). Rapid test STANDARD Q Syphilis Ab can be used as an alternative treponemal test in supporting syphilis diagnosis, either as routine screening or confirmation of nontreponemal test result and the use of fingerprick whole blood specimen can be used as treponemal test alternative which is faster and easier to do.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Panji Wiratama Natsir
"Masalah gizi buruk di Indonesia merupakan masalah yang belum terselesaikan
dan salah satu daerah dengan status gizi buruk tertinggi adalab NTT. Salah satu desa di NTT adalah Desa Pero Konda di Sumba Barat Daya yang terletak di tepi pantai. Desa ini merupakan desa yang miskin dan sulit air. Berdasarkan data dari BPS, rata-rata jumlah anggota kelarga di NTT pada tabun 2014 adalah 4,7 sehingga dianggap setiap keluarga memiliki dua orangtua dan tiga anak.
Berdasarkan hal tersebut dipikirkan adakah hubungan antara kejadian gizi kurang maupun gizi buruk dengan jumlab anak dalam keluarga. Penelitian iill bertujuan untuk mengetahui hubungan status gizi dengan jumlab anak dalam keluarga pada anak dengan usia 2-12 tahun di Desa Pero Konda. Desain penelitian adalab potong lintang analitik menggunakan data primer. Pengambilan data dilakukan melalui pengukuran berat badan dan tinggi badan dan wawancara orangtua melalui kuesioner. Status gizi ditentukan dengan indeks berat badan menurut usia (BBIU), tinggi badan menurut usia (TBIU), dan be rat badan menurut tinggi badan (BBfTB) yang dihitung berdasarkan kurva Staturefor-age and weight for-age percentiles CDC-2000. Data diolah dengan SPSS versi 20 dan dianalisis dengan uji chi-square. Besar sampel adalah III responden. Hasil didapatkan dalam satu keluarga sebagian besar memiliki anak 3-4 orang pada masing-masing 13 keluarga. Pada uji chi-square, tidak terdapat perbedaan berrnakna antara jumlah anak dalam satu keluarga dengan status gizi berdasarkan indeks BBIU, TBIU, dan BBfTB. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa status gizi anak di Desa Pero Konda kurang dan tidak terdapat hubungan yang bermakna secara statistik dengan jumlab anak dalam keluarga."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
S70309
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vinia Ardiani Permata
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2008
T59078
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Christianto
"Pendahuluan Fascioliasis merupakan infeksi parasit Fasciola hepatica dan Fasciola gigantica yang tergolong infeksi tropis yang terabaikan, tetapi mulai mendapatkan perhatian di seluruh dunia. Data prevalensi fascioliasis manusia di Indonesia masih minim dan hubungannya dengan usia maupun jenis kelamin masih belum jelas. Studi ini bertujuan untuk mengetahui hubungan usia dan jenis kelamin terhadap seroprevalensi fascioliasis manusia di Desa Karang Indah, Kabupaten Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur.
Metode Seratus sepuluh sampel plasma yang dipilih secara acak, berasal dari penduduk Desa Karang Indah. Antibodi IgG anti-FhSAP2 dideteksi pada sampel plasma menggunakan ELISA. Usia dan jenis kelamin merupakan data sekunder. Usia dikelompokkan berdasarkan 2 kategori (anak dan dewasa) dan 4 kategori (5- 10, 11-20, 21-35, dan >35 tahun).
Hasil Studi ini menunjukkan bahwa seroprevalensi fascioliasis manusia di Desa Karang Indah sebesar 10,9%. Seroprevalensi fascioliasis tertinggi pada kelompok anak (14%) terutama pada usia 11-20 tahun (14,3%) dan terendah pada usia di atas 35 tahun (4,3%) walaupun tidak ditemukan perbedaan signifikan antar kelompok usia. Kelompok laki-laki (14,9%) memiliki seroprevalensi fascioliasis lebih tinggi, tetapi tidak berbeda bermakna dengan kelompok perempuan (7,9%). Kesimpulan Temuan pada studi ini menunjukkan bahwa usia dan jenis kelamin tidak berhubungan secara signifikan dengan seroprevalensi fascioliasis di Desa Karang Indah. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mencari faktor-faktor lain yang dapat berpengaruh terhadap seroprevalensi fascioliasis seperti perilaku, budaya, sanitasi, dan diet.

Introduction Fascioliasis is a parasitic infection caused by Fasciola hepatica and Fasciola gigantica which is classified as a neglected tropical disease, but it has recently gained significant attention all over the world. Data on the prevalence of human fascioliasis in Indonesiais lacking and its association with age and gender is still unclear. This study aims to determine the association between age and gender with the seroprevalence of human fascioliasis in Karang Indah Village, Southwest Sumba District, East Nusa Tenggara
Methods One hundred and ten plasma samples were randomly selected from villagers of Karang Indah. Anti-FhSAP2 IgG antibodies in plasma samples were detected with ELISA. Age and gender were obtained as secondary data. Age was grouped into 2 categories (children and adult) and 4 categories (5-10, 11-20, 21- 35, and >35 years).
