Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 105025 dokumen yang sesuai dengan query
cover
A. Antares Cahyo A.
"Tesis ini membahas mengenai peraturan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dan bagaimana terjadinya persekongkolan tender. Regulasi yang mengatur mengenai pengadaan barang/jasa pemerintah seringkali mengalami perubahan sehingga menimbulkan perdebatan dan ketidakpastian hukum. Selain diatur dalam Keppres No. 80 Tahun 2003 dan Perpres No. 54 Tahun 2010 yang terakhir dirubah dengan Perpres No. 70 Tahun 2012, persekongkolan tender juga diatur dalam UU No.5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Untuk lebih memahami bagaimana terjadinya persekongkolan tender, dalam tesis ini juga dijelaskan mengenai studi kasus tentang persekongkolan tender. Studi kasus yang diambil adalah Tender Penerapan Kartu Tanda Penduduk Berbasis NIK Secara Nasional (KTP Elektronik)). Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat Yuridis Normatif yaitu penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan. Berdasarkan penelitian ini maka dapat disimpulkan bagaimana persekongkolan tender dapat terjadi dan peran KPPU dalam mengawasi persekongkolan tender serta putusan yang dikeluarkannya. Tesis ini juga membahas mengenai penerapan pasal 22 UU No.5 Tahun 1999 dalam putusan perkara KPPU Nomor 03/KPPUL/ 2012 mengenai Tender Penerapan Kartu Tanda Penduduk Berbasis NIK Secara Nasional (KTP Elektronik) Tahun 2011 s/d 2012 dengan sumber dana APBN DIPA Dirjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri Tahun Anggaran 2011 dan Tahun Anggaran 2012.

This thesis discusses the rules procurement of goods/services and how bid rigging can occur. Regulations governing the procurement of government goods/services often experience changes that give rise to debate and legal uncertainty. Regulated by Keppres No. 80/2003 and Perpres No. 54/2010 (last amended by Perpres No. 70/2012), bid rigging is also regulated in UU No. 5/1999 on the Prohibition of Monopolistic Practices and Unfair Business Competition. To better understand how the bid rigging occur, in this thesis also described the case study of bid rigging. As an example case study is Bid Rigging in Procurement of Goods/ Services In terms of UU No. 5/1999 (Case Study: NIK-Based Identity Card Application Tender (Electronic KTP)). This research is a normative juridical nature that research refers to the legal norms contained in the legislation. Based on this study it can be concluded how bid rigging can occur and the Commission's role in overseeing the bid rigging as well as the issuance of the verdict. This thesis also discusses the application of Article 22 of UU No. 5/1999 in the court judgment regarding the Commission verdict No. 03/KPPU-L/2012 about Bid Rigging in Procurement of Goods/Services In terms of UU No. 5/1999 (Case Study: NIK-Based Identity Card Application Tender (Electronic KTP))."
Depok: Universitas Indonesia, 2013
T35054
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indra Saputro
"Krisis multi dimensi yang terjadi di Indonesia tidak terlepas dari adanya persaingan usaha tidak sehat dengan segala bentuknya. Terjadinya pemusatan ekonomi pada segelintir pihak dan praktek-praktek monopoli membuat pasar menjadi terdistorsi dan membahayakan pertumbuhan perekonomian yang didasari pada persaingan usaha yang sehat. Banyaknya kasus-kasus persekongkolan tender yang terjadi di Indonesia mengindikasikan bahwa selama ini kesempatan berusaha tidak mendapatkