Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 194124 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Yanti Nuraeni
"Arteri etmoidalis anterior (AEA) adalah landmark penting pada tindakan Bedah Sinus Endoskopi Fungsional.Tomografi komputer dapat mengidentifikasi landmark AEA yang dapat membantu dokter bedah untuk menemukannya.
Tujuan penelitian: untuk mencari hubungan adanya pneumatisasi supraorbita dan konfigurasi fosa olfaktorius dengan posisi AEA menggantung di bawah basis kranii serta untuk mengetahui proporsi variasi posisi anatomi AEA terhadap basis kranii.
Metode penelitian: retrospektif terdiri dari 552 CT kepala tanpa kontras teknik MPR yang terbagi dalam 4 kelompok, masing-masing 138 sampel.
Hasil penelitian: pneumatisasi supraorbita (OR= 106 (IK95%: 49,06 - 230,61)) dan fosa olfaktorius tipe dalam (OR= 2,55 (IK95%: 1,51 - 4,31)) merupakan faktor risiko adanya posisi AEA menggantung di bawah basis kranii,dengan model formula probabilitas AEA menggantung = 1 / {1 + exp (1.523 - 4.667 x pneumatisasi supraorbita - 0.936 x tipe fosa olfaktorius)}. Proporsi posisi AEA menggantung di bawah basis kranii sebanyak 62% dan posisi AEA tepat setinggi basis kranii sebanyak 38%.
Kesimpulan: Pneumatisasi supraorbita dan fosa olfaktorius tipe dalam meningkatkan kemungkinan adanya posisi AEA menggantung di bawah basis kranii dengan pneumatisasi supraorbita merupakan faktor risiko dominan dibandingkan fosa olfaktorius. Proporsi posisi AEA menggantung di bawah basis kranii lebih banyak dibandingkan posisi AEA tepat setinggi basis kranii.

The anterior ethmoidal artery (AEA) is an important landmark for FESS (Functional Endoscopy Sinus Surgery). CT scan can identify landmark AEA to help the ENT surgeons find the AEA.
Aim: to correlate the presence of supraorbital pneumatization and olfactory fossa with the free AEA under the skull base, and to get proportion of AEA variations from the skull base.
Material and methods: Retrospective review of 552 paranasal sinus and head CT scans with Multi Planar Reformattion (MPR) technique that consists of 4 group.
Result: Supraorbita pneumatization (Odds Ratio = 106 (CI95%: 49,06 to 230,61)) dan deep olfactory fossa (Odds Ratio = 2.55 (CI95%: 1,51 to 4,31)) are the risk factors for the presence of the free AEA under the skull base, with probability formula of the free AEA =1 / {1 + exp (1.523 - 4.667 x supraorbita pneumatization - 0.936 x configuration of olfactory fossa)}. Proportion of the free AEAs that course under the skull base is 62% and the proportion of the AEAs that course in the skull base is 38%.
Conclussion : Supraorbita pneumatization and the deep olfactory fossa increase probability of the free AEAs that course under the skull base where supraorbita pneumatization is the dominan risk factor compare to olfactory fossa. Proportion of the free AEAs that course under the skull base is more than the AEAs that course in just the skull base.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T58539
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chitra Jenni
"ABSTRAK
Penelitian ini menilai hubungan dan faktor risiko perluasan pneumatisasi sinus sfenoid ke prosesus klinoid anterior (PKA) terhadap dehiscence dan protrusio AKI dan SO, dua struktur penting yang perlu diwaspadai dalam bedah yang melibatkan sinus sfenoid. Penelitian ini bersifat analitik dengan desain perbandingan potong lintang. Dari hasil penelitian diperoleh perbedaan yang bermakna antara dehiscence AKI, dehiscence SO, protrusio AKI, dan protrusio SO pada kelompok dengan pneumatisasi PKA dan tanpa pneumatisasi PKA (p=0,004, p<0,001, p<0.001, dan p<0,001). Sebagai kesimpulan, perluasan pneumatisasi sinus sfenoid ke PKA berhubungan dan merupakan faktor risiko terhadap dehiscence dan protrusio AKI dan SO di dinding superolateral sinus sfenoid.

