Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 147024 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rio Chandra Kesuma
"ABSTRAK
Polemik terkait fenomena preman dan praktik premanisme yang terjadi akhir-akhir ini menjadi sorotan dan perhatian dari berbagai pihak (stakeholder). Hal ini dapat dilihat di mana banyaknya praktik premanisme yang dituangkan dalam berbagai bentuk (tindakan) kriminal ataupun berbagai tindakan lainnya yang mengganggu ketertiban umum dan rasa aman masyarakat serta gencarnya upaya yang dilakukan oleh semua stakeholder dalam menanggulangi praktik premanisme tersebut. Dapat dilihat bahwasannya tidak ada pengertian, batasan ataupun arti yang pasti akan arti dari preman dan premanisme. Pada dasarnya terminologi preman dan premanisme hanya merujuk pada pengertian sosiologis dan tidak dikenal dalam arti secara yuridis. Di dalam penelitian (thesis) ini akan fokus pada beberapa permasalahan yang terkait dengan bagaimanakah bentuk-bentuk praktik premanisme yang ada dan terjadi di masyarakat; bagaimanakah kebijakan kriminal (criminal policy) yang ada di dalam upaya pencegahan dan penanggulangan praktik premanisme; serta apa saja yang menjadi faktor penghambat bagi semua stakeholder di dalam menanggulangi fenomena preman dan praktik premanisme di masyarakat. Penelitian (thesis) ini akan menggunakan metode penelitian yang bersifat normatif, dengan pendekatan konseptual (conceptual approach) dan pendekatan perundang-undangan (statue approach). Hasil penelitian (thesis) ini melihat bentuk-bentuk praktik premanisme yang terjadi di masyarakat secara umum dapat dilihat ke dalam 2 (dua) bagian besar, yakni bentuk praktik premanisme yang dilihat dari sisi level atau tingkatan (levelitiy) dan bentuk praktik premanisme yang dilihat dari sisi perbuatan atau tindakan (action). Adapun terkait kebijakan kriminal (criminal policy) saat ini dalam upaya pencegahan dan penanggulangan praktik premanisme belumlah memiliki sebuah kebijakan kriminal (criminal policy) yang strategis dan integratif, karena saat ini semua stakeholder masih menitikberatkan pada upaya atau sarana penal (refresif), tanpa diimbangi dengan upaya atau sarana non-penal (preventif). Adapun faktor-faktor penghambat di dalam menanggulangi praktik premanisme yang dilakukan oleh preman secara umum ialah karena belum adanya koordinasi yang integral dan terpadu antar stakeholder; belum adanya kesamaan cara pandang dari semua stakeholder di dalam melihat fenomena preman dan praktik premanisme, adanya perbedaan program kerja prioritas antar semua pihak (stakeholder), faktor masyarakat itu sendiri serta faktor sarana dan prasarana. Selanjutnya adapun faktor penghambat fenomena preman dalam konteks organized crime, ialah karena belum adanya aturan atau dasar hukum yang jelas yang mengatur mengenai organized crime yang dilakukan oleh preman serta tingkat kesulitan yang tinggi di dalam pengungkapan organized crime itu sendiri yang dilakukan oleh preman.

ABSTRACT
The polemic of Premanism (street thug) practice and phenomenon that occurs recently had become a highlights and paid many parties (stakeholder) on their attention. Many of this law violators can be found in a form of criminal action or that similar with disrupting publicly order and people security and strong effort that stakeholder ever conducted to overcome this law violators. There are no comprehension, certain, limited and meaning that consist of preman and street thug. Preman (street thug) and its terminology is only refers to sense of sociology view and unknown in a meaning juridically. This thesis will focus in on several issues that relate to on what the form of violators exist and practice in society, and how is the criminal policy that already exist in an effort to prevent and overcome of this practice, so as to what become an inhibited factor to all stakeholder in overcoming a thug phenomenon in society. The research shall apply to normative research method with a conceptual approach and statue approach. The result of this research is shown many street thug practice that generally occurs in society and it could be seen in 2 (two) part of section, namely street thug form practice that looked at of level side or levelity and street thug practice if looked at action. In an effort to make a prevention and solution in this matter has not yet a strategical and integrative criminal policy. Since today all stakeholders are still imposing on an effort or penal facility (repressive), without an effort or non-penal facility (preventive). Generally, Inhibition factors to overcoming street thugs practice is comprise of no integral and integrated coordination between stakeholders, different way of view of all stakeholder in looking at street thug‟s phenomenon and practice, working program priority differentiation between all parties (stakeholder), society factors itself and prefacility and facility factors. Furthermore, inhibition factors of a street thugs phenomenon in a contex of organized crime has happened since there are no regulation or clearly basic law that regulates organized crime which conducted by street thug and highly complicated in revealing the case of organized crime itself which had been done by them."
