Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 151092 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Anggi Puspa Nur Hidayati
"Pencegahan penyakit tular vektor nyamuk kini dipersulit dengan munculnya resistensi vektor terhadap insektisida. Insektisida organofosfat (OP)-malation merupakan salah satu insektisida yang masih digunakan di Indonesia, oleh karena itu pengawasan status resistensi vektor terhadap insektisida tersebut perlu dilakukan. Dua mekanisme utama yang mendasari resistensi vektor terhadap malation adalah peningkatan enzim metabolik esterase dan insensitif enzim asetilkolinesterase (AChE). Penelitian sebelumnya di Indonesia telah melaporkan keterlibatan enzim esterase pada resistensi vektor terhadap malation, namun peran insensitif AChE belum diketahui jelas.
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif menggunakan nyamuk Aedes aegypti dari Jawa Tengah. Penelitian dilakukan pada bulan April-Oktober 2013 di Lembaga Eijkman. Aedes aegypti sensitif dan resistan malation hasil bioassay dianalisis secara molekuler untuk mengetahui aktivitas enzim AChE yang tersisa setelah dihambat oleh malation. Selain itu, tiga mutasi titik (G119S, F290V, dan F455W) pada gen Ace1 juga dideteksi untuk melihat pengaruh ada tidaknya ketiga mutasi tersebut terhadap aktivitas enzim AChE setelah dihambat oleh malation. Aktivitas enzim AChE ditentukan berdasarkan metode Ellman, sedangkan deteksi mutasi G119S dengan metode PCR-RFLP, dan mutasi F290V-F455W dengan metode PCR-Sequencing.
Tidak ada perbedaan "aktivitas sisa" enzim AChE yang bermakna dan tidak ditemukan mutasi G119S, F290V, dan F455W pada Ae. aegypti resistan. Hasil ini menandakan bahwa mekanisme insensitif AChE tidak mendasari resistensi Ae. aegypti terhadap malation di Jawa Tengah. Walaupun demikian, terdapat peningkatan "aktivitas sisa" AChE yang tidak bermakna pada Ae. aegypti resistan dibanding Ae. aegypti sensitif. Hasil ini menandakan bahwa kemungkinan terdapat peran enzim lain yang dapat memetabolisme malation lebih cepat atau terjadi peningkatan produksi AChE pada nyamuk resistan sehingga AChE tetap dapat menghidrolisis substratnya (asetilkolin). Mekanisme insensitif AChE belum terlibat penuh dalam mendasari resistensi Ae. aegypti terhadap malation di Jawa Tengah, namun kemungkinan mekanisme ini terlibat dapat diteliti lebih lanjut dengan menganalisis peningkatan produksi enzim AChE yang juga dapat memengaruhi aktivitas AChE selain mutasi gen Ace1.

The prevention of mosquito-borne diseases becomes difficult to overcome since the vectors have developed resistance to insecticides. The molecular basis of resistance to insecticides therefore need to be explored to determine the resistance status earlier. In Indonesia, organophosphate (OP)-malathion insecticide has been widely used to control vector population and therefore the resistance status to this insecticide should be under control. Two main mechanisms have known to be associated with resistance to malathion, previous studies in Indonesia reported that esterase responsible in resistance to malathion, however the insensitive AChE-based mechanism remain to be determined.
Descriptive study was conducted at Eijkman Institute during April to October 2013 using Aedes aegypti from Central Java. Malathion sensitive and resistant Ae. aegypti from bioassay were subjected to molecular analysis to compare the remaining activitiy of AChE between those mosquitoes after inhibited by malathion. The presence of three point mutations (G119S, F290V, and F455W) in the Ace1 gene associated with resistance to malathion were also detected to see the effect of the absence or presence of those mutations to AChE activity.
The results showed that AChE remaining activities in the resistant Ae. aegypti have no significantly different compare to those in the sensitive Ae. aegypti. No associated mutations found in the Ace1 gene (G119S, F290V, or F455W) as well. These results indicated that insensitive AChE-based mechanism is not involved in Ae. aegypti resistance to malathion in Central Java. However, we noticed that the remaining activities of AChE are increased insignificantly in resistant Ae. aegypti, suggesting the possibilities of metabolic enzyme which can degrade insecticide faster or could be due to overproduction of AChE enzyme which may increase the hydrolizing process of acetylcholine (ACh). Insensitive AChE-based mechanism is still not fully involved in Ae. aegypti resistance to malathion in Central Java, however the potency of its involvement should be further analyzed by considering the overproduction of AChE enzyme itself which could contribute in AChE activity enhancement other than Ace1 gene mutation."
