Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 223813 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Meidianie Camelia Sutrisna
"Pendahuluan: Kejang pascaoperasi merupakan salah satu komplikasi pascakraniotomi tumor. Prevalensinya antara 4 - 20%, dan paling banyak muncul satu minggu pascaoperasi. Penambahan obat fenitoin pada pemberian obat levetiracetam untuk mengendalikan kejang pascaoperasi belum pernah ditelilti.
Tujuan: Untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan antara kelompok yang mendapatkan levetiracetam dengan dan tanpa penambahan fenitoin dalam hal kejadian kejang pascaoperasi, efek samping, peningkatan dosis steroid, serta gambaran faktor risiko kejang pascaoperasi.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian pendahuluan menggunakan metode uji klinis. Pasien dirandomisasi dan dikelompokkan menjadi kelompok yang mendapatkan levetiracetam saja dan levetiracetam dengan fenitoin. Diobervasi selama 7 hari pascaoperasi, apakah terdapat kejang, efek samping, dan peningkatan dosis steroid. Pada kelompok yang mendapatkan fenitoin, kadar fenitoin dalam darah diukur pada hari ke-7.
Hasil: Manfaat penambahan fenitoin pada pemberian levetiracetam masih belum bisa dinilai karena jumlah sampel masih sedikit. Efek samping lebih banyak ditemukan pada kelompok yang mendapatkan penambahan fenitoin.

Introduction: Postoperative seizure is one of complications of brain tumor surgery. Prevalence is 4-20% and mostly occurred in the first postoperative week. The beneficial of giving add on phenytoin to levetiracetam has never been studied before.
Aims: To determine the difference of postoperative seizure incidence, side effect, elevation of steroid dose, and risk factors profile in both groups, the levetiracetam group and levetiracetam with add on phenytoin group.
Methods: This is a pilot study with clinical trial design. Patients were randomized and allocated into two groups, levetiracetam group and levetiracetam with add on phenytoin group. Observation was done in 7 postoperative days. Any incidence of postoperative seizures, drug side effects, and elevation of steroid dose was noted. In group receiving phenyotin, the blood level of phenytoin was measured on the 7th day.
Result: The benefit of add on phenytoin to levetiracetam therapy for postoperative seizure in brain tumor patients could not be evaluated due to small sample size. More drug related side effects were found on group receiving phenytoin.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Naura Kalista Rahlstedtia
"Latar Belakang Epilepsi adalah gangguan neurologis kronis yang memengaruhi jutaan orang di seluruh dunia, termasuk Indonesia, dengan prevalensi 8,2 per 1.000 penduduk. Kejang fokal, yang berasal dari satu area otak, menyumbang sebagian besar kasus epilepsi. Kontrol kejang yang efektif penting untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Oleh karena itu, dibutuhkan penelitian untuk mengidentifikasi hubungan antara faktor-faktor demografi, karakteristik klinis, dan pengobatan terhadap kontrol kejang pasien epilepsi onset fokal untuk mengoptimalkan pemilihan tatalaksana. Metode Penelitian ini dilakukan di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) dengan tujuan mengidentifikasi faktor-faktor demografi, karakteristik klinis, dan pengobatan yang berhubungan dengan kontrol kejang pada pasien epilepsi onset fokal. Desain penelitian ini adalah studi cross-sectional dengan analisis data sekunder dari rekam medis pasien. Hasil Dari 117 data rekam medis pasien epilepsi onset fokal di RSCM, sebagian besar pasien merupakan perempuan (64(54,7%)) dengan rerata usia 37  12,7 tahun. Sebagian besar pasien (55(47%)) memiliki kontrol kejang yang baik. Gambaran MRI normal (OR = 1,697; 95% CI: 1,134-2,538, p-value = 0,029) dan monoterapi (OR = 1,662; 95% CI: 1,149-2,403, p-value = 0,012) berhubungan secara signifikan dengan kontrol kejang yang baik pada pasien epilepsi onset fokal. Kesimpulan Karakteristik klinis berupa gambaran MRI dan pengobatan berupa jumlah obat antibangkitan ditemukan memiliki hubungan yang signifikan terhadap kontrol kejang pasien epilepsi onset fokal. Pasien epilepsi onset fokal dengan kontrol kejang yang baik berhubungan secara signifikan dengan gambaran MRI yang normal dan monoterapi.

