Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 148791 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Shinta Maharani
"ABSTRAK
Batuk berulang pada balita dapat mengganggu pertumbuhan dan perkembangan
balita dan meningkatkan kunjungan ulang balita ke pelayanan kesehatan. Tujuan
studi ini adalah mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi frekuensi
kunjungan karena batuk pada balita. Penelitian ini menggunakan desain potong
lintang dengan jumlah sampel yang diambil sebanyak 133 ibu dan balita yang
memiliki keluhan batuk. Hasil studi statistik frekuensi kunjungan karena batuk
rata-rata 3 kali kunjungan dalam setahun dengan maksimal kunjungan 10 kali.
Hasil analisis multivariat ditemukan hubungan bermakna faktor klasifikasi batuk
dan musim hujan. Implikasi keperawatannya adalah optimalisasi pendidikan
kesehatan pada ibu dan petugas kesehatan untuk angka kesakitan anak khususnya
karena batuk. Rekomendasi penelitian selanjutnya adalah untuk mengidentifikasi
faktor lainnya (seperti, pemberian ASI eksklusif, status imunisasi, pemahaman
petugas kesehatan terhadap pengobatan dengan program MTBS).

ABSTRACT
Under five children with recurrent cough can interfere with the growth and
development of under five children and increase repeat visits to health care. The
purpose of this study is to identify the factors that influence the frequency of visits
for cough in under five children. This study uses cross-sectional design with a
sample taken as many as 133 mothers and toddlers who have a complaint cough.
The results of statistical studies the frequency of visits for cough average 3 visits
in a year with a maximum of 10 times a visit. Multivariate analysis found a
significant relationship classification factor coughing and rainy season.
Implications of nursing education is to optimize the health of the mother and
health workers to child morbidity especially due to coughing. Recommendations
for further research is to identify other factors (such as exclusive breastfeeding,
immunization status, understanding health workers to treatment with IMCI
program)."
2013
T36093
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Roy Dwi Indra
"Batuk merupakan simptom yang dirasakan oleh semua manusia dan penting untuk proteksi dan perlindungan yang menjaga proses pengeluaran mukus, substansi asing, dan infeksi laring, trakea dan bronkus.Kemampuan batuk pada usia dewasa madya dan dewasa lanjut akan menurun dibandingkan pada dewasa muda. Namun, hingga saat ini belum ada penelitian yang mengukur nilai APB pada usia dewasa madya dan dewasa lanjut sehat di Indonesia. Tujuan : Mengetahui nilai APB pada dewasa madya dan dewasa lanjut sehat dan factor-faktor yang mempengaruhinya. Metode : Studi ini merupakan studi potong lintang yang melibatkan 99 subjek. Subjek adalah pasien poliklinik Rehabilitasi Medik usia dewasa madya dan dewasa lanjut sehat respirasi. Subjek yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi diperiksa spirometri untuk memastikan sehat respirasi dan setelahnya dilakukan pemerikasaan nilai APB dengan alat peakflowmeter dan dilihat korelasi nya dengan usia, jenis kelamin dan berat badan. Hasil : Nilai APB pada dewasa madya sehat berkisar 190-540 L/menit dengan nilai tengah usia 41-50 tahun 465 L/menit, usia 51-60 tahun 405 L/menit dan dewasa lanjut sehat berkisar 245-520 L/menit dengan nilai tengah 352,5 L/menit. Laki-laki memiliki nilai APB yang lebih besar dibandingkan dengan perempuan, namun pada usia 61 tahun ke atas terjadi penurunan nilai APB dimana nilai tengah hasil APB laki-laki tidak berbeda bermakna dengan perempuan. Semakin tinggi usia maka semakin rendah pula nilai APB yang didapatkan dan terdapat penurunan yang signifikan secara statistik pada nilai APB pada usia 61-70 tahun dibandingkan usia 41-50 tahun. Subjek dengan tinggi badan yang tinggi memiliki kecendrungan nilai APB yang lebih besar dan tinggi badan akan mempengaruhi nilai APB. Simpulan : Didapatkan nilai APB pada usia dewasa madya dan dewasa lanjut sehat respirasi dan terdapat hubungan antara factor jenis kelamin, usia dan tinggi badan terhadap nilai APB.

