Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 168422 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Makhdum Priyatno
"Perubahan besar hasil reformasi belum diimbangi dengan perubahan dalam birokrasi. Birokrasi masih berpola seperti sebelum reformasi.Perkembangan cepat di luar birokrasi mencemaskan birokrasi, karena akan terjadi kooptasi birokrasi oleh politik untuk kepentingan jangka pendeknya, sementara birokrasi hanya dapat menunggu dan tidak dapat berbuat apa-apa, dan sebaliknya.
Topik ini menjadi penting untuk dijadikan fokus penelitian disertasi karena meritokrasi sebagai alternatif pemecahan masalah, setelah rekonseptualisasinya dalam penempatan pejabat di NKRI, dapat befugsi sebagai katalisator bagi interaksi demokrasi dan birokrasi.
Masalah penelitian level makro adalah bagaimana menghasilkan rekonsptualisasi regulasi meritokrasi dalam penempatan pejabat; level meso-1 mengenai tata kelola hubungan kerja antar Paguyuban PAN dan antara Paguyuban PAN dengan Kemendagri dan kementerian teknis lainnya; level meso-2 tentang rekonsptualisasi sistem diklat berbasis kompetenensi; dan level mikro mengenai rekonsptualisasi peran lembaga yang berwenang dalam pelaksanaan pencarian, penemuan dan penempatan pejabat yang kompeten dalam penyelengaraan pemerintahan.
Disertasi ini menggunakan Soft Systems Methodology (SSM)-Based Action Research untuk memperbaiki permasalahan di atas, menyempurnakan dan meningkatkannya sehingga rekonseptualisasi meritokrasi dalam penempatan pejabat untuk birokrasi yang lebih baik dapat dilakukan dengan efektif, efisien, dan sistemik. Tujuh tahap SSM adalah sebuah keniscayaan. SSM dipilih karena memenuhi kriteria yang sesuai dengan permasalahan yang dihadapi dalam dunia nyata birokrasi.
Kesimpulan penelitian menunjukkan bahwa pada level makro, meritokrasi bertumpu pada keberadaan undang-undang mengenai kepegawaian. Pada level meso-1, kordinasi belum diperankan secara stratejik dan pada level meso-2 sistem pendidikan dan pelatihan aparatur berbasis kompetensi belum dapat diwujudkan. Pada level mikro, proses pencarian, penemuan dan penempatan pejabat dalam dilakukan Baperjakat. Namun peran kepala daerah lebih menentukan. Rekomendasi level makro adalah pengesahan segera RUU ASN, meso-1 kordinasi intensif, meso-2 perubahan orientasi diklat berbasis kompetensi, level mikro adalah bahwa pencarian, penemuan, dan penempatan pejabat di daerah tidak dilakukan oleh Baperjakat melainkan oleh lembaga independen dan profesional.

Great change took place in several walk of lives as consequences of reforms in 1998 unfortunately were not followed by the bureaucracy. Changes that created new environment in politics, government, policy making, institutions, service delivery and others, in contrast, within bureaucracy are still absent. It still operates in an oldfashioned version as it used to be. The rapid development of its environment made it needs to reforms itself to anticipate the consequences of the growing democracy in the country.
This background revealed the research question in the field of regulation in macro level, coordination in meso level as well as competency-based training, and in the micro level is the possibility of utilising independent body in placing officers, the activity used to be done by Baperjakat.
This dissertation uses SSM-Based Action Research in order to improve, fix, and perfect the situation considered problematic in the real world. For that purpose, 7 standard steps of SSM used and followed. The research category chosen is following McKay and Marshal, that is research interest as well as problem solving interest.
Conceptualisation of meritocracy in each institutional level shows that potentiality of its application is relatively high, opposite with basic regulation in place, the law on personnel management. Such development accommodated already in the draft new law on State Civil Apparatus.
