Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 192071 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dewi Siska
"Latar Belakang: Menentukan kemampuan memprediksi sulit visualisasi laring (DVL) dari beberapa prediktor jalan nafas baik tunggal maupun kombinasi: Upper Lip Bite Test (ULBT), Skor Mallampati Modifikasi (MMT) dan Jarak Tiromental (TMD).
Metode: Penelitin ini merupakan penelitian prospektif, sebanyak empat ratus empat puluh satu pasien yang menjalani anestesi umum dievaluasi dengan menggunakan MMT, TMD, ULBT dan titik potong untuk masing-masing prediktor jalan napas adalah skor Mallampati III dan IV; <6.5 cm, 3. Pada saat dilakukan laringoskopi langsung, visualisasi laring dinilai berdasarkan klasifikasi Cormack Lehane (CL). Skor CL derajat III dan IV dianggap sulit visualisasi. Kemudian ditentukan nilai area di bawah kurva (AUC), sensitivitas, spesifisitas untuk setiap prediktor jalan napas, baik tunggal maupun kombinasi. Analisis regresi logistik digunakan untuk menentukan prediktor independen terhadap DVL.
Hasil : Kesulitan untuk memvisualisasikan laring ditemukan pada 35 (7,9%) pasien. Area di bawah kurva (AUC), sensitivitas, spesifisitas untuk tiga prediktor jalan nafas adalah: MMT (0.543; 17,1%, 99.5), ULBT (0.566; 11,4%, 99,7%), TMD (0.833; 71,4%, 97,2%) . TMD dengan titik potong 6,5 cm memiliki akurasi diagnostik (daerah di bawah kurva) dan profil validitas diagnostik (sensitivitas dan spesifisitas) yang lebih besar dibandingkan prediktor tunggal lainnya (P<0.05). Kombinasi prediktor terbaik dalam penelitian kami adalah gabungan MMT, ULBT dan TMD dengan nilai gabungan AUC, sensitivitas, dan spesifisitas berturut-turut 0.889, 98,4%, 65,8%. Analisis regresi logistik menunjukkan bahwa MMT, ULBT dan TMD adalah prediktor independen dari DVL.
Kesimpulan: TMD sebagai prediktor tunggal memiliki akurasi, sensitifitas dan spesifisitas yang lebih tinggi dibandingkan MMT dan ULBT namun kombinasi prediktor TMD, ULBT dan MMT memiliki akurasi, sensitivitas dan spesifisitas yang paling tinggi sehingga direkomendasikan untuk menentukan sulit visualisasi laring (DVL) pada populasi ras Melayu.

Background: To determine the ability to predict difficult visualization of the larynx (DVL) from the following preoperative airway predictors, in isolation and combination: modified Mallampati test (MMT), thyromental distance (TMD), upper lip bite test (ULBT).
Methods : In a prospective study, four hundred and fourty one consecutive patients undergoing general anesthesia were evaluated using the MMT, TMD, ULBT and the cut-off points for the airway predictors were Mallampati III and IV; < 6.5 cm, 3 respectively. During direct laryngoscopy, the laryngeal view was graded using the Cormack and Lehane (CL) classification. CL grades III and IV were considered difficult visualization. Area under curve (AUC), sensitivity, specificity for each airway predictor in isolation and in combination were determined. Logistic regression analysis was used to determine independent predictors of DVL.
Results : Difficulty to visualize the larynx was found in 35 (7,9%) patients. The area under the curve (AUC), sensitivity, specificity for the three airway predictors were: MMT (0.543; 17,1%; 99.5), ULBT (0.566; 11,4%; 99,7%), TMD (0.833; 71,4%; 97,2%). The TMD with the cut-off point of 6.5 cm had greater diagnostic accuracy (AUC) and showed a greater diagnostic validity profile (sensitivity and specificity) than other single predictors (P < 0.05). The combination providing the best prediction in our study involved the MMT, ULBT and TMD with AUC, sensitivity, and specificity of 0.899, 98,4%; 65,8% respectively. Logistic regression analysis showed that MMT, ULBT and TMD were independent predictors of DVL.
Conclusions : The TMD as a single predictor have accuracy, sensitivity, specificity higher than MMT and ULBT, but combination predictor TMD, ULBT and MMT have the highest accuracy, sensitivity and specificity is so recomended as a predictor of DVL in a Malay race population.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T58547
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Roniza Basri
"Latar belakang: Skor Mallampati dan jarak tiromental (TMD) banyak digunakan sebagai prediktor kesulitan visualisasi laring preoperatif, namun akurasi kedua penanda tersebut masih dipertanyakan. Penelitian ini mengevaluasi kemampuan memprediksi kesulitan visualisasi laring (DVL) dari prediktor preoperatif baru yaitu rasio lingkar leher (NC) terhadap jarak tiromental TMD dibandingkan dengan skor Mallampati dan jarak tiromental.
