Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 144706 dokumen yang sesuai dengan query
cover
L.G. Saraswati Putri
"Tujuan utama dari penulisan disertasi ini adalah menunjukkan problem disekuilibrium di antara manusia dan alam. Kondisi ini terjadi dikarenakan kurangnya kepekaan manusia untuk melestarikan alam. Manusia menganggap secara dangkal keberadaan dan kekayaan alam. Sikap ini menyebabkan kerusakan berkepanjangan, hingga pada titik dimana tidak adanya lagi alam liar. Pendekatan etis terhadap problem disekuilibrium dianggap tidak lagi cukup. Harus ada langkah baru dan metode yang lebih akurat untuk mengatasi inti dari permasalahan. Fenomenologi Lingkungan menawarkan ontologi baru terhadap relasi manusia dan alam. Melalui Edmund Husserl, Maurice Merleau-Ponty dan Martin Heidegger, fenomenologi lingkungan bertujuan untuk membangun argument yang rigoris dalam mengupayakan investigasi terhadap problem relasi manusia dan alam. Melalui perspektif Husserlian, alam bukan semata-mata perpanjangan dari kesadaran subjek. Alam memiliki kualitas dan properti yang independen dari asumsi subjek. Lebih lanjutnya, Merleau-Ponty berargumen bahwa alam lebih dari sebatas latar belakang kehidupan manusia, alam adalah bagian mendasar dari bagaimana manusia merekognisi eksistensinya. Kita hidup terinspirasi dari alam, tanpa alam kita kehilangan daya untuk membentuk makna. Menurut Heidegger manusia mendapatkan makna kehidupannya melalui keterlibatannya dengan alam. Alam memberikan kita ilustrasi tentang ruang dan waktu. Maka, keterlibatan dengan alam adalah bagian terpenting dari Dasein, yakni melalui kehidupan berdampingan dengan alam ia dapat memahami otentisitasnya. Perjalanan menuju ekuilibrium adalah tugas yang penuh tantangan, yang membutuhkan sikap dan pandangan filosofis. Fenomenologi Lingkungan memungkinkan kita untuk berpikir secara radikal problem disekuilibrium dan memulihkan relasi ontologis di antara manusia dan alam.

The prime objective of this dissertation is to point the matter of disequilibrium between human and nature. This condition is due to our lack of sensibility to preserve nature. Human beings take for granted the bountiful of nature. This attitude causes further destruction to the point of losing Nature?s wilderness. Ethical approach to the problem of disequilibrium is no longer sufficient. There must be a new and vigorous method to solve the crux of the matter. Eco-Phenomenology proposes new ontology towards human and nature. Through Edmund Husserl, Maurice Merleau-Ponty and Martin Heidegger, eco-phenomenology aims to a more rigorous argument to investigate the relation between human and nature. From Husserlian perspective, nature is not merely an extension of the subject consciousness. Nature has its qualities and properties independent from the subject?s assumption. Furthermore, Merleau-Ponty argues that nature is more than just the backdrop of our lives, it is the essential part of our recognition to our existence. We live inspired through nature, in the absence of it, we would have lost our ability to constitute meaning. According to Heidegger human derived its meaning through their involvement with nature. Nature provides us with the illustration of space and time. Hence, nature is a fundamental part of Dasein, through dwelling alongside nature, Dasein is discovering its authenticity. The journey to equilibrium is an arduous task, one that requires new philosophical ways of perceiving. Eco-phenomenology enables us to think a more radical problem of disequilibrium, and that is to restore the ontological relation between human and nature."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2013
D1413
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Prionggo Aji Saputra
"Permasalahan lingkungan yang paling sering dibicarakan oleh banyak orang saat ini adalah pemanasan global. Pemanasan global merupakan salah satu hiperobjek yang terjadi di dunia saat ini dan menjadi suatu bahasan yang hangat diperbincangkan. Salah satu akar masalah dari hal tersebut adalah kesadaran ekologis yang kurang. Hal ini yang kemudian disoroti dalam pemikiran ekologis Timothy Morton. Penelitian ini berupaya untuk membedah persoalan ekokritisme konvensional yang tidak cukup komprehensif memandang permasalahan ekologis yang luas, dan menginvestigasi lebih mendalam tentang pemikiran ekologis Timothy Morton. Pada akhirnya penelitian ini diarahkan pada pemikiran ekologis sebagai bagian dari refleksi kehidupan sehari-hari dan peningkatan kesadaran ekologis sebagai fondasi dalam memberikan pemaknaan terhadap lingkungan hidup yang lebih berkelanjutan. Pemikiran ekologis memberikan pandangan relasi ontologis yang setara antara manusia dengan lingkungan hidup

