Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 201406 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Jayanti Megasari
"ABSTRAK
Tesis ini membahas mengenai integrasi sosial antar etnik Cina dan Jawa pada komunitas pecinan di Kelurahan Kranggan kota Semarang. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif dengan menggunakan data primer yang dikumpulkan melalui metode wawancara dan observasi serta data sekunder yang menunjang hasil penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa etnis Cina dan Jawa terasimilasi secara bahasa, kultur, adat-istiadat, sikap, agama dan perkawinan. Selain itu, hubungan antar etnis Cina dan Jawa tidak hanya tersegmen pada bidang perekonomian melainkan kerjasama di bidang kebudayaan, kesenian, pendidikan dan kegiatan sosial yang menyangkut kesejahteraan sosial antar etnis di Pecinan. Jadi integrasi sosial antar etnik dan modal sosial pada komunitas Pecinan terbilang tinggi.

ABSTRACT
This thesis studied about social integration between the Chinese and Javanese in Pecinan community at Kranggan sub-district, Semarang city. The research methodology was qualitative and descriptive. The primary data was collected through interview and observation and supported by secondary data. The result shows that both of the Chinese and Javanese have been assimilated through language, culture, tradition, behavior, religion and marriage. Moreover, the relations between them are not segmented in economic activities only, but also in their partnership in culture, art, education, and social aspects related to their social welfare. The social integration and social capital in their community are strong."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
T39187
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amalina Hasyyati
"Penelitian ini membahas ornamen hewan yang digambarkan pada bangunan suci klenteng abad XVIII-XIX di Kawasan Pecinan Semarang, dengan fokus pada kajian bentuk, persebaran, dan maknanya. Di dalam kebudayaan masyarakat Cina, hewan dianggap sebagai salah satu unsur yang sangat dekat dengan kehidupan manusia. Oleh sebab itu, unsur hewan menjadi hal yang wajib dihadiri pada bangunan suci klenteng dalam bentuk ornamen. Ornamen sebagai salah satu karya seni manusia dianggap sebagai bentuk penerapan doa dan harapan, sehingga sebagian besar bangunan suci memilikinya dengan makna tersendiri. Selain itu juga dijelaskan persebaran penggunaan ornamen hewan pada klenteng yang terletak di satu kawasan.

The writing describes the animal ornaments in the Chinese temples on the 18th – 19th century in Semarang chinatown area, which are take shape, spread and the meaning as the subject. Animals are one of the very close elements to the human life in the Chinese culture. In this reason,  there should be ornaments of the animal elements in the holy Chinese temples.  Ornament is one of the human art as the symbol of praying and hope, which makes its own meaning for most of the holy places that has it in the building.  It is also explained the spread of the animal elements in the temples in one location.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2017
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amalina Hasyyati
"Skripsi ini membahas ornamen hewan yang digambarkan pada bangunan suci klenteng abad XVIII-XIX di Kawasan Pecinan Semarag, dengan fokus pada kajian bentuk, persebaran, dan maknanya. Di dalam kebudayaan masyarakat Cina, hewan dianggap sebagai salah satu unsur yang sangat dekat dengan kehidupan manusia. Oleh sebab itu, unsur hewan menjadi hal yang wajib dihadiri pada bangunan suci klenteng dalam bentuk ornamen. Ornamen sebagai salah satu karya seni manusia dianggap sebagai bentuk penerapan doa dan harapan, sehingga sebagian besar bangunan suci memilikinya dengan makna tersendiri. Selain itu juga dijelaskan persebaran penggunaan ornamen hewan pada klenteng yang terletak di satu kawasan.

The writing describes the animal ornaments in the Chinese temples on the 18th-19th century in Semarang chinatown area, which are take shape, spread and the meaning as the subject. Animals are one of the very close elements to the human life in the Chinese culture. In this reason, there should be ornaments of the animal elements in the holy Chinese temples. Ornament is one of the human art as the symbol of praying and hope, which makes its own meaning for most of the holy places that has it in the building. It is also explained the spread of the animal elements in the temples in one location.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2017
S70060
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Meyfitha Dea Khairunnisa
"ABSTRAK
Sistem penanggalan tradisional Cina telah digunakan oleh masyarakat Cina selama berabad-abad. Sistem penanggalan ini menggunakan sistem kalender lunisolar yang menggabungkan penghitungan fase bulan dan matahari. Seiring dengan meningkatnya interaksi antara Indonesia dan Cina pada masa lampau, budaya Cina turut masuk bersama para pendatang. Salah satu peninggalan budaya Cina yang ada adalah nisan tradisional Cina yang terdapat di Masjid Pecinan Tinggi di Banten Lama. Makalah ini akan membahas tentang sistem penanggalan tradisional Cina yang terdapat pada nisan di Masjid Pecinan Tinggi Banten Lama dan informasi yang bisa didapatkan dari penanggalan tersebut.