Introduction Epilepsy is a chronic neurological impairment, affecting millions of people all around the world, including Indonesia, with the prevalence reaching 8,2 per 100.000 people. Focal seizures, which originates from one hemisphere, causes most of epilepsy cases. An effective level of seizure control is needed to improve a patient’s quality of life. Thus, a study to identify the association between demographic, clinical characteristics, and therapy factors and seizure control of focal onset epilepsy patients to optimalize therapeutic decision. Method This research will be done in RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo to identify the demographic, clinical characteristic, and therapy factors associated with seizure control of focal onset epilepsy patients. The research method used here is a cross-sectional study with secondary data analysis from the patients’ medical records. Results From 117 medical records of patients with focal onset epilepsy at RSCM, most patients were female (64 (54.7%)) with a mean age of 37 ± 12.7 years. Most patients (55 (47%)) had good seizure control. Normal MRI images (OR = 1.697; 95% CI: 1.134-2.538, p-value = 0.029) and monotherapy (OR = 1.662; 95% CI: 1.149-2.403, p-value = 0.012) were significantly associated with good seizure control in patients with focal onset epilepsy. Conclusion MRI imaging results from the patients’ clinical characteristics and the number of antiseizure medications taken shows a significant association with seizure control of focal onset epilepsy patients. Focal onset epilepsy patients with a good seizure control is associated with normal findings in MRI and monotherapy."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hutahaean, Peter Parulian Patriaganesha
"Latar belakang: Giant cell tumor of bone (GCT tulang) adalah tumor tulang lokal agresif dengan gambaran histopatologik terdiri atas kumpulan sel besar multinuklear dan proliferasi sel mononuklear di stroma. Berdasarkan data Departemen Patologi Anatomik RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, terdapat 86 kasus GCT tulang pada tahun 2016-2020. Adanya invasi limfovaskular adalah petunjuk prognosis buruk beberapa tumor. Riset ini bertujuan untuk mengetahui hubungan kejadian invasi limfovaskular dengan lokasi tumor, ukuran tumor, dan kejadian rekurensi lokal pada pasien GCT tulang di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo.
Metode: Data dari 86 kasus GCT tulang di RSUPN Dr. Cipto Mangkunkusumo pada tahun 2016-2020 diambil melalui formulir pemeriksaan patologi anatomi. Variabel bebas berupa lokasi tumor, ukuran tumor, dan kejadian rekurensi lokal diuji statistik menggunakan uji kai-kuadrat dengan variabel terikat berupa invasi limfovaskular. Hasil: Invasi limfovaskular ditemukan pada 18 (20,9%) pasien GCT tulang. Uji statistik kai-kuadrat menunjukkan hubungan tidak bermakna lokasi tumor pada ekstremitas atas (p=0,227) dan ekstremitas bawah (p=0,521) dengan invasi limfovaskular. Hubungan ukuran tumor <8 cm dengan invasi limfovaskular ditemukan tidak bermakna (p=0,956). Hubungan kejadian rekurensi lokal dengan invasi limfovaskular juga tidak bermakna (p=0,692 dengan uji Fisher).
Kesimpulan: Tidak terdapat hubungan invasi limfovaskular dengan lokasi tumor, ukuran tumor, dan kejadian rekurensi lokal pada pasien GCT tulang di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo.

Introduction:Giant cell tumor of bone is a local aggressive bone tumor with histopathologic features of multinuclear large cell aggregates and mononuclear cell proliferation in the stroma. According to data from Department of Anatomical Pathology RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, there are 86 giant cell tumor of bone cases in 2016- 2020. Lymphovascular invasion is believed to have a bad prognostic sign for some tumors. Hence, this research aims to describe the association between tumor location, tumor size, and tumor local recurrence with lymphovascular invasion in giant cell tumor of bone patients at RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo.
Method: 86 giant cell tumor of bone cases at RSUPN Dr. Cipto Mangkunkusumo in 2016-2020 were collected from anatomical pathology examination form. Independent variables being tumor location, tumor size, and tumor local recurrence are statistically tested with the dependent variable, being lymphovascular invasion. A Chi-square test was used to describe the association.
