Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 163516 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Lubis, Efridani
Depok: Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
346.048 2 LUB p (1)
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Lubis, Efridani
"Sumber daya genetik (SDG) pada awalnya secara natural berpindah dari satu daerah ke daerah lain dengan berbagai tujuan, terutama untuk ketahanan pangan. Perpindahan demikian semula tidak menjadi satu masalah, bahkan dianggap sebagai suatu kegiatan yang saling menguntungkan. Namun, seiring dengan perkembangan realitas sosial dan perkembangan nilai yang tumbuh dalam bangsa-bangsa dunia, SDG yang semula bebas akses karena warisan bersama umat manusia (common heritage of mankind = CHM) pada perkembangannya menjadi hak berdaulat negara yang memberikan hak mengontrol akses dan pemanfaatan SDG yang berada di wilayahnya. Pergeseran ini dipicu oleh ketidakkonsistenan nilai yang diterapkan pada SDG: manakala mengakses, seluruh dunia menggunakan prinsip CHM, namun jika ada hasil komersial dari akses dimaksud, maka hasil tersebut merupakan hak individu berdasarkan prinsip hak kekayaan intelektual (HKI), yang secara tepat digambarkan oleh Olembo: ?what went out free, would return with a price tag? . Dengan mencermati perkembangan yang terjadi di tingkat internasioal dan nasional, pola perlindungan atas SDG Indonesia sekaligus pemanfaatannya secara berkelanjutan harus dilakukan melalui suatu sistem pengelolaan SDG yang responsif terhadap tuntutan global dan terutama nasional, dengan menggabungkan unsur perlindungan dan pemanfaatan yang memungkinkan beban biaya perlindungan turut juga ditanggung oleh hasil komersialisasi SDG."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
D1073
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Yasmin Nadhira
"Penelitian ini membahas mengenai prinsip kebaruan dalam permohonan Paten dan Desain Industri. Baik UndangUndang Paten maupun Undang-Undang Desain Industri keduanya mempersyaratkan prinsip kebaruan. Pasal 2 Undang-Undang No, 14 Tahun 2001 Tentang Paten memberi syarat permohonan Paten memiliki: (i) adanya unsur kebaruan, (ii) mengandung langkah inventif, (iii) dapat diterapkan dalam Industri. Undang-Undang Desain Industri No. 31 Tahun 2000 pada Pasal 2 juga menyatakan bahwa Hak Desain Industri diberikan untuk Desain Industri yang baru. Dalam beberapa kasus pengadilan seperti putusan No. 03/Pdt-Sus-HKI/Desain/2020/PN. Niaga Sby, terdapat persinggungan antara kebaruan dalam Paten dan Desain Industri. Penelitian ini dilakukan untuk meneliti perbedaan baik secara substansi maupun penerapan prinsip kebaruan dalam Paten dan Desain Industri. Penelitian memiliki bentuk penelitian hukum normatif dengan studi Pustaka dan hukum positif yang berlaku di Indonesia.

This paper discusses the principle of novelty in Patent and Industrial Designs applications. Both the Patent Law and the Industrial Design Law require the principle of novelty. Article 2 of Law No. 14 of 2001 concerning Patents stipulates that patent applications should have: (i) an element of novelty, (ii) contain inventive steps, (iii) can be applied in industry. Industrial Design Law No. 31 of 2000 in Article 2 also states that Industrial Design Rights are granted for new Industrial Designs. In several court cases, such as decision No. 03/Pdt-Sus-HKI/Desain/2020/PN. Niaga Sby, there is an overlap between novelty in patents and industrial designs. This research was conducted to examine differences in substance and the application of the principle of novelty in Patents and Industrial Designs. The research has a form of normative legal research with literature studies and positive laws that apply in Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Laode Rudita
"Disertasi ini membahas perlindungan Indikasi Geografis dalam Undang-Undang Nomor 15 tahun 2001 dan Peraturan Pemerintah Nomor 51 tahun 2007 dari perspektif kepentingan konsumen. Sebagai bagian dari rezim Hak Kekayaan Intelektual yang paling erat kaitannya dengan perlindungan konsumen, perlindungan Indikasi Geografis sarat dengan kontroversi. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa untuk menghasilkan peraturan perundang-undangan yang baik, kedaulatan negara dan kedaulatan hukum saja tidak cukup, melainkan negara dalam menjalankan kedaulatannya juga harus memperhatikan kebutuhan dan kemanfaatan undang-undang tersebut bagi rakyatnya. Undang-Undang Nomor 15 tahun 2001 dan Peraturan Pemerintah Nomor 51 tahun 2007 tidak mencerminkan hal itu. Hal ini didasari oleh: pertama, sistem perlindungan yang tidak berdasarkan perlindungan reputasi (reputation based protection) mengakibatkan relevansi perlindungan bukan untuk melindungi konsumen. Kedua, kewenangan untuk mendaftar justru menempatkan konsumen dalam posisi yang keliru. Ketiga, sistem perlindungan yang bersifat tertutup tidak dapat memenuhi kebutuhan konsumen yang selalu berkembang. Keempat, terdaftarnya Indikasi Geografis tidak serta-merta membuktikan bahwa perlindungan efektif diterapkan, karena setelah pendaftaran barang berIndikasi Geografis tersebut harus mampu menjamin mutu dan kualitasnya tidak hanya di atas kertas.
