Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 142594 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Martinette Susan Christie Prabowo Notosaputro
"ABSTRAK
Penelitian ini berfokus pada upaya menjelaskan gambaran mengenai maskulinitas otokoyaku dengan menggunakan analisis karakteristik pada tokoh-tokoh yang terdapat dalam drama The Rose of Versailles. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Analisis karakteristik dalam penelitian ini menggunakan konsep stereotipe karakteristik gender Baron. Penggambaran gender merupakan konstruksi sosial. Ideologi yang terkandung dalam drama The Rose of Versailles. Selain itu, penelitian ini juga membahas mengenai kostum, penampilan dan gerak gerik dari otokoyaku. Sumber data yang digunakan adalah video yang dibuat oleh Takarazuka Creative Art yang berjudul The Rose of Versailles pada tahun 2006. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa di dalam pertunjukkan Takarazuka Revue terdapat ideologi gender yang dimanfaatkan oleh perempuan sebagai “alat” untuk menunjukkan eksistensinya dalam panggung seni pertunjukan di Jepang.

ABSTRACT
This study focuses on efforts to clarify the picture of masculinity otokoyaku by using analysis of the characteristics of the figures contained in the drama The Rose of Versailles. This study is a qualitative research. Analysis of the characteristics in this study uses the concept of gender stereotypes Baron characteristics. The depiction of gender is a social construction. Ideology contained in the drama The Rose of Versailles. Furthermore, this study also discusses the costume, appearance and gestures of otokoyaku. Source of data used is a video with title The Rose of Versailles made by Takarazuka Creative Art's in 2006. Results of this study indicate that in the Takarazuka Revue performances are gender ideology used by women as a "tool" to demonstrate their existence in the performing arts stage in Japan."
Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurfitriani Dewi
"ABSTRAK
Takarazuka Revue adalah sebuah teater asal Kansai, Jepang yang seluruh pemainnya terdiri dari perempuan. Dalam pembagian peran yang dimainkan, para pemain yang disebut dengan Takarasiennes dibagi menjadi dua peran, yakni peran laki-laki atau otokoyaku dan peran perempuan atau musumeyaku. Dalam membawakan karakter laki-laki, otokoyaku cenderung membawakan karakter androgini yang merupakan kombinasi kuat dari sifat maskulin dan feminin. Karakter tersebut dibentuk pada saat pelatihan di sekolah musik Takarazuka.

ABSTRACT
Takarazuka Revue is a theater from Kansai, Japan, where all of its players consist of women. In the division of roles played, the players called Takarasiennes are divided into two, male role or otokoyaku, and female role or musumeyaku. In bringing male characters, otokoyaku tends to carry an androgynous character which is a strong combination of masculine and feminine traits. The character is formed when training in the Takarazuka music school."
2018
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Tiara Maharani
"Anime Kuragehime (2010) karya Akiko Higashimura merupakan adaptasi dari manga yang sebelumnya telah ditulis oleh penulis yang sama. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis identitas gender pada karakter Kuranosuke Koibuchi dalam anime Kuragehime dan respon yang diterima olehnya dari lingkungan sekitar. Dalam penelitian ini, teori performativitas gender oleh Judith Butler (1999) dan metode penelitian semiotika Charles Sanders Pierce digunakan sebagai landasan teoritis dan metodologis. Hasil analisis ditemukan bahwa elemen-elemen seperti pakaian, gaya rambut, dan ekspresi wajah Kuranosuke membentuk makna mendalam terkait identitas gender karakter tersebut. Perubahan penampilan Kuranosuke seperti layaknya seorang wanita menjadi representasi dinamika performativitas gender. Temuan penelitian ini menegaskan bahwa identitas gender bukanlah entitas statis, melainkan konstruksi sosial yang terus berubah melalui tindakan performatif yang berulang dan dinamis.