Result: Lymphovascular invasion was found in 18 (20,9%) giant cell tumor of bone patients. Chi-square test showed no association between tumor location at upper extremity (p=0,227) and lower extremity (p=0,521) with lymphovascular invasion. Association of tumor size <8 cm with lymphovascular invasion was also not found (p=0,956). Similarly, association of tumor local recurrence with lymphovascular invasion was not found (p=0,692, using Fisher’s test).
Conclusion: No association was found between tumor location, tumor size, and tumor local recurrence with lymphovascular invasion of giant cell tumor of bone patients at RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo in 2016-2020.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Prinnisa A. Jonardi
"Kejang demam, riwayat keluarga dan pencitraan merupakan faktor-faktor yang dapat memengaruhi klasifikasi epilepsi berdasarkan ILAE 1989. Penentuan jenis klasifikasi berguna untuk penatalaksanaan pasien. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data rekam medis tahun 1995-2010 Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSCM. Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan desain cross-sectional. Data diolah dengan multivariat regresi logistik. Dari hasil penelitian ini, didapat sampel sebanyak 99 orang dengan rincian laki-laki 53,4%, perempuan 46,5%. Pasien terbanyak pada kelompok umur 0-2 tahun 12 bulan (37,4%). Terdapat kebermaknaan yang signifikan pada hubungan antara pencitraan dengan klasifikasi epilepsi (p < 0,001). Tidak terdapat kebermaknaan yang signifikan terhadap hubungan antara riwayat epilepsi keluarga (p = 0,393) dan riwayat kejang demam ( p = 0,161) dengan klasifikasi epilepsi. Pencitraan merupakan faktor yang berpengaruh paling besar (OR = 16,725) terhadap penentuan jenis klasifikasi epilepsi bila dibandingkan dengan riwayat epilepsi keluarga dan riwayat kejang demam.

Febrile seizure, family history, and imaging are factors that determine the classification of epilepsy based on ILAE 1989. The classification is important to patient's treatment.This study used medical record from Pediatric Department of RSCM in 1995-2010. This study is a cross-sectional analytic. The data was proceed with multivariate logistic regression. There are 99 sample, 53.4% are male and 46.5% female. The most distribution of patient's age is in 0-3 years (37.4%). There is significant results in correlation between imaging with epilepsy classification (p<0.001) and there are less significant results between family history (p=0.393) and febrile seizure (p=0.161) with epilepsy classification. Imaging is the most powerful factor (OR = 16.725) that contribute to determine classification of epilepsy compared to family history and febrile seizure."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raisa Zalfa Meutia Abubakar
"Pendahuluan: Lesi serebral intrakranial, khususnya tumor, awalnya dapat muncul sebagai gejala oftalmik akibat adanya massa dan/atau peningkatan tekanan intrakranial yang mengganggu jalur penglihatan, jaringan mata, dan saraf. Diagnosis dini tumor otak penting untuk mencegah gangguan penglihatan dan/atau kebutaan yang tidak dapat disembuhkan. Namun, rendahnya kesadaran pasien tentang pentingnya manajemen bedah saraf yang tepat waktu sering mengakibatkan keterlambatan diagnosis dan pengobatan.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional analitik untuk mengetahui kebutaan akibat tumor otak. Data dari 54 pasien pada tahun 2020, dikelompokkan berdasarkan karakteristik demografi, dianalisis untuk mengeksplorasi hubungan antara durasi dari timbulnya gejala hingga kunjungan medis pertama dan terjadinya kebutaan pada pasien tumor otak.
Hasil: 35 (64,81%) pasien tumor otak ditemukan mengalami kebutaan. Temuan penelitian ini mengungkapkan adanya hubungan antara kebutaan pada pasien tumor otak dan durasi dari timbulnya gejala hingga kunjungan medis pertama dan konsultasi bedah saraf. Pasien yang mengalami keterlambatan dalam berkonsultasi dengan dokter layanan primer dan/atau bedah saraf sejak gejala awal menunjukkan insiden kebutaan yang lebih tinggi, hal ini menunjukkan pentingnya mencari pertolongan medis segera.
