Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 75016 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hasri Puspita Ainun
"Kementerian Negara sebagai unsur yang tidak dapat dipisahkan dengan kedudukan presiden memiliki pengaturan yang terpisah dalam UUD 1945 yaitu Bab V yang terpisah dari Bab III tentang pengaturan kekuasaan pemerintahan. Pemisahan ini, pada pokoknya, disebabkan oleh karena kedudukan menteri-menteri negara itu dianggap sangat penting dalam sistem ketatanegaraan menurut UUD 1945. Hal yang menjadi perdebatan adalah mengenai kedudukan hukum terhadap kewenangan yang dimiliki oleh menteri dalam Sengketa Kewenangan Lembaga Negara di Mahakmah Konstitusi. Penelitian ini akan memfokuskan pada analisis terhadap kedudukan menteri dalam sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945 oleh Mahkamah Konstitusi. Hal ini sangat penting, mengingat UUD 1945, maupun Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi tidak menjelaskan detail pelaksanaan kewenangan tersebut, sehingga sebenarnya Mahkamah Konstitusi diberikan kewenangan untuk mengatur hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran pelaksanaan tugas dan wewenangnya termasuk dalam hal menentukan lembaga negara apa saja yang dapat berpekara di Mahkamah Konstitusi. Ada beberapa teori yang dapat dijadikan acuan untuk mengetahui kedudukan hukum kementerian negara yaitu teori kewenangan dan pemisahan kekuasaan yang akan dikaitkan dengan sistem pemerintahan yang dianut di Indonesia. Dengan diketahuinya wewenang yang dimiliki oleh menteri dan kedudukannya dalam ketatanegaraan di Indonesia, maka hal tersebut juga turut dapat menjawab kewenangan Kementerian Negara sebagai pihak-pihak yang berperkara di Mahkamah Konstitusi.

Ministry of State as an element that can not be separated with the president having a separate arrangement in Indonesian’s Constitution 1945. The Constitution separating between Chapter V of Ministry of States and Chapter III of governmental power. This separation is caused by the position of state ministers was considered very important in the state system by 1945Constitution. It is a debate is about the legal position of the authority possessed by the minister of State Agency Dispute Authority in Constitutional Court. This study will focus on the analysis of the position of minister of state on Settlement Disputes of Authorities of State Institutions granted by the 1945 Constitution by the Constitutional Court. This is particularly important, given the 1945 Constitution, and Law. 8 of 2011 on the Constitutional Court did not explain the details of the implementation of the authority, so that in fact the Constitutional Court was given the authority to regulate matters necessary for the smooth execution of duties and responsibilities, including in terms of determining what state institutions can apart as a parties in the Constitutional Court . There are several theories that can be used as a reference to determine the legal position of the state ministries, namely the theory of separation of powers and the authority to be associated with the system of government adopted in Indonesia. By knowing the power of the minister and his position in the state administration in Indonesia, then it also helped to answer the authority of the Ministry of State as a litigant parties in the Constitutional Court."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fajar Paulana
"Skripsi ini membahas mengenai Kedudukan Hukum Legal Standing Lembaga Negara dalam Sengketa Kewenangan Lembaga Negara di Mahkamah Konstitusi yang dikaitkan dengan berbagai putusan Mahkamah Konstitusi. Sengketa Kewenangan Lembaga Negara terjadi ketika suatu lembaga merasa kewenangannya diganggu, dikurangi dan/atau diambil-alih secara tidak sah oleh lembaga lainnya. Lembaga yang dapat menjadi Pemohon atau Termohon dalam beracara sidang Mahkamah Konstitusi hanya lembaga yang memperoleh kewenangan dari Undang-Undang Dasar.
Penelitian ini mengambil rumusan masalah tentang bagaimana penerapan hukum acara sengketa kewenangan lembaga negara dan bagaimana pembatasan subjectum litis dan objectum litis sengketa kewenangan lembaga negara.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif yang bertumpu pada data sekunder dan disajikan secara deskriptif analitatif.
