Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 156003 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Andi Haryanto
"Latar Belakang. Takikardia dengan kompleks QRS lebar adalah gambaran EKG yang cukup sering kita temukan. Secara umum ada 3 aritmia yang dapat menyebabkan gambaran takikardia dengan kompleks QRS lebar yaitu: takikardia ventrikel, takikardia supraventrikel dengan aberansi dan takikardia supraventrikel dengan preksitasi. Ketiga aritmia ini penting untuk dibedakan karena memiliki kemaknaan klinis yang sangat berbeda. Berbagai cara sudah diteliti untuk membedakan ke tiga aritmia ini, cara yang sampai saat ini paling sering dipakai adalah dengan menggunakan algoritme ekektrokardiografi. Ada berbagai algoritme yang dapat digunakan, namun sampai sekarang hanya sedikit penelitian yang membandingkan akurasi dari algoritme-algortime tersebut. Penelitian ini akan membandingkan akurasi tiap algoritme-algoritme tersebut dan apabila memungkinkan menyusun suatu algortime baru yang akurat dan mudah digunakan.
Metode. Seluruh sampel EKG takikardia dengan kompleks QRS lebar dari bulan Juni 2009 sampai Juni 2013 yang telah menjalani studi elektrofisiologi di Pusat Jantung Nasional Harapan Kita, yaitu sebanyak 62 sampel di analisis oleh 2 orang dengan menggunakan algoritme Brugada, Vereckei, aVR dan R II Wave Peak Time (RIIPWT). Dilakukan analisis tes diagnostik, bivariat dan multivariat untuk tiap-tiap karakteristik EKG dari ke 4 algoritme tersebut. Dari analisa tersebut dibentuklah suatu algoritme baru yang terstruktur dan kemudian dilakukan validasi ulang dengan 56 EKG takikardia dengan kompleks QRS lebar yang berbeda.
Hasil. Dalam penelitian ini, hasil tes diagnostik algoritme Brugada memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang cukup baik (85.42%; 85.71%), sementara algortime Vereckei memiliki sensitivitas yang paling tinggi (93.73%). Untuk analisis pada tiap-tiap karakteristik EKG didapatkan 4 kriteria EKG memiliki spesifisitas sampai 100%. Pada analisis multivariat didapatkan kriteria EKG adanya gelombang r/q > 40ms pada sadapan aVR dan rasio vi/vt bermakna secara statistik. Kemudian berdasarkan hasil analisis tes diagnostik, multivariat, dan kappa inter dan intra observer dibuatlah algortime baru. Hasil validasi tes diagnostik mendapatkan sensitivitas, akurasi dan Likelihood Ratio algortime baru lebih tinggi dari algoritme-algoritme sebelumnya.
Kesimpulan. Karakteristik EKG yang paling bermakna secara statistik untuk membedakan VT dan SVT dengan aberansi pada takikardia dengan kompleks QRS lebar adalah adanya gelombang r/q > 40 ms di sadapan aVR dan rasio vi/vt. Algoritme baru yang dibuat berdasarkan keempat algoritme lainnya memiliki sensitivitas, akurasi, dan likelihood ratio yang lebih tinggi dari keempat algortime lainnya.

Background. Wide complex tachycardia is a quite common rhythm that we could find in ECG. Generally there are three arrhytmia that could cause such rhythm in ECG which are: ventricular tachycardia, supraventricular tachycardia with abberancy, supraventricular tachycardia with preexcitation. It is of the utmost importance to be able to differentiate this rhythms for they hold a very different clinical value. Many methods was used to differ this three arrhytmia, among all of them the electrocardiography algorthytm was one of the most commonly used. This study will compared all the accuracy of the previous algorhythms and if possible to developed a new accurate and simple algorhythm based on the previous algorhythm.
Method. All wide QRS complex tachycardia electrocardiography spanning from June 2009 up until June 2013 whose diagnosis confirmed by electrophysiology study at National Heart Center Harapan Kita with the sum of 62 samples were analyzed by 2 researcher using the Brugada, Vereckei, aVR, and R II Peak Wave Time. Diagnosis test was then performed with bivariat and multivariat analysis for every ECG criteria from the four previous algorhythm. From the previous analysis a new and structured algorhythm was formed and validity test was performed afterward using a different set of 56 wide QRS complex tachycardia.
Result. From the diagnostic analysis, the Brugada algorhythm come out with a formidable sensitivity dan specificity (85.42%; 85.71%), while the Vereckei algorhythm has the highest sensitivity (93.73%). There are four ECG criteria with 100% specificity. The multivariat analysis reveal two statistically significant ECG criteria which are the existence of r or q wave > 40 ms in the aVR lead and the vi/vt ratio. Based on the multivariat analysis, and kappa inter and intra observer, new algorhythm was formed. The Validity test afterward reveal the sensitivity, accuracy and likelihood ratio of the new algorhythm were superior compared with the previous algorhythm.