The anime Kuragehime (2010) by Akiko Higashimura is an adaptation of a manga previously written by the same author. This research aims to analyze the gender identity of the character Kuranosuke Koibuchi in the anime Kuragehime and the responses received from his surrounding environment. In this study, the theoretical framework and methodology involve Judith Butler's (1999) gender performativity theory and Charles Sanders Pierce's semiotic research method. The analysis results indicate that elements such as clothing, hairstyle, and facial expressions of Kuranosuke form profound meanings related to the gender identity of the character. Kuranosuke's changes in appearance, resembling that of a woman, serve as a representation of the dynamics of gender performativity. The research findings affirm that gender identity is not a static entity but a social construction that continually evolves through repeated and dynamic performative actions."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Karina Aisyah
"[Tesis ini membahas pengaruh kebijakan pemerintah terhadap kebijakan perusahan Kurabo Group di Jepang, khususnya kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan ketenaga kerjaan dan kesetaraan gender dalam perusahaan dan perubahan pandangan karyawan dan karyawati perusahaan Kurabo Group terhadap perubahan pembagian tugas secara gender di Jepang. Dengan metodologi wawancara, angket dan kajian pustaka, penelitian ini menemukan bahwa kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan perusahaan di Jepang tidak memiliki pengaruh
yang signifikan terhadap pengambilan keputusan kebijakan dalam perusahaan. Karena itu, perusahaan masih memiliki pengaruh yang kuat dalam mengubah masyarakat. Para pekerja pun beradaptasi sedemikian rupa dengan perubahan yang ada sehingga pandangan mereka terhadap pembagian tugas berdasarkan gender yang lebih egaliter pun terlihat posit if meskipun sebagian besar masih tidak bisa lepas dari konsep-konsep pembagian tugas berdasarkan gender yang mengikat.;This study examine the influence government's laws and regulations to Kurabo Group's labor force and gender equality related policy, as well as the change of worker's attitude toward the changes of gender division of labor in Japan. This study found that government's laws and regulations do not have a significant impact to a company's policy makers' decision. Hence, companies in Japan still have stronger influence to change the society. In the other hand, workers have adapted to the existing socio-demographic changes and showed a positive attitude toward the change of gender labor division to the more egalitarian one. Although most of them still cannot be free from traditional concept of gender labor division., This study examine the influence government's laws and regulations to Kurabo Group's labor
force and gender equality related policy, as well as the change of worker's attitude toward the
changes of gender division of labor in Japan. This study found that government's laws and
regulations do not have a significant impact to a company's policy makers' decision. Hence,
companies in Japan still have stronger influence to change the society. In the other hand,
workers have adapted to the existing socio-demographic changes and showed a positive
attitude toward the change of gender labor division to the more egalitarian one. Although
most of them still cannot be free from traditional concept of gender labor division.]"
Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2015
T43529
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Diandra Sekarayu
"Isu gender merupakan salah satu isu sosial yang masih sering menjadi diskursus dalam masyarakat Jerman. Salah satu subtema dari isu gender yang masih terus menjadi diskursus dalam masyarakat Jerman adalah perihal maskulinitas laki-laki sejak lama. Beberapa produk media membentuk konstruksi maskulinitas dalam masyarakat  Jerman, salah satunya lagu. Beberapa lagu yang mengusung tema maskulinitas laki-laki di antaranya adalah lagu Männer (1984) oleh Herbert Grönemeyer dan Nicht die Musik (2019) oleh Kummer. Untuk melihat konstruksi maskulinitas di Jerman pada tahun 1980-an dan di masa Jerman kontemporer, penulis membandingkan kedua lagu tersebut menggunakan metode analisis tekstual dengan metode semantik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konstruksi maskulinitas pada kedua lagu tersebut disajikan dalam berbagai bentuk stereotipe, berdasarkan teori maskulinitas hegemonik oleh R.W. Connell (2005). Penelitian ini juga memperlihatkan bahwa konstruksi maskulinitas yang disajikan dalam kedua lagu tersebut tidak bersifat tunggal, tidak tetap, dan disajikan secara kontekstual.

