Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 107885 dokumen yang sesuai dengan query
cover
R.M. Bambang Pratama
"Praktik pembuktian keberadaan suatu kartel bukanlah merupakan hal yang mudah. Hal ini dikarenakan kasus kartel jarang atau tidak memiliki bukti langsung (direct evidence), mengingat pada umumya perjanjian kartel tidak dibuat berdasarkan perjanjian tertulis. Dikarenakan kesulitan tersebut, munculnya praktik penggunaan indirect evidence sebagai alat bukti pun banyak dilakukan di berbagai negara, didasari pertimbangan bahwa memang sulit memperoleh bukti langsung dari praktik kartel. Indirect Evidence berarti bukti tersebut tidak secara langsung mendeskripsikan istilah perjanjian, namun bisa dalam bentuk menfasilitasi adanya perjanjian, atau pertukaran informasi Pada praktiknya, indirect evidence yang digunakan oleh KPPU adalah hasil analisis terhadap hasil pengolahan data yang mencerminkan terjadinya kartel. Dalam Putusan KPPU 24/KPPU-I/2009, KPPU hanya menggunakan indirect evidence sebagai alat bukti tunggal, KPPU menganalisa bahwa indirect evidence dalam kasus kartel minyak goreng ini adalah pertemuan dan/atau komunikasi baik secara langsung maupun tidak langsung dilakukan oleh para produsen minyak goreng yang membahas mengenai harga, kapasitas produksi, dan struktur biaya produksi yang disinyalir mengarah kepada perjanjian kartel dan perilaku produsen minyak goreng yang mencerminkan adanya price paralellism. Namun dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa penggunaan indirect evidence sebagai alat bukti tunggal didalam Putusan KPPU tidak cukup kuat untuk membuktikan terjadinya kartel. Bahwa untuk melihat telah terjadinya kartel, indirect evidence harus didukung alat bukti lain serta keterangan ahli sehingga pada akhirnya indirect evidence akan menjadi bukti yang kuat dan dapat mengungkap kartel ataupun tindak persaingan usaha tidak sehat lainnya.

Practice of proving the existence of a cartel is not easy. it is caused by cartel cases rarely or do not have direct evidence. Generally, the cartel agreement doesn?t based on a written agreement. Due to these difficulties, the rise of the practice of the use of indirect evidence as evidence was mostly done in various countries, based on the consideration, it is difficult to obtain the direct evidence of cartel practices. Indirect Evidence means evidence is not directly describe the terms of the agreement, but it could be inside the form of facilitating the existence of an agreement , or the exchange of information. In fact, indirect evidence used by the Commission that was the result of an analysis of the data processing that reflects the carte . In Law 24/KPPU-I/2009 Commission's Decision, the Commission uses only indirect evidence as the sole evidence.The Commission analyzes that indirect evidence in the case of the oil cartel is meeting and /or good communication, directly or indirectly made by the manufacturer of the oil producers discussing about the price, capacity, and cost structure that allegedly led to the cartel agreement and the behavior of oil producers that reflects the price paralellism. However, in this study it can be concluded that the use of indirect evidence as the sole evidence in the Commission's decisions are not strong enough to prove the cartel. To see that there has been a cartel, indirect evidence must be supported other evidence and expert testimony indirect evidence that in the end will be strong evidence and can uncover cartels or other unfair competition acts.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T39264
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nada Iqbal
"Penulisan ini menganalisis kasus kartel tiket pesawat di Indonesia yang dilakukan oleh 7 maskapai penerbangan yaitu Garuda Group, Citilink Indonesia, Sriwijaya Air, Batik Air, Lion Mentari, Wings Abadi, dan NAM Air dalam Putusan KPPU No. 15/KPPU-I/2019, bahwa dalam putusan tersebut memutuskan ketujuh maskapai tersebut telah melakukan pelanggaran Pasal 5 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 yang melakukan perjanjian bersama-sama dalam menetapkan harga tiket pesawat di Indonesia didukung dengan adanya bukti ekonomi dan bukti komunikasi. Dalam penulisan ini membahas mengenai penerapan pembuktian tidak langsung dalam Putusan KPPU No. 15/KPPU-I/2019 dan kesesuaian penerapan pembuktian tidak langsung menurut Undang-Undang No. 5 Tahun 1999, bahwa dalam penelitian ini penulis