Conclusion. The most statitiscally significant ECG characteristic for differentiating VT and SVT with abberancy in wide QRS complex tachycardia were are the existence of r or q wave > 40 ms in the aVR lead and the vi/vt ratio. The new algorhythm build based on the four previous algorhythm has superior sensitivity, accuracy, and likelihood ratio compared with the previous algorhythms.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T58583
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zakiya Ulya Fawnia
"Hipertensi pulmonalis adalah kondisi hemodinamik yang ditandai dengan peningkatan tekanan arteri pulmonalis rata-rata (mPAP) lebih dari 20mmHg saat istirahat, yang dapat menyebabkan gagal jantung kanan, ventrikel takikardi, hingga syok kardiogenik. Penatalaksanaan awal pada pasien ventrikel takikardi dan syok kardiogenik meliputi pemeriksaan EKG, laboratorium, tirah baring, kolaborasi medikasi, kardioversi, dan stabilisasi hemodinamik. Hipertensi pulmonalis dapat menurunkan curah jantung dan memicu iskemia sistemik, menyebabkan gejala penurunan saturasi oksigen dan peningkatan laju pernapasan. Evaluasi dilakukan menggunakan pulse oximetry, perhitungan laju pernapasan selama satu menit, dan perasaan subjektif terhadap keluhan sesak klien. Karya ilmiah ini bertujuan menggambarkan asuhan keperawatan pada pasien syok kardiogenik, ventrikel takikardi, dan hipertensi pulmonalis dengan penerapan posisi semi fowler untuk memperbaiki oksigenasi dan menurunkan laju pernapasan. Metode yang digunakan berupa analisis asuhan keperawatan gawat darurat dan kritis. Implementasi perawatan jantung, oksigenasi, dan pemberian posisi semi fowler selama 4 hari menunjukkan peningkatan saturasi oksigen dan penurunan laju pernapasan.  Posisi semi fowler direkomendasikan sebagai salah satu intervensi mandiri keperawatan untuk memperbaiki status oksigenasi pasien, bersama dengan intervensi lainnya.   

Pulmonary hypertension is a hemodynamic condition characterized by an increase in mean pulmonary artery pressure (mPAP) greater than 20 mmHg at rest, which can lead to right heart failure, ventricular tachycardia, and cardiogenic shock. Initial management of patients with ventricular tachycardia and cardiogenic shock includes ECG examination, laboratory tests, bed rest, medication, cardioversion, and hemodynamic stabilization. Pulmonary hypertension can reduce cardiac output and trigger systemic ischemia, causing symptoms such as decreased oxygen saturation and increased respiratory rate. Evaluation is performed using pulse oximetry, respiratory rate calculation over one minute, and subjective assessment of the client’s dyspnea complaints. This study aims to describe nursing care for patients with cardiogenic shock, ventricular tachycardia, and pulmonary hypertension with the application of the semi-Fowler position to improve oxygenation and reduce respiratory rate. The method used is an analysis of emergency and critical nursing care. Implementation of cardiac care, oxygenation, and semi-Fowler positioning over four days showed improvements in oxygen saturation and reductions in respiratory rate. The semi-Fowler position is recommended as an independent nursing intervention to improve oxygenation status, in conjunction with other interventions. "
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2024
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ardhestiro Harnindyo Putro
"Latar Belakang : Telah banyak dipublikasikan berbagai macam algoritme untukmenentukan lokasi jaras tambahan pada pasien dengan sindroma Wolff-ParkinsonWhite.Algoritme-algoritme tersebut memiliki akurasi yang baik meskipunmemiliki alur yang komplek dan sulit untuk diingat. Berbagai macam algoritmeyang berkembang menggunakan morfologi delta wave dan polaritas komplek QRSdalam penyusunannya. Dengan adanya teknologi kateter ablasi yang ada saat inialgoritme yang komplek tidak diperlukan lagi. Diperlukan suatu algoritme yangsederhana, memiliki akurasi yang baik dan mudah diingat. Penelitian ini bertujuan untuk menilai akurasi algoritme sederhana untuk memprediksi lokasi jarastambahan.
Metode : Penelitian ini merupakan studi potong lintang yang dilakukan diDepartemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskuler FKUI/ Pusat Jantung NasionalHarapan Kita PJNHK. Data yang diambil berupa elektrokardiografi EKG pada67 pasien dengan sindroma Wolff-Parkinson-White yang menjalani tindakan ablasiperiode Januari 2014 - Oktober 2016. Data EKG yang terkumpul dibacaberdasarkan algoritme baru oleh dua orang penilai independen kemudiandibandingkan dengan hasil ablasi pada tabel 2x2.
Hasil Penelitian : sampel akhir sebanyak 47 data hasil bacaan EKG observerterpercaya dihitung berdasarkan tabel 2x2 dengan hasil ablasi. Hasil menunjukkanalgoritme ini memiliki sensitivitas left free wall 45, septal 80, right free wall92, spesifisitas left free wall 96, septal 69, right free wall 85. Nilai dugapositif NDP left free wall 90, septal 55, dan right free wall 67. Nilai duganegatif NDN left free wall 70, septal 88, dan right free wall 97. Akurasialgoritme bervariasi dari 73 -87. Didapatkan perhitungan kesepahaman antarpenilai dengan nilai kappa 0,74-0,93. Perhitungan likelihood ratio menunjukkanlikelihood ratio positif left free wall 11,23, septal 2,23, dan right free wall 6,57.Likelihood ratio negatif left free wall 0,57, septa 0,28, dan right free wall 0,09.
Kesimpulan : Algoritme baru yang lebih sederhana ini memiliki akurasi yang baikdengan angka kesepahaman antar penilai yang baik sehingga dapat digunakansecara umum.

Background : A lot of algorithms in localizing accessory pathway AP in patientswith Wolff Parkinson White Syndrome have been published. Although many ofthose methods have high accuracy, they are complicated and difficult to memorize.Most of the established algorithm use delta wave morphology and QRS polarity todetermine the location. With the technology of catheter ablation nowadays suchcomplex algorithms are not really needed. This study aim to investigate theaccuracy of a simple algorithm to predict the location of accessory pathways.
Methods : This was a cross sectional study conducted in the NationalCardiovascular Center Harapan Kita RSJPDHK Department Cardiology andVascular Medicine, FMUI. The electrocardiography ECG findings of 67 patientswith Wolff Parkinson White syndrome underwent ablations from January 2014until October 2016 were used in the current study. Those ECGs were analyzed usingthe new algorithm and were evaluated by two independent observers and comparedwith ablation results in a 2x2 table.
Results : The final number of samples was 47 ECGs. The algorithm showed it hada sensitivity of 45 on left free wall, 80 on septal, 92 on right free wall APs inaddition to the specificity of 96 on left free wall, 69 on septal, 85 on right freewall APs. Positive predictive value PPV were 90 on left free wall, 55 on septaland 67 on right free wall APs. Negative predictive value NPV were 70 on leftfree wall, 88 on septal and 97 on right free wall APs. Algorithm accuracy variedfrom 73 to 87. Inter observer agreement calculation was a kappa of 0.74 mdash 0.93.Likelihood ratio calculation identified the positive likelihood ratio of 11.23 on leftfree wall, 2.23 on septal and 6.57 on right free wall APs and negative likelihoodratio of 0.57 on left free wall, 0.28 on septal and 0.09 on right free wall APs.
Conclusion : This new and simple algorithm provide a remarkable accuracy with agood inter observer agreements. Therefore this algorithm is potential to beimplemented in general practice.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T55653
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Togatorop, Benny TM
"Latar belakang. Ablasi frekuensi radio pada atrioventricular nodal reentrant tachycardia (AVNRT) memiliki tingkat keberhasilan berupa tidak tercetusnya takikardia pada lebih dari 97 %. Secara elektrofisiologis, takikardia tidak tercetuskan dapat terjadi pada dua keadaan, yaitu eliminasi/hilangnya jaras lambat atau modifikasi jaras lambat (masih ada jaras lambat residual, tetapi tidak dapat menimbulkan takikardia lagi). Pada pengamatan jangka panjang ditemukan bahwa modifikasi jaras lambat memiliki tingkat rekurensi yang lebih tinggi dibanding eliminasi jaras lambat. Penelitian ini bertujuan untuk menilai hubungan antara durasi AH jump dengan status keberhasilan ablasi pada AVNRT.
Metoda. Penelitian ini merupakan suatu penelitian kohort retrospektif. Evaluasi dilakukan pada 56 pasien yang menjalani ablasi di Pusat Jantung Nasional Harapan Kita dan memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dari bulan Januari 2013 hingga bulan April 2014. Data klinis dan elektrofisiologis diambil dari catatan medis dan database divisi aritmia Rumah Sakit Pusat Jantung Nasional Harapan Kita. Selanjutnya dilakukan analisis statistik untuk menilai hubungan antar variabel.
