Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 177206 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Anggraini Permata Sari
"Latar Belakang: Jumlah pasien penyakit kritis semakin meningkat dengan mortalitas yang cukup tinggi, sehingga diperlukan model prediksi yang memiliki performa yang baik untuk memprediksi mortalitas. MSOFA adalah salah satu sistem skor yang dapat memprediksi mortalitas 28 hari. Walaupun validasi MSOFA menunjukkan hasil yang baik di berbagai negara, masih diperlukan untuk melakukan validasi di Indonesia dan mencari parameter lain untuk meningkatkan ketepatan prediksi mortalitas. Kadar magnesium darah perlu diperhitungkan penggunaannya dalam memprediksi mortalitas terutama jika ditambahkan pada skor MSOFA.
Tujuan: Menilai performa kalibrasi dan diskriminasi MSOFA serta nilai tambah kadar magnesium total dalam memprediksi mortalitas pasien penyakit kritis medis di Unit Perawatan Intensif Rumah Sakit Umum Pusat Rujukan Nasional Cipto Mangunkusumo (UPI RSUPNCM).
Metode: Penelitian ini merupakan studi kohort prospektif dengan subjek penelitian pasien penyakit kritis medis yang dirawat di UPI RSUPNCM pada periode April-Juli 2013. Hasil pemeriksaan fisik, Glasgow Coma Scale, saturasi oksigen perifer, serum kreatinin dan magnesium dinilai saat pasien masuk ke UPI. Outcome dinilai saat pasien mencapai hari ke 28 setelah hari perawatan pertama. Performa kalibrasi dinilai dengan plot kalibrasi dan uji Hosmer-Lemeshow. Performa diskriminasi dinilai dengan area under the curve (AUC). Kemampuan prediksi skor MSOFA bersama magnesium ditentukan dengan ROC dari nilai predicted probability terhadap mortalitas.
Hasil: Sebanyak 150 pasien diikutsertakan dalam penelitian dengan angka mortalitas 33,3%. Plot kalibrasi MSOFA menunjukkan koefisien korelasi r = 0,7 dan uji Hosmer-Lemeshow menunjukkan p = 0,08. Performa diskriminasi ditunjukkan dengan nilai AUC 0,83 (IK 95% 0,76-0,90). Kadar magnesium darah tidak memiliki nilai tambah terhadap MSOFA dalam memprediksi mortalitas pasien penyakit kritis.
Simpulan: MSOFA memiliki performa kalibrasi dan diskriminasi yang baik dan kadar magnesium darah tidak memiliki nilai tambah terhadap MSOFA dalam memprediksi mortalitas pasien penyakit kritis.

Background: Critically ill patients are increasing in number with high mortality rate and good performance of prediction model is needed to predict mortality. MSOFA is one of the scoring systems which can predict 28 days mortality. MSOFA has showed a good validation in many patients abroad, yet still need to be tested in Indonesia and improving its performance. Total magnesium serum can be used as an added value to improve MSOFA performance.
Objective: To evaluate calibration and discrimination of MSOFA and magnesium as an added value to predict mortality in critically ill patients.
Methods: This is a prospective cohort study of medical critically ill patient who admitted to Intensive Care Cipto Mangunkusumo Hospital. Physical examination, Glasgow Coma Scale, peripheral oxygen saturation, creatinine and magnesium serum were obtained when the patient was admitted at ICU. Outcome was assessed when patients have reached 28 days after the first day of admission. Calibration was evaluated calibration plot and Hosmer-Lemeshow test. Discrimination was evaluated with area under the curve (AUC). Prediction performance of MSOFA and magnesium were evaluated with ROC curve.
Results: 150 patients was submitted to this study with mortality rate 33,3%. Calibration plot of MSOFA showed r = 0,7 and Hosmer-Lemeshow test showed p = 0,08. Discrimination was shown by ROC curve with AUC 0,83 (CI 95% 0,76-0,90). Magnesium total serum has no added value to MSOFA as a mortality predictor in critically ill patients.
Conclusion: MSOFA has good callibration and discrimination performance, and magnesium blood level has no added value to MSOFA for predicting mortality in critically ill patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Critically ill patients are increasing in number with mortality rates. Prediction model with a good performance is needed to predict their mortalities. Modified Sequntial Organ Failure Assessment (MSOFA) ..."