Metode: Sebanyak dua ratus tujuh belas pasien yang menjalani anestesia umum untuk bedah elektif dievaluasi dengan menggunakan skor Mallampati, TMD dan rasio NC/TMD. Dan titik potong untuk masing-masing prediktor jalan nafas adalah skor Mallampati III dan IV, < 6,5 cm, ≥ 5. Pada saat dilakukan laringoskopi langsung, visualisasi laring dinilai berdasarkan klasifikasi Cormack Lehane (CL). Skor CL derajat III dan IV dianggap sulit visualisasi. Kemudian ditentukan dan dibandingkan nilai area dibawah kurva (AUC), sensitifitas, spesifisitas untuk setiap prediktor jalan nafas.
Hasil: Kesulitan untuk memvisualisasi laring ditemukan pada 20 (9,7%) pasien. Area dibawah curve (AUC) rasio NC/TMD (96,2%) lebih baik dibandingkan dengan skor Mallampati (64%) dan TMD (83%).
Kesimpulan: Akurasi rasio NC/TMD lebih baik dibandingkan dengan skor Mallampati dan TMD.

Background: Mallampati score and thyromental distance (TMC) has widely use to identify potentially difficult laringoscopies preoperative, however it's predictive reliability is unclear. This research purpose are to evaluate the ability to predict difficult visualization of the larynx (DVL) from new preoperative airway predictors neck circumference ratio to thyromental distance (NC/TMD) compare to Mallampati score and thyromental distance.
Methods: Two hundred and seventeen consecutive patients undergoing general anesthesia for elective surgery were evaluated using the Mallampati score, TMD, NC/TMD ratio and the cut-off points for the airway predictors were Mallampati score III and IV; ≤ 6,5 cm; ≥ 5. During direct laryngoscopy, the laryngeal view was graded using the Cormack and Lehane (CL) classification. CL grade III and IV were considered difficult visualization. Area under curve (AUC), sensitivity, specificity for each airway predictors were determined and compared.
Result: Difficult to visualize the larynx was found in 20 (9,7%) patients. The AUC of NC/TMD ratio (96,2%) is better tcompared to TMD (83%) and much better if compared to Mallampati score (64%).
Conclusion: NC/TMD ratio had better accuracy in predicting difficult laryngoscopy than Mallampati score and TMD.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T58581
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eko Wahyudi
"ABSTRAK
Latar Belakang : Kami mengevaluasi kegunaan dari pemeriksaan rasio jarak
hiomental (HMDR,hyomental distance ratio), yang didefinisikan sebagai rasio
dari jarak hiomental (HMD,hyomental distance) posisi kepala ekstensi maksimal
dengan posisi kepala netral, dalam memprediksi kesulitan visualisasi laring pada
pasien-pasien normal, yang dilakukan pemeriksaan prediktor-prediktor jalan
napas praoperasi dengan skor Mallampati dan jarak tiromental (TMD,
tyhyromental distance) sebagai pembanding.
Metode Penelitian : Praoperasi, kami menilai empat prediktor jalan napas pada
169 orang dewasa yang menjalani anestesi umum. Pelaku laringoskopi adalah
residen anestesiologi minimal tahun ke 2, dan menilai skor Cormack-Lehane(CL)
yang dimodifikasi. Sulit visualisasi laring (DVL,difficult visualization of the
larynx) didefinisikan sebagai CL derajat 3 atau 4. Titik potong optimal (The cutoff
point) untuk setiap tes ditentukan pada titik maksimal daerah di bawah
kurva dalam kurva ROC (Receiver Operating Characteristic). Skor Mallampati
dengan derajat ≥ 3 sebagai prediktor DVL. Untuk TMD ≤ 65 mm dianggap
sebagai prediktor DVL.
Hasil : Didapatkan 21 (12,4%) orang pasien dengan sulit visualisasi laring(DVL).
HMDR memiliki hubungan yang bermakna terkait dengan DVL. HMDR dengan
titik potong optimal 1,2 memiliki akurasi diagnostik yang lebih besar (dengan area
di bawah kurva 0.694), dibandingkan prediktor tunggal lainnya (P <0,05), dan
HMDR sendiri menunjukkan validitas diagnostik yang lebih besar (sensitivitas,
61,9%, spesifisitas, 69,6%) dibandingkan dengan prediktor lainnya.
