Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 212531 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fahmi Islami
"Tugas karya akhir ini membahas mengenai kebijakan luar negeri yang diambil oleh Presiden Ma Ying-jeou pada masa kepresidenannya yang pertama dari tahun 2008-2012 dalam hubungan antar selat Taiwan dan Cina. Secara spesifik, kebijakan luar negeri yang dibahas merupakan kebijakan luar negeri di bidang keamanan, ekonomi, dan identitas. Di bawah Presiden Ma Ying-jeou, Taiwan berusaha memperbaiki hubungan antar-selat yang memburuk ketika Taiwan dipimpin oleh Presiden Chen Shui-bian. Beberapa kebijakannya, seperti pengakuan kembali Konsensus 1992, dimulainya kembali dialog antara SEF dan ARATS, serta pembentukan ECFA merupakan contoh bagaimana Taiwan mencoba memperbaiki hubungan antar-selat.
Menggunakan kerangka konsep Realisme Defensif di bidang keamanan, Neoliberal Institusionalisme di bidang ekonomi, dan konsep Identitas di bidang identitas, tugas karya akhir ini mencoba mencari mengapa Presiden Ma Ying-jeou mengambil kebijakan luar negeri yang bertujuan memperbaiki hubungan antar-selat tersebut.
Hasil yang didapatkan menunjukkan bagaimana kebijakan luar negeri Taiwan di bidang keamanan dan ekonomi sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor di level sistem, terutama dari reaksi Cina terhadap inisiatif yang diberikan oleh Taiwan. Pada bidang identitas, faktor eksternal memiliki pengaruh yang cukup besar, dan dilengkapi oleh faktor-faktor dalam negeri, ikut membentuk kebijakan di bidang identitas.

This final assignment discusses the foreign policy of Taiwan under President Ma Ying-jeou under his first term (2008-2012) in Cross-strait Relation between Taiwan and China. Specifically, the policies discussed are those in the aspect of security, economic, and identity. Under President Ma, Taiwan tries to repair the cross-strait relation that was worsening under the previous Taiwan President, President Chen Shui-bian. Some of President Ma's policies, such as the official recognition of 1992 Consensus, the resumption of SEF-ARATS dialogue, and the creation of ECFA, are examples of the effort Taiwan made to repair the relation between Taiwan and China.
Using three theoretical frameworks, which are Defensive Realism in security, Neoliberal Institutionalism in economy, and Identity Concept in identity, this final assignment tries to find why President Ma created foreign policy that tries to repair the cross-strait relation.
The discussion concludes that foreign policy of Taiwan in Security and Economic aspect is shaped by factors in systemic level, especially from the reaction of China to initiatives given by Taiwan. In identity aspect, external factors play a big role, and complemented by domestic factors, in shaping the policy in identity aspect.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2013
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Anugrah Noinoto Gori
"Republik Rakyat Tiongkok (中华人民共和国) menganggap Taiwan sebagai bagian dari negaranya dan berupaya untuk mewujudkan unifikasi. Sementara itu, isu unifikasi dengan Tiongkok Daratan masih diperdebatkan di Taiwan. Hubungan keduanya ditandai dengan ketegangan politik, ekonomi, dan militer selama beberapa dekade hingga tahun 1980-an mengikuti reformasi ekonomi Tiongkok yang memungkinkan terjalinnya hubungan dagang. Hubungan ini tidak selalu stabil, dipengaruhi oleh ketegangan politik di antara keduanya. Oleh karena itu, dinamika dagang menjadi tidak terelakkan. Pada tahun 2016, Democratic Progressive Party yang memiliki ideologi pro-kemerdekaan atau anti-unifikasi memenangkan kepemimpinan legislatif dan eksekutif di Taiwan. Tiongkok bereaksi dengan membatasi peredaran barang berlabel “Made in Taiwan” pada tahun 2018. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan ilmu sejarah. Hasil penelitian menunjukkan faktor-faktor penyebab pembatasan peredaran barang berlabel “Made in Taiwan” pada tahun 2018 dan pengaruhnya terhadap hubungan dagang Tiongkok-Taiwan.

