Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 36738 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rahayuningsih
"Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang seluruh atau sebagian besar modalnya berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan, merupakan salah satu pelaku ekonomi dalam sistem perekonomian nasional, di samping usaha swasta dan koperasi. Dalam menjalankan kegiatan usahanya, BUMN, swasta dan koperasi melaksanakan peran saling mendukung berdasarkan demokrasi ekonomi. BUMN sebagai perpanjangan tangan pemerintah juga dituntut untuk dapat menghasilkan keuntungan yang nantinya dipergunakan untuk kemakmuran rakyat. Namun, dalam pelaksanaanya, BUMN kerap mendapatkan hambatan karena banyaknya peraturan yang tidak harmonis, seperti yang dialami oleh BUMN di sektor perbankan.
Masih berlakunya Undang-Undang Nomor 49 Prp Tahun 1960 tentang Panitia Urusan piutang Negara yang mengatur penyelesaian piutang negara, dan penetapan kekayaan BUMN sebagai bagian dari kekayaan negara sebagaimana yang disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara Pasal 2 (g), membawa implikasi terhadap pengelolaan kekayaan BUMN sebagai entitas badan hukum yang terpisah sebagaimana yang dinyatakan dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara Pasal 1 angka 1. Penyertaan modal yang bersumber dari APBN yang dilakukan oleh negara melalui pemerintah pada BUMN hingga saat ini masih menjadi polemik yang berkepanjangan. Penggolongan kekayaan negara atas kekayaan yang dimiliki oleh BUMN membatasi ruang gerak manajemen bank BUMN untuk lebih leluasa dalam mengambil keputusan khususnya yang terkait dengan pengelolaan kredit macet.
Meskipun sejak 2006, piutang bank BUMN telah dikelola sendiri oleh bank BUMN pasca dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah yang berlandaskan pada Fatwa Mahkamah Agung nomor WKMA/Yud/20/VIII/2006 yang menyatakan bahwa piutang bank BUMN bukan piutang negara. Namun, karena masih berlakunya Undang-Undang Nomor 49 Prp Tahun 1960 membuat bank BUMN tidak berani menyelesaikan kredit macet dengan menggunakan mekanisme hapus tagih (hair cut).
Akibatnya, banyak debitor yang merasa dirugikan terhadap perbedaan perlakuan tersebut, seperti yang dialami oleh Grup Aspalindo, debitur PT Bank Negara Indonesia Tbk yang mengajukan pengujian terhadap Undang-Undang Nomor 49 Prp Tahun 1960 ke Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi dalam putusannya Nomor 77/PUU-IX/2011 menetapkan bahwa frasa-frasa negara yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 49 Prp Tahun 1960 dicabut, berakibat pada piutang BUMN bukan piutang negara, dan bank BUMN diberi kewenangan untuk menyelesaikan kredit bermasalah dengan mekanisme hapus tagih.

State Owned Enterprises (SOE) which all or most of its capital derived from separated state wealth, is one of economic actors despite private enterprises and cooperatives.In running their businesses, SOEs, privates and cooperatives perform mutual support based on economic democracy. SOEs as a government’s arm is also required to be able generate profits than can later be used as much as possible for people’s prosperity, However, in its implementation, SOEs often get obstacles because there are many not harmonious rules, as experienced by SOEs in banking sector.
The application of Law No.49 prp 1960 regarding State Receivables Committee and the Determination of SOEs wealth as part of State Wealth as stated on Law 17/2003 regarding State Finance Article 2 (g) lead implications for state-owned property management as a separate legal entity as stated in Law No.19/2013 regarding State-Owned Enterprises Article 1 Paragraph 1. The equity which derived from State Budget through the government to SOEs is still being prolonged debate. State wealth classification on SOEs’ property restricts state-owned bank management to be more flexible in making decisions especially related to non-performing loan management.
Although since 2006, state-owned bank receivables have been managed by themselves after the issuance of Government Regulation No.33/2006 regarding Government Regulation Amendment No.14/2005 on Procedures for State/Regions Receivables Removal based on Supreme Court Decision No. WKMA/Yud/20/VIII/2006 stating that state-owned banks receivables are not state’s receivables. However, because there is still controversy in defining state wealth and the enactment of Law No.49 prp/1960 makes state-owned banks are doubtful to end non-performing loan using hair cut mechanism as done by private banks.
