Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 112693 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Siagian, Hamdriansyah
"Latar Belakang: Fusi tulang belakang adalah tindakan pembedahan yang paling sering dilakukan pada spondilosis lumbal degeneratif. Paradigma fusi tulang belakang sesuai dengan pengalaman dimana nyeri pada diarthrodial joints atau deformitas pada sendi dapat secara sukses diatasi dengan arthrodesis. Beberapa penelitian secara konsisten menunjukkan bahwa fusi secara melingkar akan meningkatkan rata-rata fusi yang padat, dengan rata-rata fusi 91%-99%. Bagaimanapun juga, kenyataan bahwa fusi secara melingkar dapat meningkatkan luaran klinik masih kontroversial.
Metode:10 pasien dengan spondilosis lumbal degeneratif (28-65tahun) dari RSUPN Cipto Mangunkusumo telah dilakukan pembedahan dengan tekhnik PLIF 6 bulan yang lalu, dilakukan penelitian dengan metode crossectional : 6 pria dan 4 wanita, dengan rerata umur 54,1 tahun. Dilakukan pengamatan selisih rerata pada skor ODI ( pre pembedahan dan 6 bulan pasca pembedahan) dan pengamatan fusi dengan ct scan 6 bulan pasca operasi.
Hasil dan diskusi: Dilakukan pengamatan pasca bedah selama 6 bulan. Skor ODI menunjukkan perbaikan luaran klinis pada seluruh pasien. Rerata skor ODI setelah 6 bulan secara bermakna dari 70% ke 20%. Fusi tercapai hanya pada 80% pasien setelah 6 bulan pasca pembedahan.
Kesimpulan:Tekhnik bedah PLIF terbukti meningkatkan luaran klinis dan fungsional pada pasien dengan spondilosis lumbal degeneratif. Dari skor ODI sebelum pembedahan menurun setelah 6 bulan pasca pembedahan dan fusi tercapai setelah 6 bulan pasca pembedahan dengan PLIF. Terdapat perbedaan bermakna antara selisih rerata ODI skor pre bedah dan pasca bedah pada kelompok dengan fusi dibandingkan dengan kelompok yang tidak fusi.

Introduction: Spinal fusion is the most commonly perfomed surgical treatment for lumbal spondylosis. The paradigm of spinal fusion is based on the experience that painful diarthrodial joints or joint defrormities can be successfully treated by arthrodesis. Several studies have consistently demonstrated that circumferential fusion increase the rate of solid fusion, with fusion rates ranging from 91% to 99%. However, it remains controversial wheter circumferential fusion improves clinical outcome.
Method: Ten adult patients (28-65 years old) from Cipto Mangunkusumo hospital with degenerative lumbal spondylosis after 6 months treated by PLIF, were studied crosssectionaly: 5 men and 5 women with average age of 54,1 years. ODI score ( pre operative and 6 months post operative) and ct scan 6 months post operative were investigated.
Results and Discussion: All cases were followed up for 6 months. ODI score were demonstrated the improvement functional outcome in 90% patients. Mean differrentiated of ODI score after 6 months was decreased significantly from 70% to 20%. Fusion was reached in 80% after 6 months post operatively.
Conclusion: PLIF is proven to be effective to improve clinical and functional outcome in Lumbal spondylosis degenerative. From pre operative ODI score was reduce and fusion was reached after 6 months treated by PLIF. There was significant differrence between mean differrentiated of ODI score pre and 6 months post operative in fusion gorup compared with non fusion group.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Witantra Dhamar Hutami
"Pendahuluan
Untuk menentukan apakah diperlukan fusi tulang belakang disamping dekompresi untuk kasus stenosis spinal lumbar (SSL) akan bergantung kepada stabilitas segmen tulang belakang yang terkena. Stabilitas tulang belakang didefinisikan sebagai kemampuan tulang belakang untuk mempertahankan kemampuan geraknya dengan serta mencegah terjadinya nyeri, defisit neurologis, dan angulasi yang tidak normal. Namun, sampai saat ini, belum ada konsensus yang jelas tentang definisi ketidakstabilan untuk menentukan apakah diperlukan fusi pada kasus SSL. Dalam penelitian ini, kami mengembangkan sistem penilaian baru, yang disebut dengan Indonesia Score of Spinal Instability (ISSI), untuk membantu menentukan adanya ketidakstabilan pada tulang belakang dan mengevaluasi kebutuhan fusi pada LSS.
