Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 200615 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"Adanya pengetahuan yang cukup diharapkan berpengaruh terhadap besarnya motivasi orang tua untuk melakukan upaya pencegahan terhadap anemia defisiensi besi pada anak sekolah. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan tingkat pengetahuan yang dimiliki orang tua tentang anemia defisiensi besi pada anak sekolah., mengetahui motivasi orang tua untuk melakukan pencegahan dan mengetahui hubungan tingkat pengetahuan orang tua dengan motivasi orang tua untuk melakukan pencegahan di RW 04 Kelurahan Paneoran Mas Kecamatan Pancoran Mas Depok. Desain yang digunakan adalah deskriptif korelatif sebanyak 68 responden. Hasil analisis univariat menunjuklcan tingkat pengetahuan orang tua cukup tinggi dengan persentase 54% sedangkan yang berpengetahuan rendah 46%. Motivasi orang tua untuk melakukan pencegahan terhadap anemia defisiensi besi culcup besar dengan persentase 56% dan orang tua yang memiliki motivasi rendah yaitu 44%. Analisis bivariat menggunakan uji Chi Square menunjukkan tidak ada hubungan antara tingkat pengetahuan dan motivasi orang tua unmk melakukan pencegahan terhadap anemia defisiensi besi pada anak sekolah. Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan masukan dalam meningkatkan mutu pelayanan keperawatan khususnya keperawatan Komunitas."
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2008
TA5636
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Cahyani Gita Ambarsari
"ABSTRAK
Latar Belakang: Defisiensi besi merupakan salah satu penyebab anemia pada anak dengan penyakit ginjal kronik PGK derajat 5 yang menjalani hemodialisis HD regular. Pemberian besi intravena IV dosis loading terbukti bermanfaat mengoreksi kekurangan besi, namun belum ada studi yang baik mengenai manfaat pemberian besi IV dosis rumatan setelah terjadi replesi besi, untuk mempertahankan kadar hemoglobin Hb dan profil besi. Metoda: Disain studi adalah kohort retrospektif menggunakan data rekam medis, pada anak usia ABSTRACT Background Iron deficiency is a common cause of anemia in children with chronic kidney disease CKD on hemodialysis HD . Iron repletion with intravenous IV iron sucrose formulations has been studied in children, however effectiveness of maintenance IV iron regimens has not been reported extensively. Methods We conducted a retrospective cohort study on children with CKD on HD. Medical records were reviewed on all patients at the Children rsquo s Kidney Center, Cipto Mangunkusumo Hospital between January 1, 2015 and May 31, 2016. Patients with normal hemoglobin Hb and iron values were grouped into patients received IV iron sucrose maintenance and patients without IV iron sucrose maintenance. In the first group, patients received 2 mg kg dose of IV iron sucrose once every other week for 2 doses. Laboratory tests for Hb and iron values were recorded twice. First laboratory test was the baseline, shows normal Hb and iron values in both groups. The second laboratory test was taken after 6 weeks of baseline test. Objectives We assessed effects of IV iron sucrose maintenance by the difference in proportions of iron deficiency anemia between two groups based on repeat laboratory test 6 weeks after baseline test. Results During the study period, a total of 74 children had normal Hb and iron values at the beginning of the study. Forty seven patients received IV iron sucrose maintenance and 27 children did not receive IV iron maintenance. Repeat laboratory test 6 weeks after baseline test shows proportion of iron deficiency anemia was 5 47 10.64 in patients with IV iron and 16 27 59.26 in patients without IV iron. Between group difference for proportions was 48.62 P"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nasution, Zuraidah
"Prevalensi anemia gizi pada anak Sekolah Dasar (SD) yang sampai sekarang masih tinggi (sekitar 30 %), merupakan sasaran prioritas ketiga dalam penanggulangan anemia.
Dampak buruk yang diakibatkan oleh anemia gizi, khususnya bagi anak sekolah akan dapat menurunkan konsentrasi dan prestasi belajar, malas, lemah, pasif, apatis dan sering terkena penyakit sehingga akhimya perkembangan dan pertumbuhannya akan terganggu.