Kesimpulan :HMDR dengan ambang batas uji 1,2 adalah prediktor klinis handal
dalam memprediksi kesulitan dalam visualisasi laring.

ABSTRACT
Background: We evaluated the usefulness of the hyomental distance (HMD) ratio
(HMDR), defined as the ratio of the HMD at the extreme of the head extension to
that in the neutral position, in predicting difficult visualization of the larynx
(DVL) in apparently normal patients, by examining the following preoperative
airway predictors: the modified Mallampati test, HMD in the
neutral position, HMD and thyromental distance at the extreme of head extension
and HMDR.
Methods : Preoperatively, we assessed the four airway predictors in 169 adult
patients undergoing general anesthesia. A second years resident, performed all of
the direct laryngoscopies and graded the views using the modified Cormack and
Lehane scale. DVL was defined as a Grade 3 or 4 view. The optimal cutoff points
for each test were determined at the maximal point of the area under the curve in
the receiver operating characteristic curve. For the modified Mallampati test,
Class ≥ 3 was predefined as a predictor of DVL. And thyromental distance (TMD)
≤ 65 mm was predefined as a predictor of DVL.
Results : The larynx was difficult to visualize in 21 (12,4%) patients. The HMDR
with the optimal cutoff point of 1.2 had greater diagnostic accuracy (area under
the curve of 0.694), with significantly related to DVL (P <0.05), and it alone
showed a greater diagnostic validity profile (sensitivity, 61,9%; specificity,
69,6%) than any other predictor.
Conclusions : The HMDR with a test threshold of 1.2 is a clinically reliable
predictor of DVL."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Salomo, Sahat Tumpal
"Latar Belakang: Menentukan kemampuan memprediksi sulit visualisasi laring (DVL) dari beberapa prediktor jalan nafas preoperatif berikut, baik tunggal atau gabungan: skor Mallampati (MMT), jarak tiromental (TMD), rasio jarak hiomental (HMDR).
Metode: Sebanyak dua ratus tujuh puluh tujuh pasien yang menjalani anestesi umum dievaluasi dengan menggunakan MMT, TMD, HMDR dan titik potong untuk masing-masing prediktor jalan napas adalah skor Mallampati III dan IV; <6.5 cm, <1.2. Pada saat dilakukan laringoskopi langsung, visualisasi laring dinilai berdasarkan klasifikasi Cormack Lehane (CL). Skor CL derajat III dan IV dianggap sulit visualisasi. Kemudian ditentukan nilai area di bawah kurva (AUC), sensitivitas, spesifisitas untuk setiap prediktor jalan napas, baik tunggal maupun kombinasi. Analisis regresi logistik digunakan untuk menentukan prediktor independen terhadap DVL.
Hasil : Kesulitan untuk memvisualisasikan laring ditemukan pada 28 (10,1%) pasien. Area di bawah kurva (AUC), sensitivitas, spesifisitas untuk tiga prediktor jalan nafas adalah: MMT (0.614; 10.7%, 99.2), HMDR (0.743; 64.2%, 74%), TMD (0.827; 82.1%, 64.7%) . TMD dengan titik potong 6,5 cm memiliki akurasi diagnostik (daerah di bawah kurva) dan profil validitas diagnostik (sensitivitas dan spesifisitas) yang lebih besar dibandingkan prediktor tunggal lainnya (P <0.05). Kombinasi prediktor terbaik dalam penelitian kami adalah gabungan MMT, HMDR dan TMD dengan nilai gabungan AUC, sensitivitas, dan spesifisitas berturut-turut 0.835, 60.7%, 88.8%. Analisis regresi logistik menunjukkan bahwa MMT, HMDR dan TMD adalah prediktor independen dari
DVL.
Kesimpulan: TMD dengan titik potong 6.5 cm adalah prediktor yang dapat diandalkan secara klinis untuk menentukan sulit visualisasi laring DVL pada populasi ras Melayu.

Background: To determine the ability to predict difficult visualization of the larynx (DVL) from the following preoperative airway predictors, in isolation and combination: modified Mallampati test (MMT), thyromental distance (TMD), hyomental distance ratio (HMDR).