Gender issue is one of the social issues which are still a topic of discourse in German society. One of the subthemes of gender issue that continues to be discussed in German society is the longstanding issue of male masculinity. Some media products shape the construction of masculinity in German society, including songs. Some songs that carry the theme of male masculinity are Männer (1984) by Herbert Grönemeyer and Nicht die Musik (2019) by Kummer. To look at the construction of masculinity in Germany in the 1980s and in contemporary Germany, the author compares the two songs using the textual analysis method with the semantic method. The results show that the construction of masculinity in both songs is presented in various forms of stereotypes, based on the theory of hegemonic masculinity by R.W. Connell (2005). This research also shows that the construction of masculinity presented in both songs is not singular, not fixed, and presented contextually."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Rika Saraswati
Jakarta: Convention Watch & UI dengan NZAID, 2000
345 Sav p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Novie Yektiningsih
"ABSTRAK
Peran jender merupakan peran yang dilaksanakan oleh Iakl-lakl dan
perempuan karena jenis kelamin mereka berbeda, peran ini tidak sama sesuai
mlai dan norma sosial-budaya yang mengkonstrukslkannya.
Kebutuhan praktls jender adalah kebutuhan yang muncul dalam keseharfan,
sedangkan kebutuhan strategis jender merupakan upaya jangka panjang dan
berkaltan dengan upa ya memperbaiki posisi sosial perempuan.
Saat pendapafzn keluarga tidak dapat memenuhi kebutuhan dasar,
maka perempuan akan bekerja untuk menambah keuangan keiuarga.
Perempuan berpendidikan tinggi akan bekerja di sektor fomral, sedangkan
perempuan yang berpendidikan relalif rendah akan terserap di selctor
informal. Penelitian ini akan melihat upaya peningkatan tzaraf hidup
pembatik tulis melalui peran jender yang berlaku dalam komunitas tensebut,
dengan menggunakan metode Diskusi Kelompok Terarah (Focused Group
Discussion, FGD) dan Pnoses Hirarki Analitik (Analyticai Hierarchy Process,
AHP).
FGD
Dari Hasil FGD, diketahui bahwa mayontas pembatik berpendidikan
rendah dan memiliki suami yang bekerja sebagai tukang/ buluh. Jika
sedang bekerja, pendapatan suami adalah Rp. 20.000,- perharinya. Tapi
seringkali suami terpaksa tinggai dlmmah selama berbulan-bulan karena
tidak mendapat pekerjaan. Jika suami tidak bekerja, maka pendapatan
kaum pembatik yang menjadi bantalan ekonomi keluarga. Padahal
produktivitas mereka terbatzs 3 lembar kain (tapih) perbulan dan harga jual
Rp. 70.000 - Rp 120.000, dengan demikian keuntungan bersih yang dicapai
tidak iebih dari 150.000,-
Beberapa pembatik mulai melakukan spesialisasi dengan
menyerahkan tahap-tahap bertentu dalam pengolahan kain batik untuk
dikerjakan oleh rekan sesama pembatik. Hasilnya cukup menggembimkan,
produktivitas meningkat hingga 60%, yaitu S lembar tapih perbulan. Meski
demikian penambahan produktivims ini belum dibarengi dengan
peningkatan permintaan. Akibatnya pembatik kurang termotivasi untuk
menekuni pekerjaannya.
Kecilnya skala usaha membuat pembatik tidak memisahkan
manajemen keuangan usaha dengan keuangan keluarga. Akibatnya saat
keluarga menghadapi kebutuhan mendesak, produksi terhenti karena dana
yang tersedia dialokasikan untuk mencukupi kebutuhan tersebut. Jika
kekurangan modal, pembatik akan meminjam dan rekan sesama pembatik
ataupun sanak famili. Pilihan int dirasakan Iebih praktis, tanpa mengikut
sertakan lembaga keuangan yang dianggapnya memniki prosedur berbellt.