The People's Republic of China (中华人民共和国) regards Taiwan as part of its territory and strives to achieve reunification. Meanwhile, the issue of reunification with Mainland China remains a subject of ongoing debate in Taiwan. This relationship between the two entities has been marked by political, economic, and military tensions for several decades, until the 1980s following China's economic reforms that made trade ties possible. This relationship is not always stable, owing to political tensions between the two. Therefore, trade dynamics are inevitable. In 2016, the Democratic Progressive Party, which has a pro-independence or anti-unification ideology, won the legislative and executive leadership in Taiwan. China reacted by limiting the circulation of goods labeled "Made in Taiwan" in 2018. In this study, the author used a qualitative research method with a historical approach. The results of the study show the causative factors of restrictions on the circulation of goods labeled "Made in Taiwan" in 2018 and the impact on China-Taiwan trade relations."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Avina Nadhila Widarsa
"Setelah terlibat konflik politik selama lebih dari enam dekade, Cina mengambil sebuah kebijakan yang fenomenal dalam hubungannya dengan Taiwan. Pada tanggal 29 Juni 2010 disepakati suatu kerangka kerjasama ekonomi yang ditandatangani oleh Association for Relations Across Taiwan Straits (ARATS) yang mewakili pemerintah Cina dan Strait Exchange Foundation (SEF) yang mewakili pemerintah Taiwan. Penandatanganan Cross Strait Economic Cooperation Framework Agreement (ECFA) ini menandai babak baru dalam hubungan lintas selat. Walaupun perjanjian tersebut bertujuan untuk meningkatkan kerjasama ekonomi yang resiprokal dan setara, dalam isi perjanjian ECFA justru lebih menguntungkan Taiwan daripada Cina. Dalam ECFA disepakati kedua pihak sepakat untuk menurunkan tarif pada produk - produk ekspornya hingga 0%. Cina bersedia menurunkan tarif bagi 539 produk impor dari Taiwan, sementara Taiwan hanya bersedia menurunkan tarif bagi 267 produk impor dari Cina. Jelas terdapat ketidakseimbangan dalam kesepakatan ekonomi tersebut. Menjadi pertanyaan yang menarik, mengapa Cina tetap mau menandatangani perjanjian yang sudah jelas merugikan baginya secara ekonomi Melalui kerangka pemikiran economic statecraft, penelitian ini mengidentifikasi bahwa Cina memiliki memiliki kepentingan di balik penandatanganan ECFA. Adapun kepentingan politik Cina dalam penandatanganan ECFA adalah sebagai tahap awal untuk mencapai reunifikasi secara damai dengan Taiwan dan sebagaim pembuktian upaya peaceful development yang dilakukan Cina di kawasan Asia Timur. Selain itu, Cina juga memiliki kepentingan ekonomi untuk menjaga aliran dana investasi langsung dari Taiwan yang menjadi salah satu penyumbang pertumbuhan ekonomi Cina.

After six decades full of hostility and political tension, China took an extraordinary action regarding her relation towards Taiwan. On June 29, 2010, an economic cooperation framework agreement was signed between Association for Relations Across Taiwan Straits (ARATS) as a representative of government of China and Strait Exchange Foundation (SEF) as a representative of government of Taiwan. The signing of Cross Strait Economic Cooperation Framework Agreement (ECFA) was marking the new era of cross strait relations. While looking to improve economic cooperation reciprocally and equally, this agreement is more favor Taiwan instead of China. China agreed to reduce tariffs until 0% for 539 Taiwan export goods, while Taiwan only agreed to reduce tariffs for 267 China export goods. It is likely that China will face economic disadvantages because of this agreement. Then, the question is why China wants to sign this agreement although it doesn't give maximum advantages to her economy. Through the analysis from economic statecraft and economic cooperation as conceptual framework, this research pointed out that China has political and economic interest within this agreement. This research identified China's interest on ECFA as initial step to achieve peaceful reunification with Taiwan and as a way for China to prove the peaceful development strategy in East Asia region. Moreover, China also has economic interest towards ECFA which is to make sure Taiwan's FDI still come to China."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Panjaitan, Melly
"Skripsi ini membahas pembangunan ekonomi Republik Cina di Taiwan periode 1972 - 1985. Pembahasan terutama dikaitkan dengan usaha-usaha Taiwan untuk mempertahankan keberlanjutan pertumbuhan ekonomi tinggi periode sebelumnya. Pada awal tahun 1970-an, struktur politik dan ekonomi internasional mengalami berbagai perubahan yang mempengaruhi kegiatan pembangunan ekonomi Taiwan. Tulisan ini melihat perubahan-perubahan yang mempengaruhi internal Taiwan dan dampaknya terhadap keberlanjutan pembangunan ekonomi pada masa kepemimpinan Chiang Ching-Kuo.