As a result, many debtors are feel aggrieved against the different treatment, as experienced by Aspalindo Group, debtor of PT Bank Negara Indonesia Tbk. At last Aspalindo Group filed a judicial review of Law No.49 prp/1960 to the Constitutional Court. In the decision No. 77/PUU-IX/2011 the Constitution Court set that state phrases contained in Law No.49 Prp/1960 revoked, resulting SOEs receivables is not the state and state-owned banks is authorized to solve non-performing loan using hair cut mechanism.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T36033
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Rahayu Iriantini
"Penelitian tesis ini menitikberatkan masalah pada dua hal terkait pengaturan penyelesaian utang-piutang yang macet pada Bank BUMN agar sesuai dengan asas pengelolaan perusahaan yang baik (good corporate governance) dan penyelesaian utang-piutang pada PT Bank BNI (Persero) Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor: 77/PUU-IX/2011. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan penelitian yang bersifat yuridisnormatif yang lebih menekankan pada norma hukum tertulis dalam putusan pengadilan dan peraturan perundang-undangan serta mengaitkan dengan ketentuan hukum perjanjian pada umumnya.
Ditinjau dari segi sifatnya, penelitian termasuk ke dalam tipe penelitian evaluatif karena uraian pembahasannya mengevaluasi teori dan fakta yang akan dianalisis. Dalam penerapannya, penelitian ini merupakan penelitian problem identification yang bertujuan mengidentifikasi masalah. Analisa obyek penelitian menghasilkan produk penafsiran hukum oleh hakim Konstitusi dan menemukan hukum karena mengesampingkan peraturan perundang-undangan piutang Negara.
Sesuai dengan asas pengelolaan perusahaan yang baik (good corporate governance), penyelesaian utang-piutang yang macet dilakukan melalui Standar Operasional Prosedur (SOP). Dengan demikian diharapkan Bank BUMN mampu melindungi kepentingan seluruh pemangku kepentingan yang memberikan kesempatan kepada debitur dalam merestrukturisasi utangnya dengan tetap memperhatikan kinerja bank BUMN.

Constitutional Court Decision Number 77/PUU-IX/2011 constitute legal discovery to identify bank accounts on state-owned enterprises is not included in the state's claim. This thesis focuses on two issues related to the settlement of receivables owned banks, namely how the settlement arrangement that bad debts at PT (Persero) Bank BNI in accordance with the principles of good corporate governance (GCG) and How Settlement of debts at PT (Persero) Bank BNI Post-Judgment of the Constitutional Court of the Republic of Indonesia Number 77/PUU-IX/2011. The research was conducted by the research approach juridical-normative emphasis on the rule of law and court decisions written in the legislation as well as linking with the provisions of contract law in general.
In terms of its nature, including research into the type of evaluative research for evaluating the theoretical description of the discussion and the facts to be analyzed. In application, this study is the identification of research problem that aims to identify the problem. Analysis of the research object produces interpretations of the Constitution and the law by the judge found the law because the legislation set aside accounts of the State.