The most talked about environmental issue by many people today is global warming. Global warming is one of the hyperobjects that occurs in the world today and is a hotly discussed topic. One of the root causes of this is the lack of ecological awareness. This is then highlighted in the ecological thought put forwarded by Timothy Morton. This research seeks to dissect the problem of conventional ecocriticism that is not comprehensive enough to view broad ecological problems and investigate more deeply about Timothy Morton’s ecological thought. In the end, this research is directed at ecological thinking as part of daily life reflection and increasing ecological awareness as a foundation in giving meaning to a more sustainable environment. Ecological thinking provides a view of an equal ontological relationship between humans and the environment"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2023
MK-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Saras Dewi
Serpong : Marjin Kiri, 2015
304.2 SAR e
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Glenn Allen
"Perilaku eksploitatif atas alam seringkali berkaitan dengan kegiatan ekonomi ekstraktif. Untuk memperoleh lebih banyak produksi dan pertumbuhan berarti bahan baku dari alam harus diubah menjadi komoditas. Dalam tesis ini saya mengemukakan bahwa aktivitas eksploitatif atas alam juga bisa merupakan akibat diskontinuitas dalam kosmologi dengan sepenuhnya mengadopsi nilai-nilai baru, moralitas dan rasionalitas budaya baru yang kemudian menjadi dominan. Agama (dalam hal ini Kristen) berperan besar dalam mengubah ontologi animistik yang tidak melihat status hierarkis antara manusia dan alam menjadi ontologi dualistik yang menampilkan manusia sebagai makhluk istimewa di antara yang lain. Namun demikian, sebagai upaya untuk ikut serta dalam pelestarian alam, ontologi baru yang dominan ini melalui konsep penatagunaan, menempatkan manusia sebagai peran sentral dalam menjaga keseimbangan alam.

Exploitative behavior over nature often relates to the extractive economic activities. To gain more production and growth means raw materials from nature must be converted into a commodity. In this thesis I argued that exploitative activity over nature could also be a result of discontinuity in cosmology by fully adopting new values, morality and rationality of a new culture that later became dominant. Religion (in this case Christianity) plays a big role in changing animistic ontology that sees no hierarchical status between human and nature into dualistic ontology that presents human as special beings among the others. Nevertheless, as an attempt to participate in nature conservation, this new dominant ontology through the concept of stewardship, places human as a central role in keeping the balance of nature."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fajar Mulya Ginanjar
"Kecerdasan buatan hadir sebagai craft dari manusia dengan dasar fungsi-fungsi yang dibentuk dalam ranah epistemologis dan kecerdasan buatan dapat diprediksi dapat menggantikan manusia. Atas pernyataan tersebut lsquo;fenomenologi kebertubuhan rsquo; mencoba membongkar relasi ontologi dari AI yang selama ini tidak terjamah, dan memberikan beberapa bukti-bukti kelemahan AI khususnya di dalam persoalan semantik, qualia, dan komparasi terhadap kompleksitas mind dari manusia. Dan juga pembongkaran terhadap persoalan relasi ontologi pembentukan behavioristik yang dikenal sebagai dasar dan juga tujuan dari kreator AI di dalam menciptakan AI. Fenomenologi dengan entitas sensasi dan pengalaman hadir untuk membuktikan kegagalan prediksi Nick Bostrom yang menyatakan bahwa AI yang mampu menggantikan manusia.

Artificial intelligence exists as the craft of man with the basis of functions formed in the epistemological realm and artificial intelligence can be predicted to replace humans. lsquo The phenomenology of the body rsquo attempts to unravel the ontology relation of the AI that has been untouched, and gives some evidence of AI 39 s weaknesses especially in the semantic, qualia, and comparative issues of the complexity of the human mind. Also the dismantling of the question of the relationship of behavioristic ontology formation known as the basis and also the goal of the AI creator in creating the AI. Phenomenology with entities of sensation and experience is present to prove the failure of Nick Bostrom 39 s prediction that AI is capable of replacing humans. "
2017
S70297
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Devi Christiani Zega
"ABSTRAK

Zaman modern adalah sebuah masa yang mempunyai semangat perubahan, kemajuan, revolusi, dan pertumbuhan, dimana para pemikir ekofeminis sepakat melihat semangat ini adalah produk dari peradaban patriarkal. Industri kapitalis menjadi sebuah konsentrasi besar ekofeminisme yang melihat bahwa eksploitasi tidak hanya diarahkan kepada alam, melainkan juga perempuan. Vandana Shiva menjelaskan bagaimana perempuan, terutama di India, merupakan subjek yang paling dekat dan intim dengan alam, sehingga pada saat konsep pembangunan menundukkan alam muncul juga diskriminasi dan penindasan terhadap perempuan. Dengan menjelaskan prakrti sebagai prinsip feminitas, Shiva berusaha untuk menunjukan bahwa alam dan perempuan merupakan produsen atau penghasil kehidupan, dimana perempuan menyelenggarakan kehidupan melalui peran sosialnya.