Metodologi Penelitian ini terdiri dari tiga tahap, tahap pertama adalah tinjauan sistematis untuk menemukan prediktor ketidakstabilan tulang belakang pada SSL, tahap kedua adalah pengembangan sistem penilaian untuk ketidakstabilan tulang belakang - Indonesia Score of Spinal Instability (ISSI) melalui pendapat ahli dan teknik Delphi yang dimodifikasi, dan tahap ketiga adalah studi validitas dan reliabilitas sistem penilaian yang baru dikembangkan. Tinjauan sistematis dilakukan dengan menggunakan pedoman dari Preferred Reporting Items for Systematic Reviews and Meta-Analyses (PRISMA). Pendapat ahli dan teknik Delphi yang dimodifikasi dilakukan oleh ahli bedah tulang belakang berpengalaman di Indonesia yang telah terpilih, tahap ini dilakukan dua kali untuk menilai apakah ada perbedaan antara putaran pertama dan kedua. Tahap kedua akan menghasilkan ISSI yang baru. Pengujian validitas dan reliabilitas dilakukan di rumah sakit institusional kami, yang melibatkan ahli bedah Ortopedi dan Ahli Radiologi yang bersertifikasi dan dibandingkan dengan penilaian radiologis dari White & Panjabi.
Hasil
Sebanyak 54 studi dimasukkan dalam tinjauan sistematis, dan prediktor ketidakstabilan pada stenosis tulang belakang dibagi menjadi klinis (adanya nyeri punggung sebagai gejala primer atau sekunder), radiografi polos statis (adanya vacuum phenomenon, kolaps diskus intervertebralis, sklerosis subkondral, dan traction spur), radiografi polos dinamik (translasi dan angulasi dinamik), dan temuan pencitraan resonansi magnetik/ (magnetic resonance imaging, MRI) yang terdiri dari efusi sendi faset, degenerasi otot multifidus, degenerasi endplate, dan degenerasi diskus. Melalui pendapat para ahli dan teknik Delphi yang dimodifikasi, penilaian ISSI dikembangkan dan terdiri dari komponen klinis (nyeri punggung), komponen radiografi dinamik (translasi horizontal dan angulasi), dan komponen MRI (efusi sendi faset), masing- masing komponen tersebut akan diberi nilai, dan total nilai adalah 0 hingga 14. Penilaian akhir akan mengklasifikasikan pasien ke dalam tiga kelompok: kelompok stabil (nilai 0 hingga 4) di mana fusi tidak diperlukan, kelompok berpotensi tidak stabil (nilai 5 hingga 8) di mana keputusan fusi didasarkan pada penilaian klinis dokter bedah, dan kelompok tidak stabil (nilai 9 hingga 14) di mana fusi diperlukan. Tahap akhir penelitian menyimpulkan bahwa ISSI ini memiliki validitas dan reliabilitas yang baik.
Diskusi dan Kesimpulan
ISSI yang baru dikembangkan adalah sistem penilaian ketidakstabilan tulang belakang pada kasus SLL degeneratif yang sahih (valid) dan dapat diandalkan (reliabel), yang dapat membantu mengidentifikasi adanya ketidakstabilan pada SSL degenratif. ISSI diharapkan dapat digunakan sebagai pedoman untuk memutuskan apakah fusi tulang belakang diperlukan.

Introduction
Whether spinal fusion is performed in addition to a decompression for lumbar spinal stenosis (LSS) depends on the stability of the involved spinal segments. Spinal stability is defined as the ability of the spine to maintain its degree of motion while simultaneously preventing pain, neurologic deficits, and abnormal angulation. However, until currently, there is no clear consensus regarding the definition of instability to perform fusion in the cases of LSS. We developed a new scoring system, the Indonesia Score of Spinal Instability (ISSI), to identify spinal instability and to evaluate the need of spinal fusion in LSS.
