Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 207883 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Santy Pudjianto
"Manifestasi klinis demam berdarah Dengue (DBD) adalah kebocoran plasma dan trombositopenia. Salah satu teori penyebab kedua hal tersebut adalah kadar trombin yang meningkat akibat aktivasi koagulasi. Kadar trombin dapat diwakili oleh kadar F1.2. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara kadar F1.2 dengan kebocoran plasma dan trombositopenia pada infeksi Dengue. Desain penelitian ini adalah potong lintang, mengggunakan plasma EDTA dari pasien terinfeksi virus Dengue. Subyek penelitian adalah 10 subyek dengan kebocoran plasma dan 10 subyek tanpa kebocoran plasma pada infeksi Dengue, 6 sampel berpasangan untuk perbandingan fase kritis dan fase konvalesen, 26 sampel untuk uji korelasi antara kadar F1.2 dengan jumlah trombosit.
Hasil penelitian menunjukkan kadar F1.2 pada pasien terinfeksi virus Dengue dengan kebocoran plasma (rerata ± 2SD) 147,4 ± 105,82 pg/mL lebih tinggi secara bermakna dibanding tanpa kebocoran plasma 51,3 ±39,92 pg/mL. Kadar F1.2 pada fase kritis dengan median 186,3 (108,6-223,2) pg/mL lebih tinggi secara bermakna dibanding fase konvalesen 46,5(27,4-51,9) pg/mL. Terdapat korelasi negatif yang bermakna dengan kekuatan sedang antara kadar F1.2 dengan jumlah trombosit, nilai r = - 0,609. Dari hasil penelitian disimpulkan bahwa terdapat peningkatan aktivasi koagulasi yang ditunjukkan dengan peningkatan kadar F1.2 pada fase kritis, berkaitan dengan kebocoran plasma dan trombositopenia pada pasien terinfeksi virus Dengue.

Clinical manifestations of Dengue haemorrhagic fever are plasma leakage and thrombocypenia. Both manifestations are thought to be caused by an increased thrombin level due to activation of coagulation. The aim of this study was to look for any association between F1.2 level and plasma leakage and also between F1.2 level and thrombocytopenia in Dengue infected patients. The study design was cross sectional. This study used EDTA plasma from patients infected with Dengue virus. The thrombin level was represented by the prothrombin fragment 1.2 (F1.2) level. Twenty subjects were enrolled in this study, consisted of 10 subjects with plasma leakage and 10 without plasma leakage, 6 pair samples in critical phase and convalescent phase, 26 samples for correlation test between F1.2 level and platelet count. In this study, it was found that the F1.2 level in patients with plasma leakage (mean ± 2 SD) 147.4 ± 105.82 pg/mL was significantly higher compared to patients without plasma leakage 51.3 ±39.92 pg/mL, and the F1.2 level in critical phase had a median of 186.3 (108.6-223.2) pg/mL which was significantly higher compared to convalescent phase 46.5(27.4-51.9) pg/mL. Also there was a significant negative correlation with moderate degree of relationship between F1.2 level and the thrombocyte count, r = - 0.609.
The results of the study demonstrated that there was increased coagulation activation at critical phase in patients infected with Dengue virus, as shown by F1.2 as indicator, associated with plasma leakage and thrombocytopenia.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yunidar
"Mekanisme plasma yang dibangkitkan oleh Laser Nd-YAG pada sampel padat pada tekanan udara di bawah 1 Torr akan dilakukan. Dalam hal menganalisis sifat-sifat plasma ini akan dilakukan perbandingan dengan karakteristik plasma pada tekanan udara di atas 1 Torr. Eksperimen sementara menunjukkan bahwa sifat-sifat plasma pada tekanan di bawah 1 Torr mempunyai mekanisme yang lain dengan plasma pada tekanan tinggi. Plasma pada tekanan udara di bawah 1 Torr dapat diprediksi karena proses tumbukan sangat cepat sebaliknya pada tekanan tinggi karena proses gelombang kejut (shock wave). Eksperimen menunjukkan bahwa plasma pada tekanan udara 0,5 Ton mempunyai slop posisi fungsi waktu mendekati satu dan mempunyai cacah latar (background) yang rendah."