Dalam upaya peningkatan dan pengembangan kualitas sumberdaya manusia yang sehat, produktif dan mempunyai inteligensia yang tinggi, maka pemerintah dalam hal ini Direktorat Bina Gizi Masyarakat, Departemen Kesehatan RI telah melaksanakan program Pemberian Makanan Tambahan bagi anak Sekolah Dasar (PMT-AS) dan tablet besi khususnya pada desa tertinggal di Indonesia.
Dalam penelitian ini, digunakan data sekunder yang dikumpulkan pada pelaksanaan program PMT-AS dan tablet besi terhadap 189 orang anak SD yang berasal dari 5 SD pada 5 Kabupaten di Propinsi Jawa Barat.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh Pemberian Makanan Tambahan dan tablet besi terhadap perubahan status anemi gizi anak sekolah. Untuk itu, desain penelitian yang digunakan adalah Praeksperimental dengan perlakuan ulang, dengan intervensi berupa makanan tambahan yang terdiri dari 200 - 300 kalori dengan 10 - 12 gram protein yang dibenkan selama 4 (empat bulan), serta tablet besi dosis 120 mg sebanyak 90 buah tablet yang diberikan yang diberikan setiap hari selama 3(tiga bulan).
Variabel yang diteliti adalah status anemia gizi setelah intervensi (dependen) dan variabel independen adalah : status anemia gizi sebelum intervensi, status gizi , umur, jenis kelamin, pengetahuan gizi, sikap gizi serta perilaku gizi.
Hasil penelitian menunjukkan adanya penurunan prevalensi anemia gizi dan 87.3 % menjadi 21.2 % setelah diberikan intervensi. Sedangkan dari hasil analisis statistik secara multivariat diketahui bahwa faktor yang sangat berpengaruh terhadap status anemia gizi setelah diberikan intervensi, berturut-turut adalah status anemia gizi awal, status gizi serta perilaku gizi anak.
Berdasarkan hasil penelitian ini, disarankan agar dalam pelaksanaan program penanggulangan anemia pada anak SD khususnya di desa tertinggal Propinsi Jawa Barat agar seluruh anak SD dibenkan tablet besi (blanket program), sedangkan secara individual perlu untuk mempnoritaskan anak yang menderita anemia serta mempunyai status gizi kurang yang kemungkinan besar tidak hanya terdapat di IDT. Disarankan pula agar dalam memberikan intervensi untuk penanggulangan anemia, untuk selalu dapat mengetahui kadar Hb anak dengan tepat sebelum dan sesudah pelaksanaan intervensi.

Effect of Iron Suplementation on Nutritional Anemia Status of Elementary School Children Recieving Suplementary School Feeding Package and Iron Tablets in Less Developed Villages, West Java 1995Up to now, the prevalence of nutritional anemia in school children is still high (± 30 %) and even though the third priority in nutritional anemia program.
Nutritional anemia has negative impact especially to school children. It will cause laziness, fatigue, less active, apathetic, and also decreasing learning capacity due to shortened attention span. So those would lower educational achievement, beside that anemic children are easily get sick which will affect their growth.
Healthy, productive and intelligent people are the goal of human resources development. The government especially Nutrition Development of the Ministry of Health conducts a supplementary school feeding and iron tablets. The target group is elementary school children of less developed villages in Indonesia.
This study used evaluative data on 189 children who received supplementary school feeding and Iron tablets in 5 elementary school in 5 districts in West Java which were collected In 1995. The objectives of the study are to find out the effect of supplementary feeding and iron tablets on the anemia status of children who received the package.
Study design was a pre-experimental designs which supplementary feeding and an iron tablet was given as intervention. The package consists of 200 - 300 calories and 10 - 12 gram protein per day were given for 4 months and 120 mg iron tablets was given daily for 3 months (90 tablets).
Nutrition anemia status alter intervention was the dependent variable while the independent variables were nutritional anemia status before intervention, nutritional status before intervention, age, sex, nutritional knowledge, attitude and practice on nutrition before intervention.
