Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 143930 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sihotang, Daniel Tulus Marulitua
"Sistem peradilan pidana merupakan suatu proses yang ditujukan untuk menanggulangi kejahatan melalui proses peradilan yang dilakukan terhadap pelaku tindak pidana. Sistem peradilan pidana diwujudkan melalui suatu ketentuan yang disebut dengan Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP). Sejatinya KUHAP ditujukan untuk melindungi hak-hak seorang tersangka dan/atau terdakwa serta mengatur tugas masing-masing dari sub-sub sistem peradilan pidana guna menciptakan suatu keterpaduan sistem peradilan pidana. Namun demikian, implementasi KUHAP masih jauh dari tujuan sebenarnya sehingga berpotensi menimbulkan pelanggaran-pelanggaran terhadap hak-hak tersangka/terdakwa. Oleh sebab itu perlu adanya suatu pembaharuan terhadap KUHAP. Pembaharuan tersebut diwujudkan dalam Rancangan Kitab Hukum Acara Pidana (R-KUHAP). Dalam R-KUHAP, terdapat nilai-nilai yang diadopsi di negara common law, salah satu dari nilai tersebut adalah lembaga plea bargaining. Akan tetapi R-KUHAP tidak secara mutlak mengadopsi nilai lembaga plea bargaining yang ada di negara common law. R-KUHAP hanya mengambil nilai plea guilty (pengakuan bersalah) yang merupakan salah satu nilai dari lembaga plea bargaining. Kedudukan lembaga plea bargaining (plea guilty) yang diatur dalam R-KUHAP melalui suatu klausul Jalur Khusus terdapat dalam tahap adjudikasi. Diadopsinya lembaga plea bargaining (plea guilty) dalam RKUHAP disebabkan adanya manfaat dari lembaga ini. Salah satu manfaat tersebut terlihat dalam perwujudan suatu peradilan cepat, sederhana dan berbiaya murah dalam implementasi lembaga plea bargaining (plea guilty). Disamping manfaat yang diperoleh, terdapat juga suatu potensi kerugian apabila implementasi dari lembaga plea bargaining (plea guilty) tidak berjalan dengan baik sehingga dapat menyebabkan miscarriage of justice (peradilan sesat). Oleh sebab itu dalam implementasi lembaga plea bargaining (plea guilty) nantinya diperlukan keterpaduan dari 3 (nilai) dasar hukum sebagimana dikemukakan oleh Friedman yaitu substansi hukum (perwujudan peraturan perundang-undangan yang terkait plea bargaining), struktur hukum (keterpaduan antar sub sistem dalam sistem peradilan pidana), dan budaya hukum (kesadaran dari aparat penegak hukum terhadap kewenangan yang dimilikinya) guna mencegah timbulnya miscarriage of justice (peradilan sesat).

The criminal justice system is a process that is intended to solve crimes through judicial proceedings conducted against criminal offence. The criminal justice system is realized through a provision called the Criminal Procedure Code (KUHAP). Indeed the Criminal Codeaimed at protecting the rights of accused and/or defendant sand set tasks for each of the sub-systems of criminal justice in order to create an integration of the criminal justice system. However, the implementation of the Criminal Procedure Code is still far from the goal and thus potentially give rise to violations against the rights of accused/defendant. Therefore, the need for a reform of the Criminal Procedure Code. The reform embodied in the draft Criminal Procedure Code (R-KUHAP). In draft Criminal Procedure Code, there are values that are adopted in common law. One of these values is plea bargaining. However ,the draft Criminal Procedure Code does not ultimately adopted the values of plea bargaining that exist in common law. The draft Criminal Procedure Code is only take a guilty plea which is one of the values of the plea bargaining. The position of plea bargaining (plea guilty) is regulated int he draft Criminal Procedure Code through a “Special Track” clause contained in the adjudication stage. Adoption of plea bargaining (guilty plea) in the draft Criminal Procedure Code due tothe benefits of this institution. One of the benefits is seen in the embodiment of a fast, simple and low-cost judicial/trial in implementation of plea bargaining (plea guilty). In addition to the benefits, there is also a potential loss when implementation of the institution of plea bargaining (plea guilty) do not work properly till causing the miscarriage of justice. Therefore, implementation of plea bargaining (plea guilty) will be required integration of three values of law as advanced by Friedman namely substance law (embodiment legislation related plea bargaining), structure law (coherence between sub-system in criminal justice systems), and cultural law ( of consciousness of law enforcement officials the authority to file to prevent the spread of miscarriage of justice."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T38982
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andini Naulina Rahajeng