ABSTRACT
This study assessed the relationship and risk factors of extensive pneumatization of sphenoid sinus to the anterior clinoid process (ACP) against risk of dehiscence and protrusion of ICA and ON, two important structures that need to watch out for in surgery involving sphenoid sinus. This study is an analytic study using cross-sectional comparative design. There is significant differences between dehiscence of ICA, dehiscence of ON, protrusion of ICA, and protrusion of ON in group with and without ACP pneumatization (p=0.004, p<0.001, p<0.001, and p<0.001). As conclusion, the extensive pneumatization of sphenoid sinus to the ACP is related to and is one of risk factor for dehiscence and protrusion of ICA and ON on superolateral wall of sphenoid sinus."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T58557
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Moningka, Maryo Pingkan
"Perubahan aliran darah serebral (cerebral blood flow) merupakan salah satu penyebab kelainan neurologis neonatus. Ultrasonografi dengan teknik Doppler merupakan teknik pemeriksaan noninvasif untuk evaluasi hemodinamika serebral yang memberikan informasi perfusi serta penilaian kuantitatif dari resistensi vaskular dengan mengukur resistive index arteri serebri. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui nilai resistive index arteri serebri anterior pada neonatus normal. Dilakukan pemeriksaan ultrasonografi Doppler melalui jendela akustik fontanella anterior menggunakan transduser phase array frekuensi 2 - 4 MHz pada 51 neonatus yang memenuhi kriteria normal (24 laki-laki dan 27 perempuan). Analisis normalitas variabel subyek penelitian dengan menggunakan Shappiro Wilks didapatkan p > 0,05 menggambarkan distribusi data yang normal. Hasil rerata rerata nilai resistive index arteri serebri anterior pada neonatus normal yang didapatkan adalah 0,62 ± 0.03 dengan Confidence Interval (CI) 95% : 0,62 - 0,63.

Cerebral blood flow changes is one of the causes of neurological disorders in neonates. Ultrasound with Doppler technique is a noninvasive examination technique for the evaluation of cerebral hemodynamics that provide information on the quantitative assessment of perfusion and vascular resistance by measuring resistive index of the cerebral artery. The purpose of this study to determine the value of the resistive index of the anterior cerebral artery in normal neonates. Doppler ultrasound examination was performed through anterior fontanella using phase array transducer frequency of 2-4 MHz in 51 neonates who meet normal criteria (24 male and 27 female). Analysis of the research subjects variables for normality using Wilks Shappiro obtained p>0.05, illustrates the normal distribution of data. The mean value of anterior cerebral artery resistive index in normal neonates is 0.62 ± 0,03 with Confidence Interval (CI) 95%: 0.62 - 0.63.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Taufiq Prabowo
"Latar Belakang: Blok aksilaris dikatakan berhasil bila tidak hanya saraf ulnaris, medianus dan radialis saja yang dapat terblok, tetapi juga saraf muskulokutaneus. Ternyata saraf muskulokutaneus di regio fossa aksilaris sudah keluar dari selubung neurovaskular dan berada jauh dari arteri aksilaris, sehingga memerlukan blok terpisah bila menggunakan stimulator saraf. Perubahan posisi lengan dapat membuat susunan saraf di regio fossa aksilaris berubah, salah satunya jarak saraf muskulokutaneus ke arteri aksilaris makin mendekat sehingga dapat memudahkan melakukan blok aksilaris. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh posisi lengan yang memberikan jarak optimal antara jarak saraf muskulokutaneus dengan arteri aksilaris di regio fossa aksilaris pada ras Melayu.
Metode: Penelitian ini merupakan studi observasional dengan rancangan potong lintang pada orang dewasa ras Melayu yang berusia antara 18 hingga 60 tahun dengan rentang waktu dari Juli sampai dengan September 2018. Sebanyak 79 subjek penelitian diambil dengan metode consecutive sampling. Subjek penelitian akan diposisikan tidur terlentang dan ada tiga perubahan posisi lengan saat pengukuran yaitu: (1) posisi A (lengan abduksi 90° dan siku 0°), (2) posisi B (lengan abduksi 90° dan siku 90°) dan (3) posisi C (lengan abduksi dan lengan bawah fleksi dengan tangan menyentuh bagian belakang kepala). Pengukuran tiap perubahan posisi lengan dari jarak saraf muskulokutaneus ke arteri aksilaris menggunakan pencitraan ultrasonografi. Data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan uji repeated ANOVA.