Kesimpulan: Penelitian ini menggarisbawahi pentingnya intervensi medis yang tepat waktu dan konsultasi bedah saraf khusus untuk mengurangi kejadian kebutaan di antara pasien tumor otak. Hal ini menekankan perlunya peningkatan kesadaran masyarakat, sistem rujukan yang efisien, dan pertolongan medis yang cepat untuk meringankan beban kebutaan pada populasi pasien tumor otak.

Introduction: Intracranial cerebral lesions, particularly tumours, can initially present as ophthalmic symptoms due to masses and/or elevated intracranial pressure disturbing the visual pathway, ocular tissues, and nerves. Early diagnosis of brain tumours is crucial to prevent irreversible visual impairment and/or blindness. However, low patient awareness about the importance of timely neurosurgical management often results in delayed diagnosis and treatment.
Methods: This study utilized an analytic cross-sectional design to investigate blindness related to brain tumours. Data from 54 patients in 2020, stratified by demographic characteristics, were analyzed to explore the association between the duration from symptom onset to the first medical visit and the occurrence of blindness in brain tumor patients.
Results: 35 (64.81%) brain tumour patients were found to be blind. The study findings revealed an association between blindness in brain tumour patients and the duration from symptom onset to both the first medical visit and neurosurgery consultation. Patients experiencing delays in consulting a primary care physician and/or a neurosurgeon from the initial onset of symptoms exhibited a higher incidence of blindness, highlighting the importance of seeking prompt medical attention.
Conclusion: This study underscored the critical need for timely medical intervention and specialized neurosurgical consultation to mitigate the incidence of blindness among brain tumour patients. It emphasized the necessity for increased public awareness, efficient referral systems, and prompt medical attention to alleviate the burden of blindness in patients with brain tumour.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yusi Amalia
"ABSTRAK
Latar Belakang. Kejang merupakan gejala yang sering ditemukan pada tumor primer intrakranial dan penyebab utama morbiditas terhadap pasien.Pemeriksaan EEG diperlukan untuk menentukan kesesuaian antara fokus kejang dengan lokasi tumor pada MRI yang akan menentukan prognosis kejang serta banyak faktor-faktor yang mempengaruhi kesesuaian antara fokus kejang dengan lokasi tumor. Belum adanya data mengenai kejang pada tumor primer intrakranial serta kesesuaian berdasarkan gambaran EEG dan MRI menjadi dasar dilakukannya penelitian ini. Tujuan.Mengetahui kesesuaian antara aktivitas epileptiform pada EEG dan lesi tumor dengan MRI pada pasien tumor primer intrakranial dengan klinis kejang. Metode.Desain penelitian berupa studi potong lintang (cross sectional).Subyek penelitian adalah semua pasien dengan tumor primer intrakranial yang ada di ruang rawat inap dan rawat jalan neurologi, bedah saraf, radiologi RS Cipto Mangunkusumo yang sudah dilakukan EEG dan MRI.Ditentukan aktivitas epileptiform dan dianalisa kesesuaiannya dengan lokasi tumor berdasarkan MRI. Hasil.Dari 33 subyek dengan tumor primer intrakranial dengan klinis kejang , didapatkan hanya 17 subyek yang menunjukkan aktivitas epileptiform (51,5%), perempuan lebih banyak dari lelaki, dengan rerata usia adalah 34 tahun. Sebagian besar mengalami kejang parsial dan secondary generalized seizure(SGS) merupakan tipe kejang parsial terbanyak (16 dari 17 subyek). Kejang sering ditemukan pada tumor di frontal (11 dari 17 subyek) dan pada jenis tumor primer Low grade(8 dari 17 subyek). Kesesuaian aktivitas epileptiform dengan lokasi tumor didapatkan pada 8 dari 17 subyek dengan lebih banyak yang sesuai pada lobus temporal. Kesimpulan.Dari seluruh pasien tersangka tumor primer intrakranial dengan klinis kejang hanya didapatkan 8 dari 17 subyek yang sesuai antara aktivitas epileptiform pada EEG dengan lesi tumor pada MRI.Gambaran aktivitas epileptiform pada EEG tidak dipengaruhi oleh usia, bentuk bangkitan kejang, jenis tumor, lokasi berdasarkan lobus, lokasi berdasarkan parenkim otak, durasi sakit, dan ukuran tumor.