Hasil. Pasien yang menjalani ablasi memiliki rerata usia 44,2 ± 15,1 tahun dengan proporsi perempuan lebih tinggi daripada laki-laki (64 %). Analisis bivariat maupun multivariat menunjukkan bahwa durasi AH jump merupakan prediktor independen eliminasi jaras lambat (RR 1,015 dengan IK 1,004 ? 1,026; p < 0,05). Kurva ROC menunjukkan bahwa durasi AH jump > 96 milidetik memberikan nilai sensitivitas 81 %, spesifisitas 65 %, PPV 77%, NPV 71 %. Selanjutnya, analisis multivariat memberikan nilai risiko relatif 13,3 (IK 2,9 ? 60,9; p < 0,05) pada pasien dengan durasi AH jump ≥ 96 milidetik dibanding pasien dengan durasi AH jump < 96 milidetik.
Kesimpulan. Penelitian ini membuktikan bahwa durasi AH jump merupakan prediktor independen eliminasi jaras lambat pada ablasi AVNRT. Durasi AH jump ≥ 96 milidetik memberi peningkatan keberhasilan eliminasi jaras lambat sebesar 13,3 kali dibanding dengan durasi AH jump < 96 milidetik.

Background. Radiofrequency ablation in atrioventricular nodal reentrant tachycardia (AVNRT) has a success rate of non inducible tachycardia more than 97%. In electrophysiology, non inducible tachycardia can occur in two circumstances, namely elimination / loss of slow pathway or modification (still have residual slow pathway, but can not cause tachycardia anymore). Some long term observations found that the modification of the slow pathway has a higher recurrence rate than the elimination of the slow pathway. This study aimed to assess the relationship between the duration of AH jump with success status in AVNRT ablation.
Method. This is a retrospective cohort study. The evaluation was done on 56 patients who underwent ablation at the National Cardiovascular Center Harapan Kita Hospital and fulfill the inclusion and exclusion criterias from January 2013 until April 2014. Clinical and electrophysiological data were collected from medical records and electrophysiology database from Division of arrhythmia National Cardiovascular Center Harapan Kita Hospital. Furthermore, statistical analysis was performed to assess the relationship between variables.
Results. Patients who underwent ablation had a mean age of 44.2 ± 15.1 years with a higher proportion of women than men (64%). Bivariate and multivariate analysis showed that the duration of the AH jump is an independent predictor of slow pathway elimination (RR 1.015 with CI 1.004 - 1.026, p <0.05). ROC curves showed that the duration of the AH jump > 96 milliseconds gave sensitivity of 81%, specificity of 65%, PPV of 77%, NPV of 71%. Furthermore, multivariate analysis gives the value of the relative risk of 13.3 (CI 2.9 - 60.9, p <0.05) in patients with AH jump duration ≥ 96 milliseconds compared with patients AH jump < 96 milliseconds.
Conclusion. This study proved that AH jump duration is an independent predictor of slow pathway elimination in AVNRT ablation. An AH jump duration of ≥ 96 milliseconds increased the successful rate of slow pathway elimination of 13.3 times compared with an AH jump duration of < 96 milliseconds.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Achmad Fachri
"ABSTRAK
Latar belakang dan tujuan: Modalitas radiografi toraks merupakan pemeriksaan
rutin dan tersedia di hampir setiap rumah sakit. Pengukuran secara kuantitatif
berupa vascular pedicle width (VPW), cardiothoracic ratio (CTR) maupun
vascular pedicle-thoracic ratio (VPTR) melalui radiografi toraks dapat membantu
dalam membedakan jenis edema paru dengan mengetahui titik potong rerata
VPTR berdasarkan kombinasi VPW dan CTR.
Metode: Penelitian dilakukan retrospektif dengan descriptive cross sectional pada
100 pasien dengan klinis edema paru yang telah melakukan radiografi toraks di
ICU Rumah Sakit CiptoMangunkusumo (RSCM) dalam rentang waktu Januari
2013 ? Desember 2015. Subjek dibagi menjadi edema kardiogenik dan non
kardiogenik berdasarkan kombinasi pengukuran VPW dan CTR. Kemudian
dilakukan pengukuran VPTR dan ditentukan titik potong rerata VPTR, sensitivitas
dan spesifisitas berdasarkan kombinasi VPW dan CTR dalam membedakan edema
paru.
Hasil: Dari total 100 subjek penelitian di ICU RSCM dengan metode Receiver
Operating Curve (ROC) didapatkan titik potong VPTR sebesar 25,1% dengan
sentivitas 90,5% dan spesifisitas 86,1% dalam membedakan edema paru
kardiogenik dan non kardiogenik. Selain itu diperoleh juga proporsi edema paru
kardiogenik sebesar 21%, sedangkan edema paru non kardiogenik sebesar 79%.