Hasil: Perubahan posisi lengan secara signifikan dapat mengubah jarak saraf muskulokutaenus ke arteri aksilaris (p <0,001). Dari ketiga posisi lengan, posisi C adalah posisi lengan dengan jarak saraf muskulokutaneus ke arteri aksilaris paling dekat dengan rerata 13,27±3,95 mm.
Simpulan: Posisi C menghasilkan jarak yang paling dekat antara saraf muskulokuteneus ke arteri aksilaris, namun jarak yang didapatkan bukan jarak optimal untuk melakukan blok aksilaris.

Background: Successful axillary block happens if not only the ulnar, median and radial nerve are blocked, but also the musculocutaneous nerve. Evidently, musculocutaneous nerve in axillary fossa is already out of the neurovascular sheath and far from the axillary artery. This condition requires a separate block when using a nerve stimulator. Varying arm positions can influence the nervous system in axillary fossa changing, which later makes the distance of the musculocutaneous nerve to the axillary arteries getting closer and much more easier to do the axillary block. This study aimed to determine which arm position give unsurpassed distance of musculocutaneous nerve to axillary artery in the axillary fossa of Malay race.
Method: This study was an observational study with a cross-sectional design to Malay race of the ages of 18 to 60 years old. It was conducted from July to September 2018. By using a consecutive sampling, a total of 79 volunteers were recruited. Each volunteer lied in supine with three changes of arm positions: (1) position A (abduction arm 90 ° and elbow 0 °), (2) position B (abduction arm 90 ° and elbow 90 °) and (3) position C (abduction arm and forearm flexion with hands touching the back of the head). Each changes of the arm positions was measured by using ultrasonography-guided. Then, the data obtained were analyzed by using repeated ANOVA.
Results: Significantly, varying of arm position can change the distance of musculocutaneous nerve to axillary artery (p <0.001). Among the three arm positions, position C is the finest position which give closest distance of the musculocutaneous nerve to the axillary artery for a mean of 13.27 ± 3.95 mm.
Conclusion: Position C is the closest distance of musculokutaenus nerve to axillary artery, but not the optimal distance to do axillary block."
Depok: Universitas Indonesia, 2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Norman Hardi Utama
"ABSTRAK
Latar Belakang. Pungsi arteri femoralis yang tidak disengaja pada saat
kanulasi vena femoralis memiliki insiden yang cukup tinggi(20-50%).
Penambahan fleksi lutut pada posisi abduksi-eksorotasi(posisi kodok)
meningkatkan luas lintang vena femoralis. Penelitian ini bertujuan melihat pengaruh posisi kodok, posisi abduksi-eksorotasi dan posisi
anatomis terhadap jarak antara arteri dan vena femoralis.
Metode. Penelitian ini merupakan studi analitik observasional dengan
rancangan potong lintang pada satu kelompok dengan pengukuran
berulang. Jarak arteri-vena, dan lebar sisa vena diukur pada tiga posisi
berbeda, masing-masing sebanyak dua kali. Pertama gambar diambil
pada semua pasien oleh satu operator dan mesin ultrasonografi yang
sama. Setelah itu dilakukan pengukuran pada gambar dengan fitur
kaliper pada mesin ultrasonografi oleh operator yang berbeda.
Hasil. Penambahan jarak arteri-vena femoralis yang terbesar tampak
pada perubahan posisi dari posisi anatomis ke posisi kodok (2.7 mm
(95%CI: 2.2-3.2 mm), diikuti dengan perubahan dari posisi anatomis ke
posisi abduksi-eksorotasi (2.1 mm (95%CI: 1.7-2.5mm).
Simpulan. Jarak antara arteri dan vena femoralis pada posisi kodok
lebih besar dibandingkan kedua posisi lainnya.

ABSTRACT
Background: The incidence of unintentional arterial puncture during
cannulation of femoral vein was high(20-50%). The addition of knee
flexion to abcudtion-exorotation position(frog position) have been shown to increase the cross sectional area of femoral vein. The purpose
of this study is to compare the distance between femoral artery and vein in frog position, abduction-exorotation position and anatomical
position.
Method:. This study is an analytical observational study with cross
sectional design within one grup with repeated measurement. The
distance between artery and vein was measured in three position. The
measurement was taken twice for each position. First picture was taken
by one operator and one ultrasonography for all patient. Then another
operator measured the distances with caliper feature on the ultrasonograph.