Sebagai mata pencahanan, IKRT Batik Tegalan masih dipandang
sebelah mat:a. Penyebabnya antara Iain tidak jelasnya a1okasi waktu dan
produktivitas yang menurun saat pembatik memiliki anak balita. Meski
pembatik tidak merasakan adanya beban ganda akibat beragam peran yang hams dllakukan, sikap ini dlsebabkan sistem sosial yang beriaku
menempatkan perempuan sebagai penanggung jawab urusan rumah
tangga. Sama halnya dengan pekerjaan rumah tangga lain, batik dianggap
sebagai umsan perempuan.
Hubungan antar pembatik juga kurang harmonis. Hal ini terutama
disebabkan keberadaan kelompok dalam komunitas batik yang tidak banyak
berfungsi. Padahal jlka dimanfaalkan secara malcimal, kelompok dapat
menjadi jembatan informasi antar pembatik, antara pembatik dengan
pemennlah (berkaitan dengan berbagai program/ kebijakannya) dan antara
pembatik dengan konsumen. Menilik sisi psikologis perempuan yang nelatif
Iebih mudah bersosialisasi, maka manajemen kelompok yang balk akan
membuat pembatik dapat sallng memotlvasi.
AHP
Tahap selanjutnya, hasil FGD yang diperbandingkan dengan berbagai
penelitlan serupa kemudian menjadi input bagi hirarki backward pmcess
dalam tahap AHP. Hirarki backward proces dari peningkatan taraf hidup
perempuan pembatik terdiri alas lima level. Level Pertama mempakan
tujuan utama (GOAL) yang lngln dlcapal, adalah Penlngkatan Taraf Hidup
Perempuan Pembatik Tulis Tegalan melalul Pelan Jender. Level 2 adalah
Skenasio, ada 3 (tiga) altematif skenarlo (berupa pendekatan-pendekatan
atas peran jender para pembatik) yang yang dapat dilakukan untuk
mencapai GOAL, yaitu: (1) Meningkatkan kesejahteraan keluarga, (2)
Melestarikarl budaya Iokal, (3) Pemberdayaan perempuan. Level 3 adalah
Kendala, ada 4 (empat) kendala besar dalam melaksanakan skenario
untuk mencapai tujuan, yaitu: (1) Keterbatasan modal, (2) 'l'ldak adanya
informasi pasar yang lebih Iuas, (3) Beban ganda penempuan, (4)
Manajemen kelcmpok yang tidak berfungsi. Level 4 adalah Pelaku, secara
garis besar ada 4 pelaku yang terlibat dalam proses ini, yaitu: (1)
Pemerintah Kota Tegal, (2) Lembaga Keuangan atau perbankan, (3)
Pembatjk, (4) Masyarakat. Level 5 adalah Kebijakan, ada 5 alternatif
kebijakan yang dapat dilakukan, yaitu: (1) Pelatihan Teknls, (2) Membuka
akses ke pasar yang lebih Iuas, (3) Kemudahan plnjaman modal, (4)
Pelatihan manajernen usaha berbasis pola usaha perempuan, (5) Kemitraan
dengan designer.
Kuesioner' AHP dibagikan kepada 13 orang expert yang dipercaya
mengetahui permasalahan yang berkaltan dengan upaya peningkatan taraf
hidup pembatik Kota Tegal. Dalam penghitungan persepsi skala Iokal, total
expert dibagi menjadi empat unsur. Keempatnya memberikan jawaban balk
dengan tlngkat lnkonsistensi dibawah 0,1, yaltu unsur Pemerintah (0,02),
unsur Pembatik (0.02), unsur Lembaga Keuangan/ Perbankan (0.03) dan
unsur Masyarakat (0.05).