The result showed that after the intervention, the nutritional anemia status pevalence was decreased from 87.3 % to 21.2 %. Multivariate analysis showed that nutritional anemia status, nutritional status, and practices of nutrition before intervention were the variables that influence anemia status after intervention.
At macro level it is suggested that the implementation of similar program should be covered all school children (blanket program) of less developed villages. While at individually level, it is suggested that priority should be given only to children who suffered from anemia and under nutrition not only in the less developed villages area.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ulfa Putri Azizah
"Anemia defisiensi besi (ADB) merupakan anemia nutrisional yang menjadi penyebab anemia tersering. Anemia defisiensi besi memiliki dampak terhadap pertumbuhan, perkembangan kognitif, gangguan perilaku, serta gangguan sistem imun pada anak. Kota Tangerang Selatan merupakan wilayah perkotaan  dengan prevalens anemia pada remaja putri cukup tinggi yaitu 35,32%. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalens ADB pada anak usia 24-59 bulan di PAUD wilayah perkotaan, mengetahui profil anak dengan ADB, dan mengetahui rerata Hb dan Ret-He pada populasi tersebut. Penelitian potong lintang ini menggunakan metode pengambilan sampel cluster random sampling. ADB ditegakkan apabila kadar Hb <11 g/dl disertai Ret-He ≤27,65 pg, dan defisiensi besi apabila Ret-He ≤27,65 pg tanpa anemia. Hasil penelitian, jumlah subjek adalah 91 anak, terdiri dari 44 lelaki (48%) dan 47 perempuan (52%), median usia 45 bulan (24-59). Prevalens ADB adalah 13,2% (12 dari 91) didominasi usia 48-59 bulan, jenis kelamin perempuan, status gizi baik, penghasilan orangtua cukup, pendidikan orangtua sedang, lahir cukup bulan, mendapat ASI eksklusif, tidak mendapat suplementasi zat besi, mendapat obat cacing dalam 6 bulan terakhir, dan sedang dalam kondisi infeksi akut. Rerata Hb anak usia 24-59 bulan adalah 11,84 ± 1,03 g/dl, median Ret-He untuk anak usia 24-59 bulan adalah 28,9 (18,2-32,8) pg. Rerata Hb pada anak yang mengalami ADB adalah 10,13 ± 0,38 g/dl, median Ret-He pada anak yang mengalami ADB adalah 23,30 (18,2-27,6) pg. Sebagai kesimpulan, prevalens ADB pada anak usia 24-59 bulan di PAUD wilayah perkotaan masih cukup tinggi. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengetahui etiologi dan faktor risiko terjadinya ADB pada anak.

Iron deficiency anemia (IDA) is  nutritional anemia and the most prevalent cause of anemia. It has longterm impact on growth, cognitive development, behavioral disorders, and immune disorders in children. Tangerang Selatan is an urban area with high prevalence of anemia in female adolescence, about 35.32%. The aims of this study is to know the prevalence of IDA in children aged 24-59 months in preschools in urban areas, to know the profile of children with IDA, and to know the mean Hb and Ret-He in this population. This is a cross-sectional study with cluster random sampling methods. IDA is defined if Hb value <11 g/dl with Ret-He ≤27.65 pg, iron deficiency if Ret-He ≤27.65 pg without anemia. Results of this study, the total subjects was 91 children, consist of 44 male (48%) and 47 female (52%), the median age was 45 months (24-59). The prevalence of IDA was 13.2% (12 of 91), dominated by age 48-59 months, female gender, normal nutritional status, good parental income, moderate parental education, full term birth, exclusively breastfeeding, not receiving iron supplements, received deworming within last 6 months, and in state of acute infection. The mean Hb for children aged 24-59 months was 11.84 ± 1,03 g/dl, the median Ret-He was 28.9 (18,2-32,8) pg. The mean Hb in children with IDA was 10.13 ± 0,38 g/dl, the median Ret-He was 23.30 (18,2-27,6) pg. Conclusions, the prevalence of IDA in children aged 24-59 months in preschool in urban area is quite high. Further research is needed to determine the etiology and risk factors of IDA in children."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Laurentia Konadi
"ABSTRAK
Di Indonesia prevalensi anemia defisiensi besi masih cukup tinggi terutama pada wanita hamil, wanita dewasa, anak usia sekolah dan pra sekolah. Penelitian pada anak dari golongan ekonomi rendah, yang berusia 6 bulan - 6 tahun dengan status gizi baik, menunjukkan prevalensi anemia defisiensi besi 37,9 - 73,0 %.