The conclusion of the research shows that at the macro level, the application of the meritocracy in the placement of the officers relay heavily on the availability of the regulations on personnel. In the meso-1 level, coordination is not yet played in a strategic manner among the Menpan office and its affiliation institution, with ministry oh Home Affairs as well as technical ministries. In the meso-2 level, competency-based training is not in place yet. At the micro level, the process of recruitment, finding, and placement indeed done by Baperjakat. However, the head of the region plays more important decision than the functional body. This dissertation recommends at the macro level that the enaction of the law on State Civil Apparatus is a must and need to be perpetuated, at the meso-1 level intensive coordination is the key to develop meritocracy principles, meso-2 level the changing in the training orientation fo the competency-based is a must, and at the micro level the role Baperjakat should be replaced by the independent and professional body. Another important recommendation is that affirmative meritocracy as a derivation from affirmative actions relay heavily on the availability of affirmative policy in the form of law on State Civil Apparatus."
Depok: Universitas Indonesia, 2013
D1506
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ismah Naqiyyah
"Penelitian ini membahas perkembangan pengaturan tindakan afirmasi untuk meningkatkan keterwakilan perempuan pada DPR RI dan bagaimana pelaksanaan pengaturan tersebut sejak awal tindakan afirmasi diterapkan pada tahun 2004, hingga terakhir kali tindakan afirmasi untuk DPR diterapkan, yaitu pada tahun 2014. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dengan pendekatan sejarah hukum. Pembahasan dimulai dengan menganalisis tindakan afirmasi pada Undang-Undang Partai Politik, Undang-Undang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD, dan Undang-Undang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Selain itu penelitian ini akan membahas pelaksanaan undang-undang tersebut dengan menganalisis peraturan pelaksanaannya. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat dua bentuk tindakan afirmasi untuk perempuan masuk ke dalam DPR RI, yaitu melalui kuota partai politik dan kuota pada proses pencalonan legislatif. Setiap periode pengisian jabatan DPR, peraturan mengenai tindakan afirmasi perempuan tersebut selalu berubah. Namun dengan adanya perubahan-perubahan tersebut, belum menghasilkan peningkatan keterwakilan perempuan yang signifikan di DPR RI.

This research discusses about the development of affirmative action regulations in the increase of women's representation in the House of Representatives (Dewan Perwakilan Rakyat/DPR) of Republic of Indonesia and how the implementation of the regulations since the beginning of affirmative action was applied from 2004 until the last time affirmative action for DPR was implemented in 2014. The research method used is normative juridical with a legal history approach. The discussion begins by analyzing the affirmative action on the Acts of Political Parties, the Acts of the Election for Members of DPR, the Regional Representatives Council (Dewan Perwakilan Daerah/DPD) and the Local People’s Representatives Council (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah/DPRD), and the Acts of Representatives Council Institutions. In addition, this research will also discuss about the implementation of the regulations by analyzing the implementative regulations. The results of the research show that there are two forms of affirmative action for women to enter DPR, i.e.: through quotas of political parties and quotas in the process of legislative candidacy. In every period of DPR, the regulations on women's affirmative actions have been continuesly changing. However, with those changes, the regulations have not succeeded to increase women's representation in DPR significantly."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Annisaa Rachmah Syam
"Kebijakan afirmatif dan nomor urut merupakan bentuk upaya kesetaraan gender bagi kaum perempuan untuk bisa menjadi anggota legislatif di Indonesia. Rendahnya keterwakilan perempuan di Indonesia tidak sebanding dengan jumlah pemilih perempuan Indonesia yang mencapai 50 persen dari pemilih laki-laki pada tahun 2014. Pada pemilu tahun 2014 jumlah calon anggota DPR RI perempuan yang mendaftar untuk menjadi anggota DPR RI meningkat, namun anggota DPR RI perempuan yang terpilih di tahun 2014 justru menurun dari 18 persen di tahun 2009 menjadi 17,32 persen di tahun 2014. Penurunan keterwakilan perempuan di DPR RI disebabkan oleh berbagai faktor baik dari pelaksana kebijakan afirmatif dan nomor urut maupun dari budaya yang melekat di masyarakat. Kebijakan afirmatif dan nomor urut telah diterapkan secara optimal oleh partai politik peserta pemilu legislatif 2014. Namun kebijakan afirmatif dan nomor urut belum efektif dapat meningkatkan keterwakilan perempuan, hal ini karena kebijakan afirmatif dan nomor urut hanya salah satu upaya dalam meningkatkan keterpilihan perempuan di DPR RI. Oleh karena itu dalam mencapai tujuan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan di DPR RI diperlukan sinergi yang lebih optimal dari partai politik dengan bentuk perbaikan sistem rekrutmen dan kaderisasi.