Hasil penelitian menunjukan bahwa sejauh ini Mahkamah Konstitusi telah menerapkan hukum acara sengketa kewenangan lembaga negara dengan konsisten dan telah memberikan penegasan serta pengakuan terhadap lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-undang Dasar 1945.Kata Kunci: Kedudukan Hukum, Sengketa Kewenangan, Subjectum Litis, Objectum Litis, Putusan Perkara SKLN.

This thesis discusses Legal Standing of State Institution in authority disputes in various Constitutional Court decisions. Authority dispute of State Institution occurs when a State Institution or Agency perceive its Authority is being interrupted, reduced and or illegally taken over by another institution. Institutions that act as the Petitioners or the Petitionees in the Constitutional Court's justice proceedings shall be the only institutions authorized by the Constitution.
This study takes the outline of issues about how procedural law of State institutions authority dispute is applied and how subjectum litis and objectum litis is restricted in authority dispute of State institutions.
The method used in this study is juridical normative based on secondary data and presented descriptive analytic.
Results of the study shows that the Constitutional Court has consistently applied procedural law of State institutions authority dispute and has given affirmation and acknowledgment to state institutions which authority is attributed by the 1945 Constitution.Keywords Legal Standing, Authority Dispute, Subjectim Litis, Objectum Liti, Court Decision in Authority Dispute of State Institutions
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Novita
"Skripsi ini membahas mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam mengadili sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara yang dikaitkan dengan putusan Mahkamah Konstitusi. Sengketa kewenangan tersebut kerap kali terjadi ketika suatu lembaga merasa kewenangannya telah diambil alih secara tidak sah oleh lembaga lainnya. Namun, lembaga negara yang dapat beracara dalam sidang Mahkamah Konstitusi hanya lembaga negara yang kewenangannya lahir atas Undang Undang Dasar. Penelitian ini mengambil rumusan masalah apa yang menjadi dasar pertimbangan Hakim Mahkamah Konstitusi dalam memutus sengketa kewenangan antara KPI dengan Presiden q.q Menkominfo dan bagaimana implikasi putusan MK No.30/SKLN-IV/2006 terhadap kedua lembaga tersebut. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif yang bertumpu pada data sekunder dan disajikan secara deskriptif analitis.
Hasil Penelitian menunjukkan Hakim Mahkamah Konstitusi beranggapan bahwa kewenangan KPI tidak lahir dari UUD sehingga Mahkamah Konstitusi memenangkan Menkominfo. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut berarti hilangnya kewenangan KPI dalam hal pemberian ijin frekuensi siaran. Sedangkan bagi dunia penyiaran, putusan tersebut berdampak pada sentralisasi perijinan yang sepenuhnya dikuasai oleh pemerintah pusat. Sehingga Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut menyebabkan KPI menjadi suatu lembaga negara yang prematur nyaris tanpa kewenangan. Dilain pihak Menkominfo memiliki kewenangan mutlak atas dunia penyiaran tanpa adanya kontrol dari lembaga lainnya.
This thesis discusses about the authority of the Constitutional Court in constitutional disputes of state institutions with the decision of the Constitutional Court. Dispute of Authority the frequent times rill happened when an institute feel its have been taken over illegally by other institute. But, institute State able to attend legal procedure in Constitution court only State institute which its born of Elementary Inviter. This research take formula of what is problem of hitting, what becoming base consideration of Judge of Counstitutional Court in breaking dispute of authority between Broadcasting Commission of Indonesia with Minister of Communication and Information and how decision implication of Constitutional Court No.30/SKLNIV/ 2006 to both of institutions. This research used the method used approach based on the juridical normative, secondary data are presented analyzed descriptively or Juridical.