UI-IJCHEST 2:3 (2015)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Nainggolan, Hunter Design
"Latar belakang. Pasien sakit kritis berada dalam kondisi katabolik yang menyebabkan ketidakseimbangan sintesis dan pemecahan protein sehingga dibutuhkan asupan protein yang adekuat untuk mempertahankan massa otot, meningkatkan kadar prealbumin, dan imbang nitrogen. Ophiocephalus striatus (OS) mempunyai potensi sebagai sumber protein karena mengandung asam amino, asam lemak, mineral, dan vitamin. Penelitian ini bertujuan untuk menilai efek dari pemberian suplementasi ekstrak OS terhadap luas penampang otot rektus femoris, bisep brakii, kadar prealbumin, dan imbang nitrogen pasien sakit kritis dengan ventilator.
Metodologi. Penelitian ini merupakan uji klinis dengan desain uji acak terkontrol yang dilakukan terhadap pasien usia 18-65 tahun yang menggunakan ventilator di intensive care unit (ICU) RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo sejak bulan Juli sampai dengan Oktober 2019 ICU. Sebanyak 42 subjek dirandomisasi menjadi dua kelompok. Kelompok ekstrak (n=19) mendapatkan suplementasi ekstrak OS 15 g/hari, yang diberikan sejak hari kedua sampai dengan hari keenam. Kelompok kontrol (n=23) tidak mendapatkan suplementasi tersebut. Pengukuran luas penampang otot, pemeriksaan kadar prealbumin, dan imbang nitrogen dilakukan pada hari pertama dan hari ketujuh.
Hasil. Terjadi peningkatan luas penampang otot rektus femoris pada kelompok ekstrak (p=0,038) dan penurunan pada kelompok kontrol (p=0,006) disertai perbedaan bermakna antara dua kelompok (p=0,001). Terjadi peningkatan luas penampang otot bisep brakii pada kelompok ekstrak (p=0,033) dan penurunan pada kelompok kontrol (p=0,001) disertai perbedaan bermakna antara kedua kelompok (p<0,001). Terjadi peningkatan kadar prealbumin pada kelompok ekstrak (p<0,001) maupun kelompok kontrol (p=0,023) disertai perbedaan peningkatan yang bermakna antara kedua kelompok (p<0,001). Terjadi peningkatan kadar imbang nitrogen pada kelompok ekstrak (p<0,001) maupun kelompok kontrol (p=0,001) disertai perbedaan peningkatan yang tidak bermakna antara kedua kelompok (p=0,685).
Kesimpulan. Pemberian suplementasi ekstrak Ophiocephalus striatus secara signifikan dapat meningkatkan luas penampang otot rektus femoris, otot bisep brakii, dan kadar prealbumin pada pasien sakit kritis.

Background. Critically ill patients are in catabolic conditions that have imbalances in protein synthesis and breakdown. Thus, they require adequate protein intake to maintain the muscle mass and to increase the prealbumin levels and nitrogen balance. Ophiocephalus striatus (OS) is a potential source of proteins since it contains high amount of amino acids, fatty acids, minerals, and vitamins. This study was aimed to measure the effect of OS extract supplementation on cross-sectional area (CSA) of rectus femoris and biceps brachii, prealbumin levels, and nitrogen balance in critically ill patients with ventilator.
Methods. This was a randomized controlled clinical trial study involving patients aged 18-65 years old with ventilator in intensive care unit (ICU) Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital between July until October 2019. In total, 42 subjects were randomized into two groups. Extract group (n=19) recieved 15 g of OS extract supplementation daily, administered from the second day to the sixth day. Control group (n=23) did not receive the extract. Measurement of CSA of rectus femoris and biceps brachii, prealbumin levels, and nitrogen balance were done in the first and the seventh day.
Results. There was an increase of cross sectional area of rectus femoris in extract group (p=0.038) and a decrease in control group (p=0.006) with significant difference between the two groups (p=0.001). There was an increase of cross sectional area of biceps brachii in extract group (p=0.033) and a decrase in control group (p=0.001) with significant difference between the two groups (p<0.001). There was an increase of prealbumin levels in both groups, extract group (p<0.001) and control group (p=0.023), with a significant difference of increase between the two groups (p<0.001). There was an increase of nitrogen balance in both groups, extract group (p<0.001) and control group (p<0.001), with an insignificant difference of increase between the two groups (p<0.685)
Conclusion. Administration of Ophiocephalus striatus extract supplementation can significantly increase the cross-sectional area of rectus femoris and biceps brachii, and the prealbumin levels in critically ill patients.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Robertson, John A.
Toronto: Bantam Books, 1983
323.4 ROB r
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Ismi Kusumawati
"Latar Belakang: Penyebab tertinggi kedua kematian di ICU adalah penyakit infeksi, yang ditandai dengan keseimbangan nitrogen negatif. Asupan nutrisi meningkatkan sintesis protein dan meningkatkan keseimbangan nitrogen negatif tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan imbang nitrogen dan perbaikan infeksi pada pasien sakit kritis. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian dengan rancangan kohort prospektif. Pengambilan subjek dilaksanakan di ruang ICU, high care unit, dan ruang rawat non sakit kritis di RSCM dan RSUI. Karakteristik subjek penelitian berupa usia, jenis kelamin, status gizi, diagnosis penyakit utama, penyakit komorbid, penggunaan antibiotik, asupan energi dan protein. Analisis beda rerata dilakukan untuk menilai selisih imbang nitrogen dengan perbaikan infeksi pada pasien sakit kritis dengan uji Mann-Whitney. Hasil: Sebanyak 42 subjek merupakan pasien dewasa sakit kritis di ICU, sebagian besar adalah laki-laki sebanyak 27 orang (64,3%). Median usia subjek penelitian ini adalah 47 (19-60) tahun dengan berat badan (BB) kurang berjumlah 14 orang (33,3%). Rerata BB dan tinggi badan secara berturut-turut adalah sebesar 57,29±17,73 dan 162,6±7,93. Subjek penelitian terbanyak tidak memiliki komorbid dengan jumlah 20 orang (47,6%). Seluruh subjek penelitian mendapatkan terapi antibiotik 42 orang (100%). Asupan protein awal adalah 0,39 (0,0-1,1) kkal/kgBB dan asupan protein akhir adalah 0,72±0,34 kkal/kgBB. Imbang nitrogen 48 jam pertama di ICU adalah -6,84 (-25,4; 1,6), rerata imbang nitrogen hari ke-7 adalah -5±4,09 dengan selisih imbang nitrogen adalah 2,4 (-11,8; 27,8). Selisih imbang nitrogen pasien yang mengalami perbaikan infeksi adalah 3,97 (-11,8; 14,5) (p <0,05), dengan pasien yang mengalami perbaikan infeksi adalah 30 orang (71,4%). Kesimpulan: Perbaikan imbang nitrogen secara bermakna memperbaiki infeksi pada pasien sakit kritis.

Background: The second highest cause of death in the ICU is infectious diseases, which are characterized by negative nitrogen balance. Nutrient intake increases protein synthesis and improves the negative nitrogen balance. This study aims to determine the difference between nitrogen balance and improvement of infections in critically ill patients. Method: This research is a study with a prospective cohort design. Subject retrieval was carried out in the ICU and post-ICU wards at RSCM and RSUI. Characteristics of research subjects include age, gender, nutritional status, diagnosis of main disease, comorbid diseases, use of antibiotics, energy and protein intake. Mean difference analysis was carried out to assess the difference between nitrogen balance and improvement in infection in critically ill patients using the Mann-Whitney test. Results: A total of 42 subjects were critically ill adult patients in the ICU, most of them were men, 27 people (64.3%). The median age of the research subjects was 47 (19-60) years with 14 people (33.3%) underweight (BW). The mean weight and height respectively were 57.29 ± 17.73 and 162.6 ± 7.93. Most research subjects did not have comorbidities with 20 people (47.6%). All research subjects