memfokuskan pada hasil putusan Majelis Komisi yang hanya memberikan sanksi laporan tertulis saja kepada ketujuh maskapai terlapor dan tidak memberikan sanksi yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang semestinya memberikan efek jera kepada pelaku yang melakukan pelanggaran ketentuan Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dan penulis juga memfokuskan pada pembahasan mengenai peraturan mengenai pembuktian tidak langsung yang belum diatur lebih lanjut di Indonesia sehingga terdapat ketidakyakinan hukum. Berdasarkan hasil penelitian terdapat saran dari penulis yaitu perlu adanya aturan lebih lanjut mengenai pembuktian tidak langsung dan perlunya menerapkan sanksi yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

This writing analyzes the airline ticket cartel case in Indonesia carried out by 7 airlines, namely Garuda Group, Citilink Indonesia, Sriwijaya Air, Batik Air, Lion Mentari, Wings Abadi, and NAM Air in KPPU Decision No. 15/KPPU-I/2019, that the decision determined that the seven airlines had violated Article 5 of Law No. 5 of 1999 which entered into a joint agreement to determine airline ticket prices in Indonesia, supported by economic evidence and communication evidence. In this writing, the author discuss the application of indirect evidence in KPPU Decision No. 15/KPPU-I/2019 and the suitability of applying indirect evidence according to Law No. 5 of 1999, that in this research the author focuses on the results of the Commission Council's decision which only gave written report sanctions to the seven reported airlines and did not provide sanctions in accordance with statutory regulations which should provide a deterrent effect to perpetrators who violate the provisions of the Law. Law Prohibiting Monopoly Practices and Unfair Business Competition and the author also focuses on discussing regulations regarding indirect evidence which have not been further regulated in Indonesia so there is legal uncertainty. Based on the research results, there is a suggestion from the author, namely the need for further regulations regarding indirect evidence and the need to apply sanctions in accordance with statutory regulations."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ingrid Gratsya Zega
"Dalam pengaturan kartel di Indonesia, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan Rule of Reason, dengan kata lain harus ada proses pembuktian yang menunjukkan bahwa memang telah terjadi praktek kartel diantara para pelaku usaha. Diseluruh negara di dunia yang memberlakukan Hukum Persaingan Usaha, praktek kartel merupakan pelanggaran yang sangat sulit untuk dibuktikan. Hal ini dikarenakan kasus kartel jarang atau tidak memiliki bukti langsung (direct evidence/hard evidence), mengingat pada umumya perjanjian kartel tidak dibuat berdasarkan perjanjian tertulis. Dikarenakan kesulitan tersebut, munculnya praktek penggunaan indirect evidence sebagai alat bukti pun banyak dilakukan di berbagai negara, didasari pertimbangan bahwa memang sulit memperoleh bukti langsung dari praktek kartel. Pada praktiknya, yang kerap digunakan KPPU sebagai indirect evidence adalah hasil analisis terhadap hasil pengolahan data yang mencerminkan terjadinya supernormal profit yang terjadi bukan karena peningkatan efisiensi dan produktivitas perusahaan. Jika melihat putusan KPPU atas kasus dugaan kartel fuel surcharge (komponen tarif baru yang ditujukan untuk menutup biaya yang diakibatkan oleh kenaikan harga avtur sebagai imbas dari kenaikan harga minyak dunia) oleh sembilan maskapai penerbangan di Indonesia, maka kasus ini diputus didasarkan pada bukti tidak langsung (indirect evidence). Dalam putusannya Majelis KPPU menggunakan uji korelasi dan homogeneity variance test, yang sampai pada kesimpulan bahwa pergerakan fuel surcharge menunjukkan adanya trend yang sama diantara para terlapor (maskapai penerbangan). KPPU menilai sejak diberlakukan komponen tarif baru ini, fuel surcharge penerbangan mengalami kenaikan yang signifikan, dan tetap diberlakukan meskipun harga minyak dunia (avtur) mengalami penurunan yang signifikan. Dari apa yang terdapat dalam Peraturan KPPU, maka indirect evidence termasuk dalam kategori bukti petunjuk. Namun dalam Peraturan KPPU tersebut tidak dijelaskan lebih lanjut apa saja yang termasuk dalam alat bukti petunjuk, hanya saja disebutkan bahwa petunjuk merupakan pengetahuan Majelis Komisi yang olehnya diketahui dan diyakini kebenarannya.

