Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 79578 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Desak Made Oka Purnawati
Semarang : Intra Putra Utama, 2004
333.750 598 DES h
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Desak Made Oka Purnawati
Semarang : Intra Pustaka Utama , 2004
634.959 8 DES h (1)
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Universitas Indonesia, 2006
S34125
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Warto
"Penelitian ini ingin mencoba mengungkapkan masalah kerja wajib blandong dalam usaha eksploitasi hutan di Jawa selama paro pertama abad XXX. Kerja wajib (kerja paksa) blandong di sini diartikan sebagai bagian dari kerja wajib negara (heerendiensten) di masa kolonial, yang dilakukan oleh penduduk desa yang tinggal di sekitar hutan. Adapun kerja blandong itu meliputi berbagai macam pekerjaan, seperti penebangan kayu di hutan, pengangkutan ke tempat-tempat penampungan kayu, penanaman kembali hutan, serta pekerjaan lainnya yang masih berhubungan dengan eksploitasi hutan. Berbeda dengan penduduk desa lainnya, penduduk desa yang secara langsung terlibat dalam kegiatan eksplotasi hutan (kerja blandong) dibebaskan dari segala beban kerja wajib lainnya, karena pekerjaan itu merupakan jenis pekerjaan yang sangat berat di antara kerja wajib lainnya.
Tidak jelas sejak kapan tepatnya kerja blandong itu mulai dikenal di Jawa, tetapi praktek kerja-wajib blandong sesungguhnya telah berlangsung eukup lama, jauh sebelum datangnya orang-orang Belanda ke Jawa. Baru setelah VOC (Verenigde Oost-Indische Compagnie, Kongsi Dagang Hindia Timur) menguasai sebagian daerah pesisir utara pulau Jawa, kerja blandong mulai diintensifkan. Secara umum daerah kerja blandong waktu itu dibagi menjadi dua, yaitu blandong di daerah pesisir bagian barat Semarang dan blandong di bagian timur Semarang, terutama di daerah-daerah yang memiliki hutan jati. Dengan kata lain, praktek kerja blandong itu semula hanya dikenal di daerah pantai utara Jawa, mulai dari Cirebon di pesisir bagian barat sampai di Banyuwangi di pesisir ujung timur Jawa. Tetapi sejalan dengan meluasnya pengaruh kekuasaan Belanda di Jawa, praktek kerja blandong juga makin meluas sampai ke wilayah pedalaman.
Penelitian ini akan dipusatkan di salah satu daerah blandong yang terkenal, yaitu di wilayah Karesidenan Rembang, Jawa Tengah. Daerah Rembang sejak dulu dikenal sebagai daerah sentral hutan jati di Jawa. Maka dalam usaha mengeksploitasi hutan di sana, VOC pada 1777 menetapkan empat distrik blandong di Kabupaten Rembang, yaitu distrik Waru, Mondotoko, Kaserman, dan Trambalang. Selain itu, di Kabupaten Lasem dan Tuban - yang juga merupakan bagian dari wilayah Karesidenan Rembang - kerja blandong juga sudah cukup lama dijalankan. Demikian juga dua Kabupaten lainnya, yakni Blora dan Bojonegoro, menjadi daerah pusat penebangan hutan sejak daerah ini diserahkan oleh Raja Mataram kepada pemerintah kolonial pada awal abad XIX. Jauh sebelum itu, di daerah Blora khususnya, kerja blandong sebenarnya sudah lama dijalankan, ketika daerah ini disewa oleh VOC dari Sunan.
Meskipun praktek kerja blandong di daerah Rembang sudah berlangsung cukup lama, namun penelitian ini hanya ingin mengungkapkan masalah itu sejauh ditemukannya sumber-sumber arsip yang mendukung. Khususnya nengenai pelaksanaan kerja blandong .selama awal abad XIX, telah diatur sedemikian rupa oleh Dereksi Kehutanan yang berdiri sejak 1808, sehingga banyak ditemukan informasi mengenai kerja blandong. Tetapi setelah lembaga kehutanan itu dihapus pada 1827, pengawasan hutan dan pengaturan eksploitasi hutan menjadi tidak efektif, karena berada di bawan Departemen Perkebunan, yang berlangsung sampai 1865.
Penelitian mengenai kerja blandong khususnya dan kerja wajib lainnya di Jawa abad XIX, belum banyak dilakukan. Ada beberapa studi yang secara umum membicarakan masalah itu, yaitu antara lain yang dilakukan oleh Djuliati Suroyo (1981, 1987), R.E Elson (1988), dan "Eindresume", yaitu laporan mengenai macam-macam kerja wajib di Jawa dan Madura yang disusun oleh pegawai pemerintah Hindia Belanda pada 1901-1903. Dalam tulisannya yang pertama, Djuliati membicarakan secara garis besar mengenai kerja wajib negara selama abad XIX di Karesidenan Kedu. Dia menjelaskan hubungan perkembangan kerja wajib dan pemilikan tanah, pendapatan petani, struktur kekuasaan, pelapisan masyarakat, dan perkembangan penduduk. Sedangkan pada tulisannya yang kedua, dia membicarakan eksploitasi buruh di Hindia Belanda dan di British-India selama abad XIX. Kemudian Elson lebih memusatkan perhatian pada pengerahan tenaga kerja petani selama berlangsungnya tanam Paksa, yang dikaitkan dengan adanya hubungan patronase dalam masyarakat Jawa.