Result: The artery-vein distance in frog position(7.26 +0.69 mm) was
greater than in abduction-exorotaion position(6.65 +0.94 mm) and
anatomical position(4.53 +1.99 mm). The difference of the artery-vein
distance between frog and anatomical position was 2.7mm(95%CI: 2.2-
2.3 mm).
Discusion: The frog position provided the greatest distance between
femoral artery and vein"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yislam Aljaidi
"Penyakit jantung koroner (PJK) masih menjadi penyebab utama kematian, dan hasilnya masih belum memuaskan pada kelompok pasien yang berisiko tinggi. Tindakan intervensi pada arteri koroner left main (LM) dengan strategi provisional stenting adalah salah satu skenario yang menantang dalam menangani lesi bifurkasio kompleks ini. Intervensi koroner perkutan (IKP) dengan panduan ultrasonografi intravaskular (IVUS) telah terbukti memberikan hasil klinis yang lebih unggul dibandingkan dengan IKP dengan angiografi saja. Namun, data-data penelitian sebelumnya yang tersedia tidak adekuat dalam membahas keuntungan IVUS untuk pasien dengan lesi bifurkasio left main – left anterior descending (LM-LAD) kompleks yang menjalani IKP dengan pendekatan provisional stenting. Penelitian kohort retrospektif observasional ini dilakukan di Pusat Jantung Nasional Harapan Kita (PJNHK) Jakarta pada periode pengamatan Januari 2017 - Desember 2022, dengan didapatkan total sampel berjumlah 178 orang. Analisa statistik dilakukan untuk melihat perbedaan kelompok antara grup IVUS vs Angiografi pada pasien-pasien PJK dengan lesi LM-LAD yang dilakukan provisional stenting, terutama terhadap luaran klinisnya berupa KKM, serta analisa faktor-faktor yang berpengaruh terhadap KKM dari kedua kelompok. Dari 178 pasien yang menjalani IKP provisional stenting dengan mayoritas diagnosa pre-tindakan berupa chronic coronary syndrome (CCS) berjumlah 155 orang (86.6%), hanya didapatkan 27 orang (15.1%) yang mengalami luaran KKM tanpa adanya perbedaan signifikan antara kedua grup IVUS vs angiogafi saja (16.1% vs 14.1%, p = 0.714). Angka tindakan IKP provisional stenting didapatkan cukup berimbang antara grup IVUS vs Angiografi (48.6% vs 51.4%) selama periode pengamatan penelitian. Dari semua variabel faktor resiko yang diteliti, hanya variabel diabetes melitus (DM) yang memiliki pengaruh signifikan secara independen terhadap kejadian KKM (p = 0.016, OR 3.44, 95% CI 1.55-7.62) pada kedua grup. Dengan kesimpulan Tidak terdapat perbedaan signifikan untuk luaran klinis KKM antara ultrasonografi intravaskular dan angiografi pada pasien yang menjalani intervensi koroner perkutan (IKP) dengan provisional stenting pada lesi arteri koroner LM-LAD.

