Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 127253 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Agussalim Andi Gadjong
"Analysis on laws regarding local government and decentralization in government in Indonesia enacted in 1945 to 2004"
Ciawi, Bogor: Ghalia Indonesia, 2007
320.959 8 GAD p (1);320.959 8 GAD p (2)
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Eka jaya, 2004
352.02 UND
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Anggarani Utami Dewi
"Pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang berkedudukan di daerah oleh pemerintah daerah mengalami perdebatan khususnya mengenai legalitas penyidikan peristiwa pelanggaran HAM yang berat di masa lalu oleh komisi ini. Tesis ini akan menjawab permasalahan mengenai implementasi KKR dalam era non transisional serta pengaturan mengenai pembentukan dan implementasi KKR yang berkedudukan di daerah. Penelitian menggunakan metode kualitatif dengan fokus pada studi kepustakaan, wawancara dengan para ahli, dan studi perbandingan pada KKR era non transisional di tujuh negara, yakni Korea Selatan, Brazil, Thailand, Maroko, Kanada, Amerika Serikat, dan Australia. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa enam dari tujuh negara tersebut membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi untuk mengungkapkan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang berat yang terjadi lebih dari lima tahun yang lalu, dan hanya Thailand yang membentuk KKR dalam dua bulan setelah berakhirnya konflik. Dari enam negara tersebut, seluruhnya telah mengeluarkan berbagai kebijakan reparasi, kompensasi, ataupun ganti rugi bagi korban sebelum dibentuknya KKR. Brazil, Kanada, dan Australia telah lama mencabut kebijakan yang diduga melanggar HAM. Seluruh negara selain Maroko telah memiliki peraturan yang melindungi privasi dan kerahasiaan warga negara pada saat KKR dibentuk. Pengungkapan kebenaran oleh KKR pada ketujuh negara tersebut difokuskan agar tercapai rekonsiliasi nasional. Di Indonesia, KKR Aceh dibentuk oleh Pemerintah Aceh sebagai mandat dari Perjanjian Helsinki dan Pasal 230 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh melalui Qanun Nomor 17 Tahun 2013 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh. Namun karena dibentuk dengan qanun yang setingkat dengan Peraturan Daerah, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh mengalami berbagai hambatan dalam proses penyelidikan peristiwa pelanggaran HAM seperti kesulitan dalam mengakses dokumen pemerintah atau memanggil pejabat pemerintah untuk dimintai keterangannya. Berbeda dengan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Korea Selatan dan Kanada, yakni meskipun Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi ada yang berkedudukan di daerah namun pembentukannya dilakukan oleh pemerintah pusat. Propinsi Papua saat ini juga sedang menyiapkan naskah pendukung penerbitan Peraturan Presiden tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Papua. Dalam rancangannya, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Papua akan mengungkapkan kebenaran mengenai peristiwa konflik yang melibatkan negara sejak integrasi Irian Jaya. Oleh karena pemerintah daerah telah menginisiasi pembentukan KKR di daerah, maka seharusnya pemerintah pusat dapat mempercepat penyusunan Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sebagai panduan pemerintah daerah dalam menyusun peraturan mengenai KKR di wilayahnya.

