Ditemukan 204497 dokumen yang sesuai dengan query
Kenichi Ohmae
Jakarta: Binarupa Aksara, 1991
337. OHM d
Buku Teks Universitas Indonesia Library
Kenichi Ohmae
New York: Harper Business, 1999
337 OHM b
Buku Teks Universitas Indonesia Library
America: A Harvard Business Review Book, 1995
337 EVO (1)
Buku Teks Universitas Indonesia Library
Advensius Cristian
"Integrasi ekonomi antar negara menjadi sangat penting dan hal ini sangat terkait dengan adanya aktivitas perdagangan internasional dan interaksi pasar keuangan global. Saat krisis keuangan global uncul, seperti yang baru terjadi di tahun 2007 ndash; 2008, efek krisis tersebut menyebar dengan cepat ke banyak negara berkembang, termasuk Indonesia salah satunya. Untuk memahami efek krisis tersebut, penelitian ini menggunakan teknik cointegrasi dengan melihat hubungan jangka panjang antara Real Effective Exchange Rate REER dan integrase perdagangan pada era sebelum dan setelah krisis. Hasil analisis penelitian dengan metode Autoregressive Distributed Lag ARDL menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan jangka panjang sebelum perode krisis, namun pada periode setelah krisis justru terdapat hubungan postif jangan panjang antar variable. Melalui hasil tersebut, diperoleh kesimpulan secara umum bahwa peningkatan integrase perdagangan akan diasosiasikan dengan apreasiasi REER setelah krisis keuangan global.
Economic integration among countries becomes substantial, and it can be represented by the activity of international trade and global financial market. Once a crisis emerges, like Global Financial Crisis in 2007 2008, its damage can widely spread into developing countries such as Indonesia. To understand the crisis effect, this research discusses the long run relationship between real effective exchange rate and trade integration during the pre and post crisis periods by applying cointegration technique. The autoregressive distributed lag ARDL analysis shows the evidence supporting no long run relationship during the pre crisis period, but the positive relationship during the post crisis period. This result suggests that intensified trade integration would be associated with real exchange rate appreciation after the Global Financial Crisis."
Depok: Universitas Indonesia, 2017
T49697
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Hasna Alifa
"
ABSTRAKPenelitian ini bertujuan untuk menjelaskan dampak ketidakpastian terhadap fleksibilitas institusi internasional dalam kasus kerja sama perdagangan Cross-Strait Economic Cooperation Framework Agreement (ECFA) antara Tiongkok dengan Taiwan. Kerja sama antara Tiongkok dengan Taiwan menarik untuk diteliti karena kedua negara tersebut dapat menjalin kerja sama dalam sebuah institusi, meskipun hubungan politik antara keduanya kerap dipenuhi oleh ketegangan. Penelitian ini menggunakan teori rational institution design yang menjelaskan bahwa negara merancang institusi internasional sesuai dengan hambatan yang dimilikinya. Teori rational institution design menggagas bahwa ketidakpastian sebagai hambatan kerja sama menyebabkan terbentuknya institusi internasional yang fleksibel. Metode process-tracing digunakan untuk meraih penjelasan mengenai mekanisme kausal antara ketidakpastian dan fleksibilitas institusi internasional dalam proses pembentukan ECFA. Temuan pada penelitian ini menunjukkan bahwa ECFA dirancang dengan fleksibilitas untuk menghadapi ketidakpastian mengenai politik domestik di Taiwan, secara khusus adalah pergantian kekuasaan di Taiwan yang berdampak pada perkembangan hubungan lintas selat Taiwan. Melalui rangkaian negosiasi, Tiongkok dan Taiwan memilih untuk merancang ECFA dengan fleksibilitas sebagai perjanjian sementara yang tidak memiliki batas waktu penyelesaian serta memasukkan ketentuan pemutusan kontrak ke dalam rancangan ECFA. Rancangan institusi tersebut dipilih oleh Taiwan dan Tiongkok dengan mempertimbangkan perlawanan terhadap ECFA dari partai oposisi Taiwan, karena keduanya tidak dapat memastikan apa yang dilakukan oleh partai oposisi terhadap ECFA apabila partai oposisi berkuasa di Taiwan.