Cough is a symptom that is felt by all humans and is important for protection and protection which maintains mucus secretion, foreign substances, and infections of the larynx, trachea and bronchi. The ability to cough in middle adulthood and advanced adulthood will decrease compared to young adults. However, until now there have been no studies that measure the APB value in middle adulthood and advanced adults in Indonesia. Objective: To find out the APB value in middle adulthood and advanced healthy adults and the factors that influence it. Method: This study is a cross-sectional study involving 99 subjects. Subjects were patients in the clinic for medical rehabilitation of middle adulthood and advanced adult healthy respiration. Subjects who fulfilled the inclusion and exclusion criteria were examined spirometry to ensure healthy respiration and after that the APB examination was carried out with a peakflowmeter device and the correlation was observed with age, gender and weight.Results: The APB value in healthy middle-aged adults ranged from 190-540 L / minute with a median age of 41-50 years 465 L / minute, ages 51-60 years 405 L / minute and healthy elderly adults ranged from 245-520 L / minute with values middle of 352.5 L / minute. Men have a greater APB value than women, but at the age of 61 years and over there has been a decrease in the APB value where the mean value of male APB results is not significantly different from that of women. The higher age, the lower the APB value obtained and there was a statistically significant decrease in the APB value at 61-70 years of age compared to 41-50 years of age. Subjects with high height have a tendency for a larger APB value and height will affect the APB value. Conclusion: Obtained APB values ​​in middle adulthood and advanced healthy respiration adults and there is a relationship between sex, age and height factors for the APB value."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58593
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Elvina Apriani
"Tingginya persentase swamedikasi batuk dibandingkan dengan penyakit lain dapat menjadi pemicu timbulnya swamedikasi yang tidak rasional sehingga menyebabkan konsekuensi kesehatan yang serius. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh pengetahuan dan sikap pasien dewasa terhadap perilaku swamedikasi batuk di Jabodetabek. Desain penelitian ini adalah cross-sectional dengan metode mixed method tipe embedded design. Metode perolehan sampel dilakukan dengan teknik consecutive sampling menggunakan kuesioner yang telah memenuhi uji validitas dan reliabilitas. Data yang dikumpulkan adalah data primer dengan total 139 responden dan dianalisis menggunakan IBM®SPSS® versi 25. Hasil penelitian menunjukkan sebesar 53,96% responden memiliki pengetahuan yang cukup, 81,29% responden memiliki sikap yang baik, dan 64,03% responden memiliki perilaku yang baik. Terdapat korelasi positif berkekuatan lemah antara pengetahuan swamedikasi batuk (p=0,000; r=0,285) dan sikap serta korelasi kuat positif antara sikap dan perilaku swamedikasi batuk (p=0,000; r=0,403). Namun tidak terdapat korelasi antara pengetahuan dan perilaku swamedikasi batuk responden (p=0,138; r=1,105). Hubungan antara pengetahuan, sikap, dan perilaku terhadap faktor sosiodemografi menunjukkan korelasi yang tidak bermakna (p>0.05). Oleh sebab itu, dapat disimpulkan semakin baik pengetahuan swamedikasi batuk responden maka semakin baik pula sikap swamedikasi batuk responden dan semakin baik sikap swamedikasi batuk responden maka semakin baik pula perilaku swamedikasi batuk yang ditunjukkan responden. Pada profil swamedikasi responden melakukan swamedikasi karena sudah mengetahui obat yang harus digunakan berdasarkan pengalaman dengan frekuensi swamedikasi dalam 3 bulan terakhir 1-2 kali. Responden memperoleh obat dari apotek dan mengandalkan pengalaman penggunaan obat pribadi/keluarga sebagai informasi obat mereka. Pada penggunaan obat batuk ditemukan responden yang menggunakan obat batuk kering untuk mengobati batuk berdahak