Pada anak yang lahir cukup bulan dengan cadangan besi yang cukup, defisiensi besi dapat berkembang mulai usia 6 bulan. Hal ini disebabkan karena meningkatnya kebutuhan besi akibat pertumbuhan yang cepat, yang tidak diimbangi dengana konsumsi yang adekuat. Terbatasnya zat besi yang didapat: dari makanan pada anak-anak yang berusia 4 bulan sampai 12 bulan menyebabkan terjadinya defisiensi besi. Jumlah zat besi yang diabsorpsi tergantung dari ketersediaan hayati (bioavailabilitas) zat besi yang dimakan. Besi heme lebih mudah diabsorpsi dari pada besi non heme.
Gejala defisiensi besi pada fase paling awal ditandai dengan penurunan cadangan besi secara berangsur-angsur. Faktor diet diduga memainkan peranan yang penting untuk meningkatkan cadangan besi.
Di Indonesia anak-anak yang berusia 1 tahun mulai diberi makanan biasa selain ASI dan susu formula. Pada golongan ekonomi rendah, makanan terdiri dari serelia dan kacang-kacangan yang mempunyai koefisien absorpsi besi yang rendah.
Ibu-ibu di daerah perkotaan karena kesibukan bekerja, lebih cenderung memberikan anaknya susu formula yang juga mempunyai koefisien absorpsi besi yang rendah.
Pada percobaan binatang (anjing) terjadi penurunan enzim sitokrom oksidase dan laktase mukosa uses pada keadaan defisiensi besi. Penurunan ini menyebabkan terjadinya fenomena malabsorpsi sekunder. Enzim laktase berfungsi untuk menghidrolisis laktosa menjadi glukosa dan galaktosa sebelum diabsorpsi. Laktosa (gala susu) hanya terdapat di dalam susu. Aktivitas enzim laktase tinggi pada waktu lahir dan periode neonatal pada seluruh mamalia. Aktivitas akan menurun sesudah periode disapih, umumnya kurang dari 1/10 puncak aktivitas, kecuali pada manusia kadar tertinggi bertahan sampai usia 5 tahun (Eropa) Sesudah periode ini aktivitas laktase dapat berlanjut terus atau mungkin menurun. Pada bangsa Afrika dan Asia laktase menurun pada usia 3 - 6 tahun (7,8)."
1993
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Inayah Budiasti Sutiko
"Tujuan : Untuk mengetahui status besi anak usia sekolah dan faktor yang berhubungan serta hubungan status besi dengan daya konsentrasi belajar.
Tempat : Sekolah Dasar Pekayon 18 dan Jasmin, Kecamatan Cibubur, Jakarta Timur.
Bahan dan cara : Penelitian desain cross sectional, pada 92 orang subyek yang dipilih secara purposive. Data yang dikumpulkan meliputi data umum subyek dan responden/ibu subyek, status gizi, asupan makan, serta pemeriksaan laboratorium darah dan tinja. Setelah status besi ditetapkan berdasarkan kadar hemoglobin dan feritin plasma, subyek dibagi secara acak sederhana (sub sampel) menjadi status besi normal dan defisiensi besi kemudian terhadap ke dua kelompok dilakukan pemeriksaan daya konsentrasi belajar. Uji statistik yang digunakan untuk mengetahui hubungan dua variabel adalah uji Kolmogorov-Smirnov dengan dua variabel dan uji eksak Fisher.