ABSTRACT
Chinese traditional calendar has been used by Chinese for centuries. This dating system is using lunisolar calendar system which indicates both moon phase and solar year. As the interactions between Indonesia and China increasing in the past, the Chinese came with their traditional cultures and values. One of the existing Chinese relics in Indonesia is a traditional Chinese gravestone located in Masjid Pecinan Tinggi in Banten Lama. This paper will discuss about Chinese traditional dating system on the gravestone and the information that can be obtained from the inscription."
Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2018
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Alexander Prasetyo Margo Utomo
"Upaya untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh lapisan masyarakat merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah, masyarakat, dan pihak swasta. Proyek KKS merupakan salah satu bentuk kepedulian pihak swasta dalam usaha kesejahteraan sosial. Tesis ini merupakan hasil penelitian tentang kegiatan pengembangan masyarakat melalui yang dilaksanakan oleh Proyek Kesejahteraan Keluarga Soegijapranata (KKS) dengan menggunakan tahapan-tahapan yang disebut metode dinamika spiral. Metode ini diadopsi dari metode yang digunakan oleh Dewan Karya Pastoral Keuskupan Agung Semarang (DKP-KAS) dalam melaksanakan tugas pastoral (menggembalakan umat). Penelitian ini mencoba untuk mengkaji tahapan-tahapan dalam metode dinamika spiral tersebut dan dikaitkan dengan langkah-langkah kegiatan pengembangan masyarakat yang telah ada. Berdasarkan hasil kajian tersebut dapat diketahui apakah dinamika spiral dapat dikategorikan sebagai tahapan untuk melaksanakan kegiatan pengembangan masyarakat.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan metode deskriptif untuk memperoleh data tentang proses pelaksanaan kegiatan pengembangan masyarakat dengan menggunakan metode dinamika spiral yang diperoleh dari informan. Pemilihan informan dilakukan secara `purposive sampling' yang terdiri dari Ketua Dewan Karya Pastoral Keuskupan Agung Semarang (DKP-KAS), Pemimpin Proyek Kesejahteraan Keluarga Soegijapranata, pekerja sosial proyek, panitia program, pejabat Kelurahan Bongsari, dan warga masyarakat Kelurahan Bongsari tempat pelaksanaan proyek. Mereka dipilih menjadi informan karena terlibat dalam perumusan metode dinamika spiral dan dalam pelaksanaan kegiatan pengembangan masyarakat dengan menggunakan metode dinamika spiral: Penelitian ini menggunakan teknik studi dokumentasi, wawancara mendalam (in depth interview), dan observasi untuk memperoleh data dari para informan tersebut. Ketiga cara tersebut dilakukan sebagai langkah triangulasi terhadap jawaban masing-masing informan.
Hasil Penelitian menunjukkan bahwa kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan Proyek KKS menjangkau seluruh lapisan masyarakat Kelurahan Bongsari dari usia balita hingga dewasa, tetapi hanya diikuti oleh warga masyarakat golongan ekonomi menengah ke bawah. KKS berupaya untuk mewujudkan suatu kondisi dimana anak-anak dapat mencapai taraf sejahtera dengan mengembangkan potensi keluarga dan masyarakat. Kegiatan yang dilaksanakan meliputi kegiatan di bidang pendidikan dan kesehatan. Kegiatan yang dilaksanakan Proyek KKS menggunakan pendekatan nondirektif: Seluruh kegiatan KKS mendapatkan biaya dari Christian Children's Fund (CCF). Pelaksanaan tahapan-tahapan metode dinamika spiral dalam kegiatan yang dilakukan oleh Proyek Kesejahteraan Keluarga Soegijapranata masih memiliki kekurangan untuk dapat dikategorikan sebagai langkah-langkah atau metode kegiatan pengembangan masyarakat. Metode dinamika spiral belum atau tidak menjelaskan pada tahap mana terminasi akan dilaksanakan. Konsep awal dinamika spiral (spiral pastoral) memang lebih menekankan pada pemahaman pada situasi sosial yang dihadapi masyarakat. Bantuan yang diberikan KKS sebagian besar berupa materi untuk mendukung pelaksanaan kegiatan warga Kelurahan Bongsari.
Kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan Proyek KKS pada kenyataannya mendapatkan generimaan yang baik dari masyarakat Kelurahan Bongsari yang sebagian besar adalah muslim sedangkan Proyek KKS dikelola oleh sebuah yayasan yang memiliki nilai-nilai kristiani. Masyarakat menerima kehadiran Proyek KKS karena mereka ikut dilibatkan dalam setiap kegiatan. Mereka merasa ikut memiliki proyek tersebut. Dinamika spiral perlu lebih disempumakan agar mencakup aspek-aspek langkah-langkah dalam kegiatan pengembangan masyarakat. Metode ini diharapkan dapat menambah kekayaan metode yang dapat digunakan dalam kegiatan pengembangan masyarakat."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T9516
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Rusyanti
"Tesis ini mengkaji tentang konstruksi dinamika habitus sebagai praktik sosial yang teramati di Pecinan Lemah wungkuk, Plered dan Jamblang pada abad ke-19 mdash;21 M, dari sudut pandang Paradigma Arkeologi Postprosesual. Habitus merupakan teori yang dipopulerkan oleh Sosiolog sekaligus filsuf Pierre Bourdieu. Habitus adalah suatu sistem disposisi atau struktur mental kognitif sekaligus juga sebagai strategi yang digunakan secara sadar oleh manusia sebagai agen dalam menghadapi situasi yang dihadapi atau struktur. Habitus terlihat dalam bentuk tindakan dan representasi sosial dan terekam dalam jejak arkeologis. Penelitian terhadap artefak arkeologi di Pecinan Cirebon memperlihatkan habitus yang berbeda-beda sesuai dengan kondisi yang dihadapi dan berkaitan dengan pengorganisasian kapital dalam suatu arena. Habitus di Pecinan Lemah Wungkuk memperlihatkan ketahanan dalam menghadapi situasi yang dialami sehingga membentuk Pecinan yang bercirikan reproduksi dari kebudayaan Cina. Habitus di Pecinan Plered memperlihatkan kelemahan sehingga berdampak pada penguasaan Pecinan yang memudar dan bertransformasi menjadi kawasan komersil perdagangan batik, dan habitus di Pecinan Jamblang memperlihatkan praktik inovasi sebagai strategi untuk tetap bisa mempertahankan arenanya. Dinamika habitus yang teramati melalui artefak arkeologi di ketiga Pecinan tersebut merupakan cerminan dari adanya praktik konstruktivisme, yaitu bahwa semua aktivitas manusia adalah praktik sosial kontingen yang maknanya dikonstruksi dalam pasang-surut interaksi sosial.

This thesis discusses the construction of habitus dynamics as social practice observed in Pecinan Lemah Wungkuk, Plered and Jamblang in the 19 mdash 21th Century, from the perspective of the paradigm of Archaeology Postprosesual. Habitus is a theory popularized by Sociologist and philosopher, Pierre Bourdieu. Habitus is cognitive a system of mental structures or disposition, as well as a strategy, used consciously by human beings as agents in dealing with the situation at hand as a structure. Habitus looks in the form of actions and social representation, and both could lies in the archaeological records. Research on archaeological artifacts in Pecinan Cirebon shows different habitus corresponding to the conditions encountered as well as related to its resilience in maintaining their capital resources and arenas. Habitus in Pecinan Lemah Wungkuk showed resilience facing the situation so encourage the development of Pecinan as well as represent the reproduction as the settlement of ethnic Chinese. Habitus in Pecinan Plered showed weakness so that the impact on the mastery of Chinatown fades and transformed it become commercial batik trading area, and habitus in Pecinan Jamblang keep strugggling by making innovations in order to maintain their arena. The dynamics of habitus observed through archaeological artifacts in the third Pecinan reflects the practice of constructivism, that all human activity is social practice contingent which its meaning construct by tidal social interaction.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2016
T47024
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rusyanti