Coronary artery disease still represents the leading cause of mortality, with the outcome still unsatisfactory in high-risk subsets of patients. Percutaneous treatment of the left main coronary artery with provisional stenting strategy is one of the most challenging scenarios in interventional cardiology for treating this complex bifurcation lesion. Intravascular ultrasound-guided percutaneous coronary intervention (PCI) has been shown to result in superior clinical outcomes compared with angiography- guided percutaneous coronary intervention. However, insufficient previous study data are available concerning the advantages of IVUS guidance for specific patients with complex left main – left anterior descending (LM-LAD) bifurcation lesion undergoing PCI with provisional stenting approach. This observational retrospective cohort study was conducted at the National Cardiovascular Center Harapan Kita (NCCHK) in the observation period between January 2017 - December 2022, with a total sample size of 178 participants. Statistical analysis was carried out to learn group differences between the IVUS vs Angiography-guided groups in CAD patients with LM-LAD lesions who underwent provisional stenting, especially regarding clinical outcomes in MACE, as well as analysis of factors that influenced the MACE from both groups. Of the 178 patients who underwent provisional stenting PCI with the majority of pre-operative diagnosis were chronic coronary syndrome (CCS) with total of 155 participants (86.6%), only 27 participants (15.1%) experienced MACE outcomes without any significant group differences between the two groups of IVUS vs Angiography-guided (16.1 % vs 14.1%, p = 0.714). There was quite balanced between the IVUS vs angiography-guided groups (48.6% vs 51.4%) for PCI imaging technique approach during the observation period. From all variables of risk factor studied, only diabetes mellitus (DM) had an independent significant impact on the incidence of MACE (p = 0.016, OR 3.44, 95% CI 1.55-7.62) in both groups. There is no significant difference in outcomes of MACE between IVUS and angiography- guided ultrasonography in patients undergoing PCI with provisional stenting in LM-LAD coronary artery lesions."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ommy Ariansih
"ABSTRAK
Tujuan. 1. mengetahui hubungan antara FA yang lebar dengan perkembangan motorik
kasar dan bahasa pada anak usia 6-24 bulan, 2. mengetahui hubungan antara fontanel
anterior yang lebar dengan perkembangan otak yang abnormal dari pemeriksaan USG kepala,
3. mengetahui faktor-faktor risiko yang berperan dalam perkembangan motorik kasar dan
bahasa pada anak dengan FA lebar.
Metode. Desain penelitian adalah kasus kontrol untuk menilai perkembangan motorik
kasar dan bahasa menggunakan pemeriksaan Denver II dan perkembangan otak dinilai
dengan pemeriksaan USG kepala, pada anak usia 6-24 bulan dengan ukuran FA lebar (≥ 1 SD)
sesuai kelompok usia. Kelompok kasus jika perkembangan motorik kasar dan bahasanya
terlambat sedangkan kelompok kontrol jika perkembangan motorik kasar dan bahasanya
normal yang dipasangkan sesuai kelompok usianya, yang berobat ke RSUPN dr. Cipto
Mangunkusumo antara bulan Desember 2017 sampai dengan Mei 2018. Faktor-faktor risiko
dianalisis secara bivariat dan multivariat.
Hasil penelitian. Dari 127 anak dengan FA lebar, 9 anak dieksklusi, sehingga ada 118 anak
sebagai subyek penelitian. Pada kelompok kasus maupun kontrol ada 59 subyek, terdiri dari
18 anak (usia 6-<9 bulan), 16 anak (usia 9-<12 bulan), 17 anak (usia 12-<18 bulan) dan 8
anak (usia 18-<24 bulan). Pada kelompok anak dengan FA lebar (>2SD) lebih banyak
ditemukan pada kelompok kasus, sebaliknya pada anak dengan FA ≥1 SD ≤ 2SD lebih
banyak ditemukan pada kelompok kontrol. Pada analisis bivariat didapatkan faktor
risiko yang bermakna adalah status gizi kurang, kelahiran prematur, LK abnormal dan
hasil USG kepala abnormal. Pada analisis multivariat didapatkan anak dengan FA lebar
berhubungan bermakna dengan riwayat kelahiran prematur (OR 7,5; IK 95% 1,585-35,913)
dan abnormalitas USG kepala (OR 29; IK 95% 3,82-225,37).
Simpulan. Anak dengan FA lebar >2 SD lebih banyak ditemukan perkembangan motorik
kasar dan bahasa yang terlambat, dan berhubungan bermakna dengan kelahiran prematur
dan abnormalitas USG kepala.