Materials and Methods
This study consisted of three stages, the first stage was the systematic review to find predictors of spinal instability in LSS, the second stage was the development of scoring system for spinal instability – the Indonesia Score of Spinal Instability (ISSI) through expert opinion and modified Delphi technique, and the third stage was validity and reliability studies of the new developed scoring system. The systematic review was performed through Preferred Reporting Items for Systematic Reviews and Meta- Analyses (PRISMA) guideline. Expert opinion and modified Delphi technique were performed by experience spine surgeons in Indonesia who had been elected, this stage was performed twice to assess whether there was difference between first and second rounds. The second stage would yield the new developing ISSI. Validity and reliability testing were performed in our institutional hospitals, which included the board-certified Orthopaedic surgeon and Radiologist and was compared with the radiological checklist from White & Panjabi.
Results
A total of 54 studies were included in the systematic reviews, and the predictors of instability in spinal stenosis were divided into clinical (presence of back pain as primary or secondary symptoms), static plain radiograph (presence of vacuum phenomenon, intervertebral disk collapse, subchondral sclerosis, and traction spurs), dynamic plain radiograph (horizontal translation and angulation), and magnetic resonance imaging/ MRI findings (facet joint effusion, fatty degeneration of multifidus, endplate degeneration, and disk degeneration). Through expert opinion and modified Delphi technique, ISSI score was developed and consisted of the clinical component (back pain), dynamic radiograph component (horizontal translation and angulation), and MRI component (facet joint effusion), each of the component would be scored, and the total scoring would be from 0 to 14. The final scoring would classify patients into three groups: stable group (score of 0 to 4) in which the fusion is not needed, potentially unstable group (score of 5 to 8) in which the decision of fusion is based on surgeon’s clinical judgment, and unstable group (score of 9 to 14) in which the fusion is needed. Final stage of study concluded that this ISSI had good reliability and validity
Discussion and Conclusion
The new developed ISSI was a valid and reliable scoring system that could help to identify the presence of instability in LSS and the need of fusion. This ISSI can be used as a guideline to decide whether spinal fusion would be needed.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fachrisal
"Desain Penelitian. Sebuah penelitian kohort retrospektif pada pasien yang telah menjalani operasi fusi tulang belakang yang dilakukan bone graft yang diambil dari posterior ilium. Tujuan. Untuk menilai prevalensi nyeri pada lokasi pengambilan bone graft pada ·operasi tulang belakang Untuk mengetahui faktor resiko nyeri pada pengambilan bone graft dan komplikasinya. Latar Belakang. Fusi menjadi tujuan pada beberapa operasi tulang belakang dan dapat dicapai dengan melakukan instrumentasi dan bone graft. Telah diketahui bahwa salah satu sumber yang baik adalah berasal dari posterior i1iaka. Tempat pengambilan graft ini dapat menyebabkan nyeri. Meskipun akan hilang dalam 3 bulan namun beberpa pasien mengalami nyeri yang lebih lama. Bahkan pada beberapa kasus hal ini merupakan salah satu sumber nyeri pos operasi. Bahan dan Cara : Sampel diambil dari buku registrasi spine Prof Subroto Sapardan, dan di bagi dalam dua kelompok, dimana kelompok satu yang di lakukan graft dan kelompok dua yang tidak dilakukan graft dari iii aka posterior sebagai kontrol. Kemudian dilakukan wawancara, penilaian nyeri dengan skala analok, dan pemeriksaan fisik pada ke dua kelompok. Setiap kelompok dievaluasi adanya nyeri di ilium posterior dalam kurun enam bulan pos operasi. Analisa data menggunakan software SPSS Vl3, uji statistic di set pada a. sama dengan 0,05 dan power 80% dan interval kepercayaan 95%. Basil: Dalam penelitian diperoleh basil untuk kelompok 1 mengalami nyeri 75,6% sementara yang tidak 24,4%, sebaran diagnosis adalah 27,6% pada spondilitis TB, 55% skoliosis, 22% pada degenerative disk. Kami menemukan risiko rasio nyeri pada pengambilan bone graft di ilium posterior sebesar 11,2. Kesimpulan: Kejadian nyeri pada lokasi donor di iliaka posterior dibandingkan dengan yang tidak dilakukan bone graft cukup signifikan. Dari penelitian ini kami sarankan untuk mencari materi alternative lain untuk mempercepat fusi pada operasi tulang belakang."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2008