The high percentage of cough self-medication compared to other diseases can trigger irrational self-medication, causing serious health consequences. This study aims to analyze the effect of adult patient's knowledge and attitudes on cough self-medication practice in Jabodetabek. The research design is cross-sectional with mixed method type embedded design. The data was collected by using consecutive sampling technique using questionnaire that had fulfilled validity and reliability test. Primary data were collected with 139 samples and analyzed by IBM®SPSS® 25. The results showed that 53.96% of respondents had enough knowledge, 81.29% of respondents had a good attitude, and 64.03% respondents have good practice. The results of the correlation test showed that there was a positive weak correlation between self-medication knowledge (p=0,000; r=0,285) and attitudes and a positive strong correlation between self-medication attitudes and practice (p=0,000; r=0,403). There was no correlation between self-medication knowledge and practice (p=0,138; r=1,105). The relationship between knowledge, attitudes, and practice towards sociodemographic factors showed no significant correlation (p>0.05). Therefore, it can be concluded that the higher respondent's self-medication knowledge, the better the self-medication attitude of respondents and the better self-medication attitude, the better self-medication behavior shown by respondents. In self-medication profile, respondents did self-medication because they already knew drug they used based on experience and self-medication frequency in last 3 months is 1-2 times. Respondents obtained drugs from pharmacies and relied on their personal/family drug use experience as their drug information. It was found that respondents used dry cough medicine to treat coughs with phlegm."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Safroni
"ABSTRAK
Latar belakang. Fentanil merupakan analgetik opioid yang hampir selalu
digunakan sebagai co-induksi di ruang operasi. Namun penggunaan fentanil
intravena bisa menimbulkan batuk yang dikenal juga dengan istilah fentanylinduced
cough (FIC). Batuk merupakan hal yang tidak diinginkan pada saat
induksi karena bisa menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial, tekanan
intraokular dan tekanan intraabdominal. Kejadian FIC salah satunya dihubungkan
dengan kecepatan penyuntikan fentanil. Penelitian ini bertujuan untuk
membandingkan kecepatan penyuntikan fentanil 5 detik dan 20 detik terhadap
angka kejadian dan derajat FIC pada pasien ras Melayu yang menjalani anestesia
umum di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo.
Metode. Penelitian ini merupakan uji klinis acak tersamar ganda terhadap pasien
ras Melayu yang menjalani operasi dengan anestesia umum di Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo pada bulan April sampai Juni 2015. Sebanyak 124 subyek
diambil dengan metode consecutive sampling dan dibagi ke dalam 2 kelompok
(kelompok kecepatan 5 detik dan kecepatan 20 detik). Pasien secara random
diberikan fentanil 2 mcg/kg bb sebagai co-induksi dengan kecepatan penyuntikan
5 detik atau 20 detik. Insiden dan derajat FIC dicatat pada masing-masing
kelompok. Derajat FIC dibagi berdasarkan jumlah batuk yang terjadi, yaitu ringan
(1-2 kali), sedang (3-5 kali) dan berat( >5 kali). Analisis data dilakukan dengan uji
Chi-square dan uji Kolmogorov-Smirnov sebagai uji alternatif.
Hasil. Insiden FIC berbeda bermakna diantara 2 kelompok, dimana lebih rendah
pada kelompok 20 detik dibandingkan kelompok 5 detik, 8.07% vs 29.03%
(p=0.003). Derajat FIC secara klinis lebih rendah pada kelompok 20 detik (ringan
4.84%, sedang 3.23% dan berat 0%) dibandingkan kelompok 5 detik (ringan
20.96%, sedang 3.23% dan berat 4.84%), namun secara statistik tidak berbeda
bermakna (p=0.131).