received antibiotic therapy, 42 people (100%). Initial protein intake was 0.39 (0.0-1.1) kcal/kgBW and final protein intake was 0.72±0.34 kcal/kgBW. The first 48 hour nitrogen balance in the ICU was -6.84 (-25.4; 1.6), the average nitrogen balance on day 7 was -5 ± 4.09 with the difference in nitrogen balance being 2.4 (-11.8 ; 27.8). The difference in nitrogen balance between patients who experienced improvement in infection was 3.97 (-11.8; 14.5) (p <0.05), with patients experiencing improvement in infection being 30 people (71.4%). Conclusion: Improvement of nitrogen balance significantly improves infections in critically ill patients."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Beta Novianti Kusuma Ningrum
"Latar Belakang: Disfungsi saluran cerna berhubungan dengan luaran klinis yang lebih buruk pada pasien sakit kritis. Kadar albumin serum yang rendah merupakan salah satu faktor yang dapat meningkatkan risiko disfungsi saluran cerna. Hubungan kadar albumin dengan disfungsi saluran cerna masih inkonklusif karena pendekatan diagnostik disfungsi saluran cerna yang belum terstandarisasi dengan baik. Gastrointestinal dysfunction score (GIDS) instrumen dengan subjektivitas minimal dan reproduktifitas maksimal, diharapkan dapat menegakkan diagnosis disfungsi saluran cerna dengan objektivitas yang lebih baik. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara kadar albumin saat admisi dengan terjadinya disfungsi saluran cerna yang dinilai menggunakan GIDS. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian kohort prospektif pada subjek berusia ≥18 tahun yang dirawat di ruang rawat intensif Rumah Sakit Umum Pusat Nasional (RSUPN) dr. Cipto Mangunkusumo dan Rumah Sakit Universitas Indonesia (RSUI). Karakteristik subjek penelitian berupa usia, jenis kelamin, status gizi, penyakit komorbid, diagnosis admisi intensive care unit (ICU), waktu inisiasi pemberian nutrisi oral atau enteral, kebiasaan mengonsumsi alkohol, dan skor sequential organ failure assessment (SOFA). Dilakukan analisis bivariat untuk menilai hubungan kadar albumin saat admisi dengan disfungsi saluran cerna. Hasil: Diperoleh 64 subjek, kelompok kadar albumin rendah 32 subjek dan kelompok kadar albumin normal 32 subjek. Rerata usia subjek 50,2±15,7, laki-laki 64,1%, 26,6% subjek dengan status gizi berat badan normal berdasarkan indeks massa tubuh (IMT), 50% subjek dengan malnutrisi secara klinis,  21,9% subjek dengan diagnosis komorbid diabetes melitus dan 3,1% subjek dengan parkinson, 34,4 % subjek dengan diagnosis admisi bedah, 95,3% subjek mendapatkan nutrisi oral atau enteral ≤ 48 jam, median skor SOFA 3 (0-12). Rerata kadar albumin  subjek dengan disfungsi saluran cerna 2,7±0,6 g/dL, rerata kadar albumin  subjek tidak disfungsi saluran cerna 3,7±0,7 g/dL. 31,3% subjek mengalami disfungsi saluran cerna. Terdapat hubungan signifikan secara statistik antara kadar albumin saat admisi dengan disfungsi saluran cerna RR 9 (95%CI 2,3-35,6; p <0,001) dan skor GIDS, p<0,001. Kesimpulan: Terdapat hubungan bermakna antara kadar albumin saat admisi dengan disfungsi saluran cerna. Pemeriksaan kadar albumin saat admisi ICU idealnya dilakukan secara rutin dan diikuti dengan koreksi kadar albumin apabila ditemukan kondisi hipoalbuminemia.