The Result of research, Judge of Constitutional Court of opinion are Broadcasting Commission of Indonesia authority does not born from UUD so that Constitutional Court win Minister of Communication and Information. Decision Court Constitution mean the loss of Broadcasting Commission of Indonesia authority in the case of giving of broadcast frequency permission. While to broadcasting world, the decision affect at central licensing which is fully mastered by central government. Decision Constitutional Court of Broadcasting Commission of Indonesia caused become a premature State institute almost without authority. Other of Minister of Communication and Information (Government) has absolute authority of broadcasting world without existence of control of other institute.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
S43860
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Alvin
"Penelitian ini membahas tentang lembaga Kementerian Sekretariat Negara sebagai bagian dalam lembaga kepresidenan Indonesia selain terdapatnya lembaga Sekretariat Kabinet dan Kantor Staf Presiden. Sampai dengan saat ini, masih dilakukan pembedaan antara Kementerian Sekrerariat Negara dengan Sekretariat Kabinet dan Kantor Staf Presiden meskipun diantaranya menjalankan tugas dan fungsi yang serupa yakni dalam rangka membantu Presiden selaku kepala negara dan sekaligus selaku kepala pemerintahan dalam sistem pemerintahan presidensiil yang dianut dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia. Pembedaan antara lembaga Sekretariat Negara dengan Sekretariat Kabinet merupakan sebuah bentuk kekeliruan dalam sistem pemerintahan presidensiil, yang tidak mengenal pembedaan ataupun pemisahan antara Presiden selaku kepala negara dan selaku kepala pemerintahan sehingga melalui penelitian ini akan disampaikan gagasan mengenai permasalahan tersebut melalui tinjauan historis, yuridis, bahkan terhadap aspek perbandingan dengan lembaga serupa di negara lain. Gagasan unifikasi lembaga kepresidenan yang diangkat dalam penelitian ini diharapkan dapat mewujudkan sistem ketatanegaraan yang lebih ideal dan optimal untuk ke depannya.

This research discusses about the structure of institution of The Ministry of State Secretariat of The Republic of Indonesia as its standing on Indonesias presidential institution besides The Cabinet Secretariat and The Office of President Staff. Until today, the differentiation amongs the three organization still held despite performing the same duty, which is doing the service for the President as the head of state and the head of government in presidential system adopted in Indonesia. The differentiation is clearly a misconception in presidential system which does not separate the function of President as head of state or as the head of government. This thesis explains about the problem based on historical, juridicial, even comparatical studies about the standing of State Secretariat institution in other nations. Idea about presidential institution unification which is discussed in this thesis is expected to make the governmental system in Indonesia could be more optimal and ideal."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sulthan Arib Fidianto
"Sengketa kewenangan antar lembaga negara adalah perbedaan pendapat antar lembaga negara dan adanya tuntutan dari suatu lembaga negara terhadap lembaga negara yang lain. Dalam hal ini, sengketa kewenangan antar lembaga negara yang menjadi obyek sengketa merupakan kewenangan konstitusional. Hukum Islam dalam hidup bernegara memegang prinsip bahwa negara dibangun untuk menegakkan keadilan sebagaimana tertuang dalam Q.S. Al-Hujurat (49) ayat 10. Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana penyelesaian sengketa kewenangan antar lembaga negara terhadap negara yang menerapkan hukum Islam yaitu Afghanistan, Iran, dan Pakistan dan disandingkan dengan Indonesia yang dalam hal ini merupakan negara demokrasi dan mengakui hukum Islam sebagai salah satu sistem hukum yang hidup di masyarakat. Negara-negara tersebut merupakan negara yang melaksanakan syariat Islam dan sangat beragam. Skripsi ini hadir dengan membahas peranan lembaga yudisial dalam penyelesaian sengketa kewenangan antar lembaga negara dan penyelesaian sengketa kewenangan antar lembaga sebagaimana diatur dalam konstitusi di negara Islam. Tulisan ini menggunakan metode normatif dalam bentuk kualitatif, yang kemudian menyimpulkan bahwa penyelesaian sengketa kewenangan antar lembaga negara di negara yang menerapkan hukum Islam memiliki cara penyelesaian dengan metode serta penerapannya yang berbeda.