Simpulan. Insiden dan derajat FIC lebih rendah pada kelompok 20 detik
dibandingkan kelompok 5 detik pada penggunaan fentanil 2 mcg/kg bb sebagai co-induksi.

ABSTRACT
Background. Fentanyl, a analgesic opioid, commonly used by anaesthesiologists
in the operating room as co-induction. However, co-induction intravenous
fentanyl bolus is associated with coughing that known as fentanyl-induced cough
(FIC). Coughing during anesthesia induction is undesirable and is associated
with increased intracranial, intraocular, and intraabdominal pressures. Incidence
of FIC associated with injection rate of fentanyl. The aim of this study to compare
injection rate of fentanyl between 5 seconds and 20 seconds to incidence and
severity of FIC at Melayu race patients that underwent general anesthesia in
Cipto Mangunkusumo hospital.
Methods. This was a double blind randomized study at Melayu race patients that
underwent scheduled operation in general anesthesia at Cipto Mangunkusumo
hospital between April and June 2015. A total of 124 subjects were included in the
study by consecutive sampling and divided to 2 groups (5 seconds or 20 seconds
group). Patients were randomized to receive co-induction fentanyl 2 mcg/kg body
weight with rate of injection either 5 second or 20 seconds. The incidence and
severity of FIC were recorded in each group. Based on the number of coughs
observed, cough severity was graded as mild (1?2),moderate (3?5), or severe
(>5) . Data were analyzed by Chi-square and Kolmogorov-Smirnov test.
Results. Incidence of FIC was significantly different between two groups, lower in
the 20 seconds group compared with the 5 seconds group, 8.07% vs 29.03%
(p=0.003). The severity of FIC in clinically was lowerin the 20 seconds group
(mild 4.84%, moderate 3.23% and severe 0%) compared with the 5 seconds group
(mild 20.96%, moderate 3.23% and severe 4.84%)but in statistically was not
different significantly (p=0.131).
Conclusion. Incidence and severity of FIC was lower in the20 seconds group
compared with the 5 seconds group in regimen of fentanyl injection 2 mcg/kg body weight as co-induction.
"
2015
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: BP FKUI, 2013
616.2 BAT
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Adri Fauzan
"LATAR BELAKANG. Batuk merupakan mekanisme pertahanan utama pada saluran napas bagian bawah dan mekanisme kompensasi ketika terjadi ketidakseimbangan antara produksi dan pengeluaran mukus. Batuk dapat mencegah aspirasi, merangsang aktivitas silia, dan membersihkan jalan napas. Penelitian di Brazil didapatkan nilai arus puncak batuk APB pada individu sehat usia 18-40 tahun adalah 240-500 L/mnt. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan di Selandia Baru yang merupakan ras kaukasian didapatkan hasil nilai APB dewasa normal 360-960 L/mnt , hal ini menunjukkan perbedaan besaran nilai yang cukup jauh mengingat kedua negara tersebut memiliki perbedaan baik secara antropometri maupun ras kedua negara tersebut. Hingga saat ini belum ada penelitian yang melaporkan nilai APB pada individu sehat usia dewasa muda di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai APB dan faktor-faktor yang mempengaruhi besaran nilainya pada dewasa muda sehat Indonesia di RSUPN Cipto Mangunkusumo RSCM.
METODE. Disain observasional potong lintang. Penelitian ini dilakukan terhadap 30 usia dewasa muda sehat yang didapat secara konsekutif. Analisis bivariat dengan uji Chi-Square dan analisis multivariat dengan regresi multipel. Penilaian kapasitas paru untuk penapisan subjek dengan uji spirometri dan kemampuan batuk dengan APB yang menggunakan peak flow meter.