ABSTRAT
Background.Seizures are a common symptom in primary intracranial tumors and a major cause of morbidity to the patient. EEG examination is necessary to determine the suitability of the seizure focus to the location of the tumor on MRI that will determine the prognosis of seizures as well as a lot of factors that affect compatibility between focal seizures with tumor location. The absence of data on seizures in primary intracranial tumors and suitability based on EEG and MRI picture is the basis of this study. Purpose.Knowing the correspondence between epileptiform activity on EEG and MRI tumor lesions in patients with primary intracranial tumors with clinical seizures. Method.Design research is a cross-sectional study (cross-sectional). Subjects were all patients with primary intracranial tumors that exist in the inpatient and outpatient neurology, neurosurgery, radiology Cipto Mangunkusumo already done EEG and MRI. Epileptiform activity determined and analyzed for compliance with the location of the tumor by MRI. Result. From 33 subjects with primary brain tumors with clinical seizures, obtained only 17 subjects demonstrated epileptiform activity (51.5%), more women than men, with a mean age was 34 years. Most had partial seizures and secondary generalized seizures (SGS) is a type of partial seizure majority (16 of 17 subjects). Seizures are often found in tumors in the frontal (11 of 17 subjects) and the type of primary tumor Low grade (8 of 17 subjects). Suitability of epileptiform activity by tumor location obtained in 8 of 17 subjects with more appropriate in the temporal lobe. Conclusion.From all patients suspected of primary brain tumors with clinical seizures obtained only 8 of the 17 subjects that fit between epileptiform activity on EEG with tumor lesions on MRI. Picture of epileptiform activity on EEG was not influenced by age, shape seizures, tumor type, location based lobes, based on the location of the brain parenchyma, duration of illness, and tumor size."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Virnanto Buntarja
"Latar belakang: Giant Cell Tumor of Bone (GCT tulang) adalah tumor tulang primer yang bersifat jinak-agresif dan dapat bermetastasis. Rentang usia pasien GCT tulang adalah antara 13 sampai 69 tahun. Tumor ini sering ditemukan di bagian distal femur, distal radius, dan proximal tibia. Berdasarkan tipe tulang, GCT tulang sering ditemukan pada ujung tulang panjang. Namun, GCT tulang juga dapat ditemukan pada tipe tulang lainya. Pada beberapa keganasan tulang, seperti osteosarcoma, terdapat korelasi antara usia dengan lokasi tumor. Namun, untuk GCT tulang korelasi ini masih belum diketahui. Penelitian ini bertujuan untuk melihat adanya korelasi usia dengan lokasi pada GCT tulang
Metode: Peneliti mengambil data rekam medis pasien GCT tulang di RSUPN dr.Cipto Mangunkusumo dari tahun 2016 sampai 2020. Kemudian, data usia dengan lokasi (topografi dan tipe tulang) dianalisis menggunakan tabel baris kolom.
Hasil: Pada kelompok usia 10-39 tahun ditemukan 52 kasus pada tulang apendikular dan 1 kasus pada tulang axial. Pada kelompok usia 40-69 tahun ditemukan 29 kasus pada tuang apendikular dan 4 kasus pada tulang axial. Korelasi antara usia dan lokasi topografis tidak bermakna (p>0.05). Pada kelompok usia 10-39 tahun ditemukan 49 kasus pada tipe tulang panjang dan 4 kasus pada tipe tulang lainnya. Pada kelompok usia 40-69 tahun, ditemukan 27 kasus pada tulang panjang dan 6 kasus pada tipe tulang lainnya. Korelasi antara usia dengan lokasi tipe tulang tidak bermakna (p>0.05).