T58781
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agus Hadi Sihabudin
"ABSTRAK
Latar BelakangNyeri merupakan penanda penyakit degenerasi tulang belakang, dan menjadi pendorong utama pasien untuk mencari pengobatan.1,2 Kualitas nyeri akan berpengaruh pada aktivitas sehari-hari penderita, tingkat aktivitas pasien yang terkait nyeri ini tergambar pada ODI.3,4 Oleh karena itu ODI digunakan sebagai salah satu indikator keberhasilan operasi.4 Penelitian ini bertujuan menilai hubungan antara derajat nyeri sebelum operasi dengan perubahan skor ODI.MetodePenelitian retrospektif dilakukan terhadap pasien DSD yang telah menjalani operasi di Departemen Bedah Saraf Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo tahun 2014-2016. Data demografi, VAS pre operasi, dan ODI 3 bulan pasca operasi dicatat berdasarkan data yang diperoleh dari rekam medik pasien RSCM dan data registrasi pasien di divisi spine departemen bedah saraf. VAS dikelompokan menjadi le; 4 dan >4, sedangkan ODI 3 bulan dinilai peningkatan atau penurunan skor.Perubahan ODI dianggap bermakna bila perubahannya lebih dari 10 4.HasilJumlah kasus 50 pasien; rerata umur 52,8 SD tahun; jumlah lelaki dan perempuan sama; Segmen cervikal 19 , torakal 4 , lumbar 58 , VAS pre operasi le; 4 44 , VAS pre operasi > 4 56 , LOS < 8 78 , LOS ge; 8 22 , pekerjaan: non load bearing 80 dan load bearing 20 . Rerata skor ODI pra-operasi adalah 51 , sedangkan rata-rata ODI skor 3 bulan pasca operasi adalah 27 . Pasien VAS pra operasi le; 4 yang mengalami penurunan skor ODI setelah 3 bulan adalah 100 ; VAS pre operasi > 4 yang mengalami penurunan skor ODI setelah 3 bulan adalah 82 dan yang mengalami peningkatan 18 ; dengan rata-rata LOS adalah 7,04 hari.KesimpulanKualitas nyeri pra operasi tidak berhubungan dengan hasil operasi yang diukur dengan ODI.

ABSTRACT
Background Pain is one of signs for degenerative spinal disease and became a main reason for patients looking for treatment.1,2 Quality of pain will affect daily activities as reflected in ODI functional score.3,4 Therefore ODI used as one of indicator for outcome patient after surgery.4 This study aims to assess the relationship between the degree of pain before surgery with changes the ODI score. MethodsThis study is a retrospective study of DSD patients who underwent surgery in Department of Neurosurgery Hospital Cipto Mangunkusumo in 2014 2016. The demographic data, preoperative VAS and ODI 3 months postoperatively were determined based on data obtained from patient medical records and registration data in spine division department of neurosurgery. VAS was grouped into le 4 and 4, while the 3 month ODI was rated increase and decrease. ODI score changes are defined to be significant if there were changes more than 10 percents4.ResultThe number of cases are 50 patients mean age of 52.8 years old the number of men and women are equal Segment cervical 19 , thoracic 4 , lumbar 58 , VAS preoperative le 4 44 , VAS preoperative 4 56 , LOS 4 ODI changes was 82 decreased and 18 was increased with an average LOS was 7.04 days.ConclusionQuality of pain pre operatively have no corelation with surgical outcome as reflected by ODI."
2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hendy Hidayat
"Pendahuluan: Fusi spinal posterolateral adalah prosedur sering dilakukan dalam tindakan arthrodesis spinal yang menggunakan autograft dari krista iliaka. Penggunaan autograft memiliki keterbatasan dan komplikasi. Tingkat pseudoarthrosis berkisar antara 5-35%. Penggunaan platelet rich plasma (PRP) sebagai faktor osteoinduktif memiliki dasar ilmiah. Platelet dengan cepat menempel pada permukaan tandur tulang dan mengalami degranulasi, kemudian melepaskan faktor-faktor pertumbuhan yang memicu penyembuhan tulang dan inkorporasi tandur. Studi ini bertujuan untuk mengetahui efek pemberian PRP terhadap tingkat fusi pada tindakan fusi spinal pada kelinci putih New Zealand.
Metode: Fusi posterolateral dilakukan pada 16 ekor kelinci putih New Zealand yang terbagi dalam 2 kelompok, yaitu kelompok fusi dengan autograft dan fusi dengan autograft + PRP. PRP diambil dari vena perifer lalu disentrifugasi, kemudian dilanjutkan dengan tindakan fusi posterolateral, pengambilan tandur krista iliaka, dan aplikasi PRP. Observasi dilakukan selama 8 minggu. Evaluasi dinilai secara radiologis dengan modifikasi skor Bridwell dan histologis dengan skor Huo/Friedlaender.