HASIL. Subjek penelitian memiliki mean APB 477,17 L/mnt . Berdasarkan analisis bivariat, didapatkan hubungan yang bermakna secara signifikan antara variabel jenis kelamin p = 0,000 , usia p = 0,012; r = -0,430 , dan tinggi badan p = 0,000; r = 0,741 terhadap nilai APB. Hasil analisis multivariat dengan regresi mutipel menunjukkan variabel tinggi badan merupakan variabel yang paling berpengaruh terhadap nilai APB p = 0,003; IK95 2,37-10,77.
SIMPULAN. Nilai rerata APB pada dewasa muda sehat di RSCM adalah 477,17 L/mnt . Faktor tinggi badan merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap besaran nilai APB pada dewasa muda sehat di RSCM, diikuti faktor usia dan jenis kelamin.

BACKGROUND. Cough has been the main mechanism of defense on the lower respiratory tract, as well as a compensatory mechanism when there is imbalance of mucus production and clearance. Some of functions include preventing aspiration, stimulating ciliary activities, and airway clearance. A study done in Brazil revealed that peak cough flow PCF in healthy adults aged 18 40 years ranges from 240 500 L min . This value differs from another study done in New Zealand that took Caucassian subjects with normal PCF of 360 960 L min , this shows a huge difference in the results keeping in mind the differences in antropometry and race of the subjects. Until now, there had not been any study that reported the PCF in healthy young adult individualis in Indonesia. This study then, is aimed to discover the PCF and the factors affecting them in Indonesia healthy young adults of Cipto Mangunkusumo General Hospital.
METHODS. An observational cross sectional design was used in this study, with 30 healthy young adults subjects that complied to the consecutive sampling method. Bivariate analyses were done by Chi Square and multivariate analyses by multiple regression. The grading of lung capacity for screening subjects was measured using spirometry test and cough ability quantified in PCF value by utilizing a peak flow meter.
RESULTS. Study subjects were observed to have mean PCF 477,17 L min . Bivariate analyses results showed a significant correlation of PCF with gender p 0,000 , age p 0,012 r 0,430 , and height p 0,000 r 0,741 . Multivariate analyses on the aother hand, revelaed that body height were the most contributing variable towards PCF value p 0,003 IK95 2,37 10,77.
CONCLUSIONS. The mean PCF in healthy young adults of Cipto Mangunkusumo General Hospital is 477,17 L min. Body height were the most contributing factor, followed by age and gender."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T57636
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yunita Kadarsih
"OBH quinqplex adalah sediaan Obat Batuk Hitam konsentrat dalam konsentrasi lima kali lebih pekat daripada sediaan Obat Batuk Hitam biasa. OBH quinqplex banyak dibuat sebagai sediaan di apotik maupun di rumah sakit, karena lebih menghemat waktu, tenaga, dan tempat, serta lebih praktis clan lebih memudahkan jika sewaktu - waktu dibutuhkan dalam waktu yang cepat danjumlah yang banyak. Dalam OBH quinqplex terdapat air dan Glicyrrhizae succus yang mengandung karbohidrat tinggi, sehingga dapat mempermudah pertumbuhan dan perkembangbiakan mikroorganisme, akibatnya jumlah mikroorganisme dapat melebihi batas maksimum cemaran mikroba yang diperbolehkan dalam sediaan oral cair, yaitu 100 kuman per mL. Penelitian mi dimaksudkan untuk memeriksa stabilitas mikrobiologis OBH quinqplex tanpa pengawet dan OBH quinqplex yang diberi pengawet nipagin dengan konsentrasi 0,10 %, 0,15 %, 0,20 %, dan 0,25 %. Pemeriksaan stabilitas mikrobiologis dilakukan selama 6 bulan pada sampel OBH quinqplex tanpa pengawet dan OBH quinqplex yang diberi pengawet nipagin dalam konsentrasi 0,10 %, 0,15 %, 0,20 %, dan 0,25 %, clan didapat hasil bahwa OBH quinqplex tanpa pengawet tidak stabil secara mikrobiologis, sedangkan OBH quinqplex yang diberi pengawet nipagin 0,10 %, 0,15 %, 0,20 %, dan 0,25 % stabil secara mikrobiologis selama 6 bulan pemeriksaan. Dari hasil pemeriksaan tersebut dapat disimpulkan bahwa nipagin dengan konsentrasi 0,10 %, 0,15 %, 0,20 %, dan 0,25 % efektif sebagai pengawet dalam sediaan OBH quinqplex.