ABSTRACT

Modernism is an era that have enthusiasm to achieve something we called as progress, revolution, and development. But according to the ecofeminist, this kind of belief is a product from patriarchal culture which made gender-based ideology. Capitalism was the main concern to the ecofeminist who see it not only abused nature, but also women. Vandana Shiva explained how women, especially India‟s rural women, was an intimate part of nature, the only one that had a close relationship with nature. Thus, the capitalism would be the source of discrimination for both nature and women. With explained prakrti as a femininity principle, Vandana Shiva tried to show that nature and women as the producers of life, where women reproduce life not merely biologically, but also through their social role in providing sustenance.

"
Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2014
S57107
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ratna Syafrida Danny
"Setelah menelusuri jejak relasi manusia dengan alam mengenai perilaku, dapat hendaknya merubah cara berpikir manusia dengan lingkungannya pada zaman sekarang ini. Dalam tesis ini dibutuhkan kajian filsafat mengenai etika untuk mencari jalan keluar dari permasalahan lingkungan hidup yang didasarkan pada pemikiran beberapa tokoh-tokoh Lingkungan Hidup dan beberapa filsuf yang terkenal lainnya. Sehubungan dengan aspek filosofis, perlu diangkat pandangan para filsuf yang akan menjelaskan mengenai hakekat eksistensi manusia dalam menangani relasi manusia dengan alam demi kelanjutan kehidupan generasi selanjutnya. Pada hakekatnya manusia terikat kepada kehidupan di dunia sekitarnya, karena hanya manusialah yang bereksistensi dan manusialah yang mempunyai kelebihan akal budi yang memahami apa arti kehidupan. Oleh karena itu pandangan-pandangan itu dipergunakan dengan sebaik-baiknya demi keselamatan manusia dalam mengelola alam lingkungan untuk mempertahankan hidupnya pada masa-masa yang akan datang."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gianfranco Wahyu Setyo
"Konsep konservasi dalam penelitian sebelumnya tentang antropologi ekologi cenderung fokus pada upaya manusia untuk menjaga kelestarian lingkungan, dengan tujuan untuk alam kelestarian. Konservasi adalah solusi untuk degradasi lingkungan menurut perspektif antroposentris. Namun, program konservasi itu meminggirkan lokal masyarakat bukanlah solusi yang tepat. Konservasi semacam itu hanya bertahan dalam jangka pendek karena mereka dapat memicu konflik terjadi di komunitas lokal. Untuk
mengatasi masalah tersebut, dalam skripsi ini saya akan merekomendasikan penerapan perspektif multispesies untuk meninjau konsep konservasi yang mengisi kesenjangan dalam program konservasi sementara tidak membunuh masyarakat setempat. Multispecies etnografi adalah suatu pendekatan yang melihat alam tidak hanya sebagai alat hidup, tetapi juga sebagai a Pasangan yang harus diakui dan dipahami untuk membangun kehidupan yang harmonis antara manusia dan lingkungan alam. Penelitian ini mengamati masyarakat Kampung Laut, Segara Anakan, Cilcap, yang juga anggota Krida Wana Lestari, kelompok tani bakau lokal. Data dikumpulkan melalui peserta observasi dan wawancara mendalam. Temuan penelitian menunjukkan bahwa anggota PT Krida Wana Lestari berinteraksi dengan lingkungan setiap saat untuk berkolaborasi alam dan pohon bakau. Berbagai jenis mangove yang ditanam di Segara Anakan adalah tumbuh dengan baik karena hubungan emosional antara petani dan petani bakau. Hubungan emosional tidak akan tumbuh tanpa interaksi. Ini sebabnya program konservasi yang melibatkan pemangku kepentingan lokal seperti Krida Wana Lestari terus melanjutkan dalam jangka panjang. Berdasarkan temuan, saya berpendapat bahwa konsep konservasi seharusnya tidak hanya dipahami melalui perspektif antroposentris. Faktanya, ada pemahaman emosional dan timbal balik antara lingkungan dan lokal pemangku kepentingan. Ini membuat program konservasi terus berkembang.