Methods : Two hundred and seventy seven consecutive patients undergoing general anesthesia were evaluated using the MMT, TMD, HMDR and the cut-off points for the airway predictors were Mallampati III and IV; < 6.5 cm, < 1.2 respectively. During direct laryngoscopy, the laryngeal view was graded using the Cormack and Lehane (CL) classification. CL grades III and IV were considered difficult visualization. Area under curve (AUC), sensitivity, specificity for each airway predictor in isolation and in combination were determined. Logistic regression analysis was used to determine independent predictors of DVL.
Results : Difficulty to visualize the larynx was found in 28 (10.1%) patients. The area under the curve (AUC), sensitivity, specificity for the three airway predictors were: MMT (0.614; 10.7%; 99.2), HMDR (0.743; 64.2%; 74%), TMD (0.827; 82.1%; 64.7%). The TMD with the cut-off point of 6.5 cm had greater diagnostic accuracy (AUC) and showed a greater diagnostic validity profile (sensitivity and specificity) than other single predictors (P < 0.05). The combination providing the best prediction in our study involved the MMT, HMDR and TMD with AUC, sensitivity, and specificity of 0.835, 60.7%; 88.8% respectively. Logistic regression analysis showed that MMT, HMDR and TMD were independent predictors of DVL.
Conclusions : The TMD with a cut-off point of 6.5 cm is a clinically reliable predictor of DVL in a Malay race population.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Julian Fitra
"ABSTRAK
LatarBelakang: Menentukan prediktor yang paling akurat dalam menilai
sulitvisualisasi laring(DVL) dengan menggunakan skor mallampati (MMT) ,
Jarak sternomental(SMD) dan jarak buka mulut(IIG), baik secara tunggal maupun
dalam kombinasi.
Metode: Sebanyak 283 pasien ikut serta dalam penelitian dan dievaluasi
kemungkinan mereka mengalami sulit visualisasi laring. Kesulitan visualisasi
laring dinilai dengan laringoskopi langsung berdasarkan klasifikasi Cormack
Lehane (CL). Skor CL derajat III dan IV ditentukan sebagai sulit visualisasi
laring. Kondisi ini juga diperkirakan dengan menggunakan prediktor jalan napas,
yaitu MMT, SMD dan IIG. Titik potong untuk masing-masing prediktor adalah
skor Mallampati III dan IV, ≤ 12,5 cm, dan ≤ 3 cm. Selanjutnya, ditentukan nilai
sensitivitas, spesifisitas, nilai prediksi positif dan negatif serta nilai area di bawah
kurva (AUC) dari setiap prediktor tersebut, baik secara tunggal maupun dalam
kombinasi. Prediktor independen DVL ditentukan dengan melakukan analisis
regresi logistik.
Hasil: Sulit visualisasi laring ditemukan pada 29 (10,2%) subyek penelitian. Nilai
sensitivitas, spesifisitas, prediksi positif dan luas AUC prediktor jalan napas
adalah: MMT (20,8%; 99,7%; 71,4%; 68%), SMD (72,4%; 97,2%; 75%; 88%),
dan IIG (41,4%; 99,4%; 85,7%; 73%). Penelitian kami menunjukkan bahwa
kombinasi prediktor terbaik adalah gabungan prediktor SMD + IIG. Kombinasi
tiga prediktor MMT + SMD + IIG ternyata menunjukkan nilai AUC yang sama
dengan kombinasi dua prediktor SMD + IIG.
Kesimpulan: Penelitian ini menganjurkan gabungan prediktor IIG + SMD
sebagai model diagnostik yang optimal untuk memperkirakan sulit visualisasi
laring pada populasi ras Melayu di Indonesia.

ABSTRAK
Background: To determine the most accurate predictor in evaluating difficult
visualization of larynx (DVL) using indicators of modified mallampati test
(MMT), sternomental distance (SMD) and inter incisor gap (IIG), either in
isolation or in combination.
Methods: Two hundred eighty three patients were participated in the study and
evaluated for their possibility of having DVL. The difficulty of larynx visualization
was evaluated using direct laryngoscopy based on grading of the Cormack and
Lehane (CL) classification. The CL grades III and IV were considered as difficult
visualization of larynx. DVL was also predicted using the airway predictors of
MMT, SMD and IIG. The cut-off points for the airway predictors were
Mallampati III and IV; ≤ 12,5 cm, and ≤ 3 cm, respectively. Moreover, sensitivity,
specificity, positive and negative predictive value and area under the curve (AUC)
of each predictor were determined, either in isolation or in combination.
Independent predictors of DVL were determined using logistic regression
analysis.