2000
T10325
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nainggolan, Leonard
"Background: plasma leakage is defined as ?20% elevation of hematocrit from baseline or decrease in convalescence or evidence of plasma leakage such as pleural effusion, ascites or hypoproteinaemia/hypoalbuminaemia. These signs of plasma leakage, in the early phase, are usually difficult to ascertain by physical examination and laboratory tests where the patient is only reflecting a mild degree of plasma leakage. This study aimed to investigate whether gallbladder wall thickening (GBWT) in the early phase of the disease can be used to detect the occurrence of plasma leakage in dengue patients. Methods: a diagnostic study was conducted among dengue patients. Patients with fever less than 3 days, positive results of non-structural protein 1 antigen dengue and RT-PCR examination were included consecutively. Laboratory tests and chest and abdominal ultrasonography examination were also performed daily from day-3 to day-7 of fever to confirm the occurrence of plasma leakage using WHO 1997 criteria during treatment. Results: there were 69 patients included in this study. Male patients were found more frequently (52.2%), average age was 24.2 years, and 46 patients (66.7%) presented with secondary dengue infection. On the third day of fever, 37 patients presented with GBWT, 30 of which showed plasma leakage during treatment. Out of 46 patients found to have plasma leakage during treatment, 12 patients had presented with plasma leakage on the third day of fever. Sensitivity and specificity of GBWT on the third day of fever were 65% (95% CI: 0,51-0,79) and 70% (95% CI: 0.51-0.88); PPV and NPV were 81% (95% CI: 0.68-0.94) and 50% (95% CI: 0.33-0.67); LR (+) and LR (-) were 2.14 (95% CI: 1.12-4.12) and 0.5 (95% CI: 0.31-0.81), respectively. Conclusion: gallbladder wall thickening in the early phase of the disease can be used to detect the occurrence of plasma leakage in adult dengue infected patients.

Latar belakang: kebocoran plasma didefinisikan sebagai peningkatan hematokrit ≥20% dari baseline atau penurunan pemulihan atau bukti kebocoran plasma seperti efusi pleura, asites atau hypoproteinaemia/hypoalbuminaemia. Tanda-tanda kebocoran plasma ini, pada fase awal, biasanya sulit untuk dipastikan dengan pemeriksaan fisik dan tes laboratorium di mana pasien hanya mencerminkan tingkat ringan kebocoran plasma. Penelitian ini bertujuan menentukan peran penebalan dinding kandung empedu dalam mendeteksi kebocoran plasma pada fase awal infeksi dengue. Metode: penelitian ini adalah suatu studi diagnostik yang dilakukan pada pasien dengue yang mengalami demam kurang dari tiga hari dengan hasil uji non-structural protein 1 antigen dengue dan RT-PCR positif. Pemeriksaan laboratorium dan USG toraks dan abdomen dilakukan setiap hari mulai hari ke-3 hingga hari ke-7 demam untuk melihat adanya penebalan dinding kandung empedu dan kebocoran plasma berdasarkan kriteria WHO 1997 selama perawatan. Hasil: dari 69 subyek penelitian yang didapat, 52,2% adalah laki-laki, rerata usia 24,2 tahun, dan 46 pasien (66,7%) mengalami infeksi dengue sekunder. Pada hari ketiga demam, terdapat 37 pasien dengan penebalan dinding kandung empedu dan 30 di antaranya terbukti mengalami kebocoran plasma selama perawatan. Dari 46 pasien yang mengalami kebocoran plasma, 12 di antaranya sudah menunjukkan kebocoran plasma sejak hari ketiga demam. Penebalan dinding kandung empedu pada demam hari ketiga memiliki nilai sensitivitas dan spesifisitas sebesar 65% (IK 95%: 0,51-0,79) dan 70% (IK 95%: 0,51-0,88); nilai duga positif dan nilai duga negatif sebesar 81% (IK 95%: 0,68-0,94) dan 50% (IK 95%: 0,33-0,67); rasio kemungkinan positif dan negatif sebesar 2,14 (IK 95%: 1,12-4,12) dan 0,5 (IK 95%: 0,31-0,81). Kesimpulan: penebalan dinding kandung empedu dapat dipergunakan untuk mendeteksi adanya kebocoran plasma pada fase awal infeksi dengue."