Kesimpulan: Titik potong VPTR berdasarkan kombinasi VPW dan CTR memiliki
sensitivitas dan spesifisitas yang cukup tinggi dalam membedakan edema paru
kardiogenik dan non kardiogenik.

ABSTRACT
Background and purpose: Pulmonary edema in critically ill patient were
challenging in intensive care unit (ICU). Radiography of thorax is routine
examination and widely available in almost every hospital. Measurement
quantitatively of vascular pedicle width (VPW), cardiothoracic ratio (CTR) and
vascular pedicle-thoracic ratio in thorax radiography can help in differentiating
the type of pulmonary edema through the cut off of VPTR based on combination
VPW and CTR.
Methods: Descriptive cross sectional restrospective in 100 patients with clinically
pulmonary edema which have examined by thorax radiography at ICU RSCM in
January 2013 to Desember 2015. Subject divided to cardiogenic and non
cardiogenic pulmonary edema based on combination VPW and CTR. Then,
VPTR were measured and the cut off of VPTR determined based on combination
VPW and CTR in differentiaiting pulmonary edema.
Results: From total 100 subject study at ICU RSCM using Receiver Operating
Curve (ROC) metode, the cut off of VPTR is 25,1% with sensitivity 90,5% and
specificity 86,1% in differentiating cardiogenic and non cardiogenic pulmonary
edema. Beside that, the prevalence of cardiogenik pulmonary edema is 21% and
non cardiogenic pulmonary edema is 79%.
Conclusion : The cut off of VPTR based on combination VPW and CTR have
significant sensitivity and specificity in differentiating cardiogenic and non
cardiogenic pulmonary edema."
2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Eka Susanto
"Latar Belakang: Astrositoma difus (WHO grade II) merupakan tumor astrositik yang paling sering ditemukan di FKUI/ RSCM. Tumor ini merupakan tumor invasif, potensial agresif, dan dapat bertransformasi menjadi astrositoma derajat tinggi. Gambaran histopatologik astrositosis dapat menyerupai astrositoma difus dan sukar dibedakan hanya dengan gambaran histopatologik, apalagi bila ukuran spesimen biopsi sangat kecil. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa mutasi gen TP53 sering ditemukan pada astrositoma difus. Penelitian ini dilakukan untuk melihat apakah pulasan imunohistokimia p53 dapat digunakan untuk membedakan astrositoma difus (WHO grade II) dengan astrositosis.
Bahan dan Metode: Studi diagnostik dilakukan pada 20 kasus astrositoma difus dan 20 kasus lesi astrositosis menggunakan antibodi monoklonal p53 klon D0-7, NovocastraTM dengan baku emas pemeriksaan histopatologik. Penilaian histopatologik dan ekspresi p53 dinilai secara tersamar. Pulasan imunohistokimia dinyatakan dalam skor, yaitu positif bila inti astrosit terwarnai coklat tua. Hasil penilaian ekspresi pulasan p53 dimasukkan ke dalam tabel 2x2 untuk dihitung nilai diagnostiknya.
Hasil: Protein p53 terekspresi kuat pada 13 kasus astrositoma difus dan 1 kasus astrositosis karena peradangan. Sensitivitas dan spesifisitas yang didapat adalah 65% dan 95%. Ekspresi lemah dan sedang tidak terbatas pada astrositoma difus, namun dijumpai pula pada kasus astrositosis.
Kesimpulan: Pada penelitian ini di dapatkan spesifisitas yang tinggi, namun sensitivitas rendah. Ekspresi p53 tidak terbatas pada astrosit neoplastik, tapi juga dijumpai pada astrosit reaktif dan sel selain astrosit. Oleh karena itu diperlukan kehati-hatian dalam interpretasi ekspresi p53.

Background: Diffuse astrocytoma (WHO grade II) is the most common astrocytic tumor in FMUI/ CMH. This tumor is an invasive, potentially aggresive, and can be transformed into high grade astrocytoma. In daily practice, diagnosis of diffuse astrocytoma can be difficult to established with morphology alone. This is because of similar clinical, radiological, and morphology with its mimics, especially astrocytosis. This situation become more complicated with small biopsies. Previous studies showed that diffuse astrocytoma often harbor TP53 gene mutation. The aim of this study is to assess the usefulness of p53 immunohistochemistry to distinguish diffuse astrocytoma (WHO grade II) from astrocytosis.
Material and Methods: In this study we assessed the immunoreactivity of 20 diffuse astrocytomas cases and 20 astrocytosis lesions with p53 monoclonal antibody clone DO-7, NovocastraTM. The diagnostic test then performed with histopathology as gold standard. Histopathology and p53 staining were done independently. Only dark brown nuclear staining were scored positive. We establish 2x2 table and calculate the diagnostic values.