Conclusions outlined in the settlement arrangement that bad debts at PT (Persero) Bank BNI in accordance with the principles of good corporate governance (GCG) and legal certainty is to resolve the bad debt through the standard operating procedure (SOP) that can protect your bank the interests of all stakeholders. Second, settlement debts at PT (Persero) Bank BNI Post-Judgment of the Constitutional Court of the Republic of Indonesia Number 77/PUU-IX/2011 is formed allowing the debtor to restructure its debt while maintaining the performance of state-owned banks.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T35089
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raden Ismail Alam Saputra
"Penelitian ini dilatarbelakangi oleh adanya kontradiksi antara dua putusan Mahkamah Konstitusi yakni putusan nomor 77/PUU-IX/2011 dan putusan nomor 43/PUU-XI/2013 terkait status kekayaan pada BUMN yang berasal dari modal negara. Pada putusan pertama, Mahkamah Konstitusi mengeluarkan piutang Bank BUMN dari piutang negara karena kekayaan BUMN dianggap sebagai kekayaan perseroan. Namun pada putusan kedua, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa kekayaan BUMN bukan semata kekayaan perseroan melainkan termasuk kekayaan negara. Tesis ini akan mengulas lebih dalam mengenai ratio decidendi Putusan Mahkamah Konstitusi No 77/PUU-IX/2011 dan Putusan Mahkamah Konstitusi No 48/PUU-XI/2013 tentang status hukum keuangan BUMN serta  implikasi hukum dari kedua putusan tersebut terhadap pengurusan piutang Bank BUMN. Tesis ini disusun menggunakan metode penelitian yuridis normatif yang menjadikan peraturan perundang-undangan    sebagai sumber hukum primer dan kepustakaan sebagai bahan sekunder. Hasil dari tesis ini menunjukan dua temuan utama, yaitu; Pertama, Perbedaan ratio decidendi antara Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 77/PUU-IX/2011 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 48/PUU-XI/2013 terletak pada perbedaan politik hukum yang mendasari masing-masing judicial review tersebut.  Kedua, dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 77/PUU-IX/2011 menyebabkan Bank BUMN dapat mengurus sendiri piutang yang dimilikinya. Adapun Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 48/PUU-XI/2013 tidak memberikan implikasi terhadap pengurusan piutang Bank BUMN yang telah diserahkan oleh PUPN kepada Bank BUMN untuk diselesaikan berdasarkan hukum perseroan.

This research is motivated by the contradiction between the two decisions of the Constitutional Court, namely the decision number 77/PUU-IX/2011 and the decision number 43/PUU-XI/2013 regarding the status of wealth in SOEs originating from state capital. In the first decision, the Constitutional Court excluded BUMN Bank's receivables from state receivables because BUMN assets were considered as company assets. However, in the second decision, the Constitutional Court is of the opinion that the wealth of SOEs is not only company assets but includes state assets. This thesis will review in more detail the ratio decidendi of the Constitutional Court Decision No. 77/PUU-IX/2011 and the Constitutional Court Decision No. 48/PUU-XI/2013 regarding the legal status of SOEs' finances and the legal implications of these two decisions on the management of state-owned banks' receivables. This thesis is prepared based on normative juridical research that uses laws and regulations as the primary source of law and literature as secondary material. The results of this thesis show two main findings, namely; First, the difference in the ratio decidendi between the Constitutional Court's Decision Number 77/PUU-IX/2011 and the Constitutional Court's Decision Number 48/PUU-XI/2013 lies in the differences in the legal politics underlying each of these judicial reviews. Second, the issuance of the Constitutional Court Decision Number 77/PUU-IX/2011 caused state-owned banks to be able to manage their own receivables. The Constitutional Court's Decision Number 48/PUU-XI/2013 does not have any implications for the management of state-owned bank receivables that have been submitted by PUPN to state-owned banks to be settled based on company law."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tarigan, Monika Selvia Br
"Skripsi ini didasarkan pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 77/PUU-IX/2011 mengenai pengujian Undang-Undang Nomor 49/Prp/1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara yang mengatur bahwa kredit bermasalah bank BUMN merupakan piutang negara sehingga harus diselesaikan melalui PUPN.
Penelitian ini membahas dua permasalahan utama. Pertama, status hukum piutang bank BUMN terkait penyelesaian kredit bermasalah pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 77/PUUIX/ 2011. Kedua, mekanisme penyelesaian kredit bermasalah pada Bank BUMN pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 77/PUU-IX/2011. Skripsi ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif, yaitu penelitian tersebeut mengacu pada hukum positif atau norma hukum tertulis.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa piutang bank BUMN tidak termasuk dalam lingkup piutang negara, sehingga kredit bermasalah dapat diselesaikan oleh manajemen masing-masing bank BUMN. Dengan demikian, Putusan Mahkamah Konstitusi memberikan kewenangan pada bank BUMN untuk menyelesaikan kredit bermasalah dengan mekanisme hapus tagih yang dilakukan melalui Standar Operasional Prosedur (SOP)."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S53574
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pasaribu, Octa Pujiani
"ABSTRAK
Piutang negara atau hutang kepada negara berdasarkan Undang-Undang Nomor 49 Prp.
Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) Pasal 8 adalah sejumlah uang
yang wajib dibayar kepada negara atau badan-badan yang baik secara langsung atau tidak
langsung dikuasai oleh negara berdasarkan suatu peraturan, perjanjian atau sebab apapun.
Pengurusan piutang negara yang macet pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) seperti
yang terjadi di PT. (Persero) Asuransi Kredit Indonesia pada awalnya telah dilakukan
dengan membuat perjanjian kerjasama antara PT. Askrindo dengan Badan Urusan Piutang
Dan Lelang Negara (BUPLN) tanggal 23 Juli 1994. Perjanjian Kerjasama Pengurusan Hak
Subrogasi tersebut dibuat dengan memperhatikan ketentuan Undang-Undang No. 49 Prp.
Tahun 1960 tentang PUPN. Namun, dikarenakan adanya putusan Mahkamah Konstitusi
atas perkara Nomor 77/PUU-IX/2011 tanggal 25 September 2012, PUPN (dahulu
BUPLN) tidak berwenang lagi melaksanakan tugas pengurusan piutang BUMN, piutang
BUMD, dan piutang badan usaha yang modalnya sebagian atau seluruhnya dimiliki
oleh BUMN/BUMD dan mengembalikan pengurusan piutang BUMN, piutang BUMD,
dan piutang badan usaha yang modalnya sebagian atau seluruhnya dimiliki oleh
BUMN/BUMD yang telah diserahkan kepada masing-masing BUMN/BUMD.
Pengembalian pengurusan piutang tersebut, mengakibatkan PT. Askrindo menghentikan
kerjasama pengurusan piutang dengan DJKN (dahulu BUPLN) dan melakukan pengurusan
piutang perseroan melalui mekanisme korporasi sesuai instruksi Pemerintah kepada semua
BUMN dan BUMD.

ABSTRACT
State receivables or debt to state subject to Law Number 49 Prp of 1960 on State
Receivable Committee (PUPN) Article 8 mean certain amount of fund payable to the state
or authorities, directly or indirectly controlled by the state pursuant to regulation,
agreement or others. Management of bad state receivable with State Owned Enterprise
(SOE) as in the case of PT (Persero) Asuransi Kredit Indonesia is initially made through
agreement between Askrindo and Badan Urusan Piutang Dan Lelang Negara (BUPLN) on
July 23 1994. The Agreement on Settlement of Subrogation Right is made by taking into
account the provisions of Law No. 49 Prp. Of 1960 on PUPN. However, with respect to
decision of Constitutional Court with regard to the case Number 77/PUU-IX/2011 on 25
September 2012, PUPN (formerly BUPLN) ceases to have the authority to carry out the
administration of SOE receivables, SOE receivables and receivables of any business entity
which part or all capital is owned by State Owned Enterprise / Local Enterprise and
reassign the administration of receivables of SOE, SOE receivables and receivables of
business entity which part or all capital is owned by State-Owned Enterprise/Local
Enterprise which has been assigned to each State-Owned Enterprise /Local Enterprise. The
re-assignment of receivable administration causes PT. Askrindo terminae the joint
cooperation of receivable administration with DJKN (formerly BUPLN) and carry out the
administration of corporate receivables through the corporate procedures as per
instructions of Government to all State Owned Enterprise and Local Enterprise (BUMN
and BUMD)."