Jakarta: University of Indonesia. Faculty of Medicine, 2018
610 UI-IJIM 50:3 (2018)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Edwin Leopold Jim
"Kejadian infeksi dengue dewasa di Indonesia tergolong tinggi. Komplikasinya adalah sindrom renjatan dengue (SRD) akibat kebocoran plasma. Untuk mengatasi kebocoran plasma, WHO menganjurkan pemberian cairan kristaloid isotonik atau koloid seperti albumin 5%. Penelitian in vitro memperlihatkan ikatan albumin dengan reseptor glikoprotein 60 (gp60) di sel endotel menstimulasi ekspresi caveolin-1 dan Src protein tyrosine kinase (PTK) yang meningkatkan perpindahan albumin ke ekstravaskular, namun secara in vivo belum diketahui pengaruh cairan albumin terhadap proses transitosis dan caveolin-1 urin.
Penelitian ini merupakan open label randomized controlled trial sejak bulan November 2018 sampai dengan Januari 2020, di beberapa rumah sakit di Jakarta dan Banten. Dari 90 pasien, sebanyak 30 pasien memenuhi kriteria DD, dan 60 pasien memenuhi kriteria DBD. Alokasi secara acak dilakukan pada 60 pasien DBD, yang terdiri atas kelompok demam berdarah dengue yang diberikan ringer laktat (n = 30) dan kelompok demam berdarah dengue yang diberikan albumin (n = 30).
Pasien DBD yang diberikan albumin 5%, caveolin-1 plasma menurun pada jam ke-12 (p = 0,016); Src PTK lebih rendah pada jam ke-12 (p = 0,048); hemokonsentrasi lebih ringan pada jam ke-12 (p = 0,022) dan ke-24 (p = 0,001); kadar albumin serum lebih tinggi pada jam ke-12 (p = 0,037) dan ke-24 (p = 0,001); albumin urin lebih ringan pada jam ke-24 (p = 0,006) dan ke-48 (p = 0,005); dan lama rawat lebih pendek (p < 0,001) dibandingkan dengan ringer laktat.
Kesimpulan: pemberian cairan albumin 5% memperbaiki kebocoran plasma transitosis dan memperpendek lama rawat pasien DBD.

The incidence of adult dengue infection in Indonesia is quite high. The complication is dengue shock syndrome (DSS) due to plasma leakage. To overcome plasma leakage, WHO recommends giving isotonic crystalloid solutions or colloids such as albumin 5%. In vitro studies have shown that albumin binding to the glycoprotein receptor 60 (gp60) in endothelial cells stimulates the expression of caveolin-1 and Src protein tyrosine kinase (PTK) which increases albumin transfer to the extravascular space, but in vivo the effect of albumin fluid on the process of transitosis and urine caveolin-1 is not known.
This study is an open label randomized controlled trial from November 2018 to January 2020, in several hospitals in Jakarta and Banten. From 90 patients, 30 patients met the criteria for DD, and 60 patients met the criteria for DHF. Random allocation was made to 60 DHF patients, consisting of the dengue hemorrhagic fever group given Ringer's lactate (n = 30) and the dengue hemorrhagic fever group given albumin (n = 30).
Patients who were given albumin 5%, caveolin-1 plasma decreased at 12th hours (p = 0.016); Src PTK was lower at 12 hours (p = 0.048); milder hemoconcentration at 12th (p = 0.022) and 24th (p = 0.001) hour; serum albumin levels were higher at 12th (p = 0.037) and 24 hours (p = 0.001); urinary albumin was milder at 24th (p = 0.006) and 48th (p = 0.005); and shorter length of stay (p < 0.001) compared to ringer lactate.
Conclusion: administration of albumin 5% fluid improves transcytosis plasma leakage and shortens the length of stay of dengue infection patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"This study was designed to optimalize the use of opididymal or ejaculate sperm and plasma for in vitro fertilization,that sperm agglutination was found at preparation. The rate of sperm agglutination was calculated the head-to-head sperm agglutination that were incubated in KR-HEPES medium in 38.5 oC with 5% CO2 at 1,3,5 and 7 hours culture in vitro....."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"In this paper ,the growth of GaN:Mn thin films by plasma-assisted metalorganic chemical vapor deposition (PAMOCVD) method is reported ..."