Results: Difficulty to visualize the larynx was found in 29 (10.2%) subjects. The
sensitivity, specificity, positive predictive value and AUC for the airway
predictors were: MMT (20.8%; 99.7%; 71.4%; 68%), SMD (72.4%; 97.2%; 75%;
88%), and IIG (41.4%; 99.4%; 85.7%; 73%). The best combination of predictors
was SMD + IIG with an AUC of 90.2%. Triple combination of MMT + SMD +
IIG showed the same value of AUC with combination of two predictors, SMD +
IIG.
Conclusion: This study suggests the combination of IIG + SMD predictors as the
optimal diagnostic model to predict DVL in a Malay race population in
Indonesia."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Luki Sumaratih
"Penggunaan propofol semakin populer untuk sedasi selama tindakan endoskopi saluran cerna. Selain dengan bolus berkala, akhir-akhir ini telah tersedia pemberian propofol teknik target-controlled infusion (TCI). Teknik tersebut mungkin lebih menguntungkan karena dosisnya lebih efisien, efek samping yang lebih rendah dan waktu pulih yang lebih cepat. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan keluaran antara pemberian propofol teknik bolus berkala dengan TCI pada tindakan endoskopi saluran cerna. Keluaran yang diteliti adalah dosis total propofol, konsumsi permenit, biaya total, efek samping dan waktu pulih.
METODE: Lima puluh pasien (bolus, n=25, TCI, n=25), ASA I-III, usia 18-65 tahun, IMT 18-30 kg/m2 dirandomisasi untuk mendapatkan sedasi dengan pemberian propofol bolus berkala (IB) atau target-controlled infusion (TCI) setelah dipremedikasi fentanil 1 µg/kgBB. Pasien kelompok bolus mendapatkan dosis propofol awal 1mg/kgBB dan tambahan 0.3 mg/kgBB hingga tercapai nilai IOC 45-60. Pasien kelompok TCI menggunakan aplikasi rumusan Scnider dan mendapatkan dosis konsentrasi effect-site (Ce) 3 µg/ml yang kemudian dinaikkan atau diturunkan 0.5 µg/ml hingga tercapai nilai IOC 45-60. Pemantauan dilakukan pada tanda-tanda vital, saturasi oksigen, dosis propofol, kedalaman sedasi dan waktu pulih.
HASIL: Durasi tindakan pada kedua kelompok tidak berbeda bermakna (p=0.718). Dosis total propofol, konsumsi permenit dan biaya total lebih besar pada kelompok TCI (p=0.010, p= 0.004, p=0.001). Pada kedua kelompok hipotensi, desaturasi dan waktu pulih tidak berbeda bermakna (p=0.248, p=0.609, p=0,33).
SIMPULAN: Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian propofol teknik bolus berkala lebih efisien pada dosis total, konsumsi permenit dan biaya total dibandingkan TCI. Angka kejadian hipotensi dan desaturasi serta waktu pulih sebanding pada kedua kelompok.

Propofol has become increasingly popular for sedation during gastrointestinal endoscopic procedure. Beside intermittent bolus, recently targetcontrolled infusion (TCI ) technic has become available for administration of propofol. It has been suggested that these device may offer advantages by efficient doses, lower side effect and faster recovery time. This study aims to compare the outcome of propofol administration technic via intermittent bolus and TCI in gastrointestinal endoscopic procedures. The outcomes investigated were propofol total dose and minute consumption, total cost, side effect and recovery time.
METHODS: Fifty patients (bolus, n= 25, TCI, n=25), ASA physical status I-III, aged 18- 65 years, BMI 18-30 kg/m2 were randomly assigned to receive intermittent bolus administration (IB) or target-controlled infusion (TCI) of propofol sedation after premedication 1 µg/kgBB of fentanyl. Patients in the bolus grup received an initial propofol dose 1 mg/kgBB and additional 0.3 mg/kgBB until IOC value 45-60 is reached. Patients in the TCI group received initial concentration effect-site (Ce) 3 µg/ml using Schnider pharmacokinetic model, and then either increased or decreased 0.5 µg/ml until IOC value 45-60 is reached. Vital signs, oxygen saturation, propofol dose, sedation deepth and the recovery time were evaluated.
RESULTS: Procedure duration time between two groups were not significantly different (p=0.718). Propofol total dose and minute consumption and total cost are higher in TCI group (p=0.010, p= 0.004, p=0.001). Hypotension, desaturation and recovery time were not significantly different (p=0.248, p=0.609, p=0,33) in both groups.