Potio Nigra Contra Tussim quinqplex is a concentrate preparation of Potio Nigra Contra Tussim in five times concentration of regular Potio Nigra Contra Tussim. In hospital and dispensary, Potio Nigra Contra Tussim quinqplex is made as a stock of pharmaceutical preparation, because it can save time, energy, and place, beside it is more practice and easier if anytime it is needed quickly and in a large number of quantities. In Potio Nigra Contra Tussim quinqplex, there are water and Glicyrrhizae succus which consists of carbohydrate in high concentrate, so it can facilitate the growth of microorganisms and it can rise the number of microorganisms over maximum limits of acceptance microbial contamination in liquid oral dosage form i.e. 100 microorganisms per mL. The purpose of this study is to determine the microbiological stability of regular Potio Nigra Contra Tussim quinqplex and Potio Nigra Contra Tussim quinqplex with nipagin as preservative in concentration of 0,10 %, 0,15 %, 0,20 %, dan 0,25 %. The study of microbiological stability has been done for six months and the result showed that Potio Nigra Contra Tussim without preservative was unstable in microbiological stability, while the one which was added by nipagin in concentration of 0,10 %, 0,15 %, 0,20 %, and 0,25 % were stable. From this study, we can say that nipagin in concentration of 0,10 %, 0,15 %, 0,20 %, and 0,25 % are effective as preservative in Potio Nigra Contra Tussim quinqplex."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1997
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Elda Bahar
"Glycyrrhizae Succus dan air yang terdapat di dalam
Obat Batuk Hitam akan mempermudah tumbuhnya mila'oorganisme
sehingga Obat Batuk Hitam tidak bisa tahan lama. Telah di:
lakukan perielitian stabilitas mil'obio1ogik Obat Batuk Hi
tam de=an pengawet NiDagin dan Asam Benzoat.
Femeriksaan stabilitas milobiologik dilakukan de -
ngan menghiturig jumlah miioo.anis1e total yang, terdaçat
di dalam Obat Batuk 1-litam den-an mempergunakan perbenihan
Agar tripton soya. Untuk pemeriksaan bakteri patogen Esche
richia coli, Salmonella, Shigella..dan Staphylococcus aureus
digunakan perbenihan perbenihan Agar Endo, Agar EMB, Agar
Salmonella Shigella dan perbenihan gula-gula.
Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa Obat Batul: -
Hitam dent--an pengawet Nipagin 0,1% ; 0,15% dan 02% sesu -
dali enam bulan masih memenuhi syarat. Demikian juga Obat -
Batuk Hitam dengan pengawet Asam Benzoat 0,05% ; 0,1% dan
0,15% sesudah enambulan masih memenuhi syarat.

The Glycyrrhizae Succus and water contained in Potio
Nigra Contra Tussim will make the microorganism's growth
easier, that cause Potio Nigra Contra Tussim unstable.There
fore the study to determine microbiological stability of Po
tio Nigra Contra Tussim with Ni pagin and Benzoic acid .• as
reservatives have been done.
The observation of microbiological stability carried
out by counting the total microorganism contained in Potio
Nigra Contra Tussim using Tryptic soya agar medium • To
observe patogeni.cmicrooranism such as Escherichia coli,
Salmonella, Shigella and Staphylococcus aureus, the media
Endo agar, EMB agar, Salmonella Shigella agax and sugars
media have been used.