Disputes over authority between state institutions are differences of opinion between state institutions and the existence of demands from one state institution against another state institution. In this case, the authority dispute between state institutions which is the object of the dispute is a constitutional authority. Islamic law provides guidance that the state is built to uphold justice as stated in Q.S. Al-Hujurat (49) verse 10. The problem in this study is how to resolve disputes over authority between state institutions against countries that adhere to Islamic law, namely Afghanistan, Indonesia, Iran and Pakistan and juxtaposed with Indonesia which in this case is a democratic country and recognizes Islamic law as one of the living legal systems in society. These countries are Muslim countries that implement Islamic law and have their own diversity. This thesis presents by discussing the role of the judiciary in resolving authority disputes between state institutions in countries that adhere to Islamic law and resolving authority disputes between institutions as stipulated in the constitution. This paper uses a normative method in a qualitative form, which then concludes that the settlement of disputes between the authorities of state institutions in countries that adhere to Islamic law has a way of solving them with their respective methods and applications."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hadi Herlambang Prabowo
"Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XIV/2016 tentang Pengujian Undang-undang Administrasi Kependudukan, telah membolehkan para penghayat kepercayaan untuk mencantumkan keyakinannya pada kolom agama di Kartu Keluarga (KK) dan Kartu Tanda Penduduk Elektronik (KTP-el) yang sebelumnya tidak diisi atau bertanda strip (-). Dengan putusan MK tersebut negara secara nyata telah memberikan pengakuan terhadap keberadaan penghayat kepercayaan yang selama ini banyak mendapatkan diskriminasi dibandingkan warga negara yang menganut 6 (enam) agama (Islam, Protestan, Katholik, Buddha, Hindu dan Konghucu) lainnya terutama berkaitan dengan proses Administrasi Kependudukan. Dalam pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang Nomor 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan serta Pasal 64 ayat (1) dan ayat (5) Undang-undang Nomor 23 tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, mengandung multitafsir yang mana kata "agama" dalam kedua pasal tersebut tidak mengandung makna "kepercayaan" di dalamnya serta masih digunakannya penggunaan istilah "agama yang diakui" dan "agama yang belum diakui". Akibatnya hal tersebut pelaksana pelayanan administrasi kependudukan, tidak dapat secara maksimal pada warga negara penghayat kepercayaan. Metode yang digunakan metode penelitian yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan, historis dan putusan pengadilan.
Hasil penelitian bahwa sebelum adanya Putusan MK Nomor 97/PUU-XIV/2016 legalitas penghayat kepercayaan tidak diakui akibat dari dikosongkannya kolom agama bagi penghayat kepercayaan, mereka mendapatkan berbagai bentuk perlakuan diskriminasi seperti sulitnya mendaftarkan pernikahan, sulitnya mendapatkan akses pekerjaan hingga tidak diterimanya pemakaman jenazah bagi penghayat kepercayaan di tempat pemakaman umum.  Akibat Putusan MK tersebut kini kedudukan hukum penghayat kepercayaan setera dengan warga negara lainnya dalam konteks hukum administrasi. Pemerintah menindaklanjuti dengan dikeluarkanya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 118 tahun 2017 dan Surat Edaran 471.14/10666/Dukcapil tentang Penerbitan KK bagi Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dinilai sudah tepat dalam mengisi kekosongan hukum dan pada tatanan pengimplementasian faktanya sudah banyak penghayat kepercayaan yang telah mendapatkan KK dan KTP-el dengan keterangan kolom agama berisikan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Sehingga, diharapkan kedepannya prinsip non-diskriminasi dari Putusan MK dapat terimplemtasikan dengan baik dengan berasaskan pada kepastian hukum, kesamaan hak dan persamaan perlakuan/tidak diskriminatif.