ITJOSCI
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Rika Bur
"Latar Belakang : Perbedaan antara demam dengue ( DD ) dan demam berdarah dengue ( DBD ) adalah terjadinya kebocoran plasma pada DBD. Kebocoran plasma pada ruang interstitial ditandai dengan adanya efusi cairan di pleura dan peritoneal, hemokonsentrasi, serta hipovolemia intravaskular. Keadaan ini menyebabkan gangguan perfusi ke jaringan, sehingga menyebabkan metabolism anaerob. yang menimbulkan peningkatan kadar laktat dalam darah.
Tujuan Penelitian: Mengetahui peran laktat sebagai prediktor prognosis dan diagnosis kebocoran plasma pada infeksi dengue pasien dewasa.
Metode: Studi potong lintang, pada infeksi virus dengue pasien dewasa yang dirawat di bangsal penyakit dalam RS Cipto Mangunkusumo dan RS Persahabatan Jakarta. Jumlah subjek sebanyak 57 orang. Dilakukan pemeriksaan kadar laktat untuk melihat perbedaan rerata kadar laktat antara DD dan DBD dengan uji t-tes tidak berpasangan, dan nilai titik potong kadar laktat pada keadaan tanpa atau dengan kebocoran plasma dilakukan dengan menentukan sensitifitas dan spesifisitas terbaik dari kurva ROC yang sudah dibuat.
Hasil: Rerata kadar laktat pada DBD secara bermakna lebih tinggi daripada DD. Nilai titik potong untuk prediktor prognostik pada hari ke-3 yang ditentukan dengan kurva ROC mendapatkan nilai kadar laktat ≥ 2,65 mmol/ L dengan AUC 0,626 ; IK 95% 0,480-0,772. Dan nilai titik potong untuk diagnostik pada hari ke-5 mendapatkan nilai kadar laktat ≥ 2,55 mmol/L memberikan sensitivitas 66,6%% dan spesifisitas 54,2%.
Kesimpulan: Terdapat perbedaan bermakna kadar laktat antara DD dan DBD. Nilai kadar laktat ≥ 2,65 mmol/L belum dapat digunakan sebagai prediktor prognostik adanya kebocoran plasma pada fase kritis. Nilai kadar laktat ≥ 2,55 mmol/L pada saat fase kritis dipakai sebagai petanda adanya kebocoran plasma dengan akurasi yang rendah.

Background: The difference between dengue fever (DF) and dengue hemorrhagic fever (DHF) is plasma leakage which occurs in DHF. The leakage of plasma into interstitial space is shown by pleura and peritoneal effusion, hemoconcentration, and intravascular hypovolemia. Anaerob metabolism will occur due to perfusion dysfunction which will cause increased serum lactate.
Objectives: To determine the role of lactate as a prognostic predictor and diagnostic in plasma leakage which occurs in adult dengue-infected patients.
Methods: This is cross-sectional study which is conducted in adult dengueinfected patients hospitalized in internal medicine ward of Cipto Mangunkusumo Hospital and Persahabatan Hospital in Jakarta. There are 57 adult dengue-infected patients recruited. Serum lactate is examined to determine the mean difference between DF and DHF. The data is analyzed by t-test independent and cut-off point is identified in presence as well as absence of plasma leakage which is to determine the sensitivity and specificity based on ROC curve.
Results: The mean of serum lactate in DHF is significantly higher compared to DF. The cut-off point of prognostic predictor in day three of fever which is determined based on ROC curve shows lactate serum ≥ 2.65 mmol/L with AUC 0.626; 95% CI 0.480-0.772. Moreover, the cut-off point of diagnostic factor in day five of fever is shown by serum lactate ≥ 2.55 mmol/L with sensitivity 66.6% and specificity 54.2%.