Result: Thirteen diffuse astrocytomas and one lesion with astrocytosis are strongly immunorective to p53 antibody. Weak and moderate staining intensity were observed in astrocytosis. The sensitivity is 65% and specificity 95%.
Conclusion: The diagnostic values of p53 immunohistochemistry alone were limited regarding to low sensitivity (65%) despite of high specificity (95%). The assessment of p53 positivity must be carefully established since the immunoreactivity were not limited to neoplastic astrocytes but also by reactive astrocytes and other cells.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Bimo Bintoro
"Latar Belakang. Pemacuan ventrikel kanan merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari tatalaksana bradikardi simptomatik, bradiaritmia, dan kelainan konduksi lainnya. Sayangnya terdapat efek buruk pemacuan ventrikel kanan terhadap disinkroni dan penurunan fungsi ventrikel kiri. Penelitian ini mencoba melihat secara potong lintang hubungan pemacuan ventrikel kanan terhadap kejadian disinkroni dan penurunan fungsi ventrikel kiri.
Metode. Seratus delapan belas pasien dengan disfungsi nodal AV diambil secara konsekutif untuk studi potong lintang, mulai bulan Maret hingga Mei 2013 didapat dari registri divisi Aritmia Pusat Jantung Nasional Harapan Kita, Jakarta. Pasien menjalani pemeriksaan disinkroni dan fungsi ventrikel kiri dengan ekokardiografi. Dilakukan penilaian terhadap interval elektromekanikal dengan doppler jaringan, kemudian dinilai variabel nilai awal yang didapat dari rekam medis pasien.
Hasil. Dalam studi kami, 70 dari 118 (59.3%) pasien mengalami disinkroni dalam rerata durasi pemacuan 4.7 tahun. Terdapat perbedaan signifikan terhadap durasi waktu di kelompok pasien yang mengalami disinkroni intraventrikel dengan yang tidak mengalami disinkroni intraventrikel (5.29 vs 3.27 tahun). Setelah pemacuan ventrikel kanan 6.1 tahun, pasien paska pacu-jantung berisiko untuk mengalami disinkroni intraventrikel dengan OR 4.07 kali. Tidak didapatkan perbedaan bermakna antara pemacuan di apeks RV ataupun RVOT terhadap kejadian disinkroni. Terdapat kecenderungan kejadian disinkroni intraventrikel, disinkroni interventrikel, dan penurunan fraksi ejeksi ventrikel kiri pada pasien-pasien yang mendapatkan pemacuan apeks RV.
Kesimpulan. Semakin lama durasi pemacuan ventrikel kanan, semakin tinggi risiko kejadian disinkroni intraventrikel pada pasien pacu-jantung permanen dengan OR di atas 6.1 tahun adalah 4.07 kali.

Background. Right ventricular pacing is an established therapy from the management of symptomatic bradycardia, brady-arrhytmias, and other conduction disturbances. Unfortunately there are deleterious effects of right ventricular pacing on cardiac synchrony and left ventricular function. This study tried to look cross sectionaly the variable of pacing duration, lead locations to the occurrence of dyssynchrony and decrease left ventricular ejection fraction.
Method. One hundred and eighteen patients with AV nodal dysfunction (SND with AVN dysfunction, AF slow response, Total AV-Block, and AF post AVJ ablation) taken consecutively for this cross-sectional study, from March to May 2013 obtained from the registry division of the National Cardiac Arrhythmia Center Harapan Kita, Jakarta. Patients then undergone echocardiography assessment for cardiac dyssynchrony and left ventricular function. After we assessed of the electromechanical interval with tissue Doppler, we then assessed the value of the basic variables that was obtained from patient medical records.
Results. In our study, 70 of 118 (59.3%) patients had dyssynchrony at a mean duration of pacing disinkroni in 4.7 years. There are significant differences in the duration of time under pacing in the group of patients who experienced intraventricular dyssynchrony (5.29 vs. 3.27 years). In post-cardiac pacemaker patients, there were increased risk by year with peak after 6.1 years of OR 4.07 times. There were no significant differences between pacing lead at the RV apex or RVOT. There is a downward trend in intraventricular and interventricular dyssynchrony, also with poor left ventricular ejection fraction in patients receiving RV apical pacing.
