Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 152588 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Alvina Christine
"ABSTRAK
Penyakit jantung bawaan (PJB) mengakibatkan morbiditas yang signifikan pada anak dan merupakan penyebab kematian utama dari antara kelainan kongenital lainnya. Usaha preventif PJB dengan cara identifikasi faktor risiko maternal diharapkan dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas PJB.
Tujuan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: (1) karakteristik (usia saat pertama kali terdiagnosis, jenis kelamin, status gizi, dan status ekonomi keluarga) penderita PJB anak di Poliklinik Kardiologi Ilmu Kesehatan Anak (IKA) Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), (2) faktor risiko maternal yang diperkirakan mempengaruhi terjadinya PJB pada anak, yaitu: merokok aktif dan pasif selama kehamilan, diabetes melitus, obesitas, infeksi rubela saat kehamilan, usia saat kehamilan, dan pendidikan.
Metode. Penelitian kasus kontrol dengan consecutive sampling dilakukan di Poliklinik Kardiologi IKA RSCM pada bulan Januari-Maret 2014. Pemeriksaan klinis, ekokardiografi, dan wawancara dilakukan terhadap 68 subjek PJB (kelompok kasus) dan 68 subjek anak sehat (kelompok kontrol).
Hasil. Jumlah subjek penelitian sebanyak 136 subjek, dengan perbandingan kasus:kontrol adalah 1:1. Median (rentang) usia subjek saat diagnosis PJB adalah 5,5 (0,5-180) bulan, sebesar 80,9% terdiagnosis saat berusia kurang dari 1 tahun. Sebagian besar subjek PJB adalah perempuan (57,4%), mengalami malnutrisi (51,5%), dengan 7,4% di antaranya merupakan gizi buruk, dan memiliki status ekonomi keluarga menengah ke bawah (76,5%). Defek PJB non sianotik terbanyak adalah defek septum ventrikel (44,1%) dan PJB sianotik terbanyak adalah Tetralogi Fallot (14,7%). Faktor risiko maternal yang terbukti berhubungan bermakna dengan PJB anak adalah tingkat pendidikan ibu yang rendah. Faktor risiko merokok aktif dan pasif saat kehamilan, obesitas, dan usia ibu saat kehamilan tidak terbukti berhubungan dengan PJB anak, sedangkan faktor diabetes melitus dan infeksi rubela saat kehamilan tidak dapat dianalisis pada penelitian ini.
Simpulan. Median (rentang) usia subjek saat diagnosis PJB adalah 5,5 (0,5-180) bulan, sebagian besar subjek terdiagnosis saat berusia kurang dari 1 tahun (80,9%). Sebagian besar subjek PJB adalah perempuan (57,4%), mengalami malnutrisi (51,5%), dan 7,4% di antaranya merupakan gizi buruk, dengan status ekonomi keluarga menengah ke bawah (76,5%). Faktor risiko maternal yang terbukti berhubungan bermakna dengan PJB anak adalah tingkat pendidikan ibu yang rendah.

ABSTRACT
Congenital heart defects (CHD) cause significant morbidities and are the leading cause of death among other congenital anomalies. Preventive measures with identification of maternal risk factors are expected to decrease morbidity and mortality rate in children due to CHD.
Objectives. This study aimed to define: (1) characteristics (age at diagnosis, gender, nutritional status, and family’s economy status) of CHD patients in Pediatric Cardiology Clinic Cipto Mangunkusumo Hospital (CMH), (2) maternal risk factors that may influence CHD in children, namely: active and passive smoking in pregnancy, diabetes mellitus, obesity, rubella infection in pregnancy, age at pregnancy, and education.
Method. Case-control study with consecutive sampling was performed in Pediatric Cardiology Clinic CMH in January-March 2014. Clinical examination, echocardiography, and interview were performed in 68 CHD subjects (case group) and 68 healthy subjects (control group).