Depok: Universitas Indonesia, 2014
T59116
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bany Faris Amin
"Demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit arbovirus yang paling umum di dunia, termasuk di berbagai daerah di Indonesia. Pengendalian vektor kimia pada Ae aegypti dengan permethrin adalah salah satu cara untuk mengendalikan penyakit, meskipun resistensi telah dilaporkan. Berdasarkan hal-hal ini, penelitian ini menguji resistensi Ae. aegypti terhadap permethrin di Desa Pangkah, Kabupaten Tegal. Tes dilakukan berdasarkan standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dengan mengukur tingkat kematian Ae aegypti yang dicatat selama 24 jam.
Hasil percobaan menunjukkan Ae. Angka kematian aegypti terhadap permethrin 0,25% selama 24 jam adalah 26% yang menunjukkan terjadinya resistensi. Selain itu, waktu kematian permetrin ditunjukkan sebagai LT50, LT90, LT99 untuk 6611.636 menit, 280603.776 menit, dan 5958807.272 menit masing-masing. Perlawanan terhadap permethrin di Ae. aegypti diidentifikasi sehingga penggunaan permethrin 0,25% perlu dipertimbangkan.

Dengue hemorrhagic fever (DHF) is the most prevalent arbovirus disease in the world, including including in various regions in Indonesia. Chemical vector control on Ae aegypti with permethrin is one way to control the disease, even though resistance has been reported. Based on these matters, this study tested the resistance of Ae. aegypti against permethrin in Pangkah Village, Tegal Regency. Test was performed based on the World Health Organization (WHO) standard by measuring Ae aegypti mortality rates which are recorded for 24 hours.
The results of the experiments show the Ae. aegypti mortality rate against permethrin 0.25% for 24 hours is 26% which shows the occurance of resistance. Besides that, the permethrin mortality times are shown as LT50, LT90, LT99 for 6611,636 minutes, 280603,776 minutes, and 5958807,272 minutes respectively. Resistance to permethrin in Ae. aegypti was identified so that the use of permethrin 0.25% needs to be considered.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sakinah Rahma Sari
"Latar belakang: Nyamuk Culex sp. merupakan nyamuk yang berperan dalam penyebaran berbagai penyakit, seperti filariasis, Japanese encephalitis, St. Louis encephalitis, dan West Nile Fever. Indonesia sebagai salah satu negara endemis filariasis memiliki program eliminasi filariasis, salah satunya dengan pengendalian vektor filariasis menggunakan insektisida. Seiring dengan semakin seringnya digunakan insektisida untuk mengendalikan vektor nyamuk lainnya, dikhawatirkan terjadi resistensi pada Cx. quenquefasciatus terutama terhadap insektisida yang sering digunakan. Resistensi metabolik dan modifikasi situs target dapat diamati dengan adanya peningkatan aktivitas enzim asetilkolinesterase karena enzim asetilkolinesterase merupakan target kerja dari insektisida golongan organofosfat, seperti malation.7 Di Jakarta, belum dilakukan penelitian mengenai tingkat resistensi Cx. quinquefasciatus terhadap malation dan deltametrin beserta aktivitas enzim asetilkolinesterase.
Tujuan: Menganalisis efektivitas malation dan deltametrin pada larva Cx. quinquefasciatus.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain penelitian eksperimental. Sampel penelitian merupakan larva tahap III-IV Cx. quinquefasciatus yang diambil menggunakan teknik random sampling. Sampel akan dipaparkan dengan insektisida deltametrin dan malation dengan lima konsentrasi yang berbeda selama 24 jam. Kelompok larva mati dan hidup selanjutnya akan digunakan untuk uji biokimia enzim asetilkolinesterase menggunakan spektofotometri.