CONCLUSION: Our result suggest that IB technic was more efficient for total dose, minute consumption and total cost than TCI. Hypotension, desaturation and recovery time profiles were comparable between two groups.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T58553
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rinal Effendi
"Latar Belakang : Penggunaan penanda anatomis jarak tiromental (TMD) dan skor Mallampati banyak digunakan sebagai prediktor kesulitan visualisasi laring preoperatif, namun akurasi kedua penanda tersebut masih dipertanyakan. Penelitian ini mengevaluasi perbandingan tinggi badan terhadap jarak tiromental (RHTMD) sebagai salah satu prediktor kesulitan visualisasi laring kemudian dibandingkan dengan TMD dan skor Mallampati yang merupakan prediktor yang sudah ada sebelumnya.
Metode Penelitian : Data didapatkan dari 277 pasien yang dijadwalkan operasi elektif yang akan dilakukan anestesia umum. Pengukuran TMD, RHTMD dan penilaian skor Mallampati dilakukan preoperasi. Laringoskopi dan penilaian skor Cormack-Lehane dilakukan oleh residen anestesi minimal tahun kedua. Data kemudian diolah menggunakan SPSS 15 untuk mendapatkan nilai AUC, sensitifitas, spesifitas, nilai prediksi positif dan nilai prediksi negatif. Nilai AUC dari RHTMD, TMD dan skor Mallampati kemudian dibandingkan untuk memperlihatkan performa dari masing-masing prediktor.
Hasil : Kesulitan visualisasi laring didapatkan pada 28 orang (10,1%), luas daearah dibawah kurva AUC RHTMD (85,5%) sedikit lebih baik dibandingkan TMD (82,7%) dan jauh lebih baik dibandingkan dengan skor Mallampati (61,4%), dalam hal ini peneliti menyimpulkan bahwa akurasi RHTMD lebih baik bila dibandingkan dengan TMD dan skor Mallampati.

Background : Preoperatif evaluation anatomycal landmark of TMD and Mallampati score has widely used to identify potentially difficult laryngoscopies; however it’s predictive reliability is unclear. This research purpose are to evaluate the ratio height to thyromental distance (RHTMD) as a new predictor of difficult laryngoscopies compare to thyromental distance (TMD) and Mallampati score.
Methode : The authors collect data on 277 consecutive patients schedule to receive general anesthesia for elective surgery. TMD, Mallampati score and RHTMD are evaluated preoperatively. Residents of anesthesia minimum at second years performed laryngoscopy and grading (as in Cormack-Lehane classifications). all data processed with spss 15 to get the AUC, sensitivity, spesifity, positive predictive value and negative predictive value. The AUC of each predictor were compared to determine the perform.
Result : Difficult visualisation of the laryng occur in 28 patient (10,1%). The AUC of RHTMD (85,5%) is better compared to TMD (82,7%) and much better if compared to Mallampati score (61,4%). The authors conclude thatRHTMD had better accuracy in predicting difficult laryngoscopy than TMD and Mallampati score.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurul Ainy Sidik
"Di Indonesia pemasaran pelayanan rumah sakit dimulai ketika terjadi keterbatasan anggaran terutama bagi rumah sakit pemerintah dan pertumbuhan yang pesat dari rumah sakit swasta sepuluh tahun yang lalu. Pada saat ini pemasaran rumah sakit berkembang dengan pesat seiring dengan pertumbuhan rumah sakit yang kompetitif. Salah satu kebijakan Departemen Kesehatan dalam pemasaran rumah sakit adalah pemasaran hendaknya tidak dilepaskan dari tujuan pembangunan kesehatan yakni antara lain : meningkatkan cakupan dan mutu pelayanan agar derajat kesehatan penduduk menjadi lebih baik dan pemasaran tidak boleh 1epas dari dasar - dasar etik kedokteran dan etika rumah sakit Untuk itu rumah sakit perlu menyusun strategi pemasaran yang terdiri dari (1) pasar sasaran, (2) bauran pemasaran dan (3) tingkat pembiayaan pemasaran.
Rumah Sakit Pelni Petamburan adalah RSU milik PT Pelni merupakan rumah sakit yang sangat tua dan dikenal oleh masyarakat dengan kemampuan pelayanan setara dengan RSU kelas B yang terletak di wilayah Jakarta Barat. Disamping itu merupakan rumah sakit yang unik karena sejak berdirinya ditujukan untuk melayani pegawai KPM (Konirrjiijke Packkervaart Matschappj), jadi bukan berdasarkan untuk melayani masyarakat yang berada di lokasi geografiknya.