The establishment of Truth and Reconciliation Commission (TRC) in regions by the regional government has experienced debate, especially regarding the legalitiy of investigating incidents indicate of gross human rights violations in the past. This thesis will analyst two issues regarding the implementation of TRCs in the non transitional era and establishment and implementation of TRCs in regional. The research used qualitative methods with focus on literature studies, interviews with experts, and comparative studies on seven countries (South Korea, Brazil, Thailand, Morocco, Canada, the United States, and Australia). The results of this study concluded that six of the seven countries formed a TRC to expose gross human rights violations that occurred more than five years before, and only Thailan formed a TRC within two months after the end of conflict. Of the six countries, all of them had issued various reparation, compensation or compensation policies for victims prior to the establishment of the TRC. Brazil, Canada and Australia have long since repealed policies that allegedly violated human rights. All countries other than Morocco already had regulations protecting the privacy and confidentiality of citizens when the TRC was formed. Revealing the truth by the TRC in the seven countries was focused on achieving national reconciliation. In Indonesia, the Aceh TRC was formed by the Government of Aceh as a mandate from the Helsinki Agreement and Article 230 of Law Number 11 of 2006 concerning the Governance of Aceh through Qanun Number 17 of 2013 concerning the Aceh Truth and Reconciliation Commission. However, because it was formed under a qanun that was at the same level as a regional regulation, the Aceh Truth and Reconciliation Commission experienced various obstacles in the process of investigating incidents of human rights violations such as difficulties in accessing government documents or summoning government officials for questioning. It is different from the Truth and Reconciliation Commissions in South Korea and Canada, that is, although there are Truth and Reconciliation Commissions based in the regions, their formation is carried out by the central government. The Province of Papua is also currently preparing a text supporting the issuance of a Presidential Regulation on the Truth and Reconciliation Commission in Papua. In its design, the Papua Truth and Reconciliation Commission will reveal the truth about the conflict events involving the state since the integration of Irian Jaya. Because the regional governments have initiated the formation of TRCs in the regions, the central government should be able to accelerate the drafting of the Truth and Reconciliation Commission Bill as a guide for local governments in drafting regulations regarding TRCs in their regions."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bandung : Kuraiko Pratama, 1999
352.02 UND
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Andi Mustari Pide
Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999
352 AND o
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Andi Dzul Ikhram Nur
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kedudukan Sekretaris DPRD dalam sistem pemerintahan daerah, dan untuk mengetahui tanggung jawab Sekretaris DPRD dalam sistem pemerintahan daerah. Penelitian ini menggunakan penelitian yuridis-normatif guna mendapatkan hasil penelitian yang relevan. Penelitian dilakukan dengan Pendekatan perundang-undangan, Pendekatan kasus, dan Pendekatan historis. Bahan-bahan hukum yang digunakan oleh penulis adalah; Bahan Hukum Primer yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat seperti peraturan perundang-undangan dan Bahan Hukum Sekunder yaitu bahan hukum yang tidak mengikat tetapi menjelaskan mengenai bahan hukum primer, serta bahan hukum tersier. Pengumpulan bahan hukum dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan dan juga pengumpulan data dengan wawancara.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa, seluruh peraturan perundangundangan, baik undang-undang maupun peraturan pemerintah, baik yang pernah maupun sedang berlaku, menempatkan kedudukan Sekretaris DPRD sebagai bagian dari ranah lembaga eksekutif. Hal ini dikarenakan Sekretariat DPRD yang dipimpin oleh Sekretaris DPRD merupakan unsur dari perangkat daerah yang kedudukan, susunan organisasi, perincian tugas dan fungsi, serta tata kerjanya ditetapkan dengan Peraturan Kepala Daerah yang merupakan wewenang dari seorang Kepala Daerah. Kemudian, jabatan Sekretaris DPRD telah diatur dalam peraturan perundang-undangan sejak tahun 1948 melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Penetapan Aturan-Aturan Pokok Mengenai Pemerintahan Sendiri Di Daerah-Daerah Yang Berhak Mengatur Dan Mengurus Rumah Tangganya Sendiri, akan tetapi perihal tanggung jawab Sekretaris DPRD secara eksplisit baru mulai diatur pada tahun 1999 melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.
Pada mulanya Sekretaris DPRD diatur bertanggung jawab kepada Pimpinan DPRD, namun dalam perkembangannya terjadi perubahan yang dimulai pada tahun 2004 dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Perubahan tersebut adalah yang awalnya bertanggung jawab sepenuhnya kepada Pimpinan DPRD menjadi bertanggung jawab secara teknis operasional kepada Pimpinan DPRD dan bertanggung jawab secara administratif kepada Kepala Daerah melalui Sekretaris Daerah. Perubahan tersebut berlaku hingga saat ini.