"Penyelesaian perkara tindak pidana khusus narkotika seharusnya dapat diselesaikan secara lebih efektif dan efisien, dengan menjunjung tinggi asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan. Penyelesaiaan perkara secara lambat menimbulkan masalah lain, seperti berupa penumpukan perkara. Indonesia telah mencoba beberapa sistem untuk menerapkan sistem peradilan pidana yang lebih efektif dan efisien, seperti whistleblower dan justice collabolator, namun pelaksanaan sistem tersebut belum mampu mengatasi permasalahan penumpukan perkara. Rancangan KUHAP mencoba menggabungkan nilai-nilai hukum yang terdapat dalam sistem hukum Civil Law dan sistem hukum Common Law, dengan tujuan meningkatkan efektivitas hukum acara pidana dan mewujudkan suatu peradilan yang cepat, sederhana, dan berbiaya ringan serta melindungi hak dan kewajiban para pihak yang terkait dalam peradilan pidana. Salah satu hal yang diambil dari sistem hukum Common Law adalah konsep pengakuan bersalah (plea of guilty) yang dikenal dengan lembaga Plea Bargaining. Plea Bargaining yang dimaksud ialah sebuah proses penyelesaian perkara yang lebih cepat dan efisien, berupa pembelaan pengakuan bersalah atau tidak ada kontes (nolo contendere). Jalur khusus mengadopsi nilai-nilai yang ada di plea bargaining, walaupun tetap terdapat perbedaan-perbedaan yang dengan jelas memisahkan kedua konsep tersebut. Hasil penelitian ini menemukan bahwa Jalur Khusus yang ada di KUHAP masih memiliki beberapa permasalahan, seperti pengaturan yang di RKUHAP untuk mengatur jalur khusus kuranglah terperinci. Dalam RKUHAP, jalur khusus hanya diatur dalam satu pasal, yaitu pasal 199 RKUHAP. Dengan kurangnya pengaturan terhadap jalur khusus, dapat mengakibatkan kemungkinan terdapat tahapan yang terlewatkan dan terdapat pelanggaran hak asasi dalam proses pidana tersebut.

The settlement of cases of narcotics crimes should be resolved more effectively and efficiently, by upholding the principles of quick, simple and low cost trial. The slow settlement of cases creates other problems, such as a backlog of cases. Indonesia has tried several systems to implement a more effective and efficient criminal justice system, such as whistleblowers and justice collectors, but the implementation of these systems has not been able to solve the problem of case accumulation. The draft Criminal Procedure Code (RKUHAP) tries to combine legal values contained in the Civil Law legal system and the Common Law legal system, with the aim of increasing the effectiveness of criminal procedure law and creating a trial that is fast, simple and low cost and protects the rights and obligations of the parties involved in criminal justice. One of the things taken from the Common Law legal system is the concept of plea of guilty, known as the Plea Bargaining institution. Plea Bargaining in question is a process of solving cases that is faster and more efficient, in the form of plea plea guilt or no contest (nolo contendere). Jalur Khusus adopts the values that exist in the plea bargaining, although there are still differences that clearly separate the two concepts. The results of this study found that the Jalur Khusus in the Criminal Procedure Code still has several problems, such as the arrangement in the RKUHAP to regulate Jalur Khusus is less detailed. In the RKUHAP, Jalur Khusus is only regulated in one article, namely article 199 RKUHAP. With the lack of regulation on special routes, it can result in the possibility of missed stages and human rights violations in the criminal process."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Since the second half of the 1990s, cross-sectoral and company level bargaining has developed into a key movement in transnational industrial relations in the European Union...."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Chaison, Gary
"[This book explains how collective bargaining has changed in important and lasting ways over the past decade. We are now seeing a new and powerful strain of the concession bargaining that traces its roots back to the early 1980s. The collective bargaining of the past decade can be characterized as ultra-concession bargaining because it is an intense and self-perpetuating deviation from earlier concession bargaining. Employers now act and unions react, rather than the other way around. Employers no longer have to establish a credible case of financial hardship, or commit to the traditional quid pro quo of saving jobs in return for lower labor costs, or guarantee singularity (that concession bargaining is a single even that will not have to be repeated). Not all collective bargaining occurs as this extreme variant but it has become the prevailing form. Essentially, there has been a sea change in collective bargaining in America.The book describes the transformation of collective bargaining in a lively and readable manner, avoiding academic, legalistic or technical jargon, and it will appeal to persons interested in the future directions of collective bargaining and unionism in America, (e.g., the general public, graduate and undergraduate students in human resource management and industrial relations courses, and labor relations managers and union activists and staff). The book deals with aspects of union revival as it asks whether ultra-concession bargaining is cause or outcome of the unions’ declining influence in the American economy and society. Above all, by using published reports on bargaining and interviews and surveys of bargaining settlements, the book shows where the concession bargaining is now and where it is heading.