Hasil : Prevalensi anemia ditemukan sebesar 14,1% dan defisiensi besi 14,2%, sebanyak 1,1% di antaranya menderita anemia defisiensi besi. Dari penilaian food frequency amount didapatkan 85,9% subyek mempunyai asupan besi yang tergolong kurang dan 79,3% subyek asupan energinya termasuk kriteria kurang. Data pola makan menunjukkan 50% subyek termasuk dalam kriteria kurang. Penilaian terhadap status gizi mendapatkan 7,5% subyek mempunyai bentuk tubuh pendek dan 2,2% subyek tergolong kurus. Tidak didapatkan hubungan yang bermakna (p > 0,05) antara daya konsentrasi belajar dengan status besi pada subyek penelitian dan ditemukan pula hubungan yang tidak bermakna (p>0,05) antara sebagian besar variabel yang diteliti.
Simpulan: Pada penelitian ini didapatkan prevalensi anemia 14,1% dan defisiensi besi 14,2%, sejumlah 1,1% subyek di antaranya menderita anemia defisiensi besi. Tidak ditemukan hubungan bermakna (p > 0,05) antara status besi dengan daya konsentrasi belajar.

Iron Status of Children of Two Elementary Schools and Its Related Factors in Cibubur District, East Jakarta: Relationship between Iron Status and Capacity of Learning ConcentrationObjective: To know the iron status of school-age children and its related factors and the relationship between iron status and capacity of learning concentration.
Location: Pekayon 18 and Jasmin Elementary Schools, Cibubur District, East Jakarta.
Material and Method: A cross-sectional study has been carried out on 92 subjects? selected using purposive sampling method. Data collected consist of socio-economic status, nutritional status, dietary intake, and laboratory examinations for hemoglobin, plasma ferritin and stool egg count. Iron status was determined by hemoglobin concentration and plasma ferritin level. Subjects were divided into normal and iron deficiency based on these laboratory findings, and capacity of learning concentration was examined on both groups. Statistical analysis was performed by Kosmogorov-Smirnov and Fisher exact test for the relationship between variables.
Results: Anemia was found in 14.1% subjects, and 14.2% of subjects had iron deficiency in which 1.1% of them had iron deficiency anemia. Inadequate iron and energy intake was found in 85.9 and 79.3% of subjects respectively, and 50% of subjects had poor eating pattern. Nutritional status assessment showed that 7.6% of subjects had short stature (stunted) and 2.2% were wasted. There was no significant relationship (p>0.05) between iron status and the capacity of learning concentration and between most variables.
Conclusion: The prevalence of anemia in this study was 14.1%, and iron deficiency was found in 14.2% of subjects, in which 1.1% of them had iron deficiency anemia. There was no significant relationship (p>0.05) between iron status and the capacity of learning concentration.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2001
T8444
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gultom, Era Hotmauli
"Prevalensi kejadian anemia defisiensi besi pada anak balita di Indonesia masih tinggi yaitu 47,2% (Depkes, 2000). Sedangkan data terakhir prevalensi anemia defisiensi besi pada balita meningkat dari 40% (Dep.Kes, 1995) menjadi 48.1%(Depkes, 2001). Penelitian ini selain untuk mengetahui prevalensi anemia khususnya di Posyandu wilayah Pisangan Baru Matraman Jakarta Timur juga untuk meneliti faktor-faktor yang berhubungan dengan perubahan/peningkatan kadar Hb anak balita anemia usia 6-59 bulan sesudah suplementasi besi selama 12 minggu.
Rancangan penelitian ini dengan disain cross sectional studi analitik menggunakan data sekunder, hasil kuesioner/wawancara, dan observasi Iingkungan. Populasi penelitian adalah anak balita yang ada di 5 Posyandu Pisangan baru Matraman Jakarta Timur. Sampel penelitian adalah anak balita anemia yang telah diperiksa kadar Hb awal sebelum suplementasi besi diberikan dan kadar Hb akhir setelah suplementasi besi selama 12 minggu. Jumlah sampel 85 balita. Sampel terbagi dua yaitu 67% (57 balita) balita dengan kadar Hb mengalami perubahan atau kenaikan dan 33% (28 balita) balita yang tidak mengalami kenaikan kadar Hb. Pengolahan dan analisis data menggunakan program komputer SPSS versi 13.0.