Affirmative and serial number policy is a form of gender equality for women to become legislative members in Indonesia. The low representation of women in Indonesia is not comparable with the number of female Indonesian voters who reach 50 percent of male voters in 2014. In the 2014 election the number of candidates for DPR RI women who register to become members of the House of Representatives increased, but members of the House of Representatives of women Elected in 2014 actually decreased from 18 percent in 2009 to 17.32 percent in 2014. Decreased representation of women in the House of Representatives is caused by various factors both from executing affirmative policies and serial numbers as well as from culture inherent in the community. Affirmative and sequential number policies have been applied optimally by political parties participating in the 2014 legislative elections. However, affirmative and sequential numbers have not been effective in increasing women 39 s representation, as affirmative and serial numbering is only one of efforts to improve women 39 s election in DPR RI. Therefore, in achieving the objectives of equality between men and women in the House of Representatives is required a more optimal synergy of political parties with a form of improvement of recruitment and regeneration system."
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Za`Im
"Kebijakan afirmasi pendidikan tinggi merupakan upaya untuk mewujudkan pendidikan yang inklusif. APK pendidikan tinggi menjadi indikator 4.3.1(a) SDGs. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi mengamanatkan perhatian khusus bagi kelompok afirmasi. Lebih lanjut Permendikbud No.27 Tahun 2018 tentang Afirmasi Pendidikan Tinggi semakin memperkuat implementasi dari kebijakan afirmasi pendidikan tinggi. Namun terdapat permasalahan seperti kesenjangan capaian APK Indonesia dengan negara ASEAN, capaian APK nasional yang belum sesuai target SDGs, dan kesenjangan APK antar daerah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh dari kebijakan afirmasi terhadap akses pendidikan tinggi di Indonesia tahun 2018-2022. Penelitian ini menguji 550 observasi dari 110 kabupaten/kota yang selalu menerima beasiswa ADik selama tahun 2018-2022. Data panel diestimasi menggunakan twoways fixed effect model dengan turut mengontrol beberapa karakteristik mencakup intervensi pendidikan lainnya, perguruan tinggi, fasilitas/infrastruktur, sosial-demografi, dan ekonomi. Hasil pengujian menunjukkan bahwa kebijakan afirmasi dalam bentuk beasiswa afirmasi pendidikan tinggi (ADik) baik secara total maupun proporsional, berpengaruh signifikan positif terhadap APK. Pada pengujian subsample, ADik menunjukkan pengaruh signifikan positif pada wilayah 3T namun tidak signifikan pada wilayah Papua. Lebih lanjut ADik konsisten menunjukkan pengaruh signifikan positif pada wilayah Papua 3T.

The affirmative policy on higher education is an effort to promote inclusive education. The gross enrollment ratio (APK) of higher education is an indicator 4.3.1(a) of SDGs. Law No. 12 of 2012 on Higher Education mandates special attention for affirmative groups. Furthermore, the Ministerial Regulation of Education and Culture No. 27 of 2018 on Affirmative Higher Education strengthens the implementation of the affirmative policy of higher education. However, challenges remain, as there is a gap between the APK of Indonesia and other ASEAN countries, the national APK has not met the SDGs target, and there is a gap in APK among regions in Indonesia. This study aims to determine the relationship between affirmative scholarship (ADik) and access to higher education in Indonesia in 2018-2022. This study applies 550 observations from 110 districts/cities that always received ADik scholarships during 2018-2022. Panel data is used with a two-way fixed effect regression model by employing several characteristics as control variables, including other policy interventions, number of universities, facilities/infrastructure, socio-demographics, and economy. The results show that the affirmative scholarships (ADik), both in total and proportionally, have a significant positive effect on the APK of higher education. Moreover, ADik has a significant positive effect in almost all the underdeveloped, frontier, and outermost regions (3T regions) but has no significant effect in Papua as a whole. ADik has a significant positive effect in the Papua regions that are categorized as the 3T regions."