​, This book explains how collective bargaining has changed in important and lasting ways over the past decade. We are now seeing a new and powerful strain of the concession bargaining that traces its roots back to the early 1980s. The collective bargaining of the past decade can be characterized as ultra-concession bargaining because it is an intense and self-perpetuating deviation from earlier concession bargaining. Employers now act and unions react, rather than the other way around. Employers no longer have to establish a credible case of financial hardship, or commit to the traditional quid pro quo of saving jobs in return for lower labor costs, or guarantee singularity (that concession bargaining is a single even that will not have to be repeated). Not all collective bargaining occurs as this extreme variant but it has become the prevailing form. Essentially, there has been a sea change in collective bargaining in America.The book describes the transformation of collective bargaining in a lively and readable manner, avoiding academic, legalistic or technical jargon, and it will appeal to persons interested in the future directions of collective bargaining and unionism in America, (e.g., the general public, graduate and undergraduate students in human resource management and industrial relations courses, and labor relations managers and union activists and staff). The book deals with aspects of union revival as it asks whether ultra-concession bargaining is cause or outcome of the unions’ declining influence in the American economy and society. Above all, by using published reports on bargaining and interviews and surveys of bargaining settlements, the book shows where the concession bargaining is now and where it is heading.​]"
New York: [Springer Science, Springer Science], 2012
e20397492
eBooks  Universitas Indonesia Library
cover
Katz, Harry C.
Boston: McGraw-Hill, 2003
331.83 KAT i
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Chamberlain, Neil Wolverton
New York, NY: McGraw-Hill , 1965
331.116 CHA c
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Chamberlain, Neil Wolverton
New York: McGraw-Hill , 1986
331.116 CHA c
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Chamberlain, Neil Wolverton
New York: McGraw-Hill, 1986
331.116 CHA c
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Junaedi
"Perbedaan kepentingan antara pengusaha, pekerja dan pemerintah yang sangat medasar seringkali menimbulkan konflik yang berkepanjangan antara pekerja, pengusaha dan pemerintah dalam menerapkan hubungan industrial di tempat kerja. Konflik kepentingan yang berkepanjangan tidak hanya dapat menghambat proses produksi dan distribusi barang dan jasa namun juga menghambat hak-hak pekerja. Untuk mengatasi hal tersebut maka collective bargaining agreement dapat dijadikan pedoman dan acuan hukum yang mengikat kedua belah pihak dalam menerapkan hubungan industrial yang harmonis di tempat kerja."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2004
T11949
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lenny Setiawati
"Tujuan penelitian ilmiah ini adalah untuk mempelajari hubungan antara kompetensi yang dimiliki oleh sales konsultan dan produktivitas penjualannya. Penelitian ini merupakan studi kasus di PT. XYZ, Jakarta. Populasi penelitian ini adalah para sales konsultan yang bekerja di jaringan penjualan PT. XYZ di wilayah Jakarta yang berjumlah 81 orang. Kriteria populasi adalah sales konsultan yang mempunyai masa kerja lebih dari enam bulan serta karakteristik pekerjaan yang sama yaitu tidak hanya bekerja dengan menjaga showroom saja.
Pengumpulan data primer, yaitu data kompetensi penjualan dalam penelitian ini dilakukan melalui pengamatan perilaku responden dalam beberapa simulasi penjualan yaitu dalam aktivitas assessment centre. Dimensi kompetensi penjualan yang diamati ada empat kelompok besar yaitu ketrampilan bersosialisasi, ketrampilan metodikal, kemampuan personal dan pengetahuan umum. Sedangkan data sekunder berupa data produktivitas penjualan diperoleh dari data perusahaan. Data produktivitas penjualan ini diperoleh dari basil bagi antara total basil penjualan setiap orang dengan masa kerja total sejak bulan Januari 2002 sampai Mei 2003 dengan satuan unit mobil/bulan.