This dissertation discusses the protection of Geographical Indications in Act No. 15 of 2001 and Government Regulation No. 51 of 2007 from the perspective of consumer interests. As part of the Intellectual Property Rights regime most closely related to consumer protection, protection of Geographical Indications loaded with controversy. This study uses normative legal research methods. The results of this study proves that to produce a good legislation, state sovereignty and the rule of law is not enough, but the state in carrying out its sovereignty must also consider the need and benefit of these laws for their people. The Act No. 15 of 2001 and Government Regulation No. 51 of 2007 does not reflect that. This is based on: first, the protection system which did not adopt reputation-based protection resulting relevance of protection rather than to protect consumers. Second, the authority to register it puts the consumer in the wrong position. Third, the static protection system can not meet the consumers needs who are always evolving. Fourth, the registered Geographical Indication does not automaticaly prove that effective protection is applied, because after registration Geographical Indications of goods should be able to guarantee the quality not only on paper."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
D1298
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Djulaeka,1963-
Malang: Citra Intrans Selaras, 2014
346.048 DJU k
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Hasibuan, Mona Triane Anreyeni
"Hak atas merek menganut sistem konstitutif, sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 15 tahun 2001 tentang merek, dengan sistem konsitusif ini barang siapa yang mereknya terdaftar dalam Dalam Daftar Umum Kantor Merek maka dialah yang berhak atas merek tersebut dan dianggap sebagai pemakai pertama dari merek yang didaftarkan tersebut. Suatu pendaftaran merek harus ditolak oleh Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual apabila bertentangan dengan Pasal 4(itikad tidak baik), Pasal 5 dan Pasal 6 (persamaan pada pokoknya dan atau keseluruhannya) Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek. Namun pada prakteknya ternyata Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual tidak melaksanankan tugasnya sebagaimana mestinya hal ini dapat terlihat dari kasus-kasus pelanggaran merek yang terjadi di Indonesia, beberapa diantaranya adalah perkara merek "SO KLIN" antara PT. Wings Surya melawan Yanti Tjandra, Putusan Pengadilan No. 13/Merek/2003/PN.Niaga.Jkt.Pst. Perkara berikutnya, putusan Pengadilan No. 48/Merek/2003/PN.Niaga. Jkt.Pst., diajukan oleh PT. Wings Surya dengan mereknya "WINGS" melawan Hony Suningrat dengan merek "WING". Kemudian perkara merek No. 57/Merek/2003/ PN.Niaga.Jkt.Pst. yaitu perkara merek "MUSTIKA RATU" antara PT. Mustika Ratu, TBK. melawan Arif Prayudi. Kepastian hukum yang diberikan oleh Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek bagi PT. Wings Surya atas mereknya "SO KLIN" dan "WINGS", dan PT. Mustika Ratu Tbk. dengan mereknya "MUSTIKA RATU", yaitu dengan membatalkan dan mencoret merek "SO KLIN" milik Yanti Tjandra, merek "WING" milik Hony Suningrat dan merek "MUSTIKA RATU" Ratu milik Arif Prayudi dari Daftar Umum Direktorat Merek. Pembatalan ini dilakukan melalui proses persidangan di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T16619
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sekar Rana Izdihar