Jakarta: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2025
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sihite, Irma Latifah
"Tesis ini membahas tentang rendahnya tingkat keterwakilan perempuan dalam parlemen, penyebabnya, implikasinya, dan upaya pemerintah dalam mengatasinya. Sebagaimana kita ketahui bahwa lebih dari setengah penduduk Indonesia adalah perempuan, namun mereka tidak memiliki wakil yang proporsional di parlemen. Kondisi ini disebabkan oleh hambatan-hambatan struktural maupun kultural yang menghambat akses perempuan terhadap dunia politik. Kesadaran tentang arti penting perempuan di parlemen telah mulai dibangun melalui kebijakan afirmasi dengan sistem kuota. Melalui kebijakan ini diharapkan partisipasi aktif dari perempuan, sehingga akan didapat keterwakilan yang memadai di parlemen. Namun, dinamika ketatanegaraan yang terjadi kerap kali kontradiktif dengan cita-cita keterwakilan proporsional perempuan. Hasilnya, angka minimal 30% yang ingin dicapai melalui kebijakan afirmasi tidak tercapai dan hanya mampu meraih 18%. Meski tidak dapat dipungkiri, bahwa tercapainya keterwakilan yang proporsional tidak hanya bicara aturan semata tetapi juga kesadaran dan keinginan penuh dari kaum perempuan itu sendiri. Untuk itu, kebijakan afirmasi ini harus diaplikasikan dari hulu ke hilir. Mulai dari pendidikan politik bagi kaum perempuan, pembangunan kesadaran partai politik akan arti penting partisipasi perempuan, sampai dengan jaminan hukum terhadapnya.

This thesis discusses about the low level of women representation in parliament, causes, implications, and government efforts to overcome them. As we know that more than half of Indonesia's population are women, but they do not have a proportional representative in parliament. This condition is caused by structural and cultural barriers that hinder women's access to politics. Awareness about the importance of women in parliament has begun to be built through affirmative policies with quota systems. This policy is expected to increase active participation of women, so it will get adequate representation in parliament. However, the dynamics of state administration shows in contradiction with the ideals of proportional representation of women. The result, at least 30% figure to be achieved through a policy of affirmation is not reached and only able to reach 18%. Although it is undeniable, that the achievement of proportional representation not only talk about rules but also full consciousness and the appetency of women themselves. Therefore, this affirmation policy should be applied from upstream to downstream. Starting from the political education for women, building awareness of political party about the importance of women political participation, until the legal guarantees against it."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T29780
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Lefilia Erlita Chita
"Skripsi ini adalah suatu karya ilmiah yuridis normatif yaitu penelitian yang dilakukan melalui kepustakaan dengan melakukan perbandingan hukum. Latar belakang penelitian ini adalah dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas ditemukan adanya keterbatasan untuk mengajukan gugatan derivatif yang merupakan salah satu perlindungan hukum bagi pemegang saham, terutama pemegang saham minoritas. Sedangkan sebagai perbandingan pengaturan dalam peraturan perundang-undangan lain, yaitu pengaturan dalam Undang-Undang Perusahaan Singapura 1994 dan Undang-Undang Perusahaan Jepang 2005, dalam penelitian ini ditemukan aspek-aspek tertentu dalam Undang-Undang Perusahaan Singapura 1994 dan Undang-Undang Perusahaan Jepang 2005 yang mampu mewujudkan keadilan dan kepastian hukum bagi pemegang saham, meliputi akses yang luas kepada seluruh pemegang saham, terutama pemegang saham minoritas dalam mengajukan gugatan derivatif, memberikan perlindungan terhadap Perseroan dengan menjadikan gugatan derivatif sebagai upaya hukum terakhir guna menjaga kestabilan Perseroan, dan memberikan perlindungan terhadap Perseroan dari itikad buruk pemegang saham yang mengajukan gugatan derivatif.