2014
T38996
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mas Ahmad Yani
"Kebijakan pemberian bailout atau dana talangan dengan penamaan Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) kepada Bank Century, sejak digulirkan tahun 2008, hingga saat ini, telah menimbulkan kontroversi di tengah masyarakat. Kontroversi itu, karena adanya pandangan bahwa kebijakan tersebut dinilai sebagai tidak layak dan menimbulkan kerugian bagi keuangan negara karena hanya menguntungkan salah satu pihak/kelompok tertentu saja.
Dalam tinjauan kriminologi, kebijakan tersebut dapat dipandang sebagai kejahatan yang berada dalam ruang lingkup White Collar Crime (WCC), dilakukan oleh korporasi birokrasi negara. Berdasarkan hal tersebut, pertanyaan penelitiannya adalah:
1. Mengapa di dalam mensikapi kasus Bank Century, di antara berbagai alternatif pemecahan masalah, kebijakan yang diambil oleh KSSK adalah bailout yang ternyata dikemudian hari disalah gunakan oleh Bank Century.
2. Kebijakan baru apa yang diperlukan untuk mencegah terulangnya kasus Bank Century. Dengan pendekatan metode kualitatif, sifat kejahatan dari kebijakan FPJP Bank Century, ternyata tidak bisa hanya dilihat dari aspek pengambilan kebijakannya saja. Tetapi, perlu dilihat dari seluruh rangkaian kegiatan yang menunjukkan terjadinya kejahatan baik di Unit Operasional Bank Century, unit pengambilan kebijakan (KSSK-BI-LPS), dan unit pelaksana kebijakan (LPS).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa:
1. Peristiwa atau bentuk kejahatan di Unit Operasional Bank Century dan LPS selaku pelaksana kebijakan FPJP Bank Century, merupakan peristiwa/bentuk kejahatan yang menghimpit (beririsan) atau bersinggungan satu sama lain. Menyebabkan pengambilan kebijakan FPJP Bank Century oleh otoritas berwenang, memiliki kandungan/ sifat-sifat jahat (kriminogenik), sebagai kejahatan yang dilakukan oleh birokrasi Negara/kejahatan negara.
2. Peristiwa atau bentuk kejahatan yang terjadi di Unit Operasional Bank Century merupakan “penyebab” mengapa pengambilan kebijakan FPJP mengandung gen atau sifat-sifat kriminal. Sedangkan peristiwa/bentuk kejahatan yang terjadi di Unit Pelaksana Kebijakan, yakni LPS, adalah sebagai “akibat” yang membentuk FPJP Bank Century menjadi kejahatan Negara yang dapat dilihat secara nyata.
3. Memisahkan satu sama lain dari peristiwa/bentuk kejahatan yang terjadi pada masingmasing Unit Operasional tersebut di atas, mengakibatkan bentuk dan sifat kejahatan negara dalam pengambilan kebijakan FPJP Bank Century tidak terlihat secara sempurna/tidak kasat mata/tersamar karena peristiwa atau bentuk kejahatannya menyebar (diffusion) sesuai tugas pokok, fungsi dan kewenangan masing-masing.
4. Hal itulah yang menyebabkan pembuat kebijakan pemberian FPJP kepada Bank Century terisolasi dari pandangan bahwa kebijakan yang salah dan merugikan adalah kejahatan.
5. Untuk mencegah terulangnya perbuatan serupa, direkomendasikan perlu ada mekanisme kontrol sosial yang melibatkan peran serta masyarakat yang lebih luas, misal optimalisasi peran DPR-RI melalui pemberian izin prinsip sebelum kebijakan digulirkan.

The policy of providing bailouts with the naming of the Short Term Funding Facility (STFF) to the Century Bank, since it was rolled out in 2008, until now, has caused controversy among the people. The controversy was due to the view that the policy was considered inappropriate and caused losses to the state finances because it was seen to only benefit one particular party/group.
In a criminological review, the controversy can be seen (assumed) as a crime within the scope of the White Collar Crime (WCC), committed by the state bureaucratic corporation. Based on this, the research questions are:
1. Why is responding to the Century Bank case, among the various alternative solutions to the problem, the policy taken by the KSSK was a bailout that was later misused by Century Bank?