The result obtained showed Potio Nira Contra Tussim
containing Nipagin 00% ; 0,15% and 0,2% after six month
still qualified.
The Potio Nigra Contra Tussim that contained Benzoic
acid 0,05% ; 00% and 0,15% after six month also give the
same result
"
Depok: Universitas Indonesia, 1986
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ayu Rahmawati Hidayat
"ABSTRAK
Peranan Apoteker di Puskesmas sangat penting dalam hal menjamin ketersediaan obat dan pelayanan farmasi klinik. Keberadaan Apoteker di Puskesmas menjadi bagian dari penentu mutu pelayanan kesehatan di Puskesmas. Sehingga, Apoteker di Puskesmas harus melakukan pelayanan kefarmasian sesuai standar yang berlaku. Tujuan dilakukan praktek kerja Apoteker di Puskesmas Kecamatan Kembangan agar dapat memahami peranan, tugas dan tanggung jawab Apoteker serta mendapatkan pengetahuan, keterampilan, sikap perilaku professionalism , wawasan dan pengalaman nyata dalam praktek pelayanan kefarmasian di Puskesmas. Peranan dan tugas Apoteker di Puskesmas Kecamatan Kembangan sudah dilakukan dengan dilaksanakan sesuai dengan standar pelayanan kefarmasian di Puskesmas. Tugas khusus yang diberikan adalah menganalisis kesesuaian perencanaan obat dengan formularium nasional Fornas 2016. Pengkajian dilakukan dengan menganalisis kesesuaian obat-obat di Puskesmas sesuai perencanaan dan dibandingkan dengan obat-obat dalam Formularium Nasional 2016. Hasil dari analisis menunjukan bahwa 156 item obat atau 85,25 sesuai dengan Fornas. Persentase obat non Fornas hanya sebesar 14,75 atau 27 item obat.

ABSTRACT
The role of pharmacists in Puskesmas is very important in ensuring the availability of drugs and clinical pharmacy services. The existence of pharmacists at the Puskesmas becomes part of the determinant of the quality of health services at the Puskesmas. So, the Pharmacist at the Puskesmas must perform pharmaceutical services according to the applicable standards. Aims of Internship at in Puskesmas Kecamatan Kembangan in order to understand the role, duties and responsibilities of pharmacists and gain the knowledge, skills, attitude, behavior professionalism , insight and a real experience in pharmaceutical care practices at the health center. The role and duties of Pharmacist in Puskesmas Kecamatan Kembangan has been accordance with the standard of pharmaceutical care at Puskesmas. The special assignment which given is to analyze the suitability of planning of drug with Formularium Nasional Fornas 2016. The assessment by analyze suitability of medicines in health centers and in comparison with the drugs in the Formularium Nasional 2016. The results of the analysis showed that 156 drug items or 85,25 according to Fornas. Percentage of drug rsquo s non Fornas only 14.75 or 27 items of drug."
2017
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
"The focus of the social science research on child health in
developing countries is mainly confined in identifying the underlying
determinants of morbidity and mortality. The underlying determinants of
treatment seeking behavior during common childhood illnesses largely
remain unexplored though it is an outcome of interactions among a
number of spatial. demographic and socioeconomic factors. Treatment
seeking in either the public or the private medical sector is also important
as motivation to seek quality treatment by incurring cost associated with it.
Using data from National Family and Health Survey (NFHS-2), 1998-99,
this paper tries to identify various factors. which might have direct or
indirect linkages with treatment seeking behavior during common
childhood illnesses. The result of multinomial logistic regressions show that
spatial factors like region and place of residence demographic factors like
child's age, birth order and sex of the child and socioeconomic factors
such as maternal education. standard of living of the household, religion
anti caste. work status of the mother and exposure to mass media are
significantly associated with treatment seeking behavior, especially in
seeking treatment front private medical sector.
"
Journal of Population, 10 (1) 2004 : 53-80, 2004
JOPO-10-1-2004-53
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>