This undergraduate thesis is a normative juridical scientific work, that is a study conducted through literature by doing comparative study of law. The background of this research is that in Act No. 40 of 2007 on Limited Liability Companies, it is found limitations to file derivative action which is one of the legal protections for shareholders, especially minority shareholders. Meanwhile, as a comparison from other legislations, i.e. the regulation in the Singapore Company Act 1994 and the Japan Company Act 2005, in this study it is found certain aspects in the Singapore Company Act 1994 and the Japan Company Act 2005 which are able to bring about justice and legal certainty for shareholders, including extensive access to all shareholders, especially minority shareholders to file derivative action, to provide protection against the Companies by making a derivative action as the last legal effort to maintain the stability of the Companies, and to provide protection against the Companies from bad faith of shareholders filing the derivative action.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
S58239
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Haryo Kusumastito
"Perjanjian utang-piutang atau loan agreement adalah suatu perjanjian perdata antara suatu subjek hukum dengan subjek hukum lain di mana satu pihak meminjam uang kepada pihak yang lain dan pihak yang lain akan mendapat timbal-balik berupa bunga atau hal lain yang telah diperjanjikan sebelumnya. Pengaturan terhadap perjanjian utang-piutang menurut hukum Indonesia terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, seperti lahirnya dan hapusnya. Para pihak dalam perjanjian utang-piutang dapat berbeda status personalnya, sehingga menimbulkan masalah HPI. Ketika terjadi wanprestasi, kemudian juga akan timbul permasalahan forum mana yang berwenang untuk mengadili dan hukum apa yang akan berlaku untuk mengadili perkara tersebut. Skripsi ini akan membahas mengenai perkara-perkara wanprestasi yang berasal dari perjanjian utang-piutang yang tidak berjalan sebagaimana seperti yang diperjanjikan antara para pihak yang berbeda status personalnya. Kemudian salah satu pihak menggugat pihak lainnya di Pengadilan Indonesia.

A Loan agreement is an agreement between two or more legally competent individuals or entities on borrowing a sum of money by one person, company, government, and other organization from another. The lender will get another sum of money or other certain profit paid as compensation for the loan. Loan agreement in Indonesia is regulated in Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Civil Code). It regulates how the agreement begins and when it completes. The parties of a loan agreement can come from different countries. This will create international private law issue. When a loan agreement is not enforced as it has been agreed, breach of contract occurs. Some questions will appear like which court has the competence to adjudicate the case and which law should govern the case. This thesis will explain about a breach of contract cases related to a loan agreement where the parties come from different countries, then one of the parties conducted a lawsuit againts the other in Indonesian court."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
S23
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Lamech A.P., compiler
"ABSTRAK
Kemajemukan hukum atau pluralisme hukum merupakan salab satu tema penting dalam nuansa kajian antropologi hukum (Rouland, 1992:2-4). Pluralisme hukum seperti dijelaskan oleh Hooker (1975:2-4) berkembang antara lain melalui pemerintahan kolonial dan berdirinya negara-negara baru. Di Indonesia misalnya, proses terjadinya pluralisme hukum berawal dari penerapan hukum oleh penjajah terutama pada masa kolonial Belanda ketika penduduk Indonesia (jajahan) digolongkan menjadi tiga golongan dimana masing-masing tunduk pada hukum yang berlainan, yaitu golongan Eropa, Timur Asing, dan golongan Bumiputera (lihat: Arief, 1986:10-14; Ter Haar, 1980:21-25). Semenjak Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya pada tahun 1945, sistem hukum nasional diwarnai oleh koeksistensi hukum formal dari negara dan hukum adat dari kelompok-kelompok etnis di Indonesia. Dalam hal ini, corak pluralisme hukum di Indoensia diwarnai oleh hukum formal yang sebagian merupakan peninggalan hukum kolonial dan produk hukum baru pemerintah Indonesia di satu pihak dan di lain pihak adalah hukum adat dari masing-masing kelompok etnis yang diakui keberadaannya oleh negara.