In analyzing the cartel, there are two kinds of business competition law approach is used, i.e. Per Se Illegal and Rule of Reason. In the cartel arrangements in Indonesia, the approach used is Rule of Reason, in other words there should be a process of evidence showing that indeed there has been a cartel practices among business actors. Around country in the world imposing a Business Competition Law, the cartel practice is a violation that is very difficult to prove. It because of cartel cases rarely or do not have direct evidence which is not generally made under a written agreement. Due to these difficulties, the emergence of using practice of indirect evidence as a proof was mostly done in many countries, based on the consideration it was difficult to obtain direct evidence. In practice, that is often used by the Business Competition Supervisory Commission as indirect evidence is the result of an analysis of data processing reflecting the occurrence of supernormal profits which is not due to the increased efficiency and productivity of the company. In its decision in case of alleged cartel fuel surcharge (new tariff component intended to cover expenses as the impact of the increased aviation fuel price affected by the rising world oil prices) by nine airlines in Indonesia, commission decided it based on indirect evidence (indirect evidence). In its decision the Commission used correlation and variance homogeneity test, which brought to the conclusion that the movement of fuel surcharge showed the same trend among the reported (airlines). The Commission considered since enacted the new tariff components, the fuel surcharge flights experienced a significant increase, and remain in place despite world oil prices (aviation fuel) has decreased significantly. From what is contained in the Commission's Regulations, indirect evidence is categorized as clue proof. In the Regulation itself is not explained further what is included in the clue proof, it's just mentioned that the clue is the knowledge by which the Commission is known and believed the truth."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
T29451
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Audy Bayu Putra Setiono
"Indirect Evidence digunakan oleh KPPU sebagai bukti utama untuk membuktikan adanya perjanjian tertulis di antara para pelaku usaha minyak goreng sawit yang dicurigai melakukan kartel. Namun di satu sisi, penggunaan indirect evidence masih menjadi perdebatan di Indonesia, karena selain mengandung ambigu, penggunaannya belum diatur secara tegas dalam sistem hukum Indonesia. Penelitian ini akan menguraikan indirect evidence yang digunakan oleh KPPU untuk membuktikan dugaan-dugaan kartel minyak goreng. Penelitian ini merupakan penelitan hukum normatif yang menggunakan analisa kualitatif. Peraturan mengenai indirect evidence harus diatur lebih jelas dan terperinci di dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 sehingga putusan KPPU dapat diperkuat di tingkat banding maupun kasasi. Di samping itu Hakim/Hakim Agung di tingkat Pengadilan Negeri dan Kasasi hendaknya tidak bersikap rigid dan legalistik dengan hanya menggunakan sistem pembuktian yang sifatnya konvensional. Hakim/Hakim Agung seharusnya tidak hanya mengacu pada Undang-Undang saja melainkan juga dengan menggunakan penafsiran-penafsiran hukum yang bertujuan untuk keadilan.