Results. Total subject in this study was 136, with ratio of case:control is 1:1. Median (range) of subject’s age at diagnosis was 5.5 (0.5-180) months, and 80.9% were diagnosed in the first year of age. Most of the subjects were female (57.4%), were malnourished (51.5%) with 7.4% were severe malnourished, and were from middle to low income family (76.5%). The most prevalent non cyanotic CHD was ventricle septal defect (44.1%), and the most prevalent cyanotic CHD was Tetralogy of Fallot (14.7%). Maternal risk factor that was significantly associated with CHD was low maternal education. Active and passive smoking in pregnancy, obesity, and maternal age at pregnancy were not associated with CHD, whereas diabetes mellitus and rubella infection in pregnancy could not be analyzed in this study.
Conclusion. Median (range) of subject’s age at diagnosis was 5.5 (0.5-180) months, and mostly were diagnosed in the first year of age (80.9%). Most of the subjects were female (57.4%), were malnourished (51.5%) with 7.4% were severe malnourished, and were from middle to low income family (76.5%). Maternal risk factor that was significantly associated with CHD was low maternal education."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rani Setiorini
"Latar belakang: Penyakit jantung bawaan (PJB) didapatkan pada 40-50% pasien sindrom Down, merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas. Salah satu manifestasi tambahan lain selain PJB adalah hipertensi pulmoner. Faktor-faktor risiko yang berperan untuk terjadinya PJB, terjadi pada periode perikonsepsi yaitu 3 bulan sebelum kehamilan hingga trimester pertama kehamilan. Beberapa penelitian mengenai faktor risiko PJB yang telah dilakukan memiliki hasil yang tidak konsisten baik dalam populasi sindrom Down sendiri, maupun apabila dibandingkan dengan populasi umum.
Tujuan: Mengetahui prevalens PJB dan hipertensi pulmoner, jenis PJB yang banyak didapatkan, dan faktor risiko PJB pada sindrom Down.
Metode: Studi potong lintang observational analytic pada pasien sindrom Down berusia ≤5 tahun di RSCM. Data diambil dari wawancara dengan orangtua subyek yang datang langsung ke poliklinik rawat jalan RSCM Kiara, Departemen Rehabilitasi Medis, dirawat di Gedung A RSCM, IGD, perinatologi maupun orangtua dari subyek yang tercatat di rekam medis dengan diagnosis sindrom Down atau memiliki International Classification of Disease (ICD) 10 Q90.9 sejak Januari 2012 hingga Desember 2015.
Hasil penelitian: Sebanyak 70 subyek sindrom Down memenuhi kriteria inklusi. Median usia subyek adalah 16,5 bulan. Penyakit jantung bawaan didapatkan pada 47,1% subyek. Defek septum atrium dan duktus arteriosus paten merupakan PJB terbanyak yang didapatkan yaitu masing-masing 30,3%. Penyakit jantung bawaan lain yang didapatkan adalah defek septum atrioventrikel dan defek septum ventrikel yaitu sebesar 18,2 dan 21,2%. Hipertensi pulmoner didapatkan pada 17,1% subyek dengan 10/12 subyek terjadi bersamaan dengan PJB. Usia ibu ≥35 tahun [p= 0,77; OR 0,87 (0,34-2,32)], usia ayah ≥35 tahun [p= 0,48; OR 1,44 (0,52-4,01)], febrile illness [p= 0,72; OR 0,81 (0,25-2,62)], penggunaan obat-obat yaitu antipiretik [p= 0,71; OR 0,60 (0,14-2,82)], antibiotik (p=0,91; OR 1,13 (0,15-8,5)], jamu/obat herbal [p=0,89; OR 0,89 (0,22-3,60)], keteraturan penggunaan asam folat [p= 0,27; OR 0,58 (0,22-1,50)], ibu merokok (p= 0,34), dan pajanan rokok [p= 0,89; OR 0,94 (0,36-2,46)] saat periode perikonsepsi tidak terbukti berhubungan dengan terjadinya PJB pada sindrom Down.