Eksistensi dan penerapan hukum yang berbeda-beda dalam kenyataan hidup bermasyarakat menimbulkan pandangan yang berbeda mengenai hukum mana yang menjadi pilihan utama untuk diterapkan. Salah satu aliran pendapat menyatakan bahwa bagaimanapun juga, dalam situasi pluralisme hukum, pada akhirnya yang menentukan adalah hukum dari negara. Pendapat yang dikenal dengan sebutan legal centralism ini ditentang oleh Griffiths (1986:4) yang menyatakan bahwa pada kenyataannya hukum negara itu tidak sepenuhnya berlaku. Dalam masyarakat dapat dikenai lebih dari satu tatanan hukum. Di Indonesia kritik dari Griffiths ini didukung oleh kenyataan bahwa terdapat kasus-kasus dimana hukum nasional belum menjangkau semua lapisan masyarakat. Alfian (1981:148), misalnya, menunjukkan peranan yang kurang berarti dari hukum nasional dalam kehidupan sehari-hari anggota masyarakat Aceh. Tingkah laku mereka banyak dipengaruhi oleh norma-norma atau nilai-nilai agama dan adat daripada peraturan-peraturan hukum yang seyogyanya harus berlaku. Pada sisi lainnya, terutama dalam kaitannya dengan proses penyelesaian sengketa, terdapat juga situasi dimana lembaga hukum formal untuk menyelesaikan konflik atau sengketa tidak mudah dijangkau oleh masyarakat pedesaan yang jauh terpencil. Contoh dari situasi seperti ini dijumpai pada orang Tabbeyan, sebuah desa di Kabupaten Jayapura (Irian Jaya), dimana terjadi konflik baik antar warga masyarakat itu sendiri maupun antara warga desa itu dengan pemegang hak pengusahaan hutan (HPH) yang konsesi hutan di daerah tersebut, namun tidak mudah memperoleh akses untuk menggunakan lembaga peradilan formal untuk menyelesaikannya (Tjitradjaja, 1993).
Keberadaan yang sesungguhnya dari sistem-sistem hukum dalam situasi pluralisme hukum dapat dilihat dalam pola pilihan yang dibuat terhadap sistem-sistem hukum tersebut dan hagaimana sistem-sistem hukum yang berbeda itu secara efektif dapat dipakai untuk menyelesaikan setiap masalah hukum yang timbul dalam masyarakat yang bersangkutan, terutama dalam penyelesaian sengketa yang timbul (Hooker, 1975). Secara teoritis semua sistem hukum mendapat peluang yang sama untuk dipilih sebagai sistem yang diandalkan dalam menghadapi setiap peristiwa hukum. Namun demikian pada kenyataannya pilihan-pilihan hukum mana yang dipakai bergantung pada strategi pembangunan hukum negara yang bersangkutan dan situasi-situasi nyata yang mengarahkan pilihan atas suatu sistem hukum. Dalam kaitan inilah proses penyelesaian sengketa pada suatu situasi pluralisme hukum dapat dipakai sehagai suatu pendekatan dalam menganalisa keberadaan dan keefektifan dari sistem hukum yang ada dalam memecahkan permasalahan hukum yang dihadapi oleh warga masyarakat."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1994
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Taqyuddin
"Konsepsi Derivative Action tidak dapat dipisahkan dari konsep perlindungan dan hak-hak Pemegang Saham Minoritas. Derivative Right atau Derivative Action merupakan salah satu hak yang diberikan oleh Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, kepada pemegang saham yang mempunyai minimal 10% saham, untuk menggugat direksi atau komisaris atas nama perseroan, dalam hal Direksi atau Komisaris melakukan kesalahan yang menyebabkan kerugian pada perusahaan. Jadi pada hakikatnya Derivative Action adalah bertujuan untuk melindungi kepentingan perseroan, dan tidak secara langsung melindungi kepentingan pemegang saham minoritas. Konsep Derivative Action merupakan terobosan dalam hukum perusahaan yang bertujuan untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan wewenang oleh direksi atau komisaris, yang pada umumnya didominasi oleh pemegang saham mayoritas. Makna perlindungan kepentingan pemegang saham minoritas dalam konsep Derivative Action, bukanlah kepentingan materil secara langsung, dan karenanya ganti rugi yang dihasilkan dari Derivative Action, akan dibayarkan kepada perusahaan, bukan kepada pemegang saham minoritas Penggugat."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006