Hasil: Mortalitas larva pada konsentrasi tertinggi (0,25 ppm) kelompok perlakuan deltametrin adalah 96,8%. Sedangkan mortalitas larva pada konsentrasi tertinggi (0,5 ppm) kelompok perlakuan malation adalah 100%. LC50 dan LC90 pada deltametrin terhadap larva Cx. quinquefasciatus secara berurutan adalah 0,015 ppm dan 0,106 ppm. Sedangkan LC50 dan LC90 malation secara berurutan adalah 0,052 ppm dan 0,173 ppm. Absorbansi pada uji aktivitas asetilkolinesterase pada kelompok larva hidup dan mati yang diinduksi deltametrin secara berurutan adalah 0,754 ± 0,204 dan 0,728 ± 0,257. Sedangkan absorbansi pada uji biokimia aktivitas asetilkolinesterase pada kelompok larva hidup dan mati yang diinduksi malation secara berurutan adalah 0,405 ± 0,009 dan 0,237 ± 0,003.
Kesimpulan: Deltametrin dan malation memperlihatkan aktivitas larvisida terhadap larva Cx.quinquefasciatus. Berdasarkan nilai LC50 dan LC90 menyimpulkan deltametrin lebih efektif dibandingkan dengan malation. Malation menghambat aktivitas asetilkolinesterase pada larva Cx. quinquefasciatus, sedangkan deltametrin tidak menghambat aktivitas asetilkolinesterase tersebut.

Background: Culex sp. plays an important role as a vector in spreading various diseases such as filariasis, Japanese encephalitis, St Louis encephalitis, and West Nile Fever. Indonesia as one of the countries endemic in filariasis, has a program in eliminating filariasis, with one of the program done by controlling vector using insecticide. Insecticides used in eliminating vector of filariasis, Cx. quinquefasciatus, are used concurrently in order to eliminate another vector such as Anopheles sp. and Aedes sp. The escalation of insecticide utilization leads to the concern of Cx. quinquefasciatus being resistance against insecticides, especially insecticides that are often used. Metabolic resistance and target site modification in Cx. quinquefasciatus as the proposed mechanisms in insecticide resistance can be seen by observing the activity of acetylcholinesterase due to its role as a target site for organophosphat such as malathion. Currently in Jakarta, there’s no research established regarding Cx. quinquefasciatus resistance against malathion and deltamethrin along with their acetylcholinesterase activity.
Objective: Analyzing effectivity of malathion and delamethrin in Cx. quinquefasciatus.
Method: The design study used in this research was experimental. Larva Instar stage III-IV Cx. quinquefasciatus was used as samples and chosen with random sampling technique. Samples was exposed to deltamethrin and malathion with 5 different concentrations for 24 hours. Both samples, alive and dead, after the exposure, were assessed for their acetylcholinesterase activity using spectophotometry.
Result: Mortality from the highest concentration in deltametrhin-induced group was 96,8%. Meanwhile, mortality from the highest concentration in malathioninduced group was 100%. LC50 and LC90 of deltamethrin was 0,015 ppm and 0,106 ppm while LC50 and LC90 of malathion was higher (0,052 ppm and 0,173 ppm). Absorbance in acetylcholine esterase activity assay in the group of alive and dead larva induced by deltametrhin was 0,754 ± 0,204 dan 0,728 ± 0,257. While the absorbance in malathion-induced group was lower with the result of 0,405 ± 0,009 in the group of alive larva and 0,237 ± 0,003 in the group of dead larva.