Kesimpulan: Faktor risiko lingkungan periode perikonsepsi tidak terbukti berhubungan dengan kejadian PJB pada sindrom Down."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Waworuntu, David Soeliongan
"Latar Belakang: Infeksi menjadi masalah pada anak dengan penyakit jantung bawaan (PJB),
terutama pneumonia. Faktor risiko yang mendasari perjalanan pneumonia pada anak adalah:
usia, jenis kelamin, status gizi, pemberian ASI, berat lahir rendah, status imunisasi,
pendidikan orangtua, status sosioekonomi, penggunaan fasilitas kesehatan. Insidens
pneumonia pada anak dengan PJB pirau kiri ke kanan meningkatkan morbiditas dan
mortalitas.
Tujuan: Mengetahui insidens pneumonia anak dengan PJB pirau kiri ke kanan dan faktor
risiko yang terkait.
Metode: Penelitian ini adalah studi analitik dengan rancangan cohort retrospective
berdasarkan penelusuran rekam medis di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo dari tahun 2015 -
2019, Jakarta. Diagnosis PJB pirau kiri ke kanan berdasarkan echocardiography. Dari hasil
yang ada, dilakukan analisis multivariat dan dilaporkan sebagai odds ratio (OR).
Hasil: Dari 333 subyek dengan PJB pirau kiri ke kanan, 167 subyek mengalami pneumonia
(50,2%). Proporsi jenis PJB pirau kiri ke kanan terbanyak yang menyebabkan pneumonia
adalah defek septum ventrikel (VSD), yaitu 41,9%. Defek ukuran besar berhubungan dengan
angka kejadian pneumonia (p=0,001). Faktor risiko yang mempengaruhi kejadian pneumonia
pada anak dengan PJB pirau kiri ke kanan antara lain: status gizi buruk [OR 5,152 (95% CI
2,363-11,234)], status imunisasi tidak lengkap [OR 9,689 (95% CI 4,322-21,721)], status
sosioekonomi rendah [OR 4,724 (95% CI 2,003-11,138)], dan ukuran defek yang besar [OR
5,463 (95% CI 1,949-15,307)].
Simpulan: Insidens pneumonia pada anak dengan PJB pirau kiri ke kanan sebesar 50,2 %.
Tipe PJB dengan insidens pneumonia terbanyak adalah VSD. Status gizi, imunisasi, status
sosioekonomi dan ukuran besar defek mempengaruhi angka kejadian pneumonia."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ace Trantika
"Pemberian air susu ibu ASI merupakan bentuk pemberian makanan yang paling disarankan untuk semua bayi, termasuk bayi dengan kebutuhan medis khusus seperti penyakit jantung bawaan. Penelitian ini bertujuan untuk memaparkan perilaku pemberian ASI pada 165 ibu yang memiliki bayi penderita penyakit jantung bawaan. Metode penelitian menggunakan survey deskriptif kuantitatif. Pengumpulan data menggunakan kuesioner pemberian ASI dan kuesioner perilaku pemberian ASI yang dimodifikasi dari penelitian Rickman 2017. Pemberian ASI eksklusif pada bayi penderita penyakit jantung bawaan hanya sebesar 36,4. Responden berusia 21-39 tahun tidak memberikan ASI eksklusif, begitupun dengan responden berpendidikan tinggi, tidak bekerja, berpendapatan cukup, multipara, dan berpengetahuan baik. Berdasarkan riwayat persalinan, responden yang melahirkan di fasilitas kesehatan, melahirkan secara sesar, melakukan inisiasi menyusu dini IMD. dan yang dirawat gabung tidak memberikan ASI eksklusif. Pada variabel dukungan sosial, responden yang mendapat dukungan suami dan ibu/mertua tidak memberikan ASI ekslusif. Sebanyak 62,2 bayi penderita kelainan asianotik dan 65,3 bayi penderita kelainan sianotik tidak mendapatkan ASI eksklusif. Kondisi medis bayi yang menyebabkan kendala menyusu pada bayi merupakan faktor utama tidak berhasilnya pemberian ASI eksklusif pada bayi penderita penyakit jantung bawaan. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa tenaga kesehatan kurang memberikan motivasi dan dukungan pada responden untuk memberikan ASI secara eksklusif. Hasil studi ini dapat menjadi informasi untuk menerapkan konseling ASI yang efektif dan tenaga kesehatan diharapkan mampu memberikan dukungan dan motivasi pada ibu untuk memberikan ASI secara eksklusif pada bayinya.