Kesimpulan: Tidak ada hubungan bermakna antara usia dengan lokasi tumor (topografi dan tipe tulang) pada kasus GCT tulang

Introduction: Giant cell tumor of bone (GCTB) is a primary bone tumor with benign- aggressive behavior and capacity to metastasize. The age range for GCTB is 13 to 69 years old. GCTB is commonly in distal femur, distal radius, and proximal tibia. Based on bone type, GCTB is frequently found on meta epiphyseal site of long bone. Although, some GCTB can be found on other bone type such as flat bone, short bone, and irregular bone. In some bone neoplasms, like osteosarcoma, there is a correlation between age and tumor site. Unfortunately for GCTB, this correlation is still unknown. This study aims to determine the correlation between age and tumor site of GCTB
Method: Medical record of patients with the diagnosis of GCTB in RSUPN dr.Cipto Mangukusumo from 2016 to 2020 is included in this study. Age at diagnosis and tumor site (topographically and bone type) of patient are analyzed using cross tabulation. Result: For age group 10-39 years old, there are 52 cases of GCTB in appendicular skeleton and one case in axial skeleton. For age group 40-69 years old there are 29 cases of GCTB in appendicular skeleton and 4 cases in axial skeleton. The correlation between age and tumor topographic site is statistically not significant (p > 0.05). For the bone type, there are 49 cases of GCTB in long bone and 4 cases in other bone type for age group 10- 39 years old. For age group 40-69 years old, there are 27 cases of GCTB in long bone and 6 cases in other bone type. The correlation between age and bone type is statistically not significant (p> 0.05)
Conclusion: There are no significant correlation between age and tumor site (topographically and bone type) in GCTB
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nadia Devianca
"Latar belakang: Prevalensi ketidakpatuhan pasien pada pengobatan epilepsi cukup besar. Penyebab ketidakpatuhan terdiri dari banyak faktor, yang dapat diklasifikasikan menjadi intensional ataupun non intensional. Perilaku kepatuhan pasien dibentuk oleh bagaimana pasien melakukan representasi terhadap penyakit yang dideritanya, sehingga pengetahuan, sikap, dan perilaku (PSP) pasien epilepsi dinilai dapat berhubungan dengan kepatuhan pasien. Penelitian ini dilakukan untuk menilai hubungan tersebut.
Metode penelitian: Penelitian ini dilakukan dengan desain potong lintang. Populasinya adalah pasien epilepsi yang berobat ke poli neurologi RSUPNCM bulan Agustus – September 2022. Sampel diambil dengan cara consecutive sampling. Analisis statistik menggunakan regresi logistik.
Hasil: Rerata nilai pengetahuan sebesar 15,41+/-3,827 dengan rentang 7-35 (nilai 7 mengindikasikan ukuran pengetahuan paling baik). Median nilai sikap adalah 18 (10-27)dengan rentang 8-40 (nilai 8 mengindikasikan sikap paling baik). Median nilai perilaku adalah 10 (5-20), dengan rentang 5-25 (nilai 5 menunjukkan perilaku paling baik). Nilai kepatuhan pasien pada penelitian ini adalah 55,7%. Analisis multivariat menunjukkan bahwa semakin buruk nilai pengetahuan maka akan meningkatkan probabilitas terjadinya ketidakpatuhan sebesar 1,271 kali.
Kesimpulan: Pengetahuan mengenai epilepsi memiliki hubungan dengan kepatuhan pengobatan, sedangkan sikap dan perilaku pasien epilepsi tidak memiliki hubungan dengan kepatuhan pengobatan

Background: There was a high prevalence of patient’s non-adherence to anti-seizure medication (ASM). It caused by many factors and classified as intentional or non intentional. Patient’s adherence was formed when they represent their ilness, so knowledge, attitudes, and behavior of patient with epilepsy (PWE) are considered to be related to their adherence. This study was aimed to assess this relationship.
Methods: We conducted a cross sectional study on PWE who came to RSUPNCM Neurology outpatient clinic from August to September 2022. All consecutive patients were asked to complete the given questionnaire. We used a logistic regression for statistical analysis.
Results: The mean score of knowledge was 15,41+/-3,827 (range, 7-35), with score of 7 indicated the best knowledge. The median score of attitudes was 18, interquartile range (IQR) 10-27 (range, 8-40), with score of 8 indicated the best attitudes. The median score of behavior was 10, IQR 5-20 (range, 5-25), with score of 5 indicated the best behavior. Fifty-five-point seven percent were estimated to be adherent. The multivariate analysis showed that with the worse score of knowledge, the probability of non-adherence will increase by 1,271 times.