Conclusion. The longer the duration of right ventricular pacing, the higher the risk of intraventricular dyssynchrony in patients with permanent cardiac pacemaker (OR for patients with RV pacing more than 6.1 years is 4.07x).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Kresna Mutia
"Optimasi uji imunofluoresensi untuk mendeteksi dan membedakan serotipe virus dengue telah dilakukan. Berdasarkan hasil, galur sel Vero76 merupakan sel terbaik untuk visualisasi dengan konsentrasi optimum antibodi primer yaitu 3,5 µg/ml untuk 4G2 (Anti Flavivirus), 3,8 µg/ml untuk 15F3 (Anti DEN1), 4,1 µg/ml untuk 3H5 (Anti DEN2), 4,4 µg/ml untuk 5D4 (Anti DEN3), dan 5,8 µg/ml untuk 1H10 (Anti DEN4), antibodi sekunder FITC sebesar 10 µg/ml, dan 7 µg/ml untuk antibodi dilabel Alexa Fluor. Uji sensitivitas menunjukkan bahwa uji imunofluoresensi mampu mendeteksi virus hingga 10-3 (0,001) plaque forming unit (PFU)/ml. Uji spesifisitas menunjukkan antibodi monoklonal yang diproduksi spesifik terhadap setiap serotipe.

Optimization of immunofluorescence assay (IFA) for detecting and serotyping dengue virus had been done. The results showed that Vero76 cell line was the best cell for visualization, with optimum concentration for primary antibody was 3.5 µg/ml for 4G2 (Anti Flavivirus), 3.8 µg/ml for 15F3 (Anti DEN1), 4.1 µg/ml for 3H5 (Anti DEN2), 4.4 µg/ml for 5D4 (Anti DEN3), and 5.8 µg/ml for 1H10 (Anti DEN4), while for FITC-labelled secondary antibody was 10 µg/ml, and 7 µg/ml for Alexa Fluor-labeled antibody. The sensitivity showed that IFA were able to detect viruses up to 10-3 PFU/ml. The specificity assay demonstrated that the monoclonal antibodies were specific to each serotype."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2011
S824
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Donny Setyawan Syamsul
"Latar Belakang : Hipertensi merupakan kondisi yang banyak ditemui di pusatkesehatan primer dan menjadi suatu faktor risiko terjadinya disfungsi diastolik.Disfungsi diastolik ini terjadi sebelum gagal jantung pada pasien hipertensidengan fraksi ejeksi ventrikel kiri normal, sehingga diagnosa disfungsi diastolikpenting untuk dapat diketahui secara dini sebelum terjadi gagal jantung. Beberapafaktor telah diketahui dapat mempengaruhi terjadinya disfungsi diastolik ventrikelkiri. Faktor-faktor tersebut diharapkan dapat digunakan untuk dibuat suatu sistemskor disfungsi diastolik ventrikel kiri.
Tujuan : Mengetahui faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kejadian disfungsidiastolik ventrikel kiri pada pasien hipertensi, dan membuat suatu sistem skor darifaktor-faktor tersebut.
Metode : Penelitian ini merupakan studi potong lintang yang dilakukan di RumahSakit Umum Daerah Tarakan Kalimantan Utara pada subyek dengan hipertensi.Penelitian dilakukan pada bulan Oktober 2016. Dilakukan pencatatan karakteristikpasien, faktor-faktor yang diketahui mempengaruhi disfungsi diastolik, serta hasilpemeriksaan ekokardiografi, terutama parameter pemeriksaan penilaian fungsidiastolik ventrikel kiri.
Hasil : Total sampel penelitian ini adalah 132 sampel, dimana disfungsi diastolikventrikel kiri didapatkan pada 40,2 pasien hipertensi. Faktor-faktor yang dapatdijadikan sebagai determinan untuk model akhir sistem skor dari hasil analisisregresi logistik adalah usia ge;55 tahun OR 4,97, IK95 1,60-15,42, p=0,006 ,tekanan darah tidak terkontrol OR 22,33, IK95 4,11-121,48, p.

Background: Hypertension is the most common condition seen in primary careand as a risk factor for diastolic dysfunction. Diastolic dysfunction occurredbefore heart failure in hypertensive patients with preserved ejection fraction, sothat early diagnosis of diastolic dysfunction diagnosis is very important. Severalfactors has been known related with left ventricular diastolic dysfunction. A newscoring system of left ventricular diastolic dysfunction could be formulated fromthose factors.
Objectives: To identify factors related to left ventricular diastolic dysfunction inhypertensive patients, and to create a scoring system from those related factors.
Methods: This is a cross sectional study that was conducted in Tarakan GeneralDistrict Hospital North Borneo with hypertensive subjects, on October 2016.Patients characteristics was noted, and all factors related to left ventricukardiastolic dysfunction, echocardiographic examination, especially for leftventricular diastolic function parameters.