Conclusion: Deltamethrin dan malathion both showed larvacidal activity in Cx. quinquefasciatus. According to LC50 and LC90 we can conclude that deltamethrine was more effective than malathion.From the acetylcholinesterase activity assay, we can see that there was inhibition from malathion against acetylcholinesterase while we see no effect against acetylcholinesterase activity from deltamethrin.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ambar Hardjanti
"Deteksi Resistensi Aedes Aesgypti terhadap Insektisida Organofosfat di Pulogadung Jakarta Timur. Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. DKI Jakarta merupakan propinsi dengan jumlah penderita DBD terbanyak. Pulo Gadung Jakarta Timur merupakan salah satu daerah endemis DBD dan beberapa wilayah lainnya di DKI merupakan daerah sporadis penyakit tersebut. Strategi pengendalian utama DBD masih ditekankan pada pemberantasan vektornya yaitu Aedes aegypti (A. aegypti). Sampai saat ini insektisida golongan organofosfat adalah insektisida yang telah digunakan lebih dari 25 tahun untuk pengendalian vektor DBD. Penggunaan insektisida tersebut dalam waktu lama dan dosis subletal dapat menginduksi terjadinya resistensi. Pada penelitian ini dilakukan uji microplate dengan ELISA reader untuk mengetahui resistensi serangga terhadap organofosfat. Resistensi diketahui dengan adanya peningkatan aktivitas enzim esterase non spesifik. Pola resistensi A. aegypti terhadap organofosfat di RW 01 Pulogadung menunjukkan hasil sebagai berikut: 23% sangat resisten, 33% resistensi sedang dan 44% sensitif. Hasil ini berkaitan erat dengan rendahnya frekuensi penggunaan obat nyamuk semprot oleh masyarakat (8,8% sampel). Berdasarkan pola resistensi A. aegypti terhadap organofosfat di wilayah Rukun Warga (RW) 01 Pulogadung, kami menyimpulkan bahwa organofosfat masih dapat dipakai dalam pengendalian DBD di wilayah tersebut.

Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) is a major public health problem in Indonesia. Jakarta is a capital city with the highest number of dengue patients. Among sporadic endemic areas in Jakarta, Pulogadung, a district of East Jakarta, is one of the endemic areas of this disease. The primary strategy for the control of DHF is based on reducing population densities of the main mosquito vector Aedes aegypti. Organophosphate is an insecticide that has been used for more than 25 years in dengue vector control program. The long term used and sublethal dosage of this insecticide can induce resistance. This laboratory study used microplate test and ELISA reader to determine the increase of alfa- esterase activity in A. aegypti larvae for detecting the resistance to organophosphate. Resistance pattern of A. aegypti to organophosphate insecticide in RW 01 Pulogadung was shown to be: 23% high resistant, 33% medium resistant and 44% sensitive. This result was highly related to local community behavior where we found that the use of insecticide spray by the people was very low (8.8% of the sample). We found that the people who used insecticide spray were only 8.8% of the sample. Therefore, organophosphate still can be used in this area to control the DHF in the future. Based on resistance pattern of A. aegypti to organophosphate insecticide in Rukun Warga (RW) 01 Pulogadung, we can conclude that organophosphate still can be used in this area to control the DHF in the future."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
J-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Suryadi Islami
"Ae. aegypti merupakan nyamuk yang dapat menularkan berbagai patogen penyakit seperti virus, bakteri dan parasit sehingga disebut sebagai vektor. Berbagai penyakit manusia yang diperantarai oleh nyamuk Ae. aegypti antara lain adalah demam berdarah DBD , Chikungunya, Yellow Fever dan Zika. Terjadinya resistensi pada berbagai insektisida, termasuk piretroid merupakan masalah yang sekarang dihadapi di berbagai negara. Pada penelitian ini dilakukan uji bioassay WHO pada Ae. aegypti Palembang dan Jakarta dengan menggunakan insektisida piretroid permetrin 0,25 . Fragmen gen VGSC yang berkaitan dengan resistensi piretroid L982, S989, I1011, L1014, V1016 dan F1534 dari strain resistan dan sensitif diamplifikasi dan dianalisis. Uji kerentanan menunjukkan adanya resistensi pada Ae. aegypti Palembang dan Jakarta. Dari hasil analisis fragmen gen VGSC diketahui terdapat mutasi S989P dan/atau V1016G pada Ae. aegypti Palembang resistan dan S989P dan/atau V1016G pada Ae. aegypti Jakarta resistan.