Breastfeeding is the most recommended feeding for all infants, including infants with special medical needs such as congenital heart disease. This study aims to describe the breastfeeding behavior in 165 mothers who have infants with congenital heart disease. This research method used. quantitative descriptive survey. Data were collected using. modified breastfeeding and breastfeeding behavior questionnaire from Rickman 2017 study. Exclusive breastfeeding in infants with congenital heart disease is only 36.4. Respondents aged 21 39 years old did not provide exclusive breastfeeding, as did high educated, unemployed, fair income, multiparent, and knowledgeable respondents. Based on the history of labor, respondents who gave birth at. health facility, delivered by cesarean section, initiated breastfeeding, and who were treated together with their infants did not provide exclusive breastfeeding. In social support variables, respondents who have the support of husband and mother mother in law did not provide exclusive breastfeeding. As many as 62.2 of infants with asianotic abnormalities and 65.3 of infants with cyanotic abnormalities were not exclusively breastfed. The infant 39. medical condition that causes breastfeeding difficulties in infants is. major factor in the failure of exclusive breastfeeding in infants with congenital heart disease. The results also show that health workers less motivation and support to respondents to exclusively breastfeed. The results of this study can become an information to implement effective breastfeeding counseling and health workers are expected to provide support and motivation in mothers to exclusively breastfeed their babies.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mochamad Iskandarsyah Agung Ramadhan
"Latar Belakang: Penyakit jantung bawaan (PJB) dikoreksi dengan bedah jantung terbuka dengan bantuan alat mesin pintas jantung paru (cardiopulmonary bypass). Namun teknik ini dapat menyebabkan inflamasi pada paru yang menghasilkan kondisi Acute Respiration Dysfunction Syndrome (ARDS). Meskipun insidensinya pada pasien bedah dengan mesin pintas jantung paru hanya rendah, tingkat mortalitasnya dapat mencapai 50%.
Tujuan: Mengetahui hubungan antara durasi penggunaan mesin jantung paru dengan insidensi ARDS pada pasien anak dengan PJB pasca bedah jantung terbuka.
Metode: Studi kohort retrospektif dilakukan terhadap 194 anak yang menjalani bedah jantung terbuka atas indikasi PJB di Unit Pelayanan Jantung Terpadu (UPJT) RSCM periode Januari 2014-September 2015.
Hasil: 64 (32,99%) pasien mengalami ARDS pasca bedah jantung terbuka dan sisanya sebanyak 130 (67,01%) tidak mengalami ARDS. Median penggunaan mesin pada golongan ARDS dan non-ARDS masing-masing sebesar 80 menit (23-219, IK90%) dan 70 menit (18-320, IK90%). Insidensi ARDS pada kelompok dengan durasi pendek (≤60 menit) adalah 27,5% dan dengan durasi panjang (> 60 menit) adalah 36%. Secara statistik dan klinis tidak terdapat hubungan bermakna antara durasi penggunaan mesin dengan munculnya ARDS (p = 0,298, uji chi square).
Kesimpulan: Tidak terdapat hubungan bermakna antara durasi penggunaan mesin pintas jantung paru dengan kejadian ARDS pada pasien PJB pasca bedah jantung terbuka.

Background: Congenital heart disease (CHD) is corrected by open thoracic surgery with the help of cardiopulmonary bypass machine (CPB). This technique can cause pulmonary inflammation resulting in Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS). Even though its incidence is low, the mortality rate of is up to 50%.
Aim: To find whether the duration of CPB using is related with incidence of ARDS in pediatric patients underwent open thoracic surgery.
Methods: Retrospective cohort study was done involving 194 pediatric patients underwent open thoracic surgery with CHD indication at Unit Pelayanan Jantung Terpadu (UPJT) RSCM within January 2014 and 2015 September.