Conclusion: Knowledge about epilepsy has a relationship with ASM adherence, while attitude and behavior of PWE has no relationship with ASM adherence
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Arifianto
"Latar belakang: Epilepsi Rolandik adalah salah satu sindrom epilepsi terbanyak pada anak dan umumnya dianggap benign dan self-limited. Tetapi komorbiditas kognitif dan perilaku dapat ditemukan pada anak-anak dengan epilepsi yang bernama lainnya benign Rolandic epilepsy with centrotemporal spikes (BECTS) ini. Pasien epilepsi Rolandik harus dievaluasi adanya komorbiditas kognitif dan perilaku.
Tujuan: Mengetahui hubungan antara usia awitan kejang dan jumlah hemisfer yang menjadi fokus kejang dengan kemampuan kognitif dan gangguan perilaku pada anak-anak dengan epilepsi Rolandik.
Metode: Penelitian potong-lintang di sembilan RS/klinik dengan konsultan neurologi anak di Jakarta dan Banten, terhadap anak-anak berusia 6 – 12 tahun dengan epilepsi Rolandik. Penelitian meliputi anamnesis semiologi kejang, interpretasi hasil elektroensefalografi (EEG) oleh dua orang konsultan neurologi anak, dan pemeriksaan intelligence quotient (IQ) oleh psikolog.
Hasil: Nilai verbal IQ sebagai parameter kognitif berbicara/berbahasa lebih banyak bernilai  average pada subjek dengan usia awitan kejang yang lebih muda (< 6 tahun). Nilai verbal IQ < average lebih banyak didapatkan pada subjek dengan fokus gelombang kejang pada salah satu sisi hemisfer. Jumlah subjek yang mengalami gangguan perilaku berupa gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas (GPPH) dan gangguan spektrum autism (GSA) lebih banyak pada kelompok usia awitan kejang < 6 tahun dan fokus kejang hemisfer bilateral. Tidak ada hubungan yang bermakna secara statistik antara usia awitan kejang dan jumlah hemisfer yang menjadi fokus kejang dengan komorbiditas kognitif dan perilaku.
Simpulan: Anak-anak dengan epilepsi Rolandik dapat memiliki komorbiditas kognitif berupa gangguan berbicara/berbahasa dan komorbiditas perilaku berupa GPPH/GSA, dan dapat dipengaruhi oleh usia awitan kejang dan jumlah hemisfer yang menjadi fokus kejang, meskipun hubungannya tidak bermakna secara statistik.

Background: Rolandic epilepsy is one of the most common epilepsy syndromes in children and is generally considered benign and self-limited. But cognitive and behavioral comorbidities can be found in children with this epilepsy, which has another name: benign Rolandic epilepsy with centrotemporal spikes (BECTS). Rolandic epileptic patients should be evaluated for cognitive and behavioral comorbidities.
Objective: To determine the relationship between age at onset of seizures and the number of hemispheres that are the focus of seizures with cognitive abilities and behavioral disorders in children with Rolandic epilepsy.
Methods: Cross-sectional study in nine hospitals/clinics with pediatric neurology consultants in Jakarta and Banten, on children aged 6-12 years with Rolandic epilepsy. The research includes interviews on seizure semiology history, interpretation of electroencephalographic (EEG) results by two child neurology consultants, and intelligence quotient (IQ) tests performed by psychologists.
Results: The verbal IQ score as a cognitive speaking/language parameter  average was found more in subjects with younger seizure onset (<6 years). Verbal IQ < average scores were greater in subjects with seizure focus on one side of the hemisphere. The number of subjects who experienced behavioral disorders in the form of attention deficit hyperactivity disorder (ADHD) and autism spectrum disorders (ASD) was more in the age group of seizure onset < 6 years and bilateral hemispheric seizure focus. There was no statistically significant relationship between age at onset of seizures and the number of hemispheres that were the focus of seizures with cognitive and behavioral comorbidities.
Conclusion: Children with Rolandic epilepsy may have cognitive comorbidities in the form of speech/language disorders and behavioral comorbidities in the form of ADHD/ASD, and may be affected by the age of seizure onset and the number of hemispheres that are the focus of seizures, although the relationship is not statistically significant.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Mitari Nuzullita
"Latar belakang: Kanker ovarium merupakan jenis kanker ke-3 yang paling sering dialami oleh wanita di Indonesia. Diagnosis yang terlambat berperan besar dalam tingginya angka mortalitas. Metode skrining cepat kanker ovarium semakin penting untuk diteliti, dengan beragam biomarker penanda kanker seperti CA-125, HE4, dan FOLR1 yang menawarkan indeks diagnostik dan kemudahan prosedur yang menjanjikan.