Ae. aegypti mosquito is a vector that could transmit various pathogens, such as viruses, bacteria, and parasites. Several human diseases transmitted by Ae. aegypti mosquito are dengue fever DHF , Chikungunya, Yellow Fever and Zika. The occurance of resistance to various insecticides, including pyrethroid, is a current problem faced by various countries. In this research, a WHO bioassay test on Palembang and Jakarta Ae. aegypti was conducted using 0.25 permethrin pyretroid insecticide. VGSC gene fragments associated with pyrethroid resistance L982, S989, I1011, L1014, V1016 and F1534 of resistant and sensitive strains were amplified and analyzed. The test showed the presence of resistance in Palembang and Jakarta Ae. aegypti. From the results of VGSC gene fragment analyses, it was known that there were mutations S989P and or V1016G on resistant Palembang Ae. aegypti and S989P and or V1016G on resistant Jakarta Ae. aegypti.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Telah dilakukan penyemprotan sistem Ultra Low Volume (ULV) dengan menggunakan insektisida lorsban 100 ULV, 150 ULV (dosis 250, 500, 1000 ml/ha) dan malathion 96 EC (dosis 500 ml/ha) terhadap Aedes aegypti. Penyemprotan dilakukan pada pagi hari dengan menggunakan alat Fontan ULV di daerah pemukiman Kotamadya Salatiga pada tahun 1995. berdasarkan uji hayati (Air Bioassay) dosis yang paling efektif membunuh Ae.aegypti lebih dari 70% pada radius 0-15 meter dari rute penyemprotan adalah lorsban ULV dosis 500 ml/ha , 1000ml/ha dan malathion 96 EC dosis 500 ml/ha. "
MPARIN 9 (1-2) 1996
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Varalisa Rahmawati
"

Pendahuluan: Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit yang ditularkan melalui vektor dan masih menjadi perhatian di Indonesia. Sampai saat ini, pengendalian vektor menjadi upaya pencegahan utama karena belum adanya vaksin DBD di Indonesia. Akan tetapi, tidak ada penelitian terkait aktivitas insektisida deltametrin dan malation terhadap morfologi dan histologi midgut Ae.aegypti. Objektif: Studi ini bertujuan untuk mengetahui aktivitas larvisidal deltametrin dan malation terhadap morfologi dan histopatologi midgut larva Ae.aegypti. Metode: Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah eksperimental. Sampel penelitian ini berupa larva instar III-IV Ae. aegypti. Aktivitas larvasidal deltametrin dan malation diketahui dengan bioassay sesuai protocol WHO selama 24 jam pada lima konsentrasi berbeda dari tiap insektisida dan lima kali ulangan. Larva yang mati akan diamati dengan mikroskop diseksi untuk mengetahui morfologinya. Selain itu, larva yang mati akan dibuat potongan sediaan patologi anatomi dengan pewarnaan hematoksilin-eosin. Data mortalitas larva selanjutnya akan diolah dengan SPSS untuk menganalisis korelasi konsentrasi dengan mortalitas larva serta menentukan konsentrasi letal insektisida (LC50 dan LC99). Hasil: Larva pada kontrol tidak ada yang mati dan tidak ditemukan adanya perubahan morfologi maupun histologi. Persentase mortalitas larva Ae.aegypti setelah paparan deltametrin dan malation selama 24 jam, secara berurutan, 15,2-100% dan 4,8-100%. LC50 dan LC99 deltametrin dan malation selama 24 jam, secara berurutan adalah 0,007 ppm (95% Cl=0,006-0,009) dan 0,312 ppm (95% Cl=0,203-0,529); serta 0,053 ppm (95% Cl=0,045-0,062) dan 0,915 ppm (95% Cl=0,652-1,398). Deltametrin menyebabkan terjadinya kerusakan di toraks, abdomen, sifon, dan insang anal, serta terlepasnya setae, dan penipisan kutikula.   Sedangkan, malation menyebabkan terjadinya kerusakan di kepala, toraks, abdomen, sifon, insang anal, dan kutikula serta terlepasnya setae. Nekrosis sel epitel gastrointestinal adalah perubahan histopatologis midgut utama yang ditemukan pada larva Ae.aegypti baik setelah paparan deltametrin maupun malation. Kesimpulan: Deltametrin dan malation efektif membunuh larva Ae.aegypti dengan efektivitas deltametrin yang lebih tinggi dibandingkan malation. Aktivitas larvisidal deltametrin dan malation menyebabkan perubahan morfologi dan histopatologi midgut larva melalui mekanisme yang berbeda. Sasaran kerja deltametrin dan malation untuk kerusakan morfologis meliputi kutikula, setae, segmen anal, saluran pencernaan dan pernapasan. Malation juga menyebabkan kerusakan di kepala larva. Sedangkan sasaran kerusakan histopatologisnya pada struktur midgut oleh deltametrin dan malation adalah lapisan epitel gastrointestinalnya, sel epitel, dan mikrovili.