Background: Gastrointestinal dysfunction is associated with worse clinical outcomes in critically ill patients. Low serum albumin levels are one factor that can increase the risk of gastrointestinal dysfunction. The relationship between albumin levels and gastrointestinal dysfunction is still inconclusive because the diagnostic approach to gastrointestinal dysfunction is not yet well standardized. Gastrointestinal dysfunction score (GIDS) is an instrument with minimal subjectivity and maximum reproducibility, which is expected to provide a diagnosis of gastrointestinal dysfunction with better objectivity. This research was conducted to determine the relationship between albumin levels at admission and the occurrence of gastrointestinal dysfunction as assessed using GIDS. Methods: This study is a prospective cohort study of subjects aged ≥18 years who were treated in the intensive care unit at RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo and RSUI. Characteristics of research subjects included age, gender, nutritional status, comorbid diseases, ICU admission diagnosis, time of initiation of oral or enteral nutrition, alcohol consumption habits, and SOFA score. Bivariate analysis was carried out to assess the relationship between albumin levels at admission and gastrointestinal dysfunction. Results: There were 64 subjects, 32 subjects in the low albumin level group and 32 subjects in the normal albumin level group. Mean age of subjects 50.2 ± 15.7, 64.1% male, 26.6% subjects with normal weight nutritional status based on BMI, 50% subjects with clinical malnutrition, 21.9% subjects with comorbid diagnosis of diabetes mellitus and 3.1%  subjects with Parkinson's, 34.4%  subjects with surgical admission diagnosis, 95.3% subjects received oral or enteral nutrition ≤ 48 hours, median SOFA score 3 ( 0-12). The mean albumin level of subjects with gastrointestinal dysfunction was 2.7 ± 0.6 g/dL, the mean albumin level of subjects without gastrointestinal dysfunction was 3.7 ± 0.7 g/dL. 31.3% of subjects experienced gastrointestinal dysfunction. There was a statistically significant relationship between albumin levels at admission and gastrointestinal dysfunction RR 9 (95%CI 2.3-35.6; p <0.001) and GIDS score, p<0.001. Conclusion: There is a significant relationship between albumin levels at admission and gastrointestinal dysfunction. Albumin levels examination during ICU admission should ideally be carried out routinely and followed by correction of albumin levels if hypoalbuminemia is found."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sitepu, Darma Putra
"Penggunaan ventilasi mekanis pada pasien kritis tidak dapat dihindarkan namun dapat menyebabkan ventilator-induced lung injury (VILI) dan ventilator-induced diaphragm dysfunction (VIDD). Penelitian ini bertujuan untuk menilai hubungan antara volume tidal rendah (6 ml/kgBB) dan tinggi (10 ml/kgBB) terhadap disfungsi diafragma. Penelitian ini merupakan sebuah randomized controlled trial yang dilakukan di ruang perawatan intensif, RS Cipto Mangunkusumo. Pasien secara random masuk ke kelompok volume tidal 6 ml/kgBB dan 10 ml/kgBB, dan diikuti selama 72 jam (3 hari) untuk dinilai adanya disfungsi diafragma. Disfungsi diafragma dinilai menggunakan alat ultrasonografi, menggunakan kriteria ekskursi dan fraksi ketebalan diafragma. Variabel lain yang dinilai dalam penelitian ini ialah kadar interleukin-6.Sebanyak 52 pasien dilakukan randomisasi. Sebanyak total 45 pasien menyelesaikan studi. Tidak terdapat perbedaan karakteristik dasar sampel pasien pada kedua kelompok volume tidal. Sebanyak 37.8% pasien mengalami disfungsi diafragma pada hari ketiga. Tidak terdapat perbedaan proporsi disfungsi diafragma pada kedua kelompok volume tidal baik menggunakan kriteria ekskursi, fraksi ketebalan, maupun salah satunya. Terdapat perbedaan rerata interleukin-6 hari nol antara kelompok dengan dan tanpa disfungsi diafragma hari ketiga sebesar 332.29 pg/mL (p=0.024). Sebagai kesimpulan, volume tidal 6 ml/kgbb dan 10 ml/kgbb tidak berbeda dalam mencegah disfungsi diafragma pada pasien kritis. Interleukin-6 memiliki pengaruh terhadap disfungsi diafragma.