Kegiatan pemasaran produk unggulan rawat inap dengan sasaran primer segmen perusahaan dan dibukanya segmen partikulir diharapkan dapat meningkatkan jumlah pasien masuk rawat inap di RS Pelni Petamburan, namun dalam kenyataannya mengalami penurunan selama periode 1995 hingga 2002.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan wilayah cakupan dan faktor faktor pelayanan meliputi jenis nasabah, jenis pelayanan dan kelas perawatan dengan jumlah pasien masuk rawat inap di RS Pelni Petamburan.
Hasil penelitian adalah :
1. Wilayah cakupan.
- Wilayah cakupan yang potensial bagi RS Pelni Petamburan adalah Jakarta Barat, Jakarta Selatan, Jakarta Pusat, Tangerang, Jakarta Timur , Bekasi dan Luar Daerah.
- Hubungan wilayah cakupan dengan jumlah pasien partikulir dan perusahaan masuk rawat inap sangat kuat dan positif
2. Nasabah partikulir dan perusahaan
- Jumlah nasabah perusahaan yang masuk rawat inap di RS Pelni Petamburan lebih kecil dari nasabah partikulir.
- Kecenderungan jumlah pasien partikulir masuk rawat inap tidak teratur dengan pertambahan tahun, sedangkan pasien perusahaan mempunyai kecederungan menurun
3. Jenis Pelayanan Perawatan.
- Pelayanan perawatan umum adalah pelayanan perawatan yang tertinggi dibutuhkan baik oleh pasien partikulir maupun perusahaan. Disusul kemudian kebutuhan pelayanan perawatan kebidanan, anak dan ICU/ICCU. Sedangkan pelayanan perawatan ICU/ICCU adalah yang paling rendah diperlukan bagi kedua jenis nasabah.
- Pasien yang membutuhkan perawatan kebidanan, umum, anak dan ICCU tertinggi berasal dan wilayah cakupan Jakarta Barat.
- Hubungan semua jenis pelayanan perawatan yang dibututhkan pasien partikulir dan perusahaan dengan wilayah cakupan sangat kuat dan positif, terkecuali pelayanan perawatan ICU/ICCU bagi pasien perusahaan tidak ada hubungan dengan wilayah cakupan.
4. Kelas Perawatan
- Pasien partikulir paling banyak memilih kelas III sedangkan pasien perusahaan terbanyak memilih kelas II. Pemilihan kelas SVIP, VIP dan Utama lebih kecil dari pemilihan kelas I, II dan III.
- Jumlah pasien partikulir masuk rawat inap tertinggi dikelas SVIP, VIP, UTAMA, I, dan III berasal dari wilayah cakupan Jakarta Barat, sedangkan yang terendah berasal dari Luar Daerah.
- Jumlah pasien perusahaan masuk rawat inap di kelas SVIP, VIP, UTAMA, I, II, dan III berasal dari wilayah cakupan Jakarta Barat. Sedangkan yang terendah untuk kelas SVIP, II dan III berasal dari wilayah cakupan Depok, kelas VIP dan I dari wilayah cakupan Bogor, dan kelas Utama berasal dari wilayah cakupan Jakarta Utara .
- Pemilihan kelas perawatan dengan wilayah cakupan bagi pasien partikulir dan perusahaan masuk rumah sakit mempunyai hubungan yang kuat dan positif
Daftar Pustaka 17, 1987 - 2003"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2003
T12699
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dedy Kurnia PS
"Penelitian ini dilakukan berdasarkan sering timbulnya masalah dalam pelayanan pasien di instalasi Gawat Darurat di BRSUD "45" Kabupaten Kuningan, dimana proses pelayanan pasien dirasakan terlalu lama dan sering berputar-putar. Untuk memahami seluruh kegiatan pelayanan ini maka adanya alur proses pelayanan pasien merupakan hal yang mendasar karena didalamnya terdapat beberapa alur proses pelayanan lainnya yang terlibat sehingga merupakan satu kesatuan pelayanan kepada pasiennya.
Adapun tujuan dilakukan penelitian adalah keinginan peneliti untuk mengetahui tentang alur proses pelayanan pasien di IGD BRSUD "45" Kabupaten Kuningan, faktor-faktor yang berkaitan dengan alur proses pelayanan tadi serta lama waktu proses pelayanan pasien sehingga peneliti mendapatkan titik-titik kritis (Critical Paths) Bau suatu alur proses pelayanan IGD.
Dengan menggunakan metode simulasi peneliti analisa titik-titik kritis ini guna mengembangkan suatu alur proses pelayanan pasien yang Baru dan disesuaikan dengan alur proses yang telah berlangsung.