 


Introduction: Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) is a vector-borne disease that is still a concern in Indonesia. Until now, vector control has become the main prevention effort because there is no dengue vaccine in Indonesia. However, there are no studies that discuss the insecticidal activity of deltamethrin and malathion on the morphology and histology of Ae.aegypti midgut. Objective: This study aims to determine the larvicidal activity of deltamethrin and malathion on the morphology and histopathology of midgut larvae of Ae.aegypti. Method: The design used in this study is experimental. The sample of this research is larvae instar III-IV Ae. aegypti. The larvicidal activity of deltamethrin and malathion was determined by the bioassay technique according to WHO protocol for 24 hours at five different concentrations of each insecticide and five replications. The dead larvae was observed under a dissecting microscope to find out their morphology. Also, the dead larvae was made into pieces of anatomical pathology with hematoxylin-eosin staining. The larval mortality data was processed with SPSS to analyze the correlation between concentration and larval mortality and to determine the lethal concentration of insecticides (LC50 and LC99). Results: None of the larvae in the control died and no morphological or histological changes were found. The mortality percentage of Ae.aegypti larvae after 24 hours of deltamethrin and malathion exposure was 15.2-100% and 4.8-100%. LC50 and LC99 deltamethrin and malathion for 24 hours, respectively 0.007 ppm (95% Cl = 0.006-0.009) and 0.312 ppm (95% Cl = 0.203-0.529); and 0.053 ppm (95% Cl = 0.045-0.062) and 0.915 ppm (95% Cl = 0.652-1.398). Deltamethrin causes damage to the thorax, abdomen, siphons, and anal gills, as well as detachment of setae, and thinning of the cuticles. Meanwhile, malathion causes damage to the head, thorax, abdomen, siphons, anal gills, and cuticles as well as detachment of the setae. Gastrointestinal epithelial cell necrosis is the main midgut histopathological change found in Ae.aegypti larvae either after exposure to deltamethrin or malathion. Conclusion: Deltamethrin and malathion were effective in killing Ae.aegypti larvae with higher effectiveness of deltamethrin than malathion. The larvicidal activities of deltamethrin and malathion cause morphological and histopathological effects in the midgut larvae through different mechanisms. The targets of action of deltamethrin and malathion for morphological damage include cuticles, setae, anal segment, gastrointestinal and respiratory tract. Malathion also causes damage to the head of the larva. Meanwhile, the targets of histopathological damage to the midgut structure by deltamethrin and malathion are the gastrointestinal epithelial layer, epithelial cells, and microvilli.

"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Barlian
"ABSTRAK
Pelabuhan laut dan bandar udara merupakan pintu gerbang lalu lintas orang dan barang, baik antar pulau maupun antar negara. Dengan meningkatnya teknologi, arus pariwisata, perdagangan, haji dan transmigrasi, maka kemungkinan terjadinya penularan penyakit melalui alat angkut semakin besar, apalagi alat angkut jaman sekarang dapat mencapai jarak jauh dalam waktu yang singkat, sehingga kemungkinan seorang yang sudah ketularan penyakit menular, masih dalam masa inkubasi, masuk salah satu pelabuhan di Indonesia.
Salah satu aspek penularan penyakit di pelabuhan adalah melalui serangga penular penyakit (vektor), baik yang terbawa oleh alat angkut maupun yang sudah ada di pelabuhan laut atau bandar udara. Sebagai salah satu contoh adalah meningkatnya kasus malaria di Eropa dari 6.400 orang pada tahun 1985 menjadi 7.300 orang pada tahun 1987. Penderita tersebut tidak pernah mengunjungi daerah endemis malaria, karenanya vektor malaria infektiflah yang dianggap ikut dengan alat angkut.
Di pelabuhan laut atau di bandar udara salah satu vektor yang wajib dikontrol adalah nyamuk Aedes aegypti, karena naamuk Aedes aegypti selain sebagai vektor penyakit demam berdarah, juga sebagai vektor penyakit Yellow Fever (demam kuning) yang penyakitnya belum ada di Indonesia. Salah satu cara pengendalian vektor Aedes aegypti ini adalah dengan fogging.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan antara kelompok rumah yang difogging dengan kelompok rumah yang tidak difogging dan hubungan antara fogging dengan penurunan indeks vektor Aedes aegypti di daerah pelabuhan Pangkalpinang, dengan menggunakan desain Quasi Eksperimental. Pengambilan lokasi sebagai daerah perlakuan dan daerah pembanding diambil secara purposif dalam daerah buffer pelabuhan Pangkalpinang, sedangkan sampel rumah diambil secara acak sederhana dengan jumlah masing-masing 100 rumah.