2. What new policies are needed to prevent a repeat of the Century Bank case? With a qualitative method approach, the nature of crime from Century Bank's STFF needs to be seen from the whole series of activities that show the occurrence of crime both in the Century Bank Operational Unit, the policy making unit (KSSK-BI-LPS), and the policy implementation unit (LPS).
The research showed that:
1. Phenomenon or forms of crime in Century Bank Operational Units and LPS as implementing Century Bank STFF policies are events/forms of crime which coincide or intersect with each other. Causing the decision making of Century Bank's STFF policy by the competent authority, containing evil / criminogenic properties, such as a crime committed by the State bureaucracy/state crime.
2. Events or forms of crime that occurred in Century Bank Operational Units are the 'causes' why STFF policymaking contains genes or criminal traits. While the events/forms of crime that occurred in the Policy Implementation Unit, namely LPS, are as a 'result' that formed the Century Bank STFF into a state crime that can be seen clearly.
3. Separating each other from the events/forms of crime that occurred in each of the Operational Units mentioned above, resulting in the form and nature of state crime in making Century Bank STFF policies not seen perfectly / invisible / disguised because events or forms of crime spread ( diffusion) according to the main tasks, functions and respective authorities.
4. These factors have caused policymakers to provide STFF to Bank Century with isolation from the view that wrong and harmful policies are crimes.
5. To prevent the recurrence of similar actions, it is recommended that there is a need for social control mechanisms that involve broader community participation, for example optimizing the role of the house of representatives (DPR-RI) through granting principle permission before the policy is rolled out.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Ro`is
"ABSTRAK
Perkembangan teknologi informasi yang sangat pesat telah menciptakan peluang
baru bagi para teroris untuk menebarkan teror di cyberspace. Selain teror di
cyberspace, teknologi informasi juga memberi peluang akan tehnik-tehnik baru
terorisme di dunia nyata. Disisi lain, hukum melalui kebijakan kriminal sebagai
usaha rasional untuk menanggulangi kejahatan, dituntut untuk selalu responsif
dalam mengantisipasi kejahatan-kejahatan baru yang salah satunya adalah
cyberterrorism.Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif,
dengan tujuan penelitian untuk mengetahui kebijakan kriminal, yurisdiksi dan
kebijakan hukum pidana di masa datang dalam cyberterrorism di Indonesia.Dari
hasil penelitian ditemukan bahwa kebijakan kriminal terkait dengan
cyberterrorism menggunakan pendekatan penal dan non penal. Dengan
pendekatan penal meskipun secara spesifik aturan mengenai cyberterrorism
belum ada, pendekatannya bisa menggunakan aturan-aturan dalam KUHP
maupun di luar KUHP, dimana dalam putusan-putusan pengadilan terhadap
kasus-kasus cyberterrorism menggunakan aturan-aturan terkait dengan tindak
pidana terorisme.Sedangkan pendekatan non penal menggunakan pendekatan
budaya berupa kampanye internet sehat. Pengaturan mengenai cyberterrorism di
dalam hukum pidana Indonesia yang akan datang belum diatur secara spesifik.
Yurisdiksi dalam kasus cyberterrorism dilakukan berdasarkan aturan yang
tercantum di dalam KUHP dan di luar KUHP.Diharapkan adanya revisi terhadap
Undang-Undang Nomor.1 Prp Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme, dengan mencantumkan aturan kriminalisasi serangan terhadap
sistem komputer atau jaringannya atau informasi yang terkandung didalamnya
serta publikasi dan propaganda termasuk penyebaran rasa kebencian,
penghasutan, pemuliaan atau pemujaan terhadap terorisme, penyebaran ideologi
terorisme. Perlu ditingkatkannya kerjasama internasional, peran pemerintah untuk
mendorong penggunaan internet sehat, dan peningkatan kemampuan aparat
dalam penanganan cyberterrorism.