Indirect evidence is used by KPPU as the primary evidence to prove the existence of a written agreement between the businessmen suspected of palm oil cartel. However, on the one hand, the use of indirect evidence is still being debated in Indonesia, because in addition to containing ambiguity, its use has not been set explicitly in the Indonesian legal system. This thesis will describe the indirect evidence used by KPPU to prove the allegations of palm oil cartel. This study is a normative legal research using qualitative analysis. Regulations on indirect evidence should be arranged more clearly and in more detail in the Act No. 5 of 1999 to strengthened the verdict of KPPU when appealing in district court as well as in supreme court. In addition, Judge / Supreme Court Judge at the District and Supreme Court should not be rigid and too focus on the regulation using only conventional system of evidentiary. Judge / Supreme Court Judge should not only refer to the Act alone but also refers to the use of interpretations of law aimed at justice.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
T44989
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nadapdap, Binoto
"Penelitian ini bertujuan untuk menjajaki kemungkinan mengenai penggunaan alat bukti tidak langsung (indirect evidence) dalam penanganan perkara persaingan usaha, khususnya perkara kartel di tengah kesulitan yang dialami oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mendapatkan alat bukti langsung. Aparat persaingan usaha di pelbagai belahan dunia mempunyai permasalahan yang relatif sama untuk mendapatkan alat bukti langsung pada saat menangani perkara kartel. Kesulitan mendapatkan alat bukti langsung menjadi persoalan yang global sifatnya dalam penanganan perkara kartel. Praktik kartel karena bersifat menghambat persaingan serta mengakibatkan kerugian terhadap sesama pelaku usaha dan konsumen, tidak dapat dibiarkan bergerak dengan leluasa dengan alasan ada keterbatasan alat bukti menurut undang-undang. Keterbatasan alat bukti yang terdapat dalam undang-undang tidak pada tempatnya untuk dijadikan alasan untuk tidak dapat memberantas kartel, alat bukti yang diatur dalam undang-undang perlu ditafsirkan lebih luas agar mampu mengatasi praktek kartel. Dalam penelitian ini teori yang dipergunakan sebagai dasar bagi KPPU untuk mempergunakan alat bukti tidak langsung (petunjuk atau persangkaan) adalah teori penemuan hukum. Menurut teori penemuan hukum hakim harus berusaha untuk menemukan hukum untuk menangani perkara tertentu walaupun undang-undang tidak mengatur atau undangundangnya tidak jelas. Hakim atau otoritas persaingan usaha perlu mencari dasar hukum penggunaan alat bukti tidak langsung sekalipun undang-undangnya tidak ada. Menolak menangani perkara dengan alasan undang-undang tidak mengaturnya dapat dikategorikan sebagai tindakan yang bertentangan dengan hukum. Peraturan perundang-undangan di Amerika Serikat, Jepang dan Uni Eropa tidak mengatur mengenai alat bukti tidak langsung. Upaya Komisi Persaingan Usaha untuk mempergunakan alat bukti tidak langsung dalam penanganan perkara kartel, walaupun tidak diatur dalam undang-undang, upaya Komisi Persaingan Usaha dalam berbagai perkara kartel dapat dibenarkan oleh hakim. Pengadilan mempunyai kesamaan bahasa dengan Komisi Persaingan Usaha mengenai upaya mempergunakan alat bukti tidak langsung dalam penanganan perkara kartel yang tidak diatur dalam undang-undang. Perang terhadap kartel yang menimbulkan kerugian terhadap persaingan usaha yang sehat perlu ditangani dengan cara memperbolehkan penggunaan alat bukti tidak langsung, yaitu berupa alat bukti komunikasi dan alat bukti ekonomi. Di Indonesia, penanganan perkara kartel yang mempergunakan alat bukti tidak langsung ada yang ditolak oleh pengadilan, baik itu oleh Pengadilan Negeri maupun oleh Mahkamah Agung dan ada pula yang dibenarkan oleh pengadilan. Mahkamah Agung. Dari penelitian diperoleh data bahwa Pengadilan Negeri belum ada yang menerima penggunaan alat bukti tidak langsung, dengan alasan bahwa alat bukti tidak langsung tidak dikenal dalam hukum pembuktian di Indonesia. Pengakuan terhadap penggunaan alat bukti tidak langsung sebagai bukti yang sah dalam penanganan perkara kartel, baru dibenarkan oleh Mahkamah Agung. Putusan Mahkamah Agung yang membenarkan alat bukti tidak langsung sebagai alat bukti yang sah dalam penanganan perkara kartel, menjadi dasar hukum bagi diperbolehkannya alat bukti tidak langsung sebagai dasar untuk menangani perkara kartel dan perkara persaingan usaha lainnya. Mahkamah Agung sudah membenarkan pengunaan alat bukti tidak langsung dalam hukum pembuktian di Indonesia.