Hasil pengukuran indeks-indeks vektor setiap minggu selama 12 minggu di daerah perlakuan dan daerah pembanding, terlihat adanya tren penurunan dari indeks-indeks vektor pada daerah perlakuan.
Dengan menggunakan uji stitistik (kai kuadrat dan t.test) didapatkan hasil bahwa ada perbedaan yang berrnakna antara daerah perlakuan dengan daerah pembanding setelah perlakuan selama 12 minggu, dan ada hubungan antara fogging dengan penurunan House Index vector Aedes aegypti setelah minggu keempat.
Penelitian ini menyimpulkan fogging efektif untuk menurunkan indeks vektor Aedes aegypti di daerah pelabuhan Pangkalpinang disarankan program fogging merupakan pilihan terakhir, karena dikhawatirkan adanya dampak negatif terhadap lingkungan.

ABSTRACT
The Effectivity of Fogging With Malathion Through The Descent Of The Index Of Vector Aedes Aegypti At The Port PangkalpinangPort and airport is the gate of the traffic and good, not only inter-island but inter-country. By the increasing of technology, tourism rate, commerce, hajj and transmigration, thus the possibility of the contagion of disease by the means of transportation is bigger, even the means of transportation today can reach far distance in a short time, so that the possibility of someone who has had a contagious disease, still in the incubation period, get into the one of the port in Indonesia.
One of the aspect of the contagion of disease is through the disease infector insect (vector), not only taken by the means of transportation but also that has been at the port or airport. As an example is the increasing of malaria case in Europe from 6.400 people in 1985 to 7.300 people in 1987. The victims had never come to malaria endemic zone, therefore the vector of the infective malaria that is considered taken by the means of transportation.
At the port and airport, one vector that has to be controlled is mosquito Aedes aegypti, because of mosquito Aedes aegypti not only as a vector Dengue Haemoragic Fever, but also as a vector of the disease Yellow Fever that disease has note been in Indonesia yet. One of the way to control the vector Aedes aegypti is by fogging.
This research has an objective to know the differences between fogging home group and not fogging home group and the relation between fogging by descent of the index of vector Aedes aegypti at the port Pangkalpinang, by using experimental Quasy Design. Taking the position as an experiment zone and control zone taken purposively in a buffer area of port Pangkalpinang, but home sample is taken simple randomly by the number of each 100 homes.
The measurement result of the indexes on vector every week during 12 weeks at the experiment zone and control zone, seen that there is a dissent trend of the index of vector at the experiment zone.
By using statistics test (chi quadrat and t.test) had result that there is a meaningful differences between experiment zone and control zone after the experiment during 12 weeks, and there is a relation between fogging and the descent House Index Vector of Aedes aegypti after week four.
This research concludes that fogging is effective to lower the index of vector Aedes aegypti at the region of port Pangkalpinang. It is suggested fogging program is the last choice, because it is worried that there is a negative phenomena through the environment.
"
Depok: Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Telah dilakukan penelitian mengenai kepadatan telur Aedes aegypti dan Aedes albopictus di desa Kutowinangun, Grabag, Ngasinan Tlogorejo, Getasan dan masing-masing mempunyai ketinggian 550, 600, 620, 700, dan 1000 meter di atas permukaan laut. Kepadatan telur Aedes aegypti dan Aedes albopictus yang diperoleh dengan cara memasang perangkap telur Aedes (ovitrap), menunjukkan adanya perbedaan nyata antara ketinggian daerah pemukiman dengan kepadatan telur Aedes aegypti maupun Aedes albopictus. "
MPARIN 8 (1-2) 1995
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Medisya Yasmine
"Latar Belakang: Demam Berdarah Dengue ditransmisikan oleh vektor nyamuk Aedes aegypti yang sudah resisten terhadap insektisida sintetik. Tujuan penelitian ini mengevaluasi aktivitas insektisida (larvasida dan adultisida) ekstrak rimpang (Zingiber officinale) yang mengandung nanokomposit Ag-TiO2 terhadap A. aegypti.