ABSTRACT
The rapid development of information technology has created new opportunities
for terrorists to spread terror in cyberspace. Besides terror in cyberspace,
information technology will also provide opportunities new techniques of
terrorism in the real world. On the other side , the law through criminal policy as
a rational attempt to solve crimes, are required to always responsive in
anticipation of new crimes, one of which is cyberterrorism. This research uses
normative legal research methods, in order to determine the criminal policy
research, the future criminal policy and law jurisdiction of cyberterrorism in
Indonesia. From the results of the study found that the criminal policies related to
cyberterrorism using penal and non-penal approach. With the approach of specific
penal although there are no rules about cyberterrorism, the approach could use the
rules in the Criminal Code as well as outside the Criminal Code, where the court
decisions on cases of cyberterrorism using the rules associated with criminal acts
of terrorism. While the non-penal approach using a cultural approach healthy
internet campaign. The regulation of cyberterrorism in the Indonesian criminal
code which would come not specifically regulated. Jurisdiction in the case of
cyberterrorism is based on the rules listed in the Criminal Code and the outside of
the Criminal Code. Expected that the revision of the Act of 2002 Nomor.1 Prp
About Anti-Terrorism, by stating the rules criminalizing attacks against computer
systems or networks or the information contained and also including publications
and propaganda spread hatred, incitement, glorification or worship of terrorism"
2013
T33750
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahmanofa Yunizaf
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1992
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Endah Widyaningrum
"ABSTRACT
Skripsi ini membahas mengenai privatisasi tanah di dalam proyek pertambangan dan pembangunan pabrik semen di Kawasan Pegunungan Kendeng Utara, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Penelitian ini ditulis dengan menggunakan perspektif kriminologi kritis state crime dan welfare criminology , penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan tipe penelitian studi kasus. Pada akhirnya, penelitian ini menemukan bahwa telah terjadi berbagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia terkait pemanfaatan dan perlindungan sumber daya alam karst, kekerasan dan intimidasi terhadap warga yang dilakukan oleh aparat negara dan preman, serta kriminalisasi terhadap warga. Tidak terwujudnya kesejahteraan warga dan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia merupakan sebuah kejahatan negara

ABSTRACT
This thesis discusses the privatization of land in the mining project and the construction of a cement plant in the North Kendeng Mountain Area, Rembang Regency, Central Java. This study was authored by using critical perspectives in criminology state crime and welfare criminology, this study used a qualitative approach with case study research type. Ultimately, the study found that there have been various forms of human rights violations related to the utilization and protection of karst natural resources, violence and intimidation against citizens committed by state apparatus and civilian, and criminalization of citizens. No realization of the welfare of citizens and the occurrence of violations of human rights is a state crime. "
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Silbermaan, Charles E.
New York: Random House, 1978
364 SIL c
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Hurin Fidyafi
"ABSTRAK
Penelitian ini menemukan adanya kejahatan yang dilakukan oleh negara, terhadap anak dari perempuan pekerja migran yang mengalami kekerasan seksual. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, dengan melakukan wawancara terhadap S, M dan A. Ke tiga subjek adalah anak yang lahir dari perempuan pekerja migran yang mengalami kekerasan seksual. Peneliti menggunakan teori feminis sosialis oleh Rosermarie Putnam Tong, dalam menjelaskan permasalahan perempuan pekerja migran terkait kapitalisme dan patriarki. Kemudian teori ekologi milik Bronfenbrenner, dalam menjelaskan lapisan-lapisan terjadinya kekerasan pada anak. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa kekerasan yang terjadi pada anak dari perempuan pekerja migran, tidak dapat terpisahkan dari permasalahan yang terjadi pada ibu mereka. Sedangkan negara tidak hanya abai terhadap permasalahan kekerasan yang terjadi pada anak. Tetapi juga melakukan diskriminasi terhadap pencatatan administrasi negara dalam bentuk akta kelahiran, melihat latarbelakang anak yang dilahirkan tidak dalam status pernikahan.

ABSTRACT
It was found that there are cases of crime committed by state towards children of women migrant workers who had occurred sexual violence. This study uses qualitative method and in-depth interview technique on S, M, and A. Each subject is children who are born from women migrant workers who had occurred sexual violence. We use socialist feminist theory by Rosemarie Putnam Tong to explain the female migrant workers? issues on capitalism and patriarchy and ecological theory by Bronfenbrenner to explain some levels of violence against children. The results show that the children?s issue cannot be separated from their mother?. Meanwhile, state is not only neglects them, but also discriminates them. Especially in way of birth certificate making. State tends to problematize them, related to their ?status? as children who were not born under the marriage status."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2016
S62689
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aldershot: Ashgate, 1998
R 364.13 STA I
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library
cover
Setya Wahyudi
"ABSTRAK
Tesis ini berjudul "Kebijakan Penerapan dan Pelaksanaan Pidana Penjara Dalam Rangka Reintegrasi Sosial Terhadap Terpidana kejahatan Kekerasan", dan tujuan penelitian dalam tesis ini yaitu untuk mengetahui kebijakan hakim di dalam penerapan pidana penjara dan kebijakan pembina lembaga pemasyarakatan di dalam pelaksanaan pidana penjara dalam rangka reintegrasi sosial terpidana kejahatan kekerasan.