Penelitian merupakan suatu penelitian kualitatif, data-data diperoleh melalui wawancara mendalam dan beberapa data sekunder. Sedangkan data mengenai lamanya waktu pelayanan didapat dengan cara pencatatan jumlah waktu pelayanan pasien yang akan dirawat inap dari IGD BRSUD "45" Kabupaten Kuningan pada setiap titik pelayanan melalui observasi.
Hasil dari penelitian alur proses pelayanan pasien umum di IGD BRSUD "45" Kabupaten Kuningan ini terdapat beberapa pelayanan yang mengalami putaran-putaran (loops) sehingga dapat memperpanjang proses pelayanan. Alur proses pelayanan pasien dari IGD dapat dipersingkat melalui metode simulasi waktu pelayanan dengan pengurangan titik pelayanan yang ada, pada akhirnya proses pelayanan dari sebuah alur dapat diperpendek. Dari hasil simulasi inilah peneliti analisa dengan beberapa informasi yang didapat melalui wawancara mendalam untuk dapat menggambarkan kembali alur proses pelayanan yang ada sehingga diharapkan alur proses pelayanan pasien yang Baru dapat direkomendasikan menjadi sebuah alur proses pelayanan pasien di IGD BRSUD"45" Kabupaten Kuningan yang selama ini belum ada.
Daftar bacaan : 23 (1987 - 2002)

The Analysis of the Path Development of the Patient Treatment Process at the Emergency Room in BRSUD'45 (Kuningan General Hospital ) in Kuningan RegencyThis research was done due to some problems often happened in treating patient at the emergency room in BRSUD'45 (Kuningan General Hospital ) in Kuningan Regency. The process of treating patient took long time and too bureaucracy. In frying to understand the whole treatment, the researcher suggests that the existence of the path of the patient treatment process is very urgent This happens because the process involves some other integrated treatment process so that it seems to an integrated unit of treatment to the patient.
The objective of this research was to investigate the path of the patient treatment process at the emergency room in BRSUD'45 (Kuningan General Hospital) in Kuningan Regency, which included the factors related to the path itself and the time needed to treat the patient, so that the researcher was able to find out the critical points of the path of the patient treatment process at the emergency room. In carrying out the research, the researcher applied simulation method to analyze the critical points in order to find out new path of the patient treatment process at the emergency room in tune with the existing path.
This is a qualitative research, the data were obtained by interviews and secondary data. The data of the duration needed by the patient was obtained by writing the time spent by the patient in the emergency room by observing each critical path.
The result of this research was that the path of the patient treatment process at the emergency room in BRSUD'45 (Kuningan General Hospital) In Kuningan Regency was not established and there were some loops in its implementation, so that it lengthened the process itself. Actually, the duration needed can be shortened through simulation method by eliminating critical paths which makes the path of patient treatment shorter. Based on the result of the simulation, the researcher analyzed some information?s gained through interviews to redescribe the existing path of the patient treatment process at the emergency room so that the new path can be recommended to be the path of the patient treatment process at the emergency room in BRSUD'45 (Kuningan General Hospital) in Kuningan Regency.
Reference : 23 (1987-2002).
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2003
T12992
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ratih Maeril Wisnandari
"Skripsi ini membahas kegiatan monitoring dan evaluasi program Therapeutic Feeding Centre (TFC) pada pasien pasca rawat inap. Tujuan dari penelitian ini untuk menganalisis kegiatan monitoring dan evaluasi program TFC pada balita pasca rawat inap. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Hasil penelitian menemukan penyebab orangtua tidak melakukan kegiatan monitoring dan evaluasi pasca rawat secara lengkap pada anaknya disebabkan oleh faktor keluarga, sosial ekonomi, jarak yang jauh dari rumah ke Puskesmas, dan faktor lain. Penelitian ini menunjukkan sebesar 80% program berpotensi mengalami kegagalan karena Puskesmas tidak berhasil mencapai target yang ditetapkan pada kegiatan monitoring dan evaluasi pasca rawat.

This research explained about monitoring and evaluation of Therapeutic Feeding Centre (TFC) program on Post-hospitalization Patients. The purpose of this study was to analyze the activities of monitoring and evaluation of programs on Post-hospitalization Patients. This research is descriptive survey with qualitative approach. The result of the research found cause of the parents does not complete the monitoring and evaluation activities on their post- hospitalization child due to family factors, socio-economic, a long distances from home to health center, and other factors. This research showed that 80% of the program will be failed because the health center could not reach the target in the monitoring and evaluation of post-hospitalization.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2015
S59852
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>