ABSTRACT
Background. Abnormalities in head circumference (HC) and anterior fontanel (AF) size in children may reveal clues to assessment of intrauterine brain growth disorders. Brain growth disorders may lead to clinical manifestations of impaired growth and development of children. Objectives. (1) to determine the relationship between large AF with gross motor and language developmental in children aged 6-24 months, (2) to determine the relationship between large AF with abnormalities of brain growth by cerebral ultrasound, (3) to find the association of risk factors of gross motor and language developmental in children with large AF. Methodes. A case control study was to assess gross motor and language development by using Denver II and brain growth by cerebral ultrasound in children aged 6-24 months with large AF (≥ 1 SD) visiting dr. Cipto Mangunkusumo National General Hospital between December 2017 and May 2018. Case group consisted of gross motor and language developmental delay, control group consisted of similar children but who were normal of gross motor and language development. Both groups were matched according to gender and aged. Bivariate and multivariate analysis were done to identify significant risk factors. Results. Out of 127 large AF children, 9 child who meet exclusion criteria, subject in the study was 118 children. Case groups and control groups were 59 subject; 18 subject (6-<9 months), 16 subject (9-<12 months), 17 subject (12-<18 months) and 8 subject (18-<24 months). Most children of AF >2 SD with gross motor and language development delay were compared to children of AF ≥1 SD- ≤2 SD with normal of gross motor and language development. Bivariate analysis showed that significantly of risk factors were under nutrition, premature, abnormality HC and abnormality cerebral ultrasound. Multivariate analysis showed that significantly prematurity (OR 7,5; IK 95% 1,585-35,913) and abnormality cerebral ultrasound (OR 29; IK 95% 3,82-225,37) in children of large AF with gross motor and language development delay. Conclussions. The most of children of large AF (> 2 SD) were gross motor and language development delay, and significantly with prematurity and abnormality cerebral ultrasound."
2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Faizah Haniyah
"Latar belakang: Crossbite merupakan salah satu maloklusi yang sering ditemukan di masyarakat. Crossbite dapat menyebabkan trauma oklusi yang dapat memperberat penyakit periodontal. Masih jarang dijumpai penelitian yang langsung menghubungkan pengaruh crossbite terhadap jaringan periodontal.
Tujuan penelitian: Menganalisis hubungan crossbite dengan status periodontal.
Metode: Penelitian cross-sectional pada 68 subjek normalbite dan 68 subjek crossbite menggunakan data kartu status rekam medik Klinik Integrasi RSKGM FKG UI tahun kunjungan 20010-2015. Data dianalisis menggunakan uji Mann-Whitney.
Hasil: Tidak ada perbedaan bermakna p>0,05 rerata resesi gingiva, kehilangan perlekatan, dan perdarahan gingiva pada subjek normalbite dibandingkan dengan subjek crossbite. Terdapat perbedaan bermakna.

Background: Crossbite is one of the most common malocclusion found in the society. Crossbite is a potential cause of trauma from occlusion and can be a cofactor of periodontal diseases. However, research on the effects of crossbite on periodontium is still rare.
Objective: To analyze the relationship between crossbite and periodontal status.
Method: A cross sectional study of 68 subjects with normalbite and 68 subjects with crossbite using dental records of patients in Klinik Integrasi RSKGM FKG UI during 2010 2015. Data was statistically analyzed by Mann Whitney test.
Result: There were no statistically significant differences p 0,05 in the mean values of gingival recession, loss of attachment, and gingival bleeding between normalbite and crossbite groups. However, statistically significant difference.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2016
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Asti Harkeni
"Telah dilakukan rekonstruksi panjang obyek dan posisinya (x,y,z) secara manual menggunakan radiografi ortogonal pada pencitraan anterior/posterior dan lateral pada kasus brakiterapi intrakaviter. Pengukuran dilakukan menggunakan fantom akrilik brakiterapi berdimensi 34 x 34 x 34 cm3. yang disisipi oleh lempeng Pb dengan panjang dan posisi bervariasi. Diperoleh hasil rekonstruksi 70% dari semua titik pengamatan yang berada 10 cm dari titik pusat lapangan menghasilkan deviasi posisi sampai 20%. Untuk rekonstruksi panjang obyek kurang dari 6 cm dari titik isocenter, 56% data menghasilkan deviasi dari panjang real sampai 15%. Disimpulkan bahwa radiografi ortogonal untuk kegunaan rekonstruksi panjang obyek dan koordinat masih menghasilkan deviasi yang cukup besar.

Manual image reconstruction of object length and position by orthogonal radiography has been performed for anterior/posterior and lateral cases in intracavitary brachytherpy treatment planning. Measurement were done on self made acrylic brachytherapy phantom with 34x34x34 cm3 dimension where several lead slabs with different lengths were inserted at different positions. It has been obtained that 70% from all points which were located 10 cm from field center showed significant deviations reaching 20% from real positions. For reconstruction of object length positioned at less than 6 cm from isocenter also showed general deviations of up to 15% to real values.. It was therefore concluded that orthogonal radiography performed poorly in reconstructing object length and positions."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2006
T20869
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sammy Saleh Alhuraiby
"Latar belakang: Anterior knee pain (AKP) merupakan penyebab utama terjadinya
permasalahan yang persisten paska dilakukannya TKR. Saat ini di Indonesia belum
terdapat data mengenai luaran ini untuk mengevaluasi paska dilakukannya operasi
TKR, oleh karenanya kami merasa perlu untuk dilakukannya penelitian ini.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian kohort retrospektif. Subjek adalah
pasien yang menjalani operasi TKR di RS Cipto Mangunkusomo sejak Januari 2011
sampai Januari 2019. Pada penelitian ini, didapatkan total 69 lutut dimana 39 lutut
dilakukan tindakan non-resurfacing sementara 30 lutut dilakukan resurfacing.