Penelitian ini bersifat deskriptif, dan pengumpulan data dilakukan melalui penelitian kepustakaan dan penelitian di lapangan berupa studi dokumen, observasi, angket dan wawancara dengan Hakim Pengadilan Negeri Purwokerto, Petugas Pembina Lembaga Pemasyarakatan dan Narapidana kejahatan kekerasan di Lembaga Pemasyarakatan Purwokerto. Penentuan responden dilakukan secara purposive non random sampling, dan analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif dan deskriptif kuantitatif.
Maksud kebijakan penerapan pidana penjara dalam rangka reintegrasi sosial, yaitu kebijakan hakim di dalam menjatuhkan pidana penjara dengan tujuan untuk perlindungan masyarakat terhadap bahaya akibat tindak pidana dan, dengan tujuan untuk mendidik pelaku tindak pidana. Kebijakan pelaksanaan pidana penjara dalam rangka reintegrasi sosial dilaksanakan dengan cara memasukkan narapidana ke dalam lembaga pemasyarakatan dan selama menjalani pidana dilakukan pembinaan kepribadian dan pembinaan kemandirian dan pembinaan reintegrasi dengan masyarakat yang berupa asimilasi, pembebasan bersyarat dan cuti menjelang bebas.
Kebijakan penerapan pidana penjara terhadap terpidana kejahatan kekerasan di Pengadilan Negeri Purwokerto apabila dilihat dari berat pidana penjara yang dijatuhkan, telah memenuhi dan dapat sebagai sarana proses reintegrasi sosial yang berupa asimilasi, pembebasan bersyarat ataupun cuti menjelang bebas, namun apabila dilihat dari pertimbangan-pertimbangan penjatuhan pidana penjara maka dapat dikatakan tidak berdasar tujuan reintegrasi sosial sepenuhnya.
Kebijakan pelaksanaan pidana penjara dalam rangka reintegrasi sosial terhadap terpidana/narapidana kejahatan kekerasan di Lembaga Pemasyarakatan Purwokerto lebih ditonjolkan pada bentuk pembinaan kepribadian dan pembinaan kemandirian serta pembinaan dalam bentuk asimilasi di dalam lembaga atau di dalam gedung lembaga pemasyarakatan yang meliputi kegiatan pembinaan mental spiritual atau keagamaan, olah raga, keterampilan pertukangan, perbengkelan, pertanian dan peternakan. Pembinaan narapidana dalam bentuk asimilasi dilakukan dengan cara pembauran antara narapidana dengan petugas pembina lembaga, pembauran dengan sesama narapidana dan Pembauran dengan masyarakat pengunjung lembaga pemasyrakatan.
Dalam rangka mewujudkan tujuan pelaksanaan pidana penjara dalam rangka reintegrasi sosial diperlukan sarana dan prasarana yang memadai, profesionalisme pembina lembaga pemasyarakatan dan diperlukan partisipasi positif dari masyarakat.

ABSTRACT
The title of the thesis is 'The application and implementation of imprisonment sentence policies based on social reintegration of violent crime offenders. The aim of the present research were to know the judge policy in inflicting imprisonment sentence and to know the prison management policy in implementing the imprisonment sentence based on social reintegration of the violent crime offenders.
This 'research was descriptive.. The data was obtained through library and field researches involving documentary study, observation, questionnaire and interview with the Purwokerto state court, prison management and prisoner of violent crime prisoners in Purwokerto prison. Respondents were chosen based on purposive non random sampling. Data was analyzed based on descriptive qualitative methods.
The aims of the imprisonment policy based on the social reintegration was the implementation of imprisonment sentence based on social defence and treatment of offender method. This policy was implemented by giving i;a treatment to the offenders in a prison like personality and self-esteem education; and reintegration education, involving programs like assimilation, conditional release and to go on leave before released.
If, the judge policy on the application of imprisonment sentence was viewed based on its heaviness, it would be fit in with the social reintegration policy involving assimilation, conditional release and to go on leave before released, but if it was wied based on its considerations in inflicting imprisonment sentence, it would not be fit in with the aims of the social reintegration policy.
The implementation of the imprisonment sentence in the Purwokerto prison was more focused on the personality and self-esteem educations, and assimilation inside the Purwokerta prison involving activities like moral and spirituai1l educations, sport, artisan, mechanic, agriculture and husbandry. The assimilation of offenders was done by establishing close communication with prison officers, Other prisoner and public prison visitors.
To Teach the aims of the implementation of imprisonm1nt sentence based on social reintegration, it needed sufficient facilities; professionalism of the prison officers and positive social participation.
"
Depok: Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>