Pembangunan ekonomi dalam tulisan ini dibahas dalam pengaruh tiga konsep teoritis yang saling berkaitan, yaitu kebijaksanaan product cycle Jepang, pengaruh sistem hegemoni terhadap Taiwan dan peran negara yang terbentuk dalam Bureaucratic-Autharitrian Industrial izing Countris. Ketiga konsep teoritis tersebut merupakan hasil sajian Bruce Cummings untuk membahas pembangunan ekonomi di negara-negara Asia Timur. Keberlanjutan pembangunan Taiwan cenderung sangat dipengaruhi oleh perubahan-perubahan yang terjadi dalam sistem politik dan ekonomi internasional.
Perbahan-perubahan dalam tulisan ini dikaitkan pada penurunan sistem hegemoni Amerika Serikat. Untuk itu, penulis telah mengunakan kerangka pemikiran Robert Gilpin. Dalam pembahasan keseluruhan masalah ini, tampak bahwa Taiwan pada periode 1972 1985 menetapkan serangkaian kebijaksanaan yang memungkinkannya tetap dapat mempertahankan laju pembangunan ekonominya. Kebijaksanaan tersebut berlaku baik ke dalam dan ke luar. Ke luar, kebijaksanan Taiwan termasuk menjalin hubungan ekonomi dengan negara-negara di dunia tanpa harus melakukan hubungan diplomatik formal. Ke dalam, kebijaksanaan Taiwan meliputi pelaksanaan kebijaksanaankebijaksanaan yang dipandang tepat bagi keberlanjutan industrialisasi Taiwan serta memperluas dukungan-dukungan politik domestik dan kesatuan masyarakat Taiwan untuk menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1990
S7860
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Catur Hadianto
"Krisis di selat Taiwan merupakan peristiwa yang dapat membawa hubungan antara dua negara besar di kawasan Asia Pasifik mengarah ke dalam konflik. Kedua negara tersebut yakni Amerika Serikat -- yang merupakan satu-satunya kekuatan global dan negara adi daya yang masih tersisa pasca perang dingin -- dan RRC -- yang merupakan kekuatan regional yang mulai tumbuh menjadi negara yang mempunyai potensi menjadi negara adi daya. Karena itu, isu Taiwan merupakan salah satu isu yang dapat mempengaruhi hubungan kedua negara besar tersebut, selain masalah-masalah lainnya seperti, hak-hak asasi manusia, proliferasi senjata nuklir dan senjata pemusnah massal lainnya, perdagangan dan sebagainya.
Taiwan secara de facto merupakan negara berdaulat tetapi secara de jure bukanlah negara yang merdeka, karena Taiwan tidak mendapat pengakuan intemasional sebagai negara yang merdeka dan berdaulat, terutama dari PBB. Ditambah lagi, Amerika Serikat telah memutuskan hubungan diplomatik dengan Taiwan dan pindah ke RRC, walaupun tetap mempertahankan hubungan informalnya dengan Taiwan melalui Taiwan Relations Act.