The use of mechanical ventilation is inevitable for critically ill patients yet it causes tremendous side effect of ventilator-induced lung injury (VILI) and ventilator-induced diaphragm dysfunction (VIDD). This study is aimed to examine the effect of low tidal volume (6 ml/kgBW) and high tidal volume (10 ml/kgBW) to diaphragm dysfunction. This is a randomized controlled trial conducted at intensive care unit (ICU) of Cipto Mangunkusumo Hospital. Patients were randomly allocated to tidal volume of 6 ml/kgBW or 10 ml/kgBW and were followed for 72 hours (3 days). At the end of the 72 hours, patients were assessed for diaphragm dysfunction. Diaphragm dysfunction is assessed by ultrasonography with excursion and thickness fraction criteria. Interleukin-6 was also examined. Of 52 patients who were randomized, 25 were on 6 ml/kgBW group and 27 were on the other. There were 45 patients finishing the study. The baseline characteristics of the sample was not different among the two groups. We found 37.8% patients with diaphragm dysfunction on day-3 but no significant proportion difference among the two groups. Diaphragm dysfunction was assessed with excursion, fraction of thickness criteria. We found 332.29 pg/mL mean difference between interleukin-6 on patients with and without diaphragm dysfunction on day-3 (p=0.024). In conclusion, tidal volume of 6 ml/kgBW and 10 ml/kgBW is not different in preventing diaphragm dysfunction on critically ill."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hanna Khairat
"Latar belakang. Delirium adalah komplikasi neuropsikiatri yang serius dan kerap terjadi pada pasien anak sakit kritis yang dirawat di unit rawat intensif anak (URIA). Diagnosis delirium sulit ditegakkan karena manifestasi klinis yang tidak khas. Kurangnya pengetahuan dokter anak mengenai faktor risiko dan diagnosis delirium menyebabkan terjadinya underdiagnosed atau misdiagnosed sehingga pasien tidak mendapat tata laksana yang adekuat. Hal ini menyebabkan morbiditas dan mortalitas pada pasien sehingga penting melakukan penapisan delirium dan identifikasi faktor risiko sehingga dapat dilakukan tindakan pencegahan dan tata laksana yang cepat. Implementasi penapisan dengan menggunakan Cornell Assessment of Pediatric Delirium (CAP-D) dan tata laksana yang adekuat terhadap delirium pada anak sakit kritis termasuk pengaturan dalam pemberian sedasi tertuang dalam pediatric intensive care unit (PICU) liberation bundle. Saat ini data mengenai prevalens dan faktor risiko kejadian delirium pada anak sakit kritis di Indonesia belum ada. Dibutuhkan data tersebut untuk dapat melakukan implementasi PICU Liberation Bundle di Indonesia, terutama Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM).
Tujuan. Mengetahui prevalens dan faktor risiko delirium pada anak sakit kritis.
Metode. Studi deskriptif observasional menggunakan desain potong lintang yang dilakukan pada 87 pasien anak sakit kritis yang dirawat di URIA Departemen Ilmu Kesehatan Anak (IKA), URIA Instalasi Gawat Darurat (IGD), dan URIA Unit Luka Bakar (ULB), URIA Pelayanan Jantung Terpadu (PJT) RSCM.
Hasil. Sebanyak 4 (4,6%) anak sakit kritis memenuhi kriteria delirium berdasarkan DSM IV-TR/ICD-10. Dua subjek mengalami delirium tipe campuran, satu subjek mengalami delirium tipe hipoaktif, dan satu subjek mengalami delirium tipe hiperaktif. Tiga subjek tidak mendapatkan sedasi tetapi salah satu subjek mendapatkan sedasi dengan kombinasi yang banyak, jumlah yang besar, dan waktu yang lama. Dua dari keempat subjek mengalami keterlambatan perkembangan. Satu dari empat subjek dengan delirium yang menggunakan ventilasi mekanik.
Kesimpulan. Prevalens delirium pada anak sakit kritis di RSCM adalah 4,6%. Penggunaan midazolam, opioid, dan deksmedetomidin infus kontinu di URIA sebagai faktor risiko delirium pada anak sakit kritis belum memiliki data yang cukup untuk dapat disimpulkan karena data prevalens delirium pada penelitian ini yang rendah meskipun dengan minimal besar sampel telah terpenuhi.

Background. Delirium is a serious neuropsychiatric complication that occurs frequently in critically ill pediatric patients who admitted to the pediatric intensive care unit (PICU). The diagnosis of delirium is difficult to establish because of the atypical clinical manifestations. The lack of knowledge from pediatricians regarding risk factors and the diagnosis of delirium causes underdiagnosed or misdiagnosed of it so that patients do not receive adequate management. This causes morbidity and mortality in patients making it important to screen delirium and identify supporting factors so the preventive action and fast management can be carried out. Implementation of screening using Cornell Assessment of Pediatric Delirium (CAP-D) and management of delirium in critically ill children, including arrangements for administering sedation, is contained in PICU liberation bundle. Currently there is no data regarding prevalence and risk factors for delirium in critically ill children in Indonesia. This data is needed to be able to implement the PICU Liberation Bundle in Indonesia, especially Cipto Mangunkusumo Hospital (RSCM).