The Constitutional Court Decision Number 97 / PUU-XIV / 2016 concerning the Testing of the Population Administration Law, has allowed guardians to put their beliefs in the religion column on the Family Card (KK) and Electronic Identity Card (KTP-el) that were previously not filled or marked with a strip (-). With the Constitutional Court`s verdict, the state has actually given recognition to the existence of the beliefs who have been discriminated so far compared to other citizens who adhere to 6 (six) religions (Islam, Protestant, Catholic, Buddhist, Hindu and Confucianism), especially in relation to the Population Administration process . In article 61 paragraph (1) and paragraph (2) of Law Number 23 of 2006 concerning Population Administration as well as Article 64 paragraph (1) and paragraph (5) of Law Number 23 of 2006 concerning Amendment to Law Number 23 years 2006 concerning Population Administration, contains multiple interpretations in which the word "religion" in the two articles does not contain the meaning "belief" in it and still uses the term "recognized religion" and "unrecognized religion". As a result, the implementation of population administration services cannot be maximized to citizens of belief groups. The method used is normative juridical research method with a statutory approach, history and court decisions.
The results of the study show that before the Constitutional Court Decision Number 97 / PUU-XIV / 2016 the legality of the trustees was not recognized as a result of the emptiness of the religious column for the believers, they received various forms of discrimination such as the difficulty of registering marriages, difficulty in obtaining employment access and not receiving funeral services for beliefs in the public cemetery. As a result of the Constitutional Court`s Decision, the position of the law of faith is equal to other citizens in the context of administrative law. The government followed up with the issuance of Minister of Home Affairs Regulation No. 118 of 2017 and Circular 471.14/10666/Dukcapil concerning the Issuance of family card for the Believers of Belief in God Almighty which was considered appropriate in filling the legal vacuum and in the fact that there were many beliefs who had obtained KK and KTP-el with a description of the religion column containing trust in God Almighty. Thus, it is expected that in the future the principle of non-discrimination from the Constitutional Court Decision can be implemented properly based on legal certainty, equality of rights and equality of treatment / non-discrimination."
Depok: Universitas Indonesia, 2019
T53195
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Hastuti Puspitasari
"The conflict in the government institution is a kind of conflict that its conflict resolution becomes a responsibility of the constitutional court. "
Jakarta: Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2011
342 JK 2:1 (2011)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Esti Kurniati
"Penelitian ini dilatarbelakangi dari hadirnya jabatan baru dalam unsur struktur organisasi kementerian negara, berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2015 tentang Struktur Organisasi Kementerian Negara, yaitu jabatan staf khusus menteri. Staf khusus menteri mempunyai tugas memberikan saran dan pertimbangan kepada menteri sesuai penugasan menteri dan bukan merupakan bidang tugas unsur organisasi kementerian. Luasnya tugas staf khusus menteri tersebut bisa menimbulkan multitafsir, dan bahkan dalam praktiknya staf khusus menteri melakukan tindakan di luar kewenangannya, karena tidak jelasnya tugas staf khusus menteri. Selain itu proses perekrutan staf khusus menteri yang belum diatur juga menimbulkan masalah tersendiri. Selama ini yang direkrut menjadi staf khusus menteri adalah orang-orang terdekat menteri, padahal seharusnya direkrut menggunakan merit system, yaitu sistem mengangkat pegawai dengan kecakapannya, bukan berdasar kedekatan atau hubungan kekeluargaan.
Setelah dilakukan penelitian menggunakan metode yuridis normative dengan pendekatan perundang-undangan, ternyata keberadaan staf khusus menteri selama ini tidak memberikan manfaat yang signifikan bagi birokrasi dan kinerja menteri. Dari segi kepastian hukumnya lemah karena dasar hukumnya hanya ada di peraturan presiden, di sisi lain dari segi kemanfaatan dan keadilan nya juga dirasa kurang, karena nyatanya jabatan ini tidak masuk dalam struktur organisasi kementerian dan dengan proses perekrutan yang tidak jelas tapi memperoleh fasilitas setara pegawai Eselon 1b, tentu tidak adil dan menimbulkan pemborosan anggaran. Berdasarkan alasan tersebut urgensi keberadaan staf khusus menteri dirasa tidak begitu penting karena sudah ada staf ahli dalam struktur organisasi kementerian, kalaupun mau tetap diadakan maka status kepegawaian harus diperjelas menjadi PPPK agar jelas juga kedudukannya dan kewenangannya dibedakan dengan staf ahli.