T17691
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wisnu Jaya Surya Putra
"ABSTRAK
Tesis ini membahas tentang politik hukum penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia khususnya dalam pembentukan peraturan daerah sejak era orde baru sampai dengan era reformasi serta analisis pengaturan terkait dengan pelaksanaan pembentukan peraturan daerah di Indonesia. Pelaksanaan pembentukan peraturan daerah saat ini seringkali ditemukan berbagai macam permasalahan selain banyaknya peraturan daerah yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, peraturan perundang-undangan yang ada belum mendukung mekanisme pembentukan peraturan daerah yang baik serta lemahnya hubungan koordinasi antara pemerintah daerah dengan instansi vertikal Kementerian Hukum dan HAM dalam pembentukan peraturan daerah. Tujuan penelitian ini adalah dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang menganut kesatuan sistem hukum maka dalam pembentukan peraturan daerah harus sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan melakukan studi kepustakaan dalam pengumpulan data, kemudian data-data yang diperoleh dianalisis melalui pendekatan kualitatif. Hasil penelitian ini menyarankan agar dalam pembentukan peraturan daerah harus mengedepankan prinsip Negara Kesatuan yang berdasarkan pada asas-asas yang berlaku dan peraturan perundang-undangan diatasnya serta berpedoman pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Simpulan dari penelitian ini adalah memperbaiki peraturan perundang-undangan yang ada khususnya terkait dengan pengaturan pembentukan peraturan daerah dan membangun hubungan koordinasi antara instansi vertikal Kementerian Hukum dan HAM dengan pemerintah daerah dalam pembentukan peraturan daerah.Kata kunci :Pembentukan, Peraturan Daerah, Negara Kesatuan Republik Indonesia

ABSTRACT
This thesis discusses the legal politics of local governance in Indonesia, especially in the formation of regional regulations since the new order era until the era of reform and regulatory analysis related to the implementation of the formation of local regulations in Indonesia. Implementation of the current formulation of local regulations often found a variety of problems in addition to the many local regulations that contradict the higher legislation, the existing legislation has not supported the mechanism of the establishment of good local regulations and weak coordination between local government relations with vertical agencies Ministry of Justice and Human Rights in the formation of local regulations. The purpose of this study is in the Unitary State of the Republic of Indonesia which adheres to the unity of the legal system so in the formation of local regulations must be in accordance with Pancasila and the 1945 Constitution. This research is normative law research by conducting library study in data collection, then the data obtained is analyzed through qualitative approach. The results of this study suggest that in the formation of local regulations should prioritize the principle of the Unitary State based on the prevailing principles and the above legislation and guided by Pancasila and the 1945 Constitution. The conclusion of this research is to improve the existing legislation especially related to the regulation of the formation of local regulation and to build coordination relationship between vertical institutions of the Ministry of Law and Human Rights with local government in the formation of local regulations.Keywords Establishment, local regulations, the unitary State of the republic of Indonesia"
2018
T50443
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>