Universitas Indonesia, 2013
T35053
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sianturi, Marichicha Puicha
"ABSTRAK
ang perusahaan negara dikategorikan sebagai piutang negara dalam lingkup keuangan negara proses penyelesaian kredit bermasalah pada bank Badan Usaha Milik Negara BUMN dilakukan berdasarkan koridor penyelesaian piutang negara Implikasinya bank BUMN tidak dapat melakukan penyelesaian kredit bermasalah tanpa persetujuan Menteri keuangan melalui Panitia urusan Piutang Negara PUPN c q Direktorat Jenderal Kekayaan negara DJKN Seiring perkembangan hukum perbankan mayoritas bank BUMN memilih bentuk hukum PERSERO yang identik dengan Perseroan Terbatas PT Sejak berlakunya PP No 33 Tahun 2006 sejatinya pengelolaan bank BUMN dilakukan sesuai prinsip pengelolaan perusahaan yang sehat berdasarkan hukum perusahaan PT Tetapi dalam prakteknya masih terdapat keragu raguan pihak perbankan pemerintah dalam menjalankan mekanisme korporasi yang menyebabkan adanya diskriminasi pelayanan antara perbankan pemerintah dan swasta Hal tersebut dirasa menimbulkan ketidak adilan bagi para debiturnya Putusan mahkamah Konstitusi Nomor 77 PUU IX 2011 mempertegas berlakunya PP No 33 tahun 2006 sebagai dasar hukum penggunaan mekanisme korporasi dalam penyelesaian kredit bermasalah bank Penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif dengan preskriptif Penelitian ini membahas tentang Putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bank BUMN tidak terikat Panitia Urusan Piutang Negara PUPN dalam penyelesaian kredit melainkan melalui mekanisme korporasi sehingga tidak terdapat perbedaan pelayanan kepada debitur antara bank pemerintah dan bank swasta Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut diharapkan dapat menjamin adanya kepastian hukum bagi perbankan pemerintah dalam pelaksanaannya Kata kunci Penyelesaian kredit Macet Perbankan Pemerintah.

ABSTRACT
As a result of the company's accounts receivable is classified as a state within the state finances, the process of settlement of non-performing loans on bank-owned enterprises (SOEs) is based on state claims settlement corridor. The implication, state-owned banks can not do without the approval of the settlement of problem loans through the Committee's finance minister affairs State Receivables (PUPN) cq Directorate General of the state (DJKN). Along with the development of banking laws majority state-owned banks to choose a legal form that is identical to PERSERO Limited Liability Company (LLC). Since the entry into force of Regulation No.33 of 2006, the management of state-owned banks actually performed according to the principles of healthy corporate governance law firm PT. But in practice, there are still doubts the government banking corporation in implementing the mechanism that causes the service discrimination between public and private banks. It is considered cause injustice to the debtor. Constitutional court ruling reinforces the validity 77/PUU-IX/2011 PP No.33 of 2006 as the legal basis for the use of the corporate mechanism in the resolution of problem loans bank. This research is a prescriptive normative. This study discusses the decision of the Constitutional Court that declared state-owned banks are not bound Arrangements Committee for State Receivables (PUPN) in settlement of loans, but through the mechanism of the corporation so that there is no difference between the bank's services to the debtor government and private banks. Decision of the Constitutional Court is expected to ensure legal certainty for government banks in the implementation."
Universitas Indonesia, 2013
T32716
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Risa Meliora Hutapea
"Kredit macet yang terjadi pada Bank BUMN sering sekali termasuk ke dalam kasus korupsi karena dianggap menyebabkan kerugian negara. Namun apakah kredit macet pada Bank BUMN masih termasuk ke dalam kerugian Negara setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 77/PUU-IX/2011 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 62/PUU-XI/2013. Penelitian yang menggunakan metode yuridis normative ini mengungkapkan bahwa telah terjadi inkonsistensi dalam penentuan kerugian negara pada BUMN khususnya dalam kasus kredit macet pada Bank BUMN di mana seharusnya setelah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 77/PUU-IX/2011 penyelesaian utang piutang BUMN diserahkan kepada Bank BUMN tersebut sehingga kredit macet pada Bank BUMN bukanlah termasuk kerugian Negara. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 62/PUU-XI/2013 tidak menggunakan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 77/PUU-IX/2011 sebagai yurisprudensi sehingga mengakibatkan inkonsistensi dalam penentuan kerugian negara karena adanya dualisme hukum dalam pengertian keuangan negara.