SPSS (Statistical Package for Social Science) versi 11,5 digunakan untuk menganalisis data. Hubungan antara dua variabel yang sedang diteliti (produktivitas penjualan dan kompetensi penjualan) dianalisis dengan menggunakan uji korelasi Kendal Tau (τ). Sedangkan analisis kesenjangan produktivitas penjualan dan kompetensi penjualan dilakukan dengan cara memadukan kedua data dalam sebuah matriks yang terdiri dari sumbu X (data produktivitas penjualan) dan sumbu Y (data kompetensi penjualan). Matriks ini dibagi menjadi empat kuadran oleh angka rata-rata produktivitas penjualan serta angka batas bawah kompetensi penjualan.
Karakteristik sosio demografis responden dalam penelitian ini meliputi jenis kelamin, usia, lama bekerja serta latar belakang pendidikan. Komposisi karakteristik jenis kelamin responden adalah 86,4 % laki-laki dan 13,6 % perempuan. Karakteristik usia responden adalah 3,7% berusia kurang dari 25 tahun; 56,8 % berusia antara 25 sampai 30 tahun; 23,5 % berusia antara 31 sampai 35 tahun; 14,8 % berusia antara 36 sampai 40 tahun; dan 1,2 % yang berusia lebih dari 41 tahun. Karakteristik mass kerja responden adalah 38,3% kurang dari satu tahun; 21% bermasa kerja antara 1 sampai 2 tahun; 27,2% dengan masa kerja 2 sampai 3 tahun; 6,2 % dengan masa kerja 3 sampai 4 tahun; serta 7,4 % dengan masa kerja lebih dari 4 tahun. Sedangkan karakteristik pendidikan responden adalah 13,6 % berpendidikan SLTA; 21 % berpendidikan setingkat diploma; dan 65,4% berpendidikan setingkat Sarjana (S1).
Angka probabilitas signifikansi pada uji Kendal Tau menunjukkan nilai + 0,251. Nilai ini menunjukkan bahwa korelasi antara kompetensi dengan produktivitas kurang begitu kuat. Tanda korelasi yang positif menunjukkan arah yang sama, yaitu semakin tinggi kompetensi penjualan maka produktivitas penjualan akan semakin besar. Sedangkan hasil pemetaan posisi responden dalam matriks produktivitas penjualan di sumbu X (rata-rata = 0,82 unit mobil/bulan) dan kompetensi penjualan di sumbu Y (angka minimal = 60%) adalah 19% responden dalam kelompok STAR (produktivitas tinggi, kompetensi tinggi); 15% dalam kelompok Problem Employee / Potential Candidate (produktivitas rendah, kompetensi tinggi); 38% Deadwood (produktivitas rendah, kompetensi rendah); dan 28% Common Sales Person (produktivitas tinggi, kompetensi rendah).
Kesimpulan dari penelitian ini adalah tidak ada hubungan yang kuat antara kompetensi penjualan dan produktivitas penjualan. Tetapi tanda korelasi yang positif menunjukkan arah yang sama, yaitu semakin tinggi kompetensi penjualan maka produktivitas penjualan akan semalan besar. Altematif tindakan untuk rreningkatkan produktivitas penjualan perlu didasarkan pada analisis pemetaan posisi responden dalam matriks yang menghubungkan produktivitas penjualan dan kompetensi penjualan agar diperoleh solusi yang tepat dan efektif. Responden kelompok STAR perlu disediakan pelatihan dan pengembangan tingkat advance serta program insentif yang lebih memotivasi. Kelompok Problem Employee / Potential Candidate perlu diberi motivasi, coaching dan counselling yang tepat. Kelompok Deadwood perlu dicarikan posisi yang tepat dalam perusahaan sesuai dengan kompetensinya. Kelompok Common Sales Person perlu disediakan program pelatihan dan pengembangan dari dasar. Dengan memberikan altematif solusi yang tepat, diharapkan efektivitas dan produktivitas kerj a akan meningkat."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T13794
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>