Metode: Studi deskriptif desain potong lintang ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta pada Januari 2022 hingga Januari 2023. Kadar serum CA-125, HE4, dan FOLR1 dianalisis dari 48 subjek yang terbagi dalam kelompok tumor ovarium ganas dan jinak. Diagnosis pasti tumor merujuk hasil pemeriksaan histopatologis dan pencitraan. Data demografis pasien seperti usia, status menopause, ukuran tumor, hingga hasil analisis sitologi cairan asites dikumpulkan.
Hasil: Hasil analisis demografis menunjukkan kecenderungan subjek menopause untuk memiliki tumor ovarium non-maligna (57,6% vs. 26,7%; p < 0,05), dan subjek dengan cairan asites ganas cenderung memiliki tumor ovaium maligna (3,0% vs. 40,0%; p < 0,05). Kadar ketiga biomarker serum meningkat pada kelompok tumor maligna, namun hanya HE4 (median 12,43 vs. 42,03; p < 0,05) yang memiliki perbedaan bermakna (CA-125 median 102,50 vs. 461,85; p = 0,062; FOLR1 median 0,070 vs. 0,172; p=0,213). Area under the curve (AUC) pada hasil analisis kurva receiver operating characteristic (ROC) menunjukkan hasil 0,630, 0,747, dan 0,794 secara berturut-turut untuk biomarker FOLR1, Ca125, dan HE4, dengan analisis beda proporsi signifikan pada titik potong 0,1165 ng/mL (Se 66,7%, Sp 60,6%), 208,00 U/mL (Se 73,3%, Sp 84,8%), dan 19,66 pg/mL (Se 86,7%, Sp 60,6%). Analisis kombinasi biomarker menunjukkan peningkatan sensitifitas namun penurunan spesifisitas.
Kesimpulan: Kadar serum ketiga biomarker memiliki kemampuan yang baik sebagai prediktor keganasan tumor ovarium maligna. Pada populasi penelitian, HE4 secara tunggal memiliki indeks diagnostik terbaik, dan kombinasi biomarker tidak memberikan peningkatan kemampuan diagnostik.

Background : Ovarian cancer is the third most common cancer in women in Indonesia. Late diagnosis significantly contributes to high mortality rates. Rapid screening methods for ovarian cancer are increasingly important, with biomarkers such as CA-125, HE4, and FOLR1 offering promising diagnostic indices and procedural ease.
Methods: This cross-sectional descriptive study was conducted at Dr. Cipto Mangunkusumo National Central General Hospital, Jakarta from January 2022 to January 2023. Serum levels of CA-125, HE4, and FOLR1 were analyzed in 48 subjects divided into malignant and benign ovarian tumor groups. Tumor type diagnosis was based on histopathological examination and imaging. Patient demographic data including age, menopausal status, tumor size, and cytology analysis of ascitic fluid were collected.
Results: Demographic analysis showed tendencies of menopausal subjects to have non-malignant ovarian tumors (57.6% vs. 26.7%; p < 0.05), and subjects with malignant ascitic fluid were more likely to have malignant ovarian tumors (3.0% vs. 40.0%; p < 0.05). Serum levels of all three biomarkers were higher in the malignant group, but only HE4 (median 12.43 vs. 42.03; p < 0.05) showed significant differences (CA-125 median 102.50 vs. 461.85; p = 0.062; FOLR1 median 0.070 vs. 0.172; p = 0.213). The area under the curve (AUC) for the receiver operating characteristic (ROC) curve analysis showed 0.630, 0.747, and 0.794 for FOLR1, CA-125, and HE4, respectively. Significant cut-off points were 0.1165 ng/mL (Se 66.7%, Sp 60.6%), 208.00 U/mL (Se 73.3%, Sp 84.8%), and 19.66 pg/mL (Se 86.7%, Sp 60.6%). Biomarker combination analysis increased sensitivity but decreased specificity.
Conclusion: Serum levels of the three biomarkers are good predictors of malignancy in ovarian tumors. In this study population, HE4 alone had the best diagnostic index, and combining biomarkers did not enhance diagnostic capability.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>