Non performing loan on the state-owned enterprise banks often included in corruption case because it is considered a state loss. However, the non performing loans (NPLs) in the state-owned enterprise (BUMN) banks is still counted as losses of the state after the Decision of the Constitutional Court Number 77/PUU-IX/2011 and Decision of the Constitutional Court Number 62/PUU-XI/2013. The research using normative juridical method reveals that there has been inconsistency in determining state losses in BUMN, especially in the case of NPLs. It argues that after the Constitutional Court Decision Number 77/PUU-IX/2011, debt settlement of state-owned receivables is handed over to the BUMN. Thus, NPLs of the BUMN Banks are not counted as loss of the state. However, the Decision of the Constitutional Court Number 62/PUU-XI/2013 does not use the Decision of the Constitutional Court Number 77/PUU-IX/2011 as jurisprudence. This leads to inconsistency in the determination of state losses due to the existence of legal dualism in the definition of state finances.
"
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Frans Elipus Mulyawan
"Perkembangan dunia perdagangan sedemikian pesat telah menumbuhkembangkan toko dan kios-kios pada gedung bertingkat dan kemudian membutuhkan pranata hukum untuk mengaturnya. Undang-Undang Rumah Susun dan peraturan pelaksanaannya kemudian menjadi pilihan hukum dengan sebutan Rumah Susun Non Hunian. Jumiah kios yang tersedia tidak sesuai dengan jumlah permintaan, sehingga menyebabkan harga kios tersebut melonjak. Harga yang sangat tinggi telah menjadikan para pedagang tergantung pada kredit bank.
Permasalah pokok yang diteliti adalah perlindungan hukum bagi bank yang mendanai padahal jual beli baru dapat dilakukan melalui Pengikatan Perjanjian Jual Bell (PPJB). Kemudian, dipertanyakan tentang upaya yang dapat dilakukan bank apabila debitor wanprestasi. Dipergunakan pendekatan penelitian yuridis norrnatif dengan meneliti data sekunder dari bahan hukum primer berupa KUH Perdata, UU No. 10 Tabun 1998 tentang perbankan, bahan hukum sekunder berupa literatur dan bahan hukum tersier sebagai pendukung.
Hasil penelitian dituangkan dalam kesimpulan bahwa Bank pemberi kredit belum dapat melakukan pembebanan flak tanggungan atas tokolkios Pusat Grosir Tanah Abang yang proses jual belinya barn sampai tahap PPJB. Pembebanan jaminan itu nantinya bisa dilakukan berdasarkan UU Hak Tanggungan dan UU Rumah Susun dengan mengklasifikasikan tokolkios tersebut sebagai Rumah Susun Bukan Hunian sebagaimana diatur dalam PP Rumah Susun. Untuk terjaminnya kepastian hukum bagi terjaminnya pengembalian kredit dari debitor pembeli toko/kios Bank dapat bertumpu pada asas kekuatan mengikat PPJB dan Perjanjian Kredit yang memuat janji-janji yang sejalan dengan ketentuan¬ketentuan Hak Tanggungan dan mengikat Pengelola Pusat Grosir Tanah Abang sebagai jaminan perseoranganlperusahaan.
Perjanjian kredit dan pengikatan jaminan yang dilakukan terhdap tokolkios yang baru sampai tahap PPJB secara yuridis telah memenuhi ketentuan pemberian kredit menurut Pasal 1 angka (12) UU Perbankan. Terhadap pengembalian kredit yang macet dari para debitor, Bank dapat mengalihkan tokolkios kepada debitor baru baik dari debitor yang lancar maupun debitor bare dan untuk lebih mengamankan pengembalian kredit, Disarankan untuk melakukan pengikatan barang dagangan sebagai jaminan fidusia kepada debitor pembeli tokolkios Pusat Grosir Tanah Abang yang menunjukkan gejala yang mengarah kepada kredit macet.

Rapid development of trade world has increased the number of shops and kiosks at a number of high-rises which later needed a rule for control purpose. High-Rise Law and its implemental regulation then became legal option called Non-Residential High Rise. The number of available stall does not in accordance with demand so it. causes the stall prices is rising.Expensive price has made customers rely upon bank credit.
Main problem being studied is how a legal protection works for the bank which has financed the necessity, considering that the new sale and purchase can be made through Sale and Purchase Agreement (PPJB). Later, a question arose as to what effort the relevant bank can make in case the debtor is in default. A method used is normative juridical study in addition to some interviews to support the available data.