Metode: Penelitian eksperimen terbagi dua kelompok. Pertama, larva A. aegypti dipaparkan dengan ekstrak jahe (konsentrasi 500, 1000, 1500, 2000, dan 2500 ppm), nanokomposit Ag-TiO2 (konsentrasi 1, 3, 6, 9, dan 12 ppm), dan campuran ekstrak jahe dan nanokomposit (12 ppm) dengan lima pengulangan. Kedua, nyamuk dewasa betina A. aegypti dipaparkan dengan ekstrak jahe (konsentrasi 2500, 5000, 10 000, dan 20 000 ppm), nanokomposit Ag-TiO2 (konsentrasi 5, 10, 20, dan 30 ppm), dan ekstrak jahe yang mengandung nanokomposit (30 ppm) dengan tiga pengulangan.
Hasil: Mortalitas 100% larva ditemukan pada ekstrak jahe yang mengandung Ag-TiO2 (LC50 = 704,1 ppm, LC90 = 1868,5 ppm) dan ekstrak jahe (LC50 = 765,7 ppm, LC90 = 1945,1 ppm). Terdapat perbedaan persentase mortalitas larva (p < 0,05) dengan korelasi positif bermakna dengan konsentrasi ekstrak jahe (r = 0,6), Ag-TiO2 (r = 0,8), dan ekstrak jahe yang mengandung Ag-TiO2 (r= 0,7). Sebesar 100% mortalitas nyamuk ditemukan pada Ag-TiO2 (LC50 = 15,5 ppm, LC90 = 99,0 ppm) dan ekstrak jahe yang mengandung Ag-TiO2 (LC50 = 744,4 ppm, LC90 = 5078,9 ppm). Terdapat perbedaan persentase mortalitas nyamuk (p < 0,05) diikuti korelasi positif kuat antara konsentrasi Ag-TiO2 (r = 0,9) dan ekstrak jahe yang mengandung Ag-TiO2 (r = 0,9 p).
Kesimpulan: Ekstrak rimpang Z. officinale yang mengandung nanokomposit Ag-TiO2 merupakan insektisida yang efektif untuk mengontrol populasi A. aegypti.

Background: Dengue hemorrhagic fever is transmitted by mosquito vector Aedes aegypti which has been reported resistant to synthetic insecticides. The aim of this study was to evaluate insecticide activities (larvacidal and adulticidal) of Zingiber officinale rhizome extract and Ag-TiO2 nanocomposite against A. aegypti.
Method: This experimental study consists of two groups. First, the larvae of A. aegypti exposed to ginger extract (concentrations 500, 1000, 1500, 2000, and 2500 ppm), Ag-TiO2 nanocomposite (concentrations 1, 3, 6, 9, and 12 ppm), and mixture of Z. officinale rhizome extract and Ag-TiO2 (12 ppm) in 5 replicates. Second, adult female A. aegypti mosquitoes exposed with ginger extract (consentrations 2500, 5000, 10000, and 20000 ppm), Ag-TiO2 nanocomposite (consentrations 5, 10, 20, 30 ppm), and ginger extract containing nanocomposite (30 ppm) in 3 replicates.
Result: A. aegypti larvae 100% mortality was found on the ginger extract containing Ag-TiO2 (LC50 = 704,1 ppm, LC90 = 1868,5 ppm) and ginger extract (LC50 = 765,7 ppm, LC90 = 1945,1 ppm). There was a significant difference (p < 0,05) and a significant positive correlation between larvae mortality and the concentration of ginger extract (r = 0,6), Ag-TiO2 (r = 0,8), and ginger extract containing Ag-TiO2 (r= 0,7). Mosquitoes 100% mortality was found on the Ag-TiO2 (LC50 = 15,5 ppm, LC90 = 99,0 ppm) and ginger extract containing Ag-TiO2 (LC50 = 744,4 ppm, LC90 = 5078,9 ppm). Percentage difference (p < 0,05) and strong positive correlation was found between the mortality of mosquitoes and the Ag-TiO2 (r = 0,9) and ginger extract containing Ag-TiO2 (r = 0,9) concentrations.
Conclusion: Zingiber officinale rhizome extract containing Ag-TiO2 nanocomposite is an effective insecticide to control A. aegypti population.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>