Namun dari beberapa studi yang disebutkan itu belum ada yang secara khusus menyinggung masalah kerja wajib blandong. Uraian singkat mengenai masalah itu dalam konteks politik kehutanan di Jawa, dapat ditemukan inisalnya dalam tulisan Cordes (1881), Nancy Peluso (1988), dan Boomgaard (1988). Namun demikian, mereka itu umumnya membicarakan kerja blandong hanya sambil lalu dan lebih memusatkan perhatiannya pada politik kehutanan dalam skala makro. Oleh karenanya, bagaimana dampak?"
Depok: Universitas Indonesia, 1993
T9621
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mulyanto
"Berdasarkan penjelasan Undang-undang nomor 5 tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan pokok kehutanan, dinyatakan bahwa luas hutan diperkirkan kurang lebih 30 persen dari luas daratan. Sementara kawasan hutan di Pulau Jawa hanya sekitar 23 persen dari luas daratannya, khusus di Jawa Tengah hanya 20 persen saja. Karena itu, berpegang pada Peraturan Pemerintah nomon 36 tahun 1986, terutama yang rnenyangkut maksud dan tujuan pendirian Perum Perhutani, ditetapkan kebijakan. Bahwa Perum Perhutani agar dapat rnernperluas kawasan hutan atau sekurang-kurangnya ruenjaga kelestarian hutan yang telah ada.
Pada hal masyarakat sekitar hutan juga mempunyai kepen tingan terhadap hutan sebagai sumber mencari nafkah. Karenanya, bagaimana pengelolaan hutan dapat dilaksana kan tanpa merugikan kedua kepentingan. Dalam pengelola an hutan ini Perhutani menerapkan pendekatan agrosilvi kultur. Pendekatan ini tidak saja mempunyai tujuan un tuk kepentingan ekonomi ( pendaatan ) tetapi juga da pat merangsang partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan sekaligus daiam pelestarian hutan.
Ternyata pesanggem yang terlibat berpartisipasi dalam pengelolaan hutan adalah dan golongan buruh tani atau pun petani berlahan pertanian sempit dan sebagai petanì subsisten. Karena itu, faktor-faktor yang mempengaruhi tindakan mereka berpartisipasi disebabkan adanya sempit nya lapangan kerja di pedesaan, lahan pertanian yang dimiliki sempit dan tidak memiliki keahlian lain selain keterikatan dengan tanah pertaniannya saja.
Meskipun demikian, pengelolaan agrosilvikultur ini 85 persen dikerjakan secara sambilan dan hanya 15 persen saja sebagai matapencarian pokok.
Sedangkan keberhasilan tanaman pokok jati antara 80-100 persen, tetapi tidak demikian dengan keberhasilan panen tanaman palawija. Hal ini terbukti bahwa partisipasì pe sanggem dalam pengelolaan hutan khususnya agrosilvikul tur belum merubah keadaan sosial ekonomi pesanggem.
Namun secara ekologi pesanggen telah membantu menjaga hutan dan kerusakan, karena mereka merasa terlibat dalam proses daur ulang hutan. Dengan demikian partisipa si pesanggem tidak hanya pada pelaksanaan pengelolaan agrosilvikultur saja, tetapi berlanjut pada partisipasi dalam menjaga kelestarian hutan."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1991
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rokidin
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1991
S6189
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Umar Fahmi Achmadi
"Kejadian keracunan merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang penting dalam era transformasi sosial ekonomi, khususnya memasuki era masyarakat industri. Untuk itu telah dilakukan studi korban keracunan pada masyrakat ex Karesidenan Banten, yang dirawat di Rumah Sakit Umum dan Swasta ex Karesidenan Banten, tahun 1907 s/d 1991.
Dalam penelitian ini didapatkan 543 kasus keracunan. Dari 8 kelompok/kategori keracunan didapat keracunan tumbuhan (34,07%.) sebagai kategori keracunan terbanyak. Keracunan obat-obatan dan keracunan pestisida merupakan urutan kedua dan ketiga. Perlu dicatat bahwa keracunan pestisida paling banyak untuk tujuan bunuh diri. Terdapat variasi waktu dan tempat dalam kejadian keracunan."