Pasien dengan revisi TKR, riwayat infeksi sendi lutut atau tumor, implant
loosening, riwayat operasi pada sendi lutut sebelumnya di eksklusi dari penelitian
ini.
Hasil: Pada kelompok non-resurfacing terdapat 32 lutut perempuan (82,1%) dan 7
lutut laki-laki (17,9%), sementara kelompok resurfacing terdapat 22 lutut
perempuan (73,3%) dan 8 lutut laki-laki (26,7%). Baik pada kelompok nonresurfacing
dan resurfacing, terdapat peningkatan skor paska operatif joint motion
(p<0,001) dan expectation (p=0,046) dengan pengukuran KSS, namun nilai
satisfaction dibandingkan preoperative dan paska operatif pada kedua kelompok
menunjukan perbedaan yang tidak bermakna (p=0,314) dibandingkan dengan
sebelum dilakukannya operasi. Pada penilaian dengan kuesioner Kujala, ditemukan
perbedaan bermakna skor total (47 [42-58] vs 55 [45-63]; p < 0,001), limp (3 [3-5]
vs 5 [2-5]; p < 0,001), support (3 [3-5] vs 5 [3-5]; p < 0,001), walking (2 [2-3] vs 2
[2-5]; p < 0,035), running (0 [0-6] vs 3 [0-8]; p < 0,001), jumping (0 [0-0] vs 3 [0-
8]; p = 0,010), dan flexion deficiency (3 [0-3] vs 3 [0-5]; p = 0,021).
Kesimpulan: Kami menemukan bahwa TKR non-resurfasing berhubungan dengan
kejadian AKP. Namun tidak terdapat perbedaan skala nyeri diantara kelompok
resurfacing dan non-resurfacing patella. Selain itu, terdapat perbedaan signifikan
skor Kujala dan KSS pada kedua kelompok.

Background: Anterior knee pain (AKP) is a main problem that commonly occurs
after total knee replacement (TKR). In Indonesia, there are no data regarding this
outcome.
Methods: This study aims to evaluate AKP after TKR. This was a retrospective
study. Subjects were patients who underwent TKR from January 2011 to January
2019.
Results: There were 69 knees in this study, in which 39 subjects were nonresurfaced.
Those with revision TKR, history of infected knee joint or tumor,
implant loosening, history of infected knee joint, were excluded from this study. In
the non-resurfaced group, there were 32 (82.1%) women’s knees and 7 (17.9%)
men’s knees. Whereas, in the resurfaced group, there were 22 (73.3%) women’s
knees, and 8 (26.7%) men’s knees. In both the non-resurfaced and resurfacing
groups, there was an increase in joint motion scores (p<0.001) and expectation
(p=0.046) by measuring KSS but satisfaction scores compared to preoperative and
postoperative in both groups showed no significant differences (p=0.314)
compared to before surgery. In the assessment using the Kujala questionnaire,
differences in total score (47 [42-58] vs 55 [45-63]; p <0.001), limping (3 [3-5] vs
5 [2-5]; p <0.001 ), support (3 [3-5] vs 5 [3-5]; p <0.001), walking (2 [2-3] vs 2
[2-5]; p <0.035), running (0 [0- ] 6] vs 3 [0-8]; p <0.001), jump (0 [0-0] vs 3 [0-
8]; p = 0.010), and flexion deficiency (3 [0-3] vs 3 [ 0 -5]; p = 0.021).
Conclusion: We found that non-resurfacing patellar TKR was associated with
AKP. But there was no difference in pain scale between the resurfacing and nonresurfacing
patella groups Moreover, there were significant differences of both
Kujala Score and Knee Society Score in both groups.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>