Faktor yang berhubungan bermakna dengan kenaikan kadar Hb anak balita pada 'analisis multivariat adalah faktor status imunisasi (POR = 3.33, 95% CI 1 1.15-9.66), faktor penghasilan keluarga (POR = 3.04, 95% CI : l-12-8.23) dan faktor riwayat infeksi pada balita (POR = 2.76, 95% CI : 1.00-7.61). Hasil penelitian menunjukkan faktor yang paling dominan berhubungan bermakna dengan kenaikan kadar Hb balita di Posyandu Pisangan Baru yaitu status imunisasi balita (POR = 3.33, 95% CI : 1.15-9.66), artinya balita yang status imunisasinya lengkap mempunyai peluang 3.33 kali utuk kadar Hb-nya mengalami kenaikan daripada balita yang status imunisasinya tidak lengkap. Sedangkan faktor yang tidak berhubungan dengan kenaikan kadar Hb berdasarkan karakteristik anak adalah umur, jenis kelamin, dau status gizi. Berdasarkan karakteristik keluarga, faktor yang tidak berhubungan dengan kenaikan kadar Hb adalah pendidikan ibu dan jumlah anak balita dalam keluarga.
Berdasarkan hasil penelitian ini upaya yang perlu dilakukan: Bagi Dinkes DKI Jakarta pentingnya kebijakan Program screening rutin dengan melakukan pemeriksaan kadar Hb awal untuk mengetahui prevalensi anemia sesungguhnya sebelum dilakukan intervensi dini suplementasi besi dan pemeriksaan kadar Hb akhir untuk evaluasi keberhasilan intervensi di Jakarta Timur, dan umumnya di DKI Jakarta. Penting untuk perluasan program cakupan imunisasi pada balita, agar kadar Hb anak balita anemia yang diberikan intervensi mengalami kenaikan. Bagi Pemerintah dalam hal ini Negara berkoordinasi dengan Dinas Kesehatan DKI Jakarta dan sektor terkait lainnya untuk pertimbangan kebijakan Program Ketahanan pangan gizi seperti program penyediaan Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) atau bahan-bahan nutrisi makanan yang diprioritaskan pada keluarga berpenghasilan rendah sehingga kadar Hb balita anemia mengalami kenaikan, mencegah terjadinya anemia berulang, dan mencegah terjadinya infeksi.

Prevalence of iron deticiencies anemia among children under five years are still high. It is amount 47,2% (Health Department, 2000). While the last data from prevalence of iron deficiencies anemia among children under five years old improved irom amount 40% (Health Department, 1995) became 48,1% (Health Department, 2001). This study aim to know anaemia prevalence especially at Posyandu of Pisangan Baru Matrarnan, East Jakarta and also for checking factors related to improved Hb rate among children under live years old with anemia aged 6-59 months after iron supplementation during12 weeks.
This study used a cross sectional design by study analytic using secondary data, qustioer or interview result, and improvement observation. Study population are children under Eve years old in 5 Posyandu of Pisangan Baru Matraman, East Jakarta. Study samples are children under tive years old with anemia which have been checked by early I-Ib rate before iron supplementation are given ad the last Hb rate alter iron supplementation during 12 weeks; Samples are 85 children under five years old. These samples divided two that are 67% (57 children under five years old) with Hb rate chaged or improved and 33% (28 children under five years old) do not improve Hb rate. Processing and data analysis used computer by SPSS program.
Main factors related to improved Hb rate among children under live years old by multivariate analysis are immunization status factor (POR = 3.33, 95% CI :1.15 - 9.66), family income factor (POR = 3.04, 95% CI : 1.12 - 8.23) and infection history factor among children under tive years old at Posyandu Pisangan baru that are immunization status of five years old (POR = 3.33, 95% CI : 1.15 - 9.66), mean children under five years old which this immunization status is complete and- it has and oppurtinity 3.33 times for its I-Ib rate improved compare than children under five years old which don?t related to improve I-Ib rate based on child characteristic are sex and nutrition status. Based on family characteristic, factors which don?t related to improved Hb rate are mother education and amount of children under tive years old in families.