Objectives. Knowing the prevalence and risk factors for delirium in critically ill children.
Methods. Observational descriptive study using a cross-sectional design conducted on 87 critically ill pediatric patients treated at PICU Department of Pediatrics, PICU of Emergency Room, PICU of Burn Unit, and Cardiac Intensive Care Unit RSCM.
Results. A total of 4 (4.6%) critically ill children met the criteria for delirium based on DSM IV-TR/ICD-10. Two subjects had a mixed type of delirium, one subject had a hypoactive type of delirium, and one subject had a hyperactive type of delirium. Three subjects did not get sedation but one subject got sedation with a lot of combinations, large amounts, and long duration. Two of the four subjects experienced developmental delays. One in four subjects with delirium is on mechanical ventilation.
Conclusion. The prevalence of delirium in critically ill children at RSCM is 4.6%. The use of midazolam, opioids, and continuous infusion of dexmedetomidine in PICU as a risk factor for delirium in critically ill children does not yet have sufficient data to be conclusive because the data on the prevalence of delirium in this study was low even though the minimum sample size was met.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Pustika Efar
"Latar belakang: Penentuan kebutuhan nutrisi secara tepat pada anak sakit kritis perlu
dilakukan untuk menghindari underfeeding dan overfeeding. Rumus estimasi menjadi
dasar perkiraan kebutuhan energi jika kalorimetri indirek sebagai baku emas tidak
tersedia. Akurasi rumus pada studi terdahulu sangat bervariasi dan dipengaruhi oleh
karakteristik populasi setempat, sehingga akurasinya perlu diuji pada populasi Indonesia.
Tujuan: Mengevaluasi akurasi rumus Schofield WH, Schofield W, dan WHO
dibandingkan kalorimetri indirek, serta mengevaluasi dampak penambahan faktor stres
terhadap akurasi.
Metode: Penelitian deskriptif analitik potong lintang ini mengikutsertakan pasien anak
yang menggunakan ventilasi mekanik Mei sampai Juli 2019. Analisis kesesuaian
dilakukan dengan membandingkan perhitungan rumus Schofield WH, Schofield W, dan
WHO, dengan dan tanpa faktor stres terhadap pengukuran kalorimetri indirek.
Hasil: Penelitian mengikutsertakan 52 subjek pada hari perawatan 1-5 di PICU dengan
median usia 5 tahun (1 bulan 10 hari hingga 17 tahun 9 bulan). Kebutuhan energi yang
diukur kalorimetri indirek adalah 60,7 ± 23,5 Kkal/kg/hari. Estimasi rumus Schofield
WH, Schofield W, dan WHO lebih rendah dari hasil pengukuran tersebut dengan %bias
berturut-turut -13 ± 19, -15 ± 20, dan -16 ± 21. Nilai estimasi dan hasil pengukuran
kalorimetri indirek berkorelasi kuat (intraclass correlation coefficient r > 0,9) namun
interval kesesuaian (limit of agreement) dari %bias sangat lebar. Hanya 12 (23%) subjek
yang memiliki nilai estimasi akurat sesuai dengan kalorimetri indirek. Pada populasi
penelitian ini faktor stres meningkatkan akurasi rumus estimasi.
Simpulan: Rumus Schofield WH, Schofield W, dan WHO tidak akurat sebagai estimasi
kebutuhan energi anak sakit kritis. Hasil prediksi rumus tersebut lebih rendah dari
kebutuhan aktual jika faktor stres tidak digunakan.

Background: Accurate estimation of energy expenditure in critically ill children is
important to avoid underfeeding and overfeeding. Prediction formula helps to estimate
energy expenditure when the gold standard indirect calorimetry is not available. Previous
study on estimation accuracy yielded variable result in different population
characteristics, therefore the accuracy of prediction formula in Indonesian population
needs to be evaluated.
Objective: To assess the accuracy of Schofield WH, Schofield W, and WHO formula
compared to indirect calorimetry. To evaluate the impact of additional stress factor on the
accuracy of prediction formula.