Dalam skala priorltas Iokal, rnasing-masing unsur memberikan
persepsi yang bervariasi. Unsur Pemerintah memprionlaskan skenario:
peningkalan kesejahtelaan keluarga (0.561), kendalaz keterbatasan modal
(0.486), pelaku: Pemkot Tegal (0.463) dan kebijakan: kemudahan
pinjaman modal (O.2S6). Unsur Pembatik memprlonlaskan skenario:
peningkamn kesejahteraan keluarga (0.561), kendala: liclak adanya
informasl pasar yang lebih Iuas (0362), pelaku: Pemkot Tegal (O.522) dan
kebijakan: pelalihan manajemen dan pola usaha perempuan (0.242). Unsur Lembaga Keuangan/ Perbanksan memprioritaslcan skenarlo: pemberdayaan
perempuan (0.653), kendala: tidak adanya informasi pasar yang Iebih luas
(0.353), pelaku: Pemkot Tegal (0.350) dan kebijakan: pelaljhan teknis
(0.281). Unsur Masyarakat memprioriliaskan skenario: peningkalian
kaejahteraan keluarga (O.593), kendala: keterbatasan modal (0.499),
pelaku: Pemkot Tegal (0.461) dan kebljakan: kemudahan plnjaman modal
(0.333).
Sedangkan dalam priodtas global dimana pemenntah sebagai
pengambil kebijakan memiliki bobot 20%, maka persepsi yang dihasilkan
memprioritaskan skenario: peningkatan kesejahteraan keluarga (0.S23),
kendala: keterbatasan modal (0.458), pelakuz Pemkot Tegal (0,474) dan
kebijakan: kemudahan plnjaman modal (0253). Persepsi global ini memlliki
tingkat inkonslstensi 0.03.
Kesirnpulan Penelitian
Secara umum, keberadaan komunltas pembaljk bukan hanya untuk
melestarikan tradisi lokal, namun yang Iebih penting Iagi, membatik
merupakan altematif pekerjaan bagi para perempuan yang tidak memillki
kesempalan untuk bekerja di sektor formal. Stagnasl usaha batik Tegalan
sesungguhnya tirnbul kanena kebljakan yang dlbuat tidak tepat sasaran.
Bebefapa kesimpulan yang clapat: diambil setelah melakukan
penelitjan adalah:
1. Pemerintah masih mempunyai porsi terbesar sebagai pihak yang
bertanggung jawab dan dapat meningkatkan taraf hidup pembatik
Tegalan. Meski Lembaga Keuangan/ Bank juga dapat berperan
dalam pengembangan IKRT Batik, namun patut dlpertlmbangkan
kondisi psikologis pembatik yang tidak terblasa berhubungan
dengan Perbankan.
2. Ketidak sesuaian persepsi antara Pemerintah dan Masyarakat
menjadikan kebijakan yang diberikan tidak menyentuh akar
permasalahan. Pemerintah (clan institusi lain pendukungnya)
menganggap kendala terbesar adalah permodalan, maka
kebijakan yang muncul Iebih diprioritaskan pada pernberian modal
Pembatik justru menganggap kendala yang Iebih penting adalah
kurangnya lnformasi pasar, sehingga selain pelatihan manajemen
yang berbasis pola usaha perernpuan, kebijakan Iain yang
diharapkan adalah membuka pasar yang Iebih luas. Akibat ketidak
sesuaian ini, maka suntikan modal dari Pemerintah tidak
menambah output produksi. Penyebabnya, pembatik tidak
mengetahui pasar Iain untuk menyalurkan kelebihan produksinya.
Pemasaran terhenti, perputaran modalpun terhambat.
3. Prloritas kebijakan yang diambil oleh Pemerintah Iebih difokuskan
pada sisi penawaran (supply side) akibatnya pembatik menjadi
obyek kebijakan karena skillnya dianggap kurang dan menjadi
penyebab tidak munculnya market clearing di pasar batik.
4. Sebaglan besar para pengrajin masih menganggap kegiatannya
hanya sebagai pengisi waktu luang, sehingga motlvasi untuk
mengembangkan usahanya sangat terbatas.
5. Apablla kebljakan yang ditempuh adalah bantuan/ kemudahan
permodalan, dalam-hal ini tentu saja pernberi kredit harus yakin bahwa membatik merupakan kegiatan yang bernilai ekonomis.