Results: 64 (32,99%) patients had ARSD after open thoracic surgery. The mean of CPB machine duration was 80 minutes (23-219, CI90%) in patients with ARDS and 70 minutes (18-320, CI90%) in patients with no ARDS. The incidence of ARDS in patients with short duration of CPB (≤60 minutes) was 27.5% and long duration (>60 minutes) was 36%. There was no such correlation statistically and clinically between duration of CPB and ARDS occurence (p = 0.298, chi square test).
Conclusion: Duration of CPB using is not related with ARDS occurrence in pediatric patients with CHD underwent open thoracic surgery.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andina Judith
"Latar belakang: Penyakit jantung bawaan (PJB) pirau kiri ke kanan adalah penyebab penting gagal tumbuh pada anak. Koreksi terhadap defek tersebut diketahui memperbaiki prognosis pertumbuhan berat maupun tinggi badan. Tujuan. Mengetahui korelasi usia koreksi defek dengan pertambahan tinggi badan pada pasien PJB pirau kiri ke kanan pasca-koreksi terhadap prognosis pertumbuhan.
Metode: Penelitian dilakukan secara potong lintang dengan menggunakan rekam medis pada subyek dengan PJB pirau kiri ke kanan yang dikoreksi kurang dari 2 tahun di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) dengan variabel bebas usia koreksi defek dan variabel terikat z-skor dan Δz-skor TB/U pasca-koreksi. Referensi pertumbuhan menggunakan kurva WHO 2006. Perhitungan korelasi dilakukan menggunakan korelasi Spearman dan kemaknaan ditetapkan dengan p<0,05.
Hasil: Median usia koreksi defek pada penelitian ini adalah 8 bulan dengan usia koreksi terbanyak adalah kurang dari 6 bulan dan usia 6-12 bulan masing-masing sebanyak 11 orang. Defek terbanyak adalah VSD. Usia koreksi defek tidak berkorelasi dengan z-skor TB/U pasca-koreksi berdasarkan uji korelasi Spearman (r= 0,093) dengan nilai p=0,642. Usia koreksi defek dengan Δ z-skor TB/U tidak ditemukan korelasi berdasarkan uji korelasi Spearman (r=0,143) dengan nilai p=0,452.
Kesimpulan: Usia koreksi defek tidak terbukti berkorelasi baik dengan z-skor TB/U maupun Δ z-skor TB/U pasca-koreksi.

Background: Congenital heart disease (CHD) left-to-right shunt is an important cause of growth failure in children. Correction of these abnormalities is known to improve the prognosis of growth in weight and height.
Objectives: Identify correlation between age of defect correction and height gain in patients with left-to-right shunt CHD after correction of growth prognosis Methods. This was a cross sectional study with reviewing medical records on subjects with CHD with left-to-right shunts who were corrected for less than 2 years at Cipto Mangunkusumo hospital with the independent variable being the age of defect correction and the dependent variable were z-score of post-correction height-for-age (H/A) and height gain (Δz-score H/A). The WHO 2006 growth chart were used as the growth reference. The correlation analysis was performed using the Spearman correlation and the significance was determined with p<0.05.
Results: The median age of defect correction in this study was 8 months. Most of the subjects were less than 6 months (11 subjects) and 6-12 months (11 subjects) in corrected ages. The most defects were ventricular septal defects (VSD). The age of defect correction did not correlate with the post-correction H/A z-score based on the Spearman correlation test (r= 0.093) with p value = 0.642 while the defect correction age with z-score H/A was not found to be correlated based on the Spearman correlation test (r = 0.143) with p value = 0.452.