This study aims to explore the possibility of the use of indirect evidence in processing business competition cases, in particular in cartel cases within the difficulties experienced by the Business Competition Supervisory Commission (KPPU) to obtain direct evidence. Business competition authorities in various parts of the world have the same issues to obtain direct evidence when dealing with cartel cases. Difficulty in obtaining direct evidence became global issues in cartel case process. The practice of cartel, because it is hampering competition and result in losses to the other entrepreneurs and consumers, shall not be allowed to move freely because of the limitations of evidence pursuant to the legislation. The limitations of evidence contained in the legislation is not appropriate reason to not eradicate cartels, evidence set out in the legislation need to be interpreted more widely to be able to tackle cartels. In this study the theory used as a basis for the KPPU to use indirect evidence (hint or allegation) is the discovery of the theory of law. According to the theory of legal discovery, judges should strive to find a law to deal with a particular case even though the law does not regulate or it is unclear. Judge or competition authorities need to find a legal base of using indirect evidence even though the does not exist. Refusing to handle the case by reason of the law does not exist can be categorized as an action that is contrary to the law. Legislation in the United States, Japan and the European Union do not regulate the indirect evidence. Competition Commission's efforts to use indirect evidence in cartel case, although not regulated by law, can be justified by the judge. The court has the same vision with the Competition Commission regarding attempts to use indirect evidence in cartel case process which are not regulated by law. War against the cartels that cause harm to healthy competition need to be handled by allowing the use of indirect evidence, which is evidence in the form of communication and economic evidence. In Indonesia, the cartel case process that use indirect evidence is rejected by the court, either by the District Court or by the Supreme Court and only some are justified by the Supreme Court. From the study data showed that none of District Court accepted the use of indirect evidence, the reason is that indirect evidence was not known to the laws of evidence in Indonesia. Recognition of the use of indirect evidence as valid evidence in cartel case process, just recently justified by Supreme Court. Supreme Court decision justifying indirect evidence as valid evidence in cartel case process, become the legal basis for the permissibility of indirect evidence for dealing with cases of cartel and other business competition matters. The Supreme Court has confirmed the use of indirect evidence in evidentiary law in Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yurinda Raha Mustika
"Kerusakan lahan gambut kerap terjadi akibat kebakaran lahan di Indonesia. PT Jatim Jaya Perkasa (JJP) merupakan salah satu perusahaan sawit yang lahan gambutnya terbakar pada bulan Juni tahun 2013 silam. Untuk dapat menggugat berdasarkan gugatan perbuatan melawan hukum, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan harus membuktikan perusakan yang dilakukan oleh PT JJP dengan berdasarkan pembuktian ilmiah dan keterangan ahli. Pembuktian ilmiah tersebut mencakup pendeteksian hotspot, analisa sampel laboratorium, penentuan penyebab kebakaran, penghitungan luas lahan yang terbakar, dan pengukuran kerusakan lahan. Namun masalah di sini terjadi saat Penggugat dan Tergugat mengajukan alat bukti ilmiah yang menguatkan dalil masing-masing, sehingga Hakim dituntut untuk memilih alat bukti ilmiah mana yang akan dipertimbangkan. Skripsi ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan berupa, bagaimanakah pembuktian ilmiah dalam kerusakan lahan gambut akibat kebakaran lahan? Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif. Penelitian ini menemukan bahwa hakim dapat menilai penerimaan alat bukti ilmiah dengan menggunakan standar Daubert yang memberikan empat kriteria untuk melihat validitas alat bukti. Kriteria tersebut tidak bersifat rigid, melainkan sebuah kerangka ilustratif untuk membangun kepercayaan hakim. Namun penerapan doktrin ini masih memerlukan peran hakim dalam kesediaannya mengadopsi doktrin luar untuk menjawab permasalahan pembuktian ilmiah yang dihadapi.