Conclusion: There is difference of serum lactate in DF and DHF. Serum lactate ≥ 2.65 mmol/L could not be used as a prognostic predictor of plasma leakage in critical phase. Serum lactate ≥ 2.55 mmol/L during critical phase could be used as a marker of plasma leakage but low of accuracy.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rio Zakaria
"Latar Belakang: Insiden dan case fatality rate pasien terinfeksi dengue di Indonesia masih tinggi. Penyebab kematian utama pada infeksi dengue adalah renjatan yang disebabkan oleh kebocoran plasma. Kejadian hiponatremia dan hipokalemia sering ditemukan pada pasien yang mengalami infeksi dengue, namun keduanya tidak termasuk penanda kebocoran plasma dalam kriteria DBD oleh WHO. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui rerata penurunan kadar natrium dan kalium serum pada pasien terinfeksi dengue dengan atau tanpa kebocoran plasma, dan mengonfirmasi penelitian sebelumnya apakah kadar natrium dan kalium bisa dipakai sebagai penanda kebocoran plasma.
Metode: Studi kohort prospektif dilaksanakan pada pasien terinfeksi dengue ≥ 16 tahun dengan demam mendadak ≤ 3 hari yang dirawat di ruang rawat inap Penyakit Dalam RS Cipto Mangunkusumo dan RS Persahabatan Jakarta pada pada Agustus 2013-Juni 2014. Dilakukan pemeriksaan natrium serum, kalium serum, albumin, dan ultrasonografi untuk melihat adanya penebalan kandung empedu, asites dan efusi pleura pada pasien terinfeksi dengue pada hari pertama masuk perawatan dan hari kelima demam. Untuk mendapatkan rerata penurunan natrium dan kalium serum antara pasien terinfeksi dengue yang mengalami kebocoran plasma dan yang tidak, digunakan uji komparatif t-test tidak berpasangan.
Hasil: Terdapat 35 orang subjek penelitian pasien terinfeksi dengue yang diambil secara konsekutif. Rerata kadar natrium serum pada pasien Demam Dengue (DD) pada saat masuk 134,66 ± 4,00 mEq/L dan pada hari kelima demam 130,95 ± 4,80 mEq/L. Sementara pada pasien Demam Berdarah Dengue (DBD) didapatkan kadar natrium pada saat masuk 132,469 ± 3,45 mEq/L dan pada saat hari kelima 129,35 ± 2,67 mEq/L. Perbedaan rerata penurunan kadar natrium antara pasien DBD dengan DD sebesar 0,43 mEq/L, IK 95% [-2,56; 3,42], p = 0,386. Rerata kadar kalium serum pada pasien DD pada saat masuk 3,48 ± 0,44 mEq/L dan pada hari kelima demam 3,39 ± 0,38 mEq/L. Sementara pada pasien DBD didapatkan rerata kadar kalium pada saat masuk 3,32 ± 0,25 mEq/L dan pada hari kelima demam 3,11 ± 0,30 mEq/L. Perbedaan rerata penurunan kadar kalium pasien DBD dengan DD sebesar 0,12 mEq/L, IK 95% [-0,34; 0,10], p = 0,145.
Simpulan: Tidak didapatkan perbedaan rerata penurunan kadar natrium dan kalium serum pada pasien terinfeksi dengue dengan kebocoran plasma dibandingkan dengan tanpa kebocoran plasma.

Background: Incidence and case fatality rate of dengue-infected patients in Indonesia is still high. The main causes of death in dengue infection is shock caused by plasma leakage. The incidence of hyponatremia and hypokalemia often found in patients with dengue infection, but they do not include markers of plasma leakage in DHF criteria by WHO. This study aims to determine the average decrease of serum sodium and potassium levels in patients infected with dengue with or without plasma leakage, and confirm previous studies whether the levels of sodium and potassium can be used as a marker of plasma leakage.
Method: A prospective cohort study conducted in patients infected with dengue ≥ 16 years old with sudden fever ≤ 3 days treated in Cipto Mangunkusumo Hospital and Persahabatan Hospital in Jakarta between August 2013 to June 2014. Checking serum sodium, potassium, albumin, and ultrasound to see the thickening of the gall bladder, ascites and pleural effusion in patients infected with dengue on the first day of treatment and the fifth day of fever. We used comparative unpaired t-test to obtain an average decrease in serum levels of sodium and potassium between dengue infected patients who undergo plasma leakage and are not.