Based on this study result, it is important gived early intervention to suggested to conduct health education for public or mother which have children under live years old especially for East Jakarta and generally for DKI Jakarta to carry of children under live years old to Posyandu, Primary health center, Hospital and also related health institution to get primary immunization service until completes based on govemment program for public health service of DKI Jakarta and related sector by follow-up fiom running program for overcoming poorness by giving more food and ASI, Program and giving health service for public who have askeskin.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2008
T-Pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Candra Wijaya
"Anemia pada anak umur di bawah dua tahun (baduta) masih menjadi masalah kesehatan masyarakat yang besar sampai saat ini baik di tingkat global, nasional maupun lokal. Prevalensi anemia baduta di tiga kecamatan wilayah Kabupaten Aceh Besar tahun 2011 mencapai 46,64%. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara asupan zat gizi dengan kejadian anemia. Desain penelitian adalah potong lintang, menggunakan data sekunder hasil survey anemia defisiensi zat besi yang dilakukan oleh Poltekkes Kemenkes Aceh, dengan jumlah sampel sebanyak 253 anak usia 6-23 bulan. Prevalence Ratio dihitung dengan 95% Confident Interval menggunakan analisis regresi logistik.
Hasil: risiko kejadian anemia adalah 1,22 kali (95% CI 0,59-2,09); 1,17 kali (95% CI 0,66-1,75); 1,56 kali (95% CI 1,07-2,28) dan 1,51 kali (95% CI 1,09-2,08) pada asupan zat zat besi, asam folat, vitamin C dan vitamin A yang kurang dibandingkan dengan yang cukup. Asupan protein yang kurang tidak menjadi risiko dalam kejadian anemia. Riwayat diare, ISPA dan status ASI muncul sebagai variabel perancu dan/atau interaksi.

Anemia among children under two is still a serious public health concern at global, national and local level. Anemia prevalence among children under two in 3 subdistricts in Aceh Besar District in 2011 was 46,64%. The study aims to reveal the relationship between nutrient intake with anemia. Study design is cross section, using secondary data from anemia iron deficiency survey conducted by Poltekkes Kemenkes Aceh, with total sample of 253 children 6-23 months.Prevalence Ratio was calculated with 95% Confident Interval using logistic regression.
Result: Anemia risk is 1,22 (95% CI 0.59-2.09); 1,17 (95% CI 0.66-1.75); 1,56 (95% CI 1,07-2.28) and 1,51 (95% CI 1.09-2.08) times higher in deficiency of iron, folic acid, vitamin C and vitamin A intake in comparison with the adequate ones. There is no risk of anemia from lack of protein intake. Diarrhea and ARI histories and breastfeeding status act as either confounders or effect modifier.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2011
T31202
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Caroline Rafaella Siasta
"Anemia terjadi saat jumlah hemoglobin dalam darah berada di bawah batas normal. Prevalensi anemia pada anak usia sekolah di Indonesia mencapai 26,8%, angka yang lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata nasional. Kondisi ini dapat berdampak negatif seperti gangguan pertumbuhan, penurunan daya tahan tubuh, keterlambatan pubertas, dan penurunan tingkat kecerdasan. Gejala yang umum muncul antara lain lesu, lemah, letih, lelah, dan lalai (5L), serta menghambat perkembangan otot dan tulang. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi prevalensi anemia, faktor-faktor yang berhubungan, dan faktor dominan pada anak usia sekolah di Indonesia menggunakan data dari IFLS tahun 2014 dengan desain studi cross-sectional. Hasilnya menunjukkan prevalensi anemia pada anak usia sekolah sebesar 25,9%. Analisis menemukan hubungan signifikan antara status gizi, konsumsi makanan (hewani, sayuran, buah), diare, perilaku buang air besar, dan daerah tempat tinggal dengan n anemia (p<0,05). Faktor dominan anemia dari analisis multivariat adalah daerah tempat tinggal, dengan risiko 2,88 kali lebih besar. Pemerintah menyediakan akses pemeriksaan Hb di sekolah melalui UKS, serta edukasi tentang kesehatan bagi pendidik dan siswa. Masyarakat juga diminta untuk melakukan perilaku hidup sehat dengan memperhatikan asupan gizi sekaligus mencegah infeksi pencernaan