Methods: This is a descriptive analytic cross-sectional study on mechanically ventilated
critically ill children held in May-July 2019. We analyze the agreement of measured
energy expenditure using indirect calorimetry and estimated energy expenditure
calculated by Schofield WH, Schofield W, and WHO formula, with and without
additional stress factor.
Results: This study included 52 subjects with median age 5 years old (1 month 10 days -17 years 9 months) on day 0-5 after they were admitted to PICU. Mean measured
energy expenditure was 60,7 ± 23,5 Kcal/kg/day. All estimated energy expenditure by
Schofield WH, Schofield W, and WHO were lower than measured energy expenditure
with % bias of -13 ± 19, -15 ± 20, and -16 ± 21, respectively. Estimated and measured
value have strong correlation (intraclass correlation coefficient r > 0.9) but the limit of
agreement interval is too wide. Only 12 (23%) subjects have accurate estimation of
energy expenditure. In this population stress factor improves the accuracy of prediction
formulas.
Conclusion: Schofield WH, Schofield W, and WHO formula have poor accuracy in
estimating energy expenditure in critically ill children. Without additional stress factor,
the estimated value were lower than actual/measured energy expenditure"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58544
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bernardine Godong
"AKI disebabkan oleh pengaruh gangguan sistemik atau lokal hemodinamik yang menyebabkan terjadinya stres atau kerusakan pada sel tubular yang dapat berlanjut menjadi gagal ginjal kronik. Pasien yang mengalami malnutrisi dengan peningkatan prevalensi kejadian AKI sebanyak 2,25 kali. Skrining pasien malnutrisi dilakukan dalam 24 hingga 48 jam pertama saat pasien masuk ke rumah sakit menggunakan alat skrining, salah satunya adalah NRS-2002. Penelitian menggunakan desain kohort prospektif pada subjek berusia ≥18 tahun yang dirawat di RSUPN dr. CIpto Mangunkusumo dan RSUI. Diperoleh 64 subjek dengan kelompok skor NRS-2002 ≥ 3 sebanyak 36 subjek dan kelompok skor NRS < 3 sebanyak 28 subjek. Jumlah pasien laki-laki sebanyak 40 (62,5%) subjek, dan perempuan sebanyak 24 (37,5%) subjek, dengan usia rerata 50,95 tahun. Berdasarkan indeks massa tubuh, kelompok IMT dengan malnutrisi adalah kelompok terbanyak dengan jumlah 21 (32,8%) subjek. Pasien dengan faktor risiko hipertensi sebanyak 18 (28,1%) subjek. Subjek dengan Skor NRS ≥ 3 didapatkan 36 subjek dengan 10 orang yang mengalami AKI. Subjek dengan skor NRS <3 didapatkan sebanyak 28 orang dengan 1 orang mengalami AKI. Hasil uji statistik menggunakan uji fischer’s exact test diperoleh nilai p 0,017 ( RR 7,78, CI 95% 1,06-57,20). Hal ini menyatakan bahwa didapatkan hubungan bermakna antara skor Nutritional Risk Screening – 2002 dengan kejadian acute kidney injury pada pasien sakit kritis

AKI is caused by systemic or local hemodynamic disturbances that result in stress or damage to tubular cells, which can progress to chronic kidney failure. Patients experiencing malnutrition have a 2.25 times higher prevalence of AKI. Screening for malnutrition is conducted within the first 24 to 48 hours of hospital admission using screening tools such as the NRS-2002. This study used a prospective cohort design on subjects aged ≥18 years who were treated at RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo and RSUI. A total of 64 subjects were obtained, with 36 subjects having an NRS-2002 score ≥ 3 and 28 subjects having an NRS score < 3. There were 40 male subjects (62.5%) and 24 female subjects (37.5%), with an average age of 50.95 years. Based on body mass index, the group with malnutrition was the largest group, with 21 subjects (32.8%). There were 18 subjects (28.1%) with hypertension as a risk factor. Subjects with an NRS score ≥ 3 included 36 subjects, with 10 of them experiencing AKI. Subjects with an NRS score <3 included 28 people, with 1 person experiencing AKI. The results of the statistical test using Fischer's exact test obtained a p-value of 0.017 (RR 7.78, CI 95% 1.06-57.20). This indicates a significant relationship between the Nutritional Risk Screening - 2002 score and the incidence of acute kidney injury in critically ill patients."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>