Sebagai negara adi daya, Amerika Serikat mempunyai peranan dalam menentukan masa depan Taiwan. Tetapi politik domestik Amerika Serikat yang mempunyai banyak kelompok kepentingan yang selalu berusaha mempengarnhi proses pengambilan kebijakan luar negeri Amerika Serikat sehingga turut menentukan apa yang akan terjadi di lintas selat Taiwan.
Di lain pihak, RRC juga ikut menentukan masa depan Taiwan dengan menyatakan bahwa Taiwan merupakan "bagian" dari wilayah RRC dan untuk mempertahankannya bila perlu dengan menggunakan kekuatan militer,
Krisis di selat Taiwan pada tahun 1995/1996 dan tahun 1999/2000 mendapat reaksi yang berbeda dari pemerintah Amerika Serikat. Dalam krisis pertama, pemerintah Amerika Serikat menempatkan dua kapal induknya ke lokasi krisis sehingga dapat memicu perang terbuka, sedangkan pada krisis yang kedua pemerintah Amerika Serikat hanya menyampaikan keprihatinannya saja kepada RRC. Dalam dua krisis tersebut, pemerintah Amerika Serikat mengarnbil tindakan yang bertolak belakang, di mana pada krisis pertama tindakannya menyampaikan pesan lebih tegas kepadaRRC sedangkan yang kedua lebih lunak.
Pengaruh dari dalam negeri Amerika Serikat seperti Kongres, Media Massa, Civil Society, Lobby Taiwan dan kepentingan kelompok lainnya yang tentunya mempengaruhi perbedaan tersebut. Selain itu, kondisi domestik RRC sendiri turut pula mempengaruhi kebijakan yang diambil pemerintah Amerika Serikat terhadap RRC dalam menghadapi dua krisis yang terjadi di selat Taiwan tersebut
Penulis menerapkan kerangka pemikiran dari Kegley dan Wittkopf mengenai proses pengambilan kebijakan luar negeri Amerika Serikat. Menurut Kegley dan Wittkopf, proses pengambilan kebijakan luar negeri Amerika Serikat dipengaruhi faktor-faktor internal (domestik) dan faktor-faktor ekstemal. Kedua sumber tersebut merupakan input yang masuk ke dalam Decision Making Process politik luar negeri Amerika Serikat. Kemudian, dari input tersebut akan keluar output berupa kebijakan Amerika Serikat terhadap RRC.
Dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor internal (domestik) seperti KCongres, Media Massa, Civil Society, Lobby Taiwan, kepentingan kelompok lainnya dan sebagainya, ditambah faktor-faktor eksternal yakni perubahan yang terjadi di RRC telah merubah sikap pemerintah Amerika Serikat pada krisis yang terjadi di selat Taiwan 1999-2000. Karena pada krisis tahun 1995/1996, pemerintah Amerika Serikat berani berisiko terjadi konflik dengan RRC."
2000
T2330
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Goldstein, Steven M.
"Relations between Taiwan and the People's Republic of China have oscillated between outright hostility and wary detente ever since the Archipelago seceded from the Communist mainland over six decades ago. While the mainland has long coveted the island, Taiwan has resisted - aided by the United States which continues to play a decisive role in cross-strait relations today. In this comprehensive analysis, noted China specialist Steven Goldstein shows that although relations between Taiwan and its larger neighbor have softened, underlying tensions remain unresolved. These embers of conflict could burst into flames at any point, engulfing the whole region and potentially dragging the United States into a dangerous confrontation with the PRC Guiding readers expertly through the historical background to the complexities of this fragile peace, Goldstein discusses the shifting economic, political and security terrain, and examines the pivotal role played by the United States in providing weapons and diplomatic support to Taiwan whilst managing a complex relationship with an increasingly powerful China. Drawing on a wealth of newly declassified material, this compelling and insightful book is an invaluable guide to one of the world's riskiest, long-running conflicts.