Peat land destruction often occur from land fires in Indonesia. PT Jatim Jaya Perkasa (JJP) is one of the oil palm companies whose peatland was burned down in June 2013.  In order to sue based on tort, the Ministry of Environment and Forestry must prove the damage that is done by PT JJP based on scientific evidence and expert explanation. The scientific evidence includes detecting hotspots, laboratory samples analysis, determining the cause of fire, calculating the burned area, and measuring the land damage. But the problem here occurs when the Plaintiff and Defendant propose scientific evidences that strengthen their respective arguments, so that the Judges are required to choose which scientific evidence to consider. This undergraduate thesis wants to answer a question that is, how is the scientific evidence works in proving peatland destruction due to land fire? The research method used in this thesis is a normative juridical research. This research found that judges can assess the acceptance of scientific evidence using the Daubert standard which provides four criterias to see the validity of evidences. The criteria are not rigid, but in form of illustrative framework to build judge's conviction. But the application of this doctrine still requires the role of the judges in their willingness to adopt foreign doctrine to answer the problems of scientific evidence faced."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Habiburrokhman
"Tantangan terbesar KPPU dalam menjalankan tugasnya adalah kian sulitnya melakukan pembuktian terhadap pelanggran hukum persaingan usaha. Kartel merupakan perjanjian yang dilarang berdasarkan Pasal 11 UU Nomor 5 Tahun 1999 dan persekongkolan tender yang dilarang berdasarkan Pasal 22 UU Nomor 5 Tahun sulit untuk dibuktikan dengan alat bukti konvensional yang ada selama ini. Selain menggunakan bukti langsung, KPPU juga menggunakan indirect evidence dalam membuktikan kartel dan persekongkolan tender. Secara umum Indirect Evidence terdiri dari bukti komunikasi (Communication Evidence) dan Bukti Ekonomi (Economic Evidence).Tipe penelitian ini adalah penelitian normative, yang sumber utamanya adalah bahan hukum bukan fakta sosial, karena dalam penelitian ilmu hukum normatif yang dikaji adalah bahan hukum yang berisi aturan-aturan yang bersifat normatif. Dalam perkara kartel minyak goreng, penggunaan indirect evidence oleh KPPU ditolak oleh Mahkamah Agung sedangkan dalam perkara Persekongkolan Tender Paket Pekerjaan JAringan Air Bersih di Kecamatan Singkep Kabupaten Lingga Propinsi Kepulauan Riau, penggunaan indirect evidence oleh KPPU dikuatkan oleh Mahkamah Agung. Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 1999, Peraturan KPPU Nomor 1 Tahun 2010, Peraturan KPPU Nomor 4 Tahun 2010, Peraturan KPPU Nomor 4 Tahun 2011 dan Yurisprudensi penggunaan indirect evidence dapat dilakukan dalam hukum persaingan usaha di Indonesia.

The greatest challenge ever faced by KPPU in performing its duties is the increasing difficulty in proving a violation of the business competition law. Cartel, prohibited under Article 11 of Law No. 5 of 1999 and tender conspiracy, prohibited under Article 22 of Law No. 5 of 1999, are hard to prove using the existing conventional means of evidence. In addition to using direct evidence, KPPU also uses indirect evidence in proving the existence of cartel and tender conspiracy. In general, Indirect Evidence consists of Communication Evidence and Economic Evidence. This research was a normative research of which main sources were not social facts, as in a normative legal research, the studied materials are legal materials containing normative rules. In the case of cooking oil cartels, the Supreme Court rejected the use of indirect evidence by KPPU. Meanwhile, in the case of Conspiracy in Tender for Clean Water Network Works Package in the Subdistrict of Singkep, District of Lingga, Province of Riau Islands, the Supreme Court affirmed the use of indirect evidence. The reseach results indicate that, under Law No. 5 of 1999, KPPU Regulation No. 1 of 2010, KPPU Regulation No. 4 of 2010, KPPU Regulation No. 4 of 2011 and Jurisprudence, the use of indirect evidence is allowable in Indonesia’s business competition law."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Carr, Chris J.