"Perkembangan dan penggunaan teknologi dalam berbagai produk dan jasa semakin meningkat, di antaranya adalah Artificial Intelligence (AI). AI merupakan cabang ilmu komputer yang dikembangkan menjadi suatu teknologi hingga dapat melakukan penalaran dan pembelajaran mandiri. Namun, hingga saat ini belum terdapat peraturan perundang-undangan yang secara spesifik mengatur teknologi ini sehingga menimbulkan suatu ketidakpastian hukum. Terdapat berbagai penemuan hukum dan interpretasi yang dilakukan dalam upaya perlindungan AI oleh Hak Kekayaan Intelektual (HKI). Tulisan ini berupaya untuk menjelaskan apakah AI dapat diklasifikasikan sebagai objek HKI, khususnya pada hak cipta dan paten. Selain itu, tulisan ini juga akan menganalisis tanggung jawab pemegang HKI atas kerugian yang ditimbulkan oleh AI miliknya. Hasil penelitian menunjukkan adanya variasi perlindungan AI sebagai objek HKI dengan menggolongkannya sebagai program komputer. Sedangkan, perihal tanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan oleh AI masih menimbulkan perdebatan. Sebagian besar berpendapat bahwa pertanggungjawaban hukum tetap dibebankan kepada pemegang hak AI karena AI belum dapat dijadikan sebagai subjek hukum yang dapat bertanggung jawab.

The development and use of technology in various products and services is increasing, including Artificial Intelligence (AI). AI is a branch of computer science that has been developed into a technology which has the ability to learn and solve problems through logical deduction. However, until now, there is no regulation in Indonesia that specifically regulates this technology which creates legal uncertainty. There are various legal discoveries and interpretations made in an effort to protect AI by Intellectual Property Rights (IPR). This paper attempts to explain whether AI can be classified as an object of IPR, particularly copyrights and patents. In addition, this paper will also analyze the legal liability of right holders for losses caused by their AI. The results show that there are variations in the protection of AI as an object of IPR by classifying it as a computer program. Meanwhile, the issue of liability for the losses caused by AI is still a matter of debate. Most argue that the liability remains with AI rights holders because AI has not yet been defined as a legally liable subject."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Juldin Bahriansyah
"Penelitian ini mengungkapkan bagaimana pengetahuan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) tentang Hak Kekayaan Intelektual (HKI). Pengetahuan diukur melalui dua set pertanyaan dengan pengelompokan berdasarkan bobot pengetahuan menjadi pengetahuan dasar dan pengetahuan lanjutan.
Penelitian ini juga mengeksplorasi bagaimana peran perlindungan merek terhadap pola bisnis UMKM, Sebagai perbandingan digunakan model yang diungkapkan oleh Dodds. Sebagai suatu penelitian campuran, penelitian ini juga mengeloborasi bagaimana para informan melakukan bisnis sejak awal hingga sekarang. Selain itu, kondisi seputar bisnis yang turut berpengaruh juga diungkapkan.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah (a) pengetahuan para UMKM tentang HKI masih rendah; dan (b) pengaruh merek terhadap omzet penjualan terjadi secara tidak langsung, dimana melalui tahapan-tahapan antara.
Oleh karena itu, disarankan agar (a) Direktorat Jenderal HKI memfokuskan sosialisasi HKI kepada UMKM tentang merek saja pada periode awal dan berkembang pada periode berikutnya; (b) Direktorat Jenderal HKI memberikan insentif berupa struktur biaya khusus UMKM serta percepatan pemeriksaan merek bagi pemohon UMKM; dan (c) bagi UMKM sendiri, perlu pembuatan nama produk yang berbeda dan mudah diingat, menggunakan slogan/jingZe, berupa simbol, sponsor; dan adanya pengulangan.

This research describes the understanding of Micro, Small, and Medium Enterprises (MSMEs) about Intellectual Property Right (TPR). The understanding nature is explored using questions, representing their basic and advanced knowledge of IPR.
This research also explores the role of trademark protection to MSMEs business cycie. Meanwhile, Dodd’s model is used for the analysis. Since it is a mix research, it also elaborates how informen run business from start up phase until present. Besides, relevant facts around business activities also are described.