Results This study demonstrated that the seroprevalence of human fascioliasis in Karang Indah Village was 10.9%. The highest seroprevalence was in children (14%) especially in the age group of 11-20 years old (14.3%), and lowest in the age group above 35 years old (4,3%); however no significant differences were found between the age groups. The males (14,9%) had a higher seroprevalence, but it was not significantly different from the females (7.9%).
Conclusion The findings in this study suggested that age and sex were not significantly related to the seroprevalence of human fascioliasis in Karang Indah Village. Further study is needed to find other factors that may affect seroprevalence of fascioliasis such as behaviour, culture, sanitation, and diet.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Davin Nathan Wijaya
"Pendahuluan: Toksokariasis adalah penyakit yang disebabkan oleh cacing parasit Toxocara canis dan Toxocara cati dengan inang definitif anjing dan kucing domestik. Infeksi pada manusia terjadi melalui ingesti telur matang. Manifestasi klinis toksokariasis meliputi visceral larva migrans dan ocular larva migrans. Nusa Tenggara Timur merupakan daerah yang berisiko terhadap infeksi Toxocara karena populasi anjing yang cukup tinggi. Namun, belum terdapat penelitian mengenai seroprevalensi toksokariasis di daerah ini. Selain itu, penelitian mengenai hubungan antara usia dan jenis kelamin dengan seroprevalensi toksokariasis juga menunjukkan hasil yang tidak konsisten. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan mengetahui seroprevalensi toksokariasis dan hubungannya dengan usia dan jenis kelamin di Desa Karang Indah, Kabupaten Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur.
Metode: Sebanyak 110 sampel plasma dipilih secara acak dari sampel darah penduduk Desa Karang Indah yang dikumpulkan pada bulan Oktober 2016 – Desember 2016. Sampel plasma yang terpilih diuji menggunakan ELISA untuk mendeteksi antibodi IgG anti rTc-CTL-1 dengan hasil berupa nilai absorbansi (OD). Data sekunder, berupa usia dan jenis kelamin, didapat dari Tim Peneliti Departemen Parasitologi FKUI. Data usia dikelompokkan ke dalam dua kategori (anak-anak dan dewasa) dan empat kategori (5-10, 11-20, 21-35, dan >35 tahun).
Hasil: Penelitian ini menunjukkan seroprevalensi toksokariasis di Desa Karang Indah sebesar 80,91%. Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara usia dan jenis kelamin dengan seroprevalensi toksokariasis (p>0,05). Seroprevalensi toksokariasis tertinggi terdapat pada kelompok usia >35 tahun (91,3%) dan terendah pada kelompok 11-20 tahun (52,4%). Kelompok jenis kelamin laki-laki memiliki seroprevalensi toksokariasis yang lebih tinggi (85,1%) daripada perempuan (77,8%).
Kesimpulan: Seroprevalensi toksokariasis di Desa Karang Indah tergolong tinggi. Usia dan jenis kelamin tidak berpengaruh terhadap seroprevalensi toksokariasis. Penelitian lebih lanjut perlu dilakukan untuk mengidentifikasi faktor-faktor risiko selain usia dan jenis kelamin.

Introduction: Toxocariasis is a disease caused by parasitic worms, Toxocara canis and Toxocara cati, with domestic dogs and cats as the definitive hosts. Human infections occur through ingestion of mature eggs. Clinical manifestations of toxocariasis include visceral larva migrans and ocular larva migrans. East Nusa Tenggara is an area that is at risk of Toxocara infection because the dog population is quite high. However, there has been no study regarding the seroprevalence of toxocariasis in this area. In addition, the researches on the association between age and gender with the seroprevalence of toxocariasis also showed inconsistent results. Therefore, this study aimed to determine the seroprevalence of toxocariasis and its association with age and gender in Karang Indah Village, Southwest Sumba Regency, East Nusa Tenggara.
Method: A total of 110 plasma samples were randomly selected from blood samples of people in Karang Indah Village collected between October 2016 – December 2016. Selected plasma samples were tested using ELISA to detect anti- rTc-CTL-1 IgG antibodies with the results in the form of absorbance values (OD). Age and gender as secondary data were obtained from the Research Team of the Parasitology Department of FMUI. Age data are grouped into two categories (children and adults) and four categories (5-10, 11-20, 21-35, and >35 years of age).
Result: This study showed that the seroprevalence of toxocariasis in Karang Indah Village was 80.91%. There was no significant association between age and gender with the seroprevalence of toxocariasis (p>0.05). The highest seroprevalence of toxocariasis was found in the age group of >35 years (91.3%) and the lowest in the 11-20 years group (52.4%). The males had a higher seroprevalence of toxocariasis (85.1%) than women (77.8%).
Conclusion: The seroprevalence of toxocariasis in Karang Indah Village was high. Age and gender had no effect on the seroprevalence of toxocariasis. Further research needs to be done to identify risk factors besides age and gender.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>