Position and Authority of Ministerial Special Staff in the Organizational Structure of the State Ministry This research is motivated by the presence of new positions in the elements of the organizational structure of state ministries, based on Presidential Regulation No. 7 of 2015, namely the position of staff for ministers. The minister's special staff has the task of giving advice and consideration to the minister according to the assignment of ministers and is not an area of duty for the elements of the ministry organization. The extent of the minister's special staff duties can lead to multiple interpretations, and even in practice the minister's special staff takes action outside his authority, because of the unclear task of the minister's special staff. In addition, the unregulated process of recruiting special staff for ministers also creates its own problems. So far, those recruited to become special staff of ministers are the closest people to the minister, even though they should be recruited using a merit system, namely the system of raising employees with their skills, not based on proximity or family relations.
After conducting research using a normative juridical method with a statutory approach, it turns out that the existence of special ministerial staff so far has not provided significant benefits to the bureaucracy and ministerial performance. In terms of legal certainty it is weak because the legal basis is only in the presidential regulation, on the other hand in terms of benefits and fairness it is also felt lacking, because in fact this position is not included in the ministry's organizational structure and unclear recruitment process but obtains facilities equivalent to Echelon employees 1b, it is certainly not fair and causes budget waste. Based on these reasons, the urgency of the existence of special ministerial staff is not very important because there are already expert staff in the ministry's organizational structure, even if they want to be held, the employment status must be clarified as first aid so that their position is clear and their authority is distinguished from expert staff. Keywords: position, authority, the urgency of the existence of a ministerial staff.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
T52420
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kevin Valentino
"ABSTRAK
Skripsi ini menganalisis mengenai sengketa kewenangan yang terjadi di antara
lembaga negara bantu KPK dengan POLRI. Kehadiran lembaga negara bantu
berkembang di Indonesia pasca perubahan UUD NRI 1945. Berbagai lembaga
negara bantu tersebut tidak dibentuk dengan dasar hukum yang seragam.
Beberapa diantaranya berdiri atas amanat konstitusi, namun ada pula yang
memperoleh legitimasi berdasarkan undang-undang. Apabila terjadi sengketa
kewenangan antar lembaga negara maka Mahkamah Konstitusi berwenang untuk
menyelesaikan perkara tersebut, namun di dalam pasal 24C ayat (1) UUD NRI
1945 membatasi Mahkamah Konstitusi dalam menyelesaikan sengketa
kewenangan antara lembaga negara hanya terhadap lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh UUD NRI 1945, Sehingga apabila terjadi sengketa
kewenangan antar lembaga negara yang kewenangannya tidak diberikan oleh
UUD NRI 1945 akan terjadi kekosongan hukum. Penelitian ini menggunakan
metode penelitian yuridis normatif dengan melakukan pendekatan perundangundangan,
yaitu mencari sumber data dan mencari sumber informasi melalui
Undang-Undang. Data pada penelitian ini juga diperoleh melalui data yang sudah
terkodifikasi dalam bentuk buku, jurnal, maupun artikel yang memiliki keterkaitan
dengan penelitian ini. Hasil dari penelitian ini adalah, KPK sebagai lembaga
pemberantas korupsi yang diberi kewenangan yang kuat bukan berada di luar
sistem ketatanegaraan, tetapi justru ditempatkan secara yuridis di dalam sistem
ketatanegaraan yang rangka dasarnya sudah ada di dalam UUD 1945, Serta belum
adanya kepastian hukum mengenai proses penyelesaian sengketa kewenangan
antar lembaga negara yang kewenangannya tidak diberikan oleh UUD NRI 1945.