Anemia occurs when the blood's hemoglobin level is below normal. The prevalence of anemia among school-aged children in Indonesia reaches 26.8%, higher than the national average. This condition can have negative impacts such as growth disturbances, decreased immunity, delayed puberty, and reduced intelligence levels. Common symptoms include lethargy, weakness, tiredness, fatigue, and negligence (5L), which can hinder muscle and bone development. This study aims to identify the prevalence of anemia, related factors, and dominant factors in school-aged children in Indonesia using data from the 2014 IFLS with a cross-sectional study design. The results show a prevalence of anemia among school-aged children of 25.9%. The analysis found significant relationships between nutritional status, food consumption (animal-based, vegetables, fruits), diarrhea, defecation behavior, and residential areas with anemia (p<0.05). The dominant factor for anemia from multivariate analysis is the residential area, with a risk 2.88 times greater. The government provides access to Hb tests in schools through UKS and health education for educators and students. The community is also encouraged to practice healthy living by paying attention to nutritional intake while preventing digestive infections."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Azkia Nur Zahrah
"Anak di bawah 5 tahun (balita) merupakan populasi dengan risiko anemia tertinggi dibandingkan dengan populasi kelompok usia lainnya (WHO, 2023). Prevalensi anemia pada populasi balita di Indonesia cenderung terus mengalami peningkatan dari 27,7% pada tahun 2007, kemudian meningkat sedikit menjadi 28,1% pada tahun 2013 dan meningkat tajam menjadi 38,5% pada tahun 2018 (Kemenkes RI, 2018). Pada kelompok usia balita, anak usia 6 – 23 bulan menjadi kelompok usia dengan risiko tertinggi untuk mengalami anemia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian anemia pada anak usia 6-23 bulan di Indonesia. Penelitian ini menggunakan desain studi cross-sectional dengan data sekunder dari Riskesdas 2018. Sampel penelitian merupakan anak usia 6-23 bulan di Indonesia dengan total sampel sejumlah 331 anak. Hasil penelitian menemukan besar prevalensi anemia pada anak usia 6-23 bulan di Indonesia sebesar 58,9%. Berdasarkan hasil analisis bivariat, terdapat hubungan positif yang signifikan antara jenis kelamin (PR = 1,339; 95% CI  1,033-1,635) dan hubungan negatif yang signifikan (protektif) antara pemberian ASI eksklusif dengan kejadian anemia pada anak usia 6-23 bulan di Indonesia (PR = 0,613 95% CI 0,537-1,290). Penggalakan program pemeriksaan Hb anemia pada anak usia 6-23 bulan, pemberian PMT yang kaya zat besi kepada anak usia 6-23 bulan dengan anemia, serta edukasi mengenai anemia pada anak melalui posyandu maupun puskesmas setempat diperlukan untuk mencegah dan mengendalian anemia pada anak.

Toddlers are the population with the highest risk of anemia compared to other age group populations (WHO, 2023). The prevalence of anemia in the under-five population in Indonesia tends to continue to increase from 27.7% in 2007, then increased slightly to 28.1% in 2013 and increased sharply to 38.5% in 2018 (Ministry of Health RI, 2018). In the toddler age group, children aged 6-23 months are the age group with the highest risk for anemia. This study aims to determine the factors associated with the incidence of anemia in children aged 6-23 months in Indonesia. This study used a cross-sectional study design with secondary data from the 2018 Riskesdas. The research sample was children aged 6-23 months in Indonesia with a total sample of 331 children. The results of the study found that the prevalence of anemia in children aged 6-23 months in Indonesia was 58.9%. Based on the results of bivariate analysis, there was a significant positive relationship between gender (PR = 1.339; 95% CI 1.033-1.635) and a significant negative (protective) relationship between exclusive breastfeeding and the incidence of anemia in children aged 6-23 months in Indonesia ( PR = 0.613 95% CI 0.537-1.290). Promoting programs for checking Hb anemia in children aged 6-23 months, giving PMT which is rich in iron to children aged 6-23 months with anemia, as well as education about anemia in children through posyandu and local health centers is needed to prevent and treat anemia in children."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>