Depok: Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, 1993
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Pambudi Mahanto
"Pengelolaan Hutan Jati Optimal (PHJO) merupakan suatu bentuk pengelolaan hutan yang secara teknis disebut "management region " diperkirakan dapat mengatasi masalah-masalah sosial ekonomi yang sekaligus tetap dapat memenuhi tujuan pengelolaan lestari dan sumber-sumber daya hutan. Pengelolaan hutan jati optimal di BIKPH Tangen KPH Surakarta Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah yang menjadi fokus penelitian tesis dengan demikian merupakan uji coba yang apabila dimulai berhasil dapat diterapkan ditempat-tempat lain yang juga menghadapi masalah-masalah sosial ekonomi serupa.
Dipicu oleh pertambahan penduduk yang tidak terkendali, kelebihan penduduk telah menurunkan taraf kesejahteraan mereka yang pada dasarnya hidup dari bertani sangat tergantung dari ketersediaannya tanah-tanah pertanian. Menurunnya alokasi tanah pertanian bagi rata-rata penduduk di tambah dengan langkanya kesempatan kerja dan kesempatan berusaha di desa-desa mengakibatkan tingkat kesejahteraan mereka merosot, sehingga mereka menghadapi kehidupan miskin. Disebabkan sulitnya menemukan jalan keuar mengatasi kesengsaraan itu, penduduk merambah tanah-tanah hutan di dekat pemukimannya mencari apa saja yang dapat dimanfaatkannya, melepas ternak-ternaknya di lahan-lahan hutan Perum Perhutani, mengambil pakan ternak, merencek, menebang kayu yang ditemui, bertani liar bahkan acapkali juga membangun runah-rumah baru yang kesemuanya itu merupakan perbuatan tidak syah/ melawan hukum?

Teak Forest Optimal Management (TFOM) is an implementation of the technically signified as management regime intended as remedial effort to the existing social economic problems in today forest management, concurrently to maintain and continuing the sustainable teak forest management. The TFOM of BKPH Tangen came the focus of this thesis research is a trial endeavor which as it is succeeded should be further enforced in other places where similar social economic problems are encountered.
Triggered by uncontrolled population growth, excess of peoples in rural areas demotes their economy, where in general they live from farming which largely depend upon the availability of agricultural lands. Due to reducing allocations of average agricultural land per capita plus their situation of veer scarce living opportunities in rural areas, the economy of the people arc demoted to turn into proverty Very hard opportunities to find solution for their living, the peoples encroach forest lands to look after whatever they found for their living. Herding their livestock, looking for rattle feed, chopping woods for firewood, cutting any available woods, savage farming even building temporary houses, are all illegal against the law?
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hurun In Qurrotul Aini
"ABSTRAK
Skripsi ini membahas tentang kebijakan sewa tanah di Karesidenan Cirebon pada masa Raffles sampai Du Bus de Gisignies tahun 1811 ndash; 1830. Sewa tanah pertama kali diterapkan Raffles di Karesidenan Cirebon pada Juni 1813 yang kemudian diperbaharui pada Pebruari 1814. Cita-cita yang ingin dicapai adalah melalui liberalisasi ekonomi tersebut dapat menghapus penindasan dan mencapai kesejahteraan untuk petani. Sistem sewa tanah dilandasi dari gagasan bahwa tanah tidak lagi menjadi milik sultan, tetapi menjadi milik Pemerintah Inggris. Rakyat yang dianggap sebagai penyewa yang harus membayar pajak kepada Pemerintah Inggris. Kemudian, Pemerintah Belanda tetap melanjutkan sistem sewa tanah hingga tahun 1830 dengan disertai berbagai perbaikan dan penyesuaian. Namun, penetapan pajak di Karesidenan Cirebon terlampau tinggi serta tidak mengindahkan kondisi petani ketika gagal panen. Hal itu mengakibatkan bertambah beban yang ditanggung petani sehingga menimbulkan perlawanan resistensi . Sistem sewa tanah ini berakhir pada tahun 1830 karena tanah-tanah di Karesidenan Cirebon terkena peraturan tanam paksa.

ABSTRACT
"This study aimed to determine whet"The mini thesis describes the land rent policy during the Raffles era until Du Bus de Gisignies era in Karesidenan Cirebon in 1811 1830. This policy was first administered by Raffles in Karesidenan Cirebon on June 1813, and later renewed on February 1814. The governmet wished to abolish oppression and reached prosperity for farmers through economic liberation. The system was based on an idea that the land in Java, including Karesidenan Cirebon, were no longer the Sultan Possesion, but had now become the possession of the British government. Thus, the people farmers had to rent land and pay taxes to British Government. The Hindia Belanda government then carried on the system with some adjustments. However, the tax in Karesidenan Cirebon was higher than the previous tax and didn rsquo t consider the farmer rsquo s condition if the harvest failed. This increased pressure was what led to the resistance of the people. The land rent ended when cultuur stelsel was administered in Karesidenan Cirebon in 1830."
2016
S66422
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Krisna Dharmawan
Jakarta: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1986
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>