Hasil: Secara radiologis, pada kelompok perlakuan fusi spinal dengan autograft didapatkan 5 sampel definite fusion, 1 sampel probable fusion, dan 2 sampel nonunion. Sementara itu, pada kelompok perlakuan fusi spinal dengan autograft + PRP terdapat 5 sampel definite fusion, 3 sampel probable fusion, dan tidak ada nonunion. Namun, tidak terdapat perbedaan radiologis yang bermakna. Kelompok fusi spinal dengan autograft + PRP memiliki rerata dan median skor histologis yang lebih tinggi dibandingkan kelompok fusi spinal dengan autograft saja secara bermakna (8 vs 6,5).
Simpulan: Pemberian PRP bersama dengan autograft pada fusi spinal posterolateral memiliki pengaruh terhadap tingkat fusi pada fusi spinal pada kelinci putih New Zealand. Pemberian PRP dapat dipertimbangkan dan diteliti lebih lanjut sebagai faktor osteoinduktif alternatif dalam fusi spinal posterolateral.

Introduction: Posterolateral spinal fusion is a common procedure in spinal arthrodesis using autograft from iliac crest. Autografts utilization possess limitations and complication with pseudoarthrosis ranging between 5-35%. Platelet rich plasma (PRP) usage as an osteoinductive factors is based on scientific reasons. Platelets can quickly adhere to the surface of the bone graft and degranulate, releasing growth factors afterwards and inducing bone healing and graft incorporation. This study aim to establish the effect of PRP administration on fusion rate for spinal fusion on New Zealand white rabbit.
Method: Posterolateral fusions were done on 16 white New Zealand rabbits divided into two groups: fusion with autograft and fusion with autograft + PRP. PRP was taken from peripheral vein and centrifuged. Posterolateral fusion and graft harvesting from iliac crest were followed by PRP application. Observation was done for 8 weeks. Evaluation was done radiologically with modified Bridwell score and histologically with Huo/Friedlaender score.
Results: Radiologically, for spinal fusion with autograft group, the result were 5 definite fusion, 1 probable fusion, and 2 nonunion fusion. For spinal fusion with autograft + PRP, there was 5 definite fusion, 3 probable fusion, and no nonunion. There was no significant difference radiologically. Spinal fusion with autograft + PRP had higher mean and median for histological score compared to spinal fusion with autograft (8 vs 6.5).
Conclusion: PRP administration with autograft for posterolateral spinal fusion affected fusion rate for spinal fusion on New Zealand white rabbit. PRP administration can be considered and studied further as an alternative for osteoinductive factors for posterolateral spinal fusion.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ismail Salim
"Pendahuluan: Operasi fusi tulang belakang adalah penanganan definitif yang dilakukan untuk mengembalikan stabilitas struktural tulang belakang. Sel punca mesenkimal (SPM) telah diteliti mempunyai kemampuan untuk menyembuhkan defek pada metafisis tulang dan fusi vertebra. Saat ini, terdapat keterbatasan studi yang menilai capaian fusi vertebrae pada pasien dengan SPM. Metode: Studi ini menggunakan desain systematic review berdasarkan metode Preferred Reporting Items for Systematic Review and Meta-Analysis (PRISMA) yang dilakukan pada Juni 2020. Data dianalisis mengikuti panduan dari Cochrane Handbook for Systematic Reviews of Interventions dan menggunakan software Review Manager (RevMan, V.5.3). Hasil: Dari 11 studi yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi, ditemukan perbaikan radiologis yang signifikan pada 3 studi RCT ini yakni OR: 2,46 (95% IK: 1,29-4,68; I2: 68%) pada pemeriksaan CT scan dan 2 studi RCT OR: 3,91 (95% IK: 1,92-7,99; I2: 0%) pada pemeriksaan X-ray. Pada studi pre dan post ditemukan 100% pasien mengalami perbaikan radiologis pada akhir studi. Perbaikan klinis nyeri berbeda bermakna pada pasien dalam waktu 3 bulan pasca tindakan pemberian stem sel dan bertahan dalam waktu 6-12 bulan. Perbaikan hambatan fungsi dengan penilaian skor ODI bermakna dalam 6 bulan pasca tindakan. Efek samping yang banyak ditemukan adalah nyeri. Kesimpulan: Penggunaan sel stem mesenkimal menghasilkan perbaikan radiologis, klinis, dan fungsi yang signifikan pada pasien dengan penyakit tulang belakang degeneratif.