"
Cambridge, UK Malden, MA : Polity Press, 2015
327.5 GOL c
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
S8115
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maldy Febriano
"Tugas Karya Akhir ini membahas tentang dibuatnya kebijakan transformasi industri di Taiwan, yaitu kebijakan 5+2 yang dibuat pada tahun 2016 di Taiwan. Pada tulisan ini penulis ingin menganalisa bagaimana pemerintah berperan dalam implementasi model pengembangan dalam bidang ekonomi dan teknologi di Taiwan. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dalam menganalisa implementasi kebijakan 5+2 di Taiwan. Penelitian ini menggunakan konsep developmental state untuk menganalisa studi kasus pada tulisan ini. Hasil temuan menunjukkan bahwa, berdasarkan model pengembangan pemerintahannya, Taiwan merupakan developmental state. Hal tersebut didukung oleh bagaimana implementasi kebijakan 5+2 mencerminkan karakteristik dari developmental state.

This final paper examines the making of Taiwan’s indusrial transformation policy, which is called 5+2 policy that has been made in 2016. In this paper, the writter wants to analise how goverment play a role in the development model implementation in economy and technology sectors in Taiwan. This research used qualitative method in analising the implementation of 5+2 policy in Taiwan. This research used the concept of developmental state for analising the case study in this paper. The findings in this paper showed that, based on the government’s development model, Taiwan is a developmental state, the findings is also supported by how is the 5+2 policy implementation reflects the characteristic of the developmental states."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Ardhanariswari Sundrijo
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1997
S7905
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aspin Nur Arifin Rivai
"ABSTRAK
Tesis ini menaklik hubungan negara dan bisnis dalam kebijakan ekonomi luar negeri China bernama BRI. Berangkat dari konsep ldquo;bina ekonomi negara rdquo; dan metode penelitian kualitatif ndash; studi kasus, penelitian ini mengafirmasi bahwa agenda konektivitas melalui BRI mengandung motif ekonomi dan politik China di Asia Tenggara. Tujuan strateginya, yaitu pendalaman hubungan kerja sama dan kontiunitas internasionalisasi. Penelitian ini menunjukkan aktor bisnis memiliki keterlibatan penting dalam penyelenggaraan bina ekonomi negara. Industri konstruksi infrastruktur dan transportasi merupakan bagian dari pengendalian tersebut. Proses penetrasi berlangsung dalam empat faktor determinan. Pertama, kebijakan BRI dijadikan sebagai program pembangunan nasional yang sesuai visi China rsquo;s Rejuvenation, sehingga hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah subnasional terunifikasi. Kedua, tujuan antara pemerintah dengan aktor bisnis bersifat kompatibel. Terakhir, hubungan anatar pemerintah dengan kedua sektor industri beserta keterlibatan aktor bisnisnya menjadi direktif dan hierarkis, karena pemerintah melakukan penguasaan sistem kepemilikan, sistem manajemen perusahaan, dan struktur kepemimpinan perusahaan. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa negara berhasil mengendalikan aktor bisnis.Kata kunci: BRI, Negara-Bisnis, Bina Ekonomi Negara, Konektivitas, dan Industri Konstruksi dan Transportasi.
ABSTRACT
This thesis examines state business relations in Belt and Road Initiative as China rsquo s foreign economic policy. Set forth from ldquo economic statecraft rdquo theory and qualitative method, this research shows that connectivity agenda through BRI have economic and geostrategic motives and interrelated in Southeast Asia. The significance of the strategy are internationalization continuity and deepening of cooperation. This research found that commercial actor as important part to implemented economic statecraft. The penetration process occupy in four determinant factors. First, BRI is positioned as national development and convergent in ldquo China rsquo s Rejuvenation rdquo , so that the relationship between the central government and subnational government is unified. Second, the intrinsic goal is compatible between government and commercial actors. Third, market structure in infrastructure construction and transportation industry sector is created by government become more concentrated and monopoly. Finally, the reporting relationship between state and commercial actors become more directive, hierarchy, and centralized, because government exercises ownership control, corporate managements, and the composition of personnels and company leader is appointed directly by government. The results of this research indicate that state has controlled actor commercial for reach economic and geostrategic aims in Southeast Asia. "
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2018
T50820
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>