The concept of conservation in previous research on ecological anthropology tends to focus on human efforts to preserve the environment, with a view to nature conservation. Conservation is a solution for environmental degradation according to anthropocentric perspective. However, the conservation program that marginalizes local communities is not the right solution. Such conservation only lasts in the short term because they can trigger conflicts in the local community. For Overcoming this problem, in this thesis I will recommend the application of a multi-species perspective to review conservation concepts that fill gaps in conservation programs while not killing local people. Ethnographic multispecies is an approach that sees nature not only as a tool of life, but also as a partner that must be recognized and understood to build a harmonious life between humans and the natural environment. This research observes the people of Kampung Laut, Segara Anakan, Cilcap, who are also members of Krida Wana Lestari, a local mangrove farming group. Data was collected through participant observation and in-depth interviews. The research findings show that members of PT Krida Wana Lestari interact with the environment at any time to collaborate with nature and mangrove trees. The various types of mangove planted in Segara Anakan are growing well due to the emotional connection between farmers and mangrove farmers. Emotional relationships will not grow without interaction. This is why conservation programs involving local stakeholders such as Krida Wana Lestari continue in the long term. Based on the findings, I think that the concept of conservation should not only be understood through an anthropocentric perspective. In fact, there is an emotional and reciprocal understanding between the environment and local stakeholders. This makes the conservation program continue to grow.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Apriani Yunandar
"ABSTRAK
Puncak perseturuan antara Jepang dan Amerika terjadi akibat kesepakatan yang tidak terjadi. Jepang menyerang Pearl Harbor, pangkalan militer Amerika yang berada di kepulauan Hawai secara mendadak dibawah pimpinan Yamamoto Isoroku. Akibat dari serangan Jepang terhadap Pearl Harbor ini, pecahlah perang pasifik yang menandai juga perang dunia II. Artikel ini menjelaskan secara rinci bagaimana relasi dimensi militer antara Jepang dan Amerika pascaperang dunia II yang dibatasi pada tahun 1951 sampai dengan 1980. Penelitian ini merupakan kajian kepustakaan dengan metode deskriptif analisis. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengeboman Pearl Harbor berdampak besar bagi hubungan kedua negara terutama pada dimensi militer.

ABSTRACT
The culmination of the Japanese and American conflict was the result of an agreement that did not occur. Japan attacked Pearl Harbor, that was on an impromptu basis attack, in United States military base in the Hawaiian islands under the leadership of Yamamoto Isoroku. As a result of the Japanese attack on Pearl Harbor, the Pacific war broke out which also marked the Second World War. This article explains in detail how Japan and United States relations in the military dimension after World War II in 1951 to 1980. This study is a literature study with descriptive analysis method. The results of this study indicate that the bombing of Pearl Harbor had a major impact on the relations between the two countries, especially in the military dimension."
Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2018
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Farrely Firenza
"Spesiesisme merupakan persoalan klasik mengenai timpangnya cara pandang dan pengakuan manusia terhadap kelompok hewan (non-manusia) yang menimbulkan relasi asimetris diantara keduanya. Akibat dari cara pandang yang timpang ini manusia kemudian mengelompokkan spesies tetentu yang kemudian mempengaruhi persepsi mereka mengenai kelompok hewan. Artikel ini membahas persoalan spesiesisme melalui fenomena kontemporer berupa sikap defensif manusia terhadap sebagian kelompok spesies hewan domestik terhadap kelompok hewan ternak. Berangkat dari kasus ini timbul pertanyaan berupa, apakah sikap defensif suatu spesies tertentu merupakan tindakan yang dapat dijustifikasi secara moral. Oleh karenanya, penulis menganalisis permasalahan ini menggunakan pendekatan studi etika lingkungan dengan tema moralitas dibantu dengan eksperimentasi pikiran yang menunjukkan bahwasanya tindakan tersebut merupakan tindakan spesiesis yang dasar justifikasinya bersifat inkonsisten. Penulis juga menemukan fakta bahwasanya sifat defensif manusia terhadap beberapa spesies tertentu merupakan hasil konstruksi dari pengaruh sosio-kultural yang bekerja dalam suatu skema ideologi dengan istilah karnisme. Berdasarkan hal ini penulis menemukan inti permasalahan yang berkaitan dengan moralitas dan konsekuensinya terhadap lingkungan justru terletak kepada keputusan manusia dalam pilihan makanannya (daging atau non-daging), bukan kepada daging jenis spesies apa yang dapat dikonsumsi.

Speciesism is a classic problem of unequal human views and recognition of animal groups (non-humans) that give rise to asymmetrical relations between the two. As a result of this unequal perspective, humans then group certain species which then affect their perception of animal groups. This article discusses the problem of speciesism through the contemporary phenomenon of human defensiveness towards some groups of domestic animal species towards groups of livestock animals. Departing from this case, the question arises in the form of whether the defensiveness of a particular species is an action that can be morally justified. Therefore, the author analyzes this problem using an environmental ethics study approach with the theme of morality combined with thought experiment which shows that the action is a speciesist action whose justification basis is inconsistent. The author also finds that the defensive nature of humans towards certain species is the result from the construction of socio-cultural influences that work in an ideological scheme (carnism). Based on this, the author finds that the core of the problem related to morality and its consequences for the environment lies precisely in human decisions in their food choices (meat or non-meat), not in what kind of meat species can be consumed."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>