Introduction: Spinal fusion surgery is a definitive treatment to restore spinal structural stability. Although allograft is a gold standard for vertebral fusion, this method associates with high morbiidy. Based on previous studies, mesenchymal stem cell has ability to fix defect of metaphyses of bone and has a role in vertebral fusion. However, studies about vertebral fusion in patient treated with mesenchymal stem cell are still limited. Method: This study was a systematic review which was conducted according to Preferred Reporting Items for Systematic Review and Meta-Analysis (PRISMA) on June 2020. Data was analysed with guidance from Cochrane Handbook for Systematic Reviews of Interventions using Review Manager (RevMan, V.5.3) software. Results: From 11 studies which satisfy inclusion and exclusion criteria, there were significant radiological improvement in 3 RCT study on CT scan (OR: 2,46 95%CI: 1,29-4,68; I2: 68%) and 2 RCT study on X-Ray examination (OR: 3,91 95%CI: 1,92-7,99; I2: 0%). On pre and post study, 100% of patients showed significant improvement. The pain improved significantly 3 months after the procedure. Functional ability improved within 6 months after the surgery. The most common side effect reported was pain. Conclusion: Mesenchymal stem cell resulted in significant improvement of radiological, clinical, and function of patients with degenerative spinal disease."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Muharram Atha R.
"Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apakah identity fusion memiliki hubungan dengan kesediaan berkorban dalam perilaku ekstrim (berkelahi atau mengorbankan nyawa) pada konteks agama dan apakah motivasi dapat berfungsi sebagai moderator dalam hubungan tersebut. Pengukuran identity fusion dan kesediaan berkorban memakai alat ukur yang digunakan oleh Swann et al. (2009). Sedangkan motivasi diukur melalui skala Behavioral Inhibition and Approach System (BIS/BAS) yang dikembangkan oleh Carver & White (1994). Penelitian ini dilakukan pada 120 responden dengan kriteria beragama Islam dan berusia minimal 21 tahun. Hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara identity fusion dan kesediaan berkorban dalam bentuk perilaku ekstrim pada konteks agama. Selain itu, diperoleh hasil bahwa motivasi tidak memiliki fungsi sebagai moderator dari hubungan identity fusion dengan kesediaan berkorban.

This study is conducted to find the correlation between identity fusion and willingness to sacrifice. Furthermore, motivation will be tested as a moderator in the relationship between those variables. Identity fusion and willingness to sacrifice is measured using the instrument constructed by Swann et al. (2009) and motivation is measured using BIS/BAS scale which constructed by Carver and White (1994). The criteria of participants in this study are Muslims and aged a minimum of 21 years old. The results show that in general, there is significant correlation between identity fusion and willingness to sacrifice. Moreover, motivation cannot serve as a moderator in relationship between identity fusion and willingness to sacrifice."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
William
"Penyakit demam berdarah (dengue) merupakan masalah kesehatan yang serius dan hingga saat ini belum ada langkah spesifik untuk mengobati penyakit ini. Dengue merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus dengue (DENV), suatu flavivirus yang terselubung oleh envelope. Infeksi DENV dimulai dengan inisiasi proses fusi antara envelope virus dengan membran sel host, transfer materi genetik ke dalam sel target yang diikuti dengan replikasi serta pembentukan virus baru. Proses fusi ini dimediasi oleh peptida fusi yang diperkirakan merupakan suatu segmen antara residu D98-G112 pada protein envelope (E) DENV. Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa peptida fusi ini tersembunyi di dalam suatu cavity dan akan diposisikan pada ujung domain II protein E DENV akibat perubahan konformasi sewaktu proses fusi terjadi. Penelitian ini bertujuan untuk merancang peptida siklis disulfida yang dapat menempati cavity ini dan berinteraksi dengan peptida fusi, sehingga mengganggu perubahan konformasi yang terjadi dan menginhibisi proses fusi.