This study aims to determine the position of the Secretary of the DPRD in the system of regional government, and to know the responsibilities of the Secretary of the DPRD in the system of regional governance. This study uses juridical-normative research to obtain relevant research results. This research was conducted with a legal approach, case approach, and historical approach. The legal material used by the author is; Primary Legal Material is a legal material that has binding power such as laws and regulations and Secondary Legal Materials, which are non-binding legal materials but explain primary legal materials, as well as tertiary legal materials. Collection of legal material in this study is literature study and also data collection by interview.
The results of the study show that, all laws and regulations, both government laws and regulations, both past and present, place the position of Secretary of the DPRD as part of the realm of the executive body. This is because the DPRD Secretariat, which is chaired by the Secretary of the DPRD, is an element of the regional apparatus whose position, organizational structure, details of their duties and functions, and their work procedures are determined by the Regional Head Regulation which is the authority of a Regional Head. Then, the position of Secretary of the DPRD has been regulated in laws and regulations since 1948 through Law No. 22 of 1948 concerning the Establishment of Basic Rules Regarding Self-Governing in Regions that have the right to Regulate and Manage Their Own Households, but regarding responsibility. The Secretary of the DPRD explicitly only began to be regulated in 1999 through Law Number 22 of 1999 concerning Regional Government.
At first the Secretary of the DPRD was regulated to be responsible to the leadership of the DPRD, but in its development there were changes which began in 2004 with the enactment of Law Number 32 of 2004 concerning Regional Government. These changes are those that are initially fully responsible to the leadership of the DPRD to be technically responsible for the operation of the DPRD leaders and administratively responsible to the regional head through the Regional Secretary. This change is valid until now.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
T49893
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pipin Syarifin
Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2005
352 PIP h
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Budi Santoso
"Penelitian ini menggunakan metode penelitian normatif dan empiris, dilakukan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat ini. Kemudian secara deduktif diinterprestasikan untuk menjawab masalah-masalah yang ada. Pejabat Pembuat Akta Tanah selaku pejabat yang berwenang dalam bidang tertentu yang menyangkut pertanahan, mempunyai kedudukan yang sangat strategis selaku penunjang dalam Pendapatan Asli Daerah, dalam hal ini sesuai penelitian di wilayah kota Jakarta Selatan, melalui Surat setoran asli pajak yang diperlihatkan kepadanya sebagai bukti telah dibayarkannya pajak atas tanah yang merupakan milik orang yang akan mengalihkan tanahnya kepada orang lain sebelum akta pemindahan hak atas tanah itu dibuat.Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah, memberikan keleluasaan kepada daerah untuk mengurus daerahnya atas prakarsa sendiri, tidak terkecuali bidang pertanahan. Bidang pertanahan inilah yang merupakan tugas dan kewenangan PPAT selaku pejabat yang ditunjuk oleh Undang-undang untuk membuat akta-akta berkenaan dengan perbuatan hukum tertentu mengenai tanah. Pelaksanaan Otonomi Daerah di bidang pertanahan memberikan kontribusi pada penerimaan daerah dalam bentuk pajak,dimana PPAT selaku penunjang panerimaan pajak di daerah yang berkaitan dengan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).
Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah, dimana disebutkan bahwa perolehan dari BPHTB, untuk pusat sebesar 20% sedangkan untuk daerah sebesar 80%. Penerimaan daerah yang sangat besar ini dapat meningkatkan Pendapatan. Asli Daerah yang nantinya dapat digunakan untuk pengembangan daerah secara luas. PPAT selaku Salah satu ujung tombak penerimaan negara dari sektor pajak telah banyak memberikan kontribusi bagi Pemerintah Daerah, maka sudah selayaknya PPAT mendapatkan insentif fiskal dan medali atas hasil kerja kerasnya membantu pemerintah dalam penerimaan pajak, dan Selayaknya pula PPAT sekiranya mendapat insentif non fiskal berupa kavling/tanah bagi PPAT yang telah banyak memberikan kontribusi kepada daerah dan meminta kelonggaran pajak, karena PPAT telah banyak membantu instansi pajak dalam penerimaan pendapatan bagi kantor pajak setempat."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003
T16259
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>