Results: There were 35 research subjects infected with dengue taken consecutively. The average of serum sodium levels in patients with Dengue Fever (DF) at the time of entry was 134,66 ± 4,00 mEq/L and on the fifth day of fever was 130,95 ± 4,80 mEq/L. While in patients with Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) obtained sodium levels at the time of entry was 132,469 ± 3,45 mEq/L and on the fifth day of fever was 129,35 ± 2,67 mEq/L. The difference of the average of decreased level of sodium between DHF and DF patients was 0,43 mEq/L, CI 95% [-2,56; 3,42], p = 0,386. The average of serum potassium levels in patients with DF at the time of entry was 3,48 ± 0,44 mEq/L and on the fifth day of fever was 3,39 ± 0,38 mEq/L. While in patients with DHF, obtained potassium levels at the time of entry was 3,32 ± 0,25 mEq/L and on the fifth day of fever was 3,11 ± 0,30 mEq/L. The difference of the average of decreased level of potassium between DHF and DF patients was 0,12 mEq/L, CI 95% [-0,34; 0,10], p = 0,145.
Conclusion: There were no differences in average of decreased level of serum sodium and potassium in dengue-infected patients with plasma leakage compared to without plasma leakage.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eppy
"Hubungan antara peningkatan kadar interleukin-6 dan protein C reaktif dengan kebocoran plasma pada penderita infeksi dengue dewasa masih belum jelas. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui perbedaan kadar IL-6 dan protein C reaktif antara kelompok infeksi dengue dengan dan tanpa kebocoran plasma. Penelitian dilakukan secara potong lintang terhadap data sekunder dari penderita infeksi dengue dewasa yang dirawat di RSCM dan RSUP Persahabatan antara 1 Maret 2014 - 1 April 2015. Jumlah total sampel adalah 44 orang, terdiri dari 24 orang dengan kebocoran plasma dan 20 orang tanpa kebocoran plasma. Kadar IL-6 pada kelompok dengan dan tanpa kebocoran plasma masing-masing pada hari ke-3 dan ke-5 demam adalah 8,56 vs 3,80 (p = 0,069) pg/mL dan 4,30 vs 2,76 pg/mL (p = 0,025), sedangkan untuk protein C reaktif adalah 10,1 vs 6,8 mg/L (p = 0,014) dan 5,0 vs 2,9 mg/L (p = 0,048).
Kadar IL-6 hari ke-3 dan ke-5 demam pada kelompok dengan kebocoran plasma adalah 8,56 vs 4,30 pg/mL (p = 0,037) dan pada kelompok tanpa kebocoran plasma adalah 3,80 vs 2,76 pg/mL (p = 0,005). Kadar protein C reaktif hari ke-3 dan ke-5 demam pada kelompok dengan kebocoran plasma adalah 10,1 vs 5,0 mg/L (p = 0,0001) dan pada kelompok tanpa kebocoran plasma adalah 6,8 vs 2,9 mg/L (p = 0,0001). Tidak ada perbedaan kadar IL-6 pada hari ke-3 demam di antara kedua kelom-pok, sedangkan pada hari ke-5 demam kadarnya lebih tinggi pada kelompok dengan kebocoran plasma. Kadar protein C reaktif hari ke-3 dan ke-5 demam lebih tinggi pada kelompok dengan kebocoran plasma. Kadar IL-6 dan protein C reaktif hari ke-3 lebih tinggi dibandingkan hari ke-5 demam pada kedua kelompok.

There is stiil unclear association between the elevation of interleukin-6 and C-reactive protein levels with plasma leakage in adult dengue infection patients. The study aims to determine differences in the levels of interleukin-6 and C-reactive protein among groups of dengue infection with and without plasma leakage. This is a cross-sectional study of secondary data from adult patients with dengue infection were treated at Cipto Mangunkusumo and Persahabatan Hospital between March 1, 2014 until April 1, 2015. The total number of samples were 44 people, consisting of 24 people with plasma leakage and 20 people without plasma leakage. Median levels of interleukin-6 for groups with and without plasma leakage each for the 3rd and the 5th day of fever were 8.56 vs 3.80 pg/mL(p = 0.069) and 4.30 vs 2.76 pg/mL (p = 0.025), whereas for C-reactive protein were 10.1 vs 6.8 mg/L ( p = 0.014) and 5.0 vs 2.9 mg/L (p = 0.048).