Pendekatan komputasi dilakukan untuk memprediksi afinitas dan stabilitas antara ligan peptida siklis disulfida dengan protein E DENV. Simulasi molecular docking dan molecular dynamics dilakukan dengan software MOE 2008.10. Screening terhadap 1320 ligan menghasilkan 3 ligan terbaik, CLREC, CYREC dan CFREC yang dapat berinteraksi dengan cavity target dan juga segmen peptida fusi. Ketiga ligan ini menunjukkan afinitas yang baik dengan target berdasarkan nilai energi bebas ikatan dan interaksi protein-ligan yang terbentuk. Stabilitas kompleks protein-ligan dianalisis dengan metode molecular dynamics. Hasil simulasi molecular dynamics menunjukkan bahwa hanya CLREC yang menunjukkan kestabilan konformasi protein-ligan dan mempertahankan interaksi antara ligan dengan cavity target. Oleh karena itu CLREC memiliki potensi sebagai inhibitor fusi DENV.

Dengue has been a major health concern and currently there is no available option to treat the infection. It is an arboviral disease caused by dengue virus (DENV), an enveloped flavivirus. DENV initiates fusion process between viral envelope and host cell membrane, transfers its viral genome into target cell and infects host. This fusion process is mediated by a fusion peptide which was predicted to be a segment of DENV envelope (E) glycoprotein located between residues D98 ? G112. Recent studies showed that this segment is hidden inside a cavity and will undergo conformational changes to be positioned at the tip of domain II E glycoprotein when fusion occurs. Our research is focused on designing disulfide cyclic peptides that can fit into this cavity and interact with fusion peptide, interrupt conformational changes and therefore inhibit the fusion process.
Computational approaches were conducted to calculate the binding affinity and stability of disulfide cyclic peptide ligands with target DENV E glycoprotein. Molecular docking and molecular dynamics simulation were performed using Molecular Operating Environment 2008.10 software (MOE 2008.10). Screening of 1320 designed ligands resulted in 3 best ligands, CLREC, CYREC and CYREC that can form interaction with target cavity and peptide fusion. These ligands showed good affinity with target DENV E glycoprotein based on free binding energy and interactions. To evaluate protein-ligand stability, we performed molecular dynamic simulation. Only CLREC showed protein-ligand stability and maintained interaction between ligand and target cavity. Therefore we propose CLREC as potential DENV fusion inhibitor candidate
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2012
T29866
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Heryansyah
"Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apakah identity fusion memiliki hubungan dengan kesediaan berkorban dalam bentuk noncombative (mengeluarkan harta, meluangkan waktu dan diri) pada konteks agama dan apakah feelings of agency dapat berfungsi sebagai mediator dalam hubungan tersebut. Penelitian ini dilakukan pada 52 partisipan pada kelompok Jamaah Tabligh. Hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan antara identity fusion dan kesediaan berkorban dalam bentuk noncombative pada konteks agama (c = 0,931, p < 0,05). Selain itu, dengan menggunakan SPSS makro yang di disediakan oleh hayes (2014), peneliti melakukan bootstrapping test (n boots = 10.000), kemudian dihasilkan bahwa bias-corrected bootstrap CI untuk indirect effect (ab = 0,578, p < 0,05) sepenuhnya di atas nol (0,3277-0,9381), hal ini menunjukkan bahwa efek mediasi terdukung. Terakhir diperoleh bukti bahwa c' < c, hal ini menunjukkan bahwa hubungan identity fusion dan kesediaan berkorban dimediasi sebagian oleh feelings of agency (c' = 0,353).

This study is conducted to find out whether identity fusion has correlation with willingness to sacrifice on noncombative on religion and whether feelings of agency can be mediator in that relation. This research has 52 participant of Tablighi Jamaat. The result shows that there are significant influence between identity fusion and willingness to sacrifice on noncombative on religion aspect (c = 0,931, p < 0,05). Besides that, the researcher uses macro SPPS by hayes (2014) and makes bootstraping test (n boots = 10.000) so the result is bias-corrected CI for indirect effect (ab = 0,578, p < 0,05)) entirely above zero (0,3277-0,9381), it's mean mediation effect fulfilled. Final results showed c' < c, it's mean that correlation between identity fusion and sacrifice willingness was partially mediated by feelings of agency (c' = 0,353).
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2015
S60479
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Duderstadt, James J., 1942-
New York: John Wiley & Sons, 1982
621.484 DUD i
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>