ABSTRACTThis thesis explains the impact of uncertainty on the flexibility of international institution within the case of trade cooperation between China and Taiwan in Cross-Strait Economic Cooperation Framework Agreement (ECFA). Cooperation between China and Taiwan is a considerably interesting subject, because they managed to establish a cooperation agreement despite their constrained political relations. I utilized rational institution design theory as an analytical framework in assessing how states design international institution based on the cooperation barriers they face. The theory suggested that uncertainty as cooperation barrier led to the formation of flexible institution. Process-tracing method was applied in this research to acquire explanation of causal mechanisms between uncertainty and the flexibility of ECFA. Findings in this research show that the flexibility possessed by ECFA is a response to uncertainty about Taiwans domestic politics, particularly power shift in Taiwan that gives significant impact on the development of cross-Strait relations. Throughout a series of negotiations, China and Taiwan decided to design ECFA with some degree of flexibility as an interim agreement that does not specify any deadline and ECFA also includes termination clause. The institutional design is chosen because China and Taiwan needs to consider resistance from Taiwanese opposition parties towards ECFA, as they are uncertain about what the opposition will do to ECFA once they are in power. "
2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Kenichi Ohmae
Yogyakarta: Qalam, 2002
337 OHM h
Buku Teks Universitas Indonesia Library
Kenichi Ohmae
Jakarta: Binarupa Aksara, 1989
658 KEN d
Buku Teks Universitas Indonesia Library
Hirst, Paul
Jakarta : Yayasan Obor Indonesia , 2001
337 HIR gt
Buku Teks Universitas Indonesia Library
Daniels, John D.
Menlo Park, California: Addison-Wesley, 1976
650 DAN i
Buku Teks Universitas Indonesia Library
Raja Sawery Gading Dzetaj Notonegoro
"Sejak pertengahan 1990-an, semakin banyak negara berkembang yang menempuh Integrasi Ekonomi Regional (REI) dengan negara maju melalui Perjanjian Perdagangan Regional (RTA). Negara anggota perjanjian tersebut memberikan perlakuan yang lebih menguntungkan terhadap satu sama lain daripada terhadap mitra dagang lainnya yang bukan negara anggota. Perlakuan diskriminatif ini jelas tidak konsisten dengan kewajiban perlakuan Most Favoured Nation (MFN) WTO. Meskipun kewajiban perlakuan MFN merupakan prinsip dasar, namun WTO memperkenankan anggotanya untuk mengesampingkan prinsip tersebut dan menempuh REI berdasarkan Pasal XXIV GATT 1994 untuk RTA, Pasal V GATS untuk Perjanjian Integrasi Ekonomi (EIA) dan Klausul Enabling. Penelitian ini menganalisa mengapa WTO memberikan pengecualian tersebut. Selain itu, penelitian ini mengeksplorasi kecenderungan di kalangan negara berkembang menempuh REI dengan negara maju serta meneliti bagaimana negara berkembang dapat mengambil keuntungan tanpa mengucilkan sistem perdagangan multilateral WTO.
Berdasarkan analisis hukum, REI sangat bermanfaat bagi negara berkembang WTO. Penelitian ini mendesak KTT APEC ke-21 dan Konferensi Tingkat Menteri ke-9 WTO di Bali untuk digunakan sebagai kesempatan untuk menunjukkan peran aktif dari masing-masing negara berkembang terutama tuan rumah, Indonesia, dalam mempromosikan liberalisasi perdagangan dan investasi secara regional dan global. Penelitian ini menyimpulkan bahwa REI diperlukan untuk mengambil langkah lebih lanjut dalam mewujudkan tujuan WTO untuk menciptakan perdagangan yang bebas dan adil. Selain itu, negara berkembang disarankan untuk menggunakan REI sebagai pilihan kebijakan terbaik kedua dan terus menempatkan prioritas tertinggi pada WTO dengan berkomitmen terhadap modus operandi WTO.
Since mid-1990s, developing countries are increasingly pursuing Regional Economic Integration (REI) with developed countries through Regional Trade Agreements (RTA). In this case, the parties to such agreements offer each other more favourable treatment than they offer to other trading partners that are nonparties. Clearly, such discriminatory treatment is inconsistent with the Most Favoured Nation (MFN) treatment obligation of the WTO. Although MFN treatment obligation is a fundamental principle, the WTO does allow WTO members to set aside the principle and pursue REI under Article XXIV of the GATT 1994 for RTA, Article V of the GATS for Economic Integration Agreement (EIA) and the Enabling Clause. With that being said, this research analyses why does the WTO provides such exception. In addition, it explores the tendency among developing countries to pursue REI with developed countries and and examines how can those developing countries benefit from their pursuit without undermining the multilateral trading system of the WTO. Based on a legal analysis, this research argues that REI will be highly beneficial for developing countries of the WTO. Furthermore, the research urges the 21st APEC Summit and the 9th Ministerial Conference of the WTO in Bali to be used as an opportunity to demonstrate an active role of each developing economy especially the host, Indonesia, in promoting regional and global trade and investment liberalisation. This research concludes that REI is necessary to take further steps towards realising the goal of the WTO to have a fair and freer trade. Moreover, developing countries are recommended to consider REI as the second best policy option and continue to place the highest priority on the WTO by committing to modus operandi of the WTO."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
S46843
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library