"Pemukiman merupakan sebuah ruang di mana berbagai aktivitas dan pengorganisasian terjadi di dalamnya. Pengorganisasian ruang dapat diteliti dengan cara melakukan pengamatan terhadap interaksi berbagai variabel yang ada di dalamnya sehingga dapat menjelaskan sejauh mana manusia memanfaatkan, mengolah, dan mengubah lingkungannya sesuai dengan pengetahuan yang mereka miliki. Penelitian Pecinan Kuno di Kota Cirebon sebagai living monument yang sudah ada sebelum kedatangan Kolonial Belanda menunjukkan bahwa pemukiman ini memiliki pengorganisasian ruang yang mencerminkan gagasan dan perilaku masyarakatnya. Bukti-bukti arkeologis menunjukkan bahwa beberapa nilai ideal dari feng-shui yang merupakan prinsip dasar dari keseimbangan Yin dan Yang, masih diterapkan sebagai acuan lokasional. Hal ini umumnya terlihat pada bangunan-bangunan keagamaan seperti klenteng dan bangunan makam. Aktivitas orang-orang Cina yang besar dalam hal perdagangan, terlihat dari cara mereka memanfaatkan dan mengorganisasi ruang. Rumah tidak hanya diperuntukkan sebagai hunian, tetapi juga sebagai toko (ruko). Ruko-ruko ini menempati daerah-daerah di sepanjang jalan utama dengan tingkat komersial yang tinggi. Faktor kedekatan lokasional dengan pelabuhan dan Kanal Cipadu yang ditutup pada awal abad ke-19, memudahkan arus perdagangan mereka baik ke luar Pecinan maupun ke daerah-daerah di pedalaman. Posisinya yang strategis di antara pemukiman Arab dan Pribumi dan deretan ruko-ruko, membuat kawasan ini berwajah seragam, yaitu sebagai kawasan bisnis (bussiness district) dengan fungsi utama sebagai pedagang perantara (mediating role) yang masih berlangsung hingga sekarang."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2006
S11893
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rojab Umar Abdillah
"Kampung merupakan embrio dari sebuah kota. Berawal dari sebuah kampung lalu tumbuh menjadi kota metropolitan. Pertumbuhan kota memang berdampak baik namun juga ada dampak buruknya. Kota Semarang dengan populasi 6,6 juta jiwa dalam proses pembangunannya didapati ada empat kampung lama yang digusur oleh developer dalam kurun tahun 2005 hingga 2018, baik itu dibangun hotel maupun apartemen. Keberadaan kampung yang penduduknya berekonomi menengah ke bawah merupakan sasaran empuk bagi developer. Kondisi ini memicu komunitas Peka Kota Hysteria yang fokus pada isu anak muda seni dan perkotan untuk bergerak melestarikan kampung-kampung di perkotaaan salah satunya kampung Bustaman. Penelitian ini mengungkap faktor internal dan eksternal KPK Hysteria dalam melestarikan kampung Bustaman. Serta akan mengungkap strategi yang digunakan oleh KPK Hysteria. Melalui Strategi yang diterapkan yaitu 1. berbasis budaya lokal, 2. pengoptimalan keterlibatan warga kampung Bustaman, dan 3. menggunakan gerakan seni melalui jaringan internal. Tiga hal tadi diterapkan oleh KPK hysteria dengan langkah-langkah yang sistematis. KPK hysteria dinilai mampu dan berhasil melestarikan kampung Bustaman dengan pendampingan selama 6 (enam) tahun. Keberhasilan ini dapat dilihat dari peningkatan modal sosial yaitu: perubahan norma sosial, adanya kontrol sosial, jaringan, trust, dan yang paling dirasakan yaitu peningkatan Sumber Daya Manusia khususnya remaja pada kampung Bustaman.

Village is an embryo of a city. Metropolitan city is growing from a village. The city growth has good and bad impacts. Semarang City has 6.6 million population and in the process of its development, four old villages have been evicted by the developer during 2005 to 2018, either for hotel or apartment. A village whose population is middle to lower economy is an easy target for developer. This condition has triggered Peka Kota Hysteria community which focuses on the issue of arts and urban youth to preserve villages in the urban area i.e Bustaman village. This study revealed KPK Hysteria's internal and external factors in preserving Bustaman village and will reveal strategies used by KPK Hysteria. Through the strategy implemented namely 1. Based on local culture, 2. Optimizing the involvement of the resident of Bustaman Village and 3. Using art movement through internal network. These tree strategies are implemented by KPK Hysteria with systematic steps. KPK Hysteria is considered capable and succeeded in preserving Bustaman village with the supporting for 6 years. This success can bee seen from the increasing social captal of Bustaman Village: changes in social norm, the existence of social control, network, trust, and the most impact for the resident is the improvement of Human Resources, especially for the youth in Bustaman village."