The result of the study is stated in such a conclusion that the Bank which provides credit has yet to impose a security right on shops/kiosks at Tanah Abang Wholesaler Center whose sales process just reached the stage of PPJB. Imposition of guarantee will be made based on Security Right Law and High-Rise Law by classifying shops/kiosks as Non-Residential High-Rise as provided in the Government Regulation on High Rise. For the purpose of legal certainty to make sure that the credit is repaid by the debtor who has bought shop/kiosk, Bank may rely upon the principle of binding force of the PPJB and Loan Agreement stating a number of promises in line with the provision on Security Right which binds the Management of Tanah Abang Wholesaler Center as individual/corporate guarantee.
Loan agreement and security agreement applied to the shop/kiosk which up to now just reached the stage of PPJB has juridicaly satisfied the provision on credit extending under Article I figure (12) Bank Law. For repayment of problem credit by some debtors, bank may transfer the shop/kiosk to other good debtor chosen from reliable debtors and new debtors in a bid to secure repayment of the credit. It is further suggested to bind the goods as fiduciary guarantee with the buyer of shop/kiosk at Tanah Abang Wholesaler Center which has shown a tendency of a problem credit.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008
T24259
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ibnu Hakam Musais
"Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XI/2013, pilkada bukan lagi pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22E Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Ketentuan Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan pemilihan kepala daerah dipilih secara demokratis, sampai saat ini juga masih menimbulkan perdebatan apakah dilaksanakan secara langsung atau dapat pula melalui perwakilan. Kewenangan untuk mengadili perselisihan hasil pilkada di Indonesia telah beberapa kali berpindah dari Mahkamah Agung kepada Mahkamah Konstitusi, lalu dikembalikan kepada Mahkamah Agung, dan terakhir secara normatif diberikan kepada badan peradilan khusus. Alih-alih menjalankan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XI/2013 untuk mengatur mengenai penyelesaian perselisihan hasil pilkada, pembuat undang-undang justru mengembalikan kewenangan penyelesaian hasil pilkada untuk sementara waktu kepada Mahkamah Konstitusi. Meskipun badan peradilan khusus harus dibentuk paling lambat pada tahun 2024, sebelum dilaksanakannya pilkada serentak nasional, sampai dengan saat ini masih belum ada pembahasan serius untuk mencari format ideal penyelesaian perselisihan hasil pilkada. Terlepas dari hal tersebut, pada praktik ketatanegaraan di negara lain telah dikenal electoral court yang secara khusus mengadili perselisihan hasil pilkada. Namun demikian, pengaturannya dilandasi oleh pencantuman kewenangan lembaga tersebut pada konstitusi. Dari fakta pengalaman dalam mengadili perselisihan hasil pilkada, Mahkamah Konstitusi diakui oleh berbagai kalangan lebih baik daripada Mahkamah Agung. Untuk itu, penyelesaian perselisihan hasil pilkada sebaiknya diberikan kembali kepada Mahkamah Konstitusi.

Post-decision of the Constitutional Court Number 97/PUU-XI/2013, regional election is no longer as an election mentioned in the Article 22E of the 1945 Constitution of the Repuublic of Indonesia. Until now, debates about provisions of the Article 18 paragraph (4) of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia, especially about regional heads are democratically elected, should be applied by direct regional election or indirect regional election. The authority to resolving disputes over regional elections results in Indonesia has moved from Supreme Court to Constitutional Court, then returned to the Supreme Court, and finally its given to the special judicial bodies. Instead of executing the Constitutional Courts Decision Number 97/PUU-XI/2013 to regulate about institution to resolve disputes over regional election, law makers even give the authority back to the Constitutional Court, as a temporarily authority until the Special Judicial Bodies established. Although the Special Judicial Bodies should be formed before years of 2024 which is simultaneously national election are held, there are no serious discussion from the lawmakers to have an insight for an institution to resolving the disputes over regional election results. Even though, constitutional practices in other countries began to introduce electoral court as a special judicial bodies to resolving disputes over regional elections results. However, it based on the provision on their constitution. From the fact of experiences in resolving disputes over regional elections results, Constitutional Court is better than the Supreme Court was. For this reason, the authority to resolving disputes over regional elections results, is way much better if returned to the Constitutional Court.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
T55129
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>