ABSTRACT
This thesis explains KPK?s legal standing as a state auxilary organ in the
constutional system of Republic of Indonesia, and the analysis of the dispute
between KPK and POLRI. The existence of State Auxilary Organ has been
developing since the amandment of the Republic of Indonesia Constitution of
1945. Some state auxilary organs were not established at the same legal ground.
Some were established by the delegation of The Constitution, some were
legitimated by Indonesian laws. In an event of dispute between the organs, The
Constitutional Court has the jurisdiction to settle those matters. Article 24C no. 1
of The Constitution limits the Constitutional Court competence to only conduct
dispute settlements between the organs established by The Constitution. So, in the
matter of disputes between the organs established by another Indonesian laws, it
will constitute an absence of law. This thesis uses a jurisdical-normative method.
The author uses different sources; laws and codified data such as books, journals,
and articles related to this thesis. The conclusion of this thesis is that firstly, KPK
belongs to the constitutional system, supported by the authority delegation from
The Constitution. Secondly, there is an uncertainty in Indonesian law regarding
the competence dispute of the state auxilary organs established by other
Indonesian laws."
2016
S65570
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ibnu Hakam Musais
"Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XI/2013, pilkada bukan lagi pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22E Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Ketentuan Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan pemilihan kepala daerah dipilih secara demokratis, sampai saat ini juga masih menimbulkan perdebatan apakah dilaksanakan secara langsung atau dapat pula melalui perwakilan. Kewenangan untuk mengadili perselisihan hasil pilkada di Indonesia telah beberapa kali berpindah dari Mahkamah Agung kepada Mahkamah Konstitusi, lalu dikembalikan kepada Mahkamah Agung, dan terakhir secara normatif diberikan kepada badan peradilan khusus. Alih-alih menjalankan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XI/2013 untuk mengatur mengenai penyelesaian perselisihan hasil pilkada, pembuat undang-undang justru mengembalikan kewenangan penyelesaian hasil pilkada untuk sementara waktu kepada Mahkamah Konstitusi. Meskipun badan peradilan khusus harus dibentuk paling lambat pada tahun 2024, sebelum dilaksanakannya pilkada serentak nasional, sampai dengan saat ini masih belum ada pembahasan serius untuk mencari format ideal penyelesaian perselisihan hasil pilkada. Terlepas dari hal tersebut, pada praktik ketatanegaraan di negara lain telah dikenal electoral court yang secara khusus mengadili perselisihan hasil pilkada. Namun demikian, pengaturannya dilandasi oleh pencantuman kewenangan lembaga tersebut pada konstitusi. Dari fakta pengalaman dalam mengadili perselisihan hasil pilkada, Mahkamah Konstitusi diakui oleh berbagai kalangan lebih baik daripada Mahkamah Agung. Untuk itu, penyelesaian perselisihan hasil pilkada sebaiknya diberikan kembali kepada Mahkamah Konstitusi.

Post-decision of the Constitutional Court Number 97/PUU-XI/2013, regional election is no longer as an election mentioned in the Article 22E of the 1945 Constitution of the Repuublic of Indonesia. Until now, debates about provisions of the Article 18 paragraph (4) of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia, especially about regional heads are democratically elected, should be applied by direct regional election or indirect regional election. The authority to resolving disputes over regional elections results in Indonesia has moved from Supreme Court to Constitutional Court, then returned to the Supreme Court, and finally its given to the special judicial bodies. Instead of executing the Constitutional Courts Decision Number 97/PUU-XI/2013 to regulate about institution to resolve disputes over regional election, law makers even give the authority back to the Constitutional Court, as a temporarily authority until the Special Judicial Bodies established. Although the Special Judicial Bodies should be formed before years of 2024 which is simultaneously national election are held, there are no serious discussion from the lawmakers to have an insight for an institution to resolving the disputes over regional election results. Even though, constitutional practices in other countries began to introduce electoral court as a special judicial bodies to resolving disputes over regional elections results. However, it based on the provision on their constitution. From the fact of experiences in resolving disputes over regional elections results, Constitutional Court is better than the Supreme Court was. For this reason, the authority to resolving disputes over regional elections results, is way much better if returned to the Constitutional Court.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
T55129
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>