Depok: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2019
T52359
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Niken Rahardina
"Kota Semarang pada masa kini mengalami perkembangan yang sangat pesat. Berawal dari dataran lumpur yang kemudian berkembang menjadi suatu lingkungan yang maju. Pada tahun 1992 wilayah Kota Semarang mulai mengalami penataan. Dengan dasar Peraturan Pemerintah RI No. 50 tahun 1992 tentang penentuan Kecamatan-kecamatan, maka Semarang terbagi menjadi 16 kecamatan. Dengan adanya penataan ini maka pertumbuhan unsur wilayah Semarang semakin maju dan relatif merata. Sarana dan prasarana seperti jalan-jalan baru yang menghubungkan pusat-pusat kota dengan daerah yang terisolir mulai dibangun. Sektor formal dan informal sama-sama berkembang dan saling menunjang. Investor berdatangan baik dari dalam maupun dari luar negeri.
Seiring dengan pesatnya perkembangan tersebut, muncullah masalah-masalah yang harus cepat ditangani seperti kerusakan lingkungan, banjir dan rob, serta pertumbuhan penduduk akibat urbanisasi dan kelahiran. Kerusakan lingkungan terjadi karena kurang terkendalinya eksploitasi lahan di daerah atas sehingga banyak terjadi lahan kritis dan ancaman penurunan permukaan tanah. Pemkot Semarang telah melakukan upaya-upaya pengendalian banjir diantaranya yaitu normalisasi banjirkanal, pembangunan polder, penambahan pompa air, dan lain sebagainya, namun upaya-upaya tersebut belum mampu mengatasi banjir dan rob secara maksimal.
Penelitian Kebijakan Pemerintah Kota Semarang Dalam Menangani Bencana Alam di Kota Semarang (Studi Kasus: Bencana Banjir di Kota Semarang) ini menggunakan metode penelitian kualitatif, dengan narasumber staf Dinas Pekerjaan Umum Kota Semarang, Badan Kesbang dan Linmas Kota Semarang, staf Dinas Pertamanan dan Pemakaman Kota Semarang, serta masyarakat yang tempat tinggalnya sering dilanda banjir dan rob.
Dengan menggunakan analisis data yang bersumber pada hasil wawancara, data sekunder serta dokumentasi maka diperoleh simpulan bahwa pelaksanaan kebijakan pengendalian banjir di Kota Semarang oleh Pemkot Semarang belum benar. Pemkot Semarang hanya mengutamakan pembangunan fisik pengendalian banjir tanpa disertai peran masyarakat dan stakeholder, Pemkot Semarang juga belum memaksimalkan fungsi gorong-gorong sebagai resapan air. Pemkot Semarang tidak tegas dalam menindak masyarakat yang mendirikan bangunan-bangunan di atas tanah yang sebenarnya digunakan untuk resapan air. Hal-hal tersebut mencerminkan bahwa Pemkot Semarang tidak memprioritaskan permasalahan banjir di Semarang.

City of Semarang today have tremendous development. Back then, it was a swamp area before it became a modem town, as it is now. In 1992, many area in Semarang city started to be arranged. Based on Government Regulation No. 50 of 1992 on districts establishment, Semarang divided into 16 districts. The effect of this division make the regional growth became higher and relatively equal. Inftastructure, like new roads which connected city centers and isolated region started to be built. Formal and informal sectors escalate equally and complete each other. Many investors come ftom domestic and abroad.
As the growth of the city escalate, problems like environmental destruction, flood, rapid increase of population due to migration and birth came into surface that need to cope with. Environmental destruction happened because there is a lack of control on soil exploitation in the upper area therefore many critical lands are formed and there is thread on land surface become lower then sea level. Semarang City authority have conducted many effort to anticipate flood for examples cleaning the canals ftom wastes, building polder (reservoir), are among those efforts. Nonetheless, those efforts still unable to resolve flood in Semarang.
This research on Semarang City’s Executive Poiicies in Handling Natural Disaster in Semarang (Case Study: Flood in Semarang) use a positivist approach. The data of this research are based on in-depth interview with The City of Semarang General Affairs Agency, The City of Semarang National Guard and Public Safety Board, The City of Semarang Garden and Cemetery Agency and also local people who live in in the nearby neighbourhood which often had flood.
Using data analysis based on the interviews, secondary data and documentation, it is concluded that the implementation of flood control poiicies in Semarang by the authority is inappropriate. The city authority is only focus on creating inftastructure and not taking into account the participation of public and stakeholder, and also have not make the gutter to be in fully function. It also has not put a strict law on people who build semi-detached house upon the area that are meant to be a reservoir. Those factors indicate that the city authority is not put the programme to handle flood as it main priority.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2009
T26363
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>