London: Blacstone Press , 1989
347.06 CAR l
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Ho, Hock Lai
"The dominant approach to evaluating the law on evidence and proof focuses on how the trial system should be structured to guard against error. This book argues instead that complex and intertwining moral and epistemic considerations come into view when departing from the standpoint of a detached observer and taking the perspective of the person responsible for making findings of fact." "Ho contends that it is only by exploring the nature and content of deliberative responsibility that the role and purpose of much of the law can be fully understood. In many cases, values other than truth have to be respected, not simply as side-constraints, but as values which are internal to the nature and purpose of the trial. A party does not merely have a right that the substantive law be correctly applied to objectively true findings of fact, and a right to have the case tried under rationally structured rules. The party has, more broadly, a right to a just verdict, where justice must be understood to incorporate a moral evaluation of the process which led to the outcome. Ho argues that there is an important sense in which truth and justice are not opposing considerations; but rather, principles of one kind reinforce demands of the other." "This book argues that the court must not only find the truth to do justice, it must do justice in finding the truth."
Oxford: Oxford University Press, 2008
347.06 HOH p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Lubnah Aljufri
"Perjanjian Pengikatan Jual Beli hak merupakan salah satu bentuk perikatan yang lahir karena kebutuhan masyarakat, hal karena belum dapatnya dipenuhi syarat -syarat untuk melaksanakan jual beli dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Perjanjian Pengikatan Jual Beli yang dibuat dihadapan Notaris merupakan perjanjian yang diangkat dan dibuat dari Konsepsi KUHPerdata yang merupakan kesepakatan para pihak mengenai hak dan kewajiban yang dibuat berdasarkan Pasal 1320 jo Pasal 1338 KUHPerdata sehingga dapat memberikan kepastian hukum serta perlindungan hukum bagi para pihak yang membuatnya. Tesis ini membahas mengenai kekuatan hukum perjanjian pengikatan jual beli, diambil contoh berupa Putusan Pengadilan Negeri Depok Nomor 120/Pdt.G/2009/PN. Dpk.
Pokok permasalahan dalam tesis ini adalah bagaimanakah kekuatan hukum perjanjian pengikatan jual beli. Bagaimana kekuatan hukum Akta Jual Beli yang telah dibuat oleh dan antara Penggugat dengan Tergugat II dan Mengapa Pengadilan Negeri Depok menyatakan bahwa Perjanjian Pengikatan Jual Beli antara Tergugat II dengan Tergugat I adalah sah (Putusan Pengadilan Negeri Depok Nomor 120/Pdt.G/2009/PN. Dpk). Untuk menjawab permasalahan tersebut digunakan metode penelitian secara yuridis normatif dengan sifat penelitian deskriptif. Kesimpulan Perjanjian Pengikatan Jual Beli mempunyai kekuatan pembuktian sempurna apabila perjanjian tersebut dibuat dihadapan Notaris dan dalam bentuk yang telah ditetapkan oleh undang - undang yang menyebabkan akta tersebut menjadi akta otentik. Maka akta itu harus dianggap sebagai akta otentik, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya.

Sale and Purchase Agreement rights is one form of engagement that was born because of the needs of the community, failure by it because it has not fulfilled the requirements to carry out before the sale and purchase of Land Deed Makers Officials (PPAT). Sale and Purchase Agreement made before a notary is appointed and made treaties of Conception Book of the Civil Code Act which is the agreement of the parties regarding the rights and obligations made under Section 1320 in conjunction with Article 1338 Book of the Civil Code Act so as to provide legal certainty and protection law for the parties who made it. This thesis discusses the legal force binding sale and purchase agreement, a sample taken Depok District Court Decision No. 120/Pdt.G/2009/PN. DPK.
The issue in this thesis is how the force of law binding sale and purchase agreement. How does the force of law Deed of Sale and Purchase which has been made by and between Plaintiff by Defendant II and Why Depok District Court stated that the Sale and Purchase Agreement between Defendants Accused II with I is a legitimate (Depok District Court Decision No. 120/Pdt.G/2009/PN . DPK). To answer these problems the research methods used in juridical normative by nature descriptive research. Conclusion Sale and Purchase Agreement have the force of proof if the agreement is perfect, made before Notary and in a form specified by the laws that cause such deed to be authentic deed. Then the deed must be regarded as authentic deed, unless it can be proven otherwise.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
T21771
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>