Median levels of interleukin-6 on the 3rd and the 5th day of fever in the group with plasma leakage were 8.56 vs 4.30 pg/mL (p = 0.037) and in the group without plasma leakage were 3.80 vs 2.76 pg/mL (p = 0.005). Median level of C-reactive protein on the 3rd and 5th day of fever in the group with plasma leakage were 10.1 vs 5.0 mg/L (p = 0.0001) and in the group without plasma leakage were 6.8 vs 2.9 mg/L (p = 0.0001). There was no differences in levels of interleukin-6 on the 3rd day of fever between the two groups, while on the 5th day of fever interleukin-6 levels was higher in the group with plasma leakage. The levels of C-reactive protein on the 3rd and the 5th day of fever were higher in the group with plasma leakage. The level of Interleukin-6 and C-reactive protein on the 3rd day of fever were higher than the 5th day of fever in both groups.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rudye Layton
"Beberapa studi eksperimental dan teoretis baru-baru ini mengungkapkan bahwa material dua dimensi (2D) merupakan kandidat yang menjanjikan untuk teknologi informasi berbasis seleksi derajat kebebasan elektron, spin, hingga valley, bergantung pada interaksinya dengan cahaya. Dalam hal ini, ada banyak material 2D yang perlu ditelusuri sifat elektronik dan sifat optiknya untuk mendapatkan polarisasi sifat fisis tertentu, terutama polarisasi valley yang terkait dengan seleksi derajat kebebasan keadaan elektron pada titik tertentu di ruang momentum. Melalui perhitungan first principles untuk monolayer α-Sb dan NbS2, kami memverifikasi kondisi material 2D yang dapat memiliki potensi untuk aplikasi valleytronics melalui polarisasi optik dari valley-nya. Penyerapan cahaya terpolarisasi melingkar oleh material dihitung melalui pendekatan dipol dengan menggunakan vektor dipol dan matriks elemen transisi optik. Kami menemukan bahwa elektron di valley yang berbeda pada zona Brillouin yang memenuhi simetri pembalikan waktu untuk monolayer α-Sb dan NbS2 dapat tereksitasi secara selektif oleh cahaya terpolarisasi melingkar kiri atau kanan. Khusus NbS2, intensitas maksimum polarisasi valley mencapai 100% di valley K atau K’ tergantung polarisasi cahaya melingkar (kanan atau kiri) yang diberikan. Selektivitas yang sangat baik ini diduga terkait erat dengan struktur kristal heksagon tertekuk (buckled) dengan ikatan polar yang dimiliki oleh NbS2 alih-alih struktur berkerut (puckered) dengan ikatan nonpolar dari α-Sb.

Recent experimental and theoretical studies revealed that two-dimensional (2D) materials are a promising candidate for information technology based on selectivity of electron, spin, and valley degrees of freedom under interaction with light. In this case, there are a lot of 2D materials whose electronic and optical properties need to be investigated so that we can obtain polarization of certain physical properties, especially valley polarization which is related to the selection rule of electronic excitation by light at a certain point (the so-called valley) in momentum space. By using first-principles calculations for monolayer α-Sb and NbS2, we verify some conditions for 2D materials that are potential for valleytronics applications utilizing the optical valley polarization. In this case, we need to calculate the absorption of circularly polarized light by the materials through the dipole approximation which gives the dipole vectors and optical transition matrix elements as the main quantities to be investigated. We found that electrons at the different valleys, which satisfy time-reversal symmetry, in the Brillouin zone of monolayer α-Sb and NbS2, can be selectively excited by left-handed or right-handed circularly polarized light. Specifically for NbS2, the maximum intensity of valley polarization can reach 100\% at the K or K’ valley depending on the given (left-handed or right-handed) circular polarization of light. We expect that such an excellent selectivity in NbS2 is closely related to its buckled hexagonal lattice and polar bonding, in contrast to the puckered lattice and nonpolar bonding in α-Sb. "
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>