Results: There are 132 total samples in this study, and left ventricular diastolicdysfunction was found in 40,2 samples. Determinant variables for the finalmodel of scoring system from logistic regression analysis were age ge 55 years old OR 4.97, 95 CI 1.60 15.42, p 0,006 , poor blood pressure control OR 22.33,95 CI 4.11 121.48, p
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T57639
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dema Zurtika
"Latar Belakang: Kanker payudara adalah salah satu keganasan yang paling sering dan penyebab utama kematian terkait kanker pada perempuan. Ultrasonografi (USG) merupakan modalitas radiologis yang paling banyak dipakai dan banyak tersedia untuk menilai kelainan payudara. Pemeriksaan imunohistokimia bertujuan untuk mengetahui karakteristik molekular kanker payudara di antaranya adalah subtipe luminal A dan luminal B. Hasil imunohistokimia menjadi dasar dalam pemberian terapi dan prognosis pasien kanker payudara, namun pemeriksaan tersebut belum tersedia secara luas. Data temuan morfologis lesi berdasarkan USG payudara dalam membedakan kanker payudara subtipe luminal A dan luminal B masih terbatas dan memberikan hasil yang bervariasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui temuan morfologis lesi berdasarkan USG payudara yang dapat membedakan kanker payudara subtipe luminal A dan luminal B.
Metode: Studi retrospektif ini melibatkan subyek dengan kanker payudara yang belum mendapat terapi serta memiliki data USG dan data imunohistokima subtipe luminal A dan luminal B. Dilakukan analisis menggunakan uji Chi Square antara temuan morfologis USG (echogenic rim, batas spikulasi, posterior shadowing, dan indeks Adler) dengan imunohistokimia subtipe luminal A dan luminal B.
Hasil: Diperoleh 188 subyek dengan usia rerata subyek 49,4 tahun, nilai median ukuran lesi 6 cm, dan sebesar 68% subyek adalah stadium lokal lanjut. Proporsi kelompok luminal B 62% sedangkan luminal A 38%. Terdapat perbedaan bermakna antara stadium kanker payudara dengan kelompok subtipe luminal (p = 0,014). Ditemukan perbedaan yang bermakna antara morfologis lesi echogenic rim dengan kelompok luminal, dengan nilai p = 0,03 dan OR 1,94 (95% CI 1,06 – 3,55). Pada analisis subyek usia ≥ 50 tahun ditemukan perbedaan proporsi yang signifikan pada ukuran tumor (p = 0,043), stadium (p = 0,001), echogenic rim (p = 0,05), dan penebalan kutis subkutis (p = 0,007).
Simpulan: Proporsi temuan echogenic rim berdasarkan USG payudara di kelompok kanker payudara subtipe luminal A secara bermakna lebih tinggi dibandingkan subtipe luminal B. Adanya lesi dengan echogenic rim maka kemungkinan untuk diagnosis kanker payudara subtipe luminal A adalah 1,94 kali dibandingkan lesi tanpa echogenic rim.

Background: Breast cancer is one of the most common malignancies and the leading cause of cancer-related death in women. Ultrasonography (USG) is the most widely used radiology modality for assessing breast abnormalities. Immunohistochemistry examination allow to determine the molecular characteristics of breast cancer, includes luminal A and luminal B subtypes. The results are used as the treatment guidance and prognosis, but these tests are not widely available. The study of morphologic lesions based of breast ultrasound to differentiate luminal A and luminal B subtypes of breast cancer are still limited and give varied results. The aim of this study is to determine the morphologic lesions on breast ultrasound that can be used to differentiate luminal A and luminal B subtype.
Method: A retrospective study was conducted by reviewing imaging of subjects with untreated breast cancer who had undergone ultrasound examination and immunohistochemistry examination of luminal A and luminal B subtypes. Chi Squared test was performed to evaluate the relationship between morphological findings of ultrasound (echogenic rim, spiculation, posterior shadowing, and Adler's index) and luminal A and luminal B subtypes breast cancer.
Result: Total subject was 188 with the mean age of the subjects was 49,4 years, the median value of the lesion size was 6 cm, and 68% of the subjects were locally advanced stage. Luminal B group was 62% of the subject while luminal A was 38%. There was a significant difference between the stage of breast cancer and the luminal subtype group (p = 0,014). A significant difference also was found between the echogenic rim lesions and the luminal group, with p value = 0,03 and OR 1,94 (95% CI 1,06 – 3,55). In the subgroup analysis (aged ≥ 50 years), also noted that there were significant differences in the proportion of tumor size (p = 0,043), stage (p = 0,001), echogenic rim (p = 0,05), and skin thickening (p = 0,007).
Conclusion: The proportion of echogenic rim findings in the luminal A subtype breast cancer group was significantly higher than the luminal B subtype. The presence of a lesion with an echogenic rim means the probability of a diagnosis of luminal A subtype breast cancer is 1,94 times compared to lesion without an echogenic rim.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>