Aspek jender dalam pemenuhan kebutuhan ini adalah dengan
memperhatikan kesulitan yang ?khas" perempuan seperti
kepemilikan kolateral dan pola usaha yang khas} sehingga kredit
yang diberlkan dapat sesuai dengan kondisi pengusaha IKRT Inl.
y 6. Upaya peningkatan taraf hidup perempuan pembatik seharusnya
benar-benar merupakan kebijakan yang bersifat partisipatif. Untuk
itu karakter pembatik yang tidak dapat dilepaskan dari kultur Iokal
harus difahami oleh para pembuat kebijakan.
Saran dan Rekomendasi Kebijakan
1. Upaya melibatkan Lembaga Keuangan/ Bank sebaiknya difasilitasi
oleh Pemerlntah Kota Tegal, karena walau bagai mana pun
Perbankan tetap memillki orientasi keuntungan dalam menjalankan
usahanya. Dengan jaminan ataupun pengakuan pemerintah pada
Perbankan terhadap industri kerajinan batik, maka BUMD ini akan
dapat memberikan kredit Iunak yang sesual dengan karakteristik
sosial-budaya mereka.
2. Langkah awal menuju profesionalitas dapat dimulai dengan
pembukuan keuangan usaha yang terpisah dari keuangan keluarga.
Laporan ini dapat menjadi pertimbangan saat melakukan
perrnohonan kredit usaha kecil ke Perbankan. Sedangkan secara
umum beban ganda dapat dlatasi dengan kerja bersama dalam
kelompok.
3. Sisi penawaran yang selama ini menjadi fokus pengembangan IKRT
Batik sebaiknya juga diimbangi oleh sisi permintaannya (demand
side). Kerjasarna dengan designer dapat memecahkan masalah ini,
karena pembatik tidak hanya dapat mempelajari trend, tapi juga
mendapatkan pangsa pasar dan sarana promos! produk.
4. Bantuan modal, pelatihan teknls serta pelatihan manajemen yang
selama ini diadakan oleh Disperinclag Kota Tegal akan lebih baik
lagi jika mempertimbangkan pola usaha bersama/ kelompok,
dengan pertimbangan nllai budaya dan tradisi yang berlaku dalam
komunitas tersebut.
5. Membangun pengertian masyarakat di setiap kesempatan bahwa
batik rnemiliki misi budaya, sehingga tidak hanya menjadi
tanggung ja :ab perempuan saja.
6. Pendekatan pemberdayaan perempuan akan sangat bermanfaat
bagi pengembangan IKRT Batik karena masalah yang dihadapi
sangat spesifik dan kompleks. Langkah strategis yang perlu
dilakukan adalah melibatkan kaum perempuan dalam setiap proses
pengammtan kebijakan di Ilngkungan mereka, misalnya melalui
Musrenbangkel, bukan hanya sebagal wakll dari organisasi khas
perempuan seperti PKK, tapi sebagai pengusaha kecil yang
berpotensi.
7. Para pengambil kebijakan sebaiknya mengembangkan wawasan
dan pengetahuan mengenai pemberdayaan perempuan, khususnya
IKRT yang dijalankan oleh pengusaha perempuan. Pengembangan
wawasan bukan hanya bagi dinas atau kantor tertentu saja.

"
2006
T34542
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Gadis Arivia Effendi
"Dunia menganggap bahwa teknologi adalah netral. Teknologi perlu dicurigai karena fakta-faktanya bergender. Tulisan ini akan mengurai kaitan antara maskulinitas dan teknologi; serta mengevaluasi bagaimana hubungannya dengan perempuan. Kajian ini mengungkap bahwa teknologi adalah konstruksi sosial dan bersifat politis. Hasil dari kajian teoritis mengungkapkan bagaimana efek konstruksi ini pada masyarakat modern. Kemudian ditutup dengan bagaimana feminisme membuka kedok ilmiah dan mendekonstruksi epistemologinya untuk perdebatan sosial kontemporer dan keadilan gender."
Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2013
305 JP 18:3(2013)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>