Conclusions of this research are (a) level of IPR knowledge amongst MSMEs is low; and (b) registered trademark influences productivities indirectly through some intermediary stages.
Therefore, it is advised that (a) Directorate General of IPR’s program of dissemination must focus on trademark solely starting phase then advance it at further phase; (b) Directorate General of IPR regulates incentives in fonn of special tariff of MSMEs and accelerated examination for MSMEs; and (c) for MSMEs them selves, consider these tips in branding: distinctive and easy to remember, use jingle, slogan, or Symbol, and contain repetition.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2009
T26835
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Rizky Rakhmadita
"Indonesia dan Cina adalah anggota dari perjanjian TRIPS dan merupakan anggota dari WTO. Sebagai anggota dari WTO, Indonesia, dan China wajib mematuhi TRIPS dan karena itu ada beberapa ketentuan dalam TRIPS yang perlu diatur atau diubah dalam setiap peraturan perundang-undangan dari hak kekayaan intelektual masing-masing negara. Salah satunya adalah border measure sebagai sarana perlindungan oleh pabean terhadap barang-barang kekayaan intelektual yang diimpor atau diekspor, yang dipandang sebagai langkah efektif untuk menghentikan pelanggaran hak kekayaan intelektual karena dapat menghentikan barang yang melanggar tersebut sebelum memasuki dan beredar bebas dan luas ke pasar bebas. Salah satu mekanisme yang disebutkan dalam TRIPS adalah penegahan ex-officio. Dalam mendukung hal ini, ada mekanisme yang disebut sebagai perekaman yang memungkinkan pemilik atau pemegang hak kekayaan intelektual hak untuk merekam hak mereka di bea cukai. Sekarang, Indonesia dan Cina memiliki telah memiliki peraturan yang sama tentang perekaman dengan adanya Peraturan Menteri Keuangan yang baru diberlakukan Nomor 40/PMK.04/2018 tentang tentang Perekaman, Penegahan, Jaminan, Penangguhan Sementara, Monitoring dan Evaluasi Dalam Rangka Pengendalian Impor atau Ekspor Barang Yang Diduga Merupakan atau Berasal Dari Hasil Pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual. Dalam membandingkan kerangka peraturan kedua negara ini, ada beberapa perbedaan dan persamaan yang ditemukan. Satu hal yang patut disebutkan, adalah bagaimana Indonesia tidak mengizinkan perusahaan asing yang didirikan untuk merekam hak mereka dalam sistem perekaman di bea cukai, tidak seperti China. Ditemukan dengan pendekatan teoritis bahwa sebenarnya ada beberapa poin yang mendukung mengapa Indonesia harus memasukkan perusahaan-perusahaan asing untuk diizinkan merekam hak mereka di bea cukai seperti, pertumbuhan ekonomi individu dan negara, merangsang produktivitas pasar, dan sebagai sarana untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Both Indonesia and China are part of the TRIPS Agreement and are members of the WTO. As the members of WTO, Indonesia and China are obliged to comply to the TRIPS and therefore there are several provision in TRIPS that needs to be regulated or amended in each of the country 39s intellectual property regime. One of such is the border measures as the means of customs protection towards intellectual property goods that are being imported or exported, which is seen as an effective measure to stop the infringement of intellectual property right because it might stop the infringed goods before it enters into and circulated freely and broadly to the free market. One of the mechanisms mentioned in TRIPS is the ex officio detention. In supporting this authority, there is a mechanism called customs recordation that allows the owner or right holder of the intellectual property right to record their right in the customs. Now, Indonesia and China both have the same regulatory frameworks of customs recordation, by the newly enacted Minister of Finance Regulation Number 40 PMK.04 2018 concerning Recordation, Detention Penegahan, Guarantee, Suspension Penangguhan, Monitoring and Evaluation in Regards to The Control Over Imported or Exported Goods Suspected or Resulted from Intellectual Property Rights Infringement. In comparing the two countries regulatory frameworks, there are several differences and similarities that are found. One worth to be mentioned is how Indonesia does not allow foreign established companies to record their IPR in customs recordation system, unlike China. It is found by a theoretical approach that there are actually several points that support on why does Indonesia shall include foreign established companies in recordation system such as, it generates economic growth of individual and country, stimulate market productivity, and as a means to the development of science and technology.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>