Conclusion: The age of defect correction did not prove correlate with either the z-score for H/A or height gain.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Habibah Nur Alawiah
"Penyakit Jantung Bawaan (PJB) sering dikaitkan dengan malnutrisi yang dipengaruhi oleh berbagai faktor yang mengakibatkan peningkatan morbiditas dan mortalitas, penatalaksana yang tepat dapat menurunkan infeksi, lama rawat, bahkan kematian. Penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang berhubungan dengan status gizi kurang pada anak dengan PJB. Penelitian ini menggunakan observasional analitik dengan rancangan case control.  Sampel penelitian berjumlah 114 anak PJB di Rumah Sakit Jantung Jakarta periode Juli 2020 hingga Juni 2023. Uji statistik menunjukkan tidak ada hubungan antara usia, jenis kelamin, riwayat BBLR, pemberian ASI eksklusif, jenis PJB dan penyakit penyerta terhadap status gizi kurang pada anak PJB, terdapat hubungan antara kelengkapan imunisasi dengan status gizi kurang pada anak PJB (p value <0,05). Simpulan: dari penelitian ini yaitu faktor nutrisi dan organik tidak berhubungan dengan status gizi kurang anak PJB. Oleh karena itu pelayanan perlu memberikan perhatian terkait status nutrisi dan imunisasi disamping masalah jantung.

Congenital Heart Disease (CHD) is often associated with malnutrition which is influenced by various factors resulting in increased morbidity and mortality, appropriate management can reduce infection, length of stay, and even death. This research was conducted to identify factors associated with malnutrition status in children with CHD. This study used an analytical observational with a case control design. The research sample consisted of 114 CHD children at the Jakarta Heart Hospital for the period July 2020 to June 2023. The result of this study showed that there was no relationship between age, gender, history of LBW, exclusive breastfeeding, type of CHD and comorbidities on malnutrition status in CHD children, there is a relationship between complete immunization and malnutrition status in CHD children (p value <0.05). Conclusion from this research, nutritional and organic factors are not related to the malnutrition status of CHD children. Therefore, services need to pay attention to nutritional status and immunization in addition to heart problems."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Eva Komalasari
"Latar belakang: Bedah jantung terbuka pada anak merupakan pembedahan dengan tingkat stress respon yang tinggi. Salah satu komplikasi tersering adalah infeksi pascabedah yang berkaitan dengan hiperglikemia yang terjadi pascabedah dan diperberat oleh resistensi insulin yang terjadi akibat respon stress dan perubahan neurohormonal akibat pembedahan dan puasa. Salah satu cara yang dipikirkan dapat mengurangi resistensi insulin dan kadar gula darah pascabedah adalah pemberian karbohidrat oral prabedah. Beberapa penelitian telah membuktikkan pemberian karbohidrat oral prabedah dapat mengurangi respon stress tubuh akibat puasa dan mengurangi resistensi insulin pascabedah. Pemberian karbohidrat oral prabedah akan meningkatkan kadar insulin pada kadar tidak puasa sehingga menurunkan resistensi insulin yang terjadi pascabedah. Namun, belum ada penelitian pada bedah jantung terbuka pada anak.
Metode: Penelitian ini merupakan uji klinis acak tersamar tunggal untuk mengetahui efek pemberian karbohidrat oral prabedah dalam mengurangi resistensi insulin dan kadar gula darah pascabedah jantung terbuka pada anak. Terdapat 19 subjek pada masing-masing kelompok. Kedua kelompok menjalani puasa 6 jam prabedah, kelompok pertama mendapatkan maltodekstrin 12,5% dan kelompok kedua mendapatkan air putih hingga 2 jam prabedah. Dilakukan pengukuran HOMA-IR, kadar gula darah, procalcitonin dan pencatatan lama ventilasi mekanik. Hasil: Median kadar HOMA IR kelompok karbohidrat oral prabedah didapatkan selalu lebih tinggi dibandingkan kelompok air putih pada pengukuran saat prabedah, setelah induksi, dan 24 jam pascabedah, namun tidak bermakna secara statistik. Didapatkan perbedaan bermakna penggunaan ventilasi mekanik pada kelompok kontrol dibanding kelompok perlakuan (p=0,001). Kadar prokalsitonin 24 jam pascabedah didapatkan lebih tinggi pada kelompok kontrol (p=0,018). Simpulan: Karbohidrat oral prabedah dapat menurunkan infeksi dan lama penggunaan ventilasi mekanik pascabedah, namun tidak terbukti menurunkan resistensi insulin pascabedah.

Background: Open heart surgery in children causes metabolic stress and insulin resistance lead to postoperative complication such as infection and prolonged mechanical ventilation. These can be exacerbated by preoperative fasting. One of the measures to improve postoperative outcome is preoperative oral carbohydrate (OCH). Preoperative OCH changes the patient from a fasted state to a fed state and minimize insulin resistance. Many studies have evaluated the effect of preoperative oral carbohydrate on postoperative outcomes, but no study yet on open heart surgery in children. This study was designed to examine the effect of postoperative oral carbohydrate on postoperative insulin resistance, blood sugar level, and postoperative outcome including infection and mechanical ventilation time. Methods: 38 children undergoing elective cardiac surgery were randomly allocated into 2 groups. The control group receive water and the study group receive maltodextrin 12,5% 10 cc/kgBW 2 hours before induction. Blood glucose and HOMA-IR were measured before fasting, after induction, 6 hour and 24 hours postoperative. Procalcitonin as a marker for infection was measured 24 hours after surgery. Time for extubation was recorded.
Results: HOMA-IR in CHO group were higher than control group before fasting, after induction and 24 hours after surgery but not statistically different. Procalcitonin level was significantly lower in OCH group (23.1[0.66-212.8] vs 83.82[0.7-553] (p=0,0180). Patient from treatment group had shorter mechanical ventilation time 1380 [300-14000] vs 5460 [900-17200] (p=0,001).
Conclusion: Preoperative oral carbohydrate in children undergoing cardiac surgery reduce infection and length of mechanical ventilation postoperative. But does not decrease insulin resistance postoperative.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Daniel Anes Rimu
"Penyakit jantung bawaan dan abnormalitas jalan napas merupakan dua kondisi yang saling berkaitan dan dapat terjadi bersamaan. Terjadinya abnormalitas jalan napas pada pasien penyakit jantung bawaan dapat berpengaruh pada tata laksana serta prognosis pasien. Penelitian ini dilakukan secara retrospektif dengan melihata data dari rekam medis pasien penyakit jantung bawaan di RSCM tahun 2020–2022. Data yang diambil ialah usia, jenis kelamin, berat badan, diagnosis penyakit jantung bawaan, dan kondisi abnormalitas jalan napas. Data disajikan untuk melihat prevalensi abnormalitas jalan napas pada pasien penyakit jantung bawaan. Dari 69 subjek pasien penyakit jantung bawaan yang memenuhi kriteria inklusi, 15 atau 21,7% diantaranya memiliki abnormalitas jalan napas. Jenis penyakit jantung bawaan yang paling banyak ditemukan ialah Tetralogy of Fallot sebanyak 27 (39,1%) kasus. Jenis abnormalitas jalan napas yang paling banyak ditemukan ialah Laringomalasia sebanyak 9 (13%) kasus. Oleh karena itu, prevalensi abnormalitas jalan napas pada pasien penyakit jantung bawaan ialah sebesar 21,7%, dengan jenis abnormalitas jalan napas terbanyak ialah laringomalasia sebesar 13%. Terjadinya abnormalitas jalan napas pada pasien penyakit jantung bawaan memerlukan perhatian khusus dalam penanganan pasien. 

Congenital heart disease and airway abnormalities are two related conditions that can occur together. The occurrence of airway abnormalities in patients with congenital heart disease can affect patient management and prognosis. The research was conducted retrospectively by looking at data from medical records of congenital heart disease patients at RSCM from 2020–2022. The data collected were age, gender, weight, diagnosis of congenital heart disease, and airway abnormality conditions. The data was presented to see the prevalence of airway abnormalities in patients with congenital heart disease. From 69 subjects of congenital heart disease patients who met the inclusion criteria, 15 or 21.7% of them had airway abnormalities. The most commonly found type of congenital heart disease was Tetralogy of Fallot, with 27 (39.1%) cases. The most commonly found type of airway abnormality was Laryngomalacia, with 9 (13%) cases. Therefore, the prevalence of airway abnormalities in patients with congenital heart disease is 21.7%, with the most common type of airway abnormality being Laryngomalacia at 13%. The occurrence of airway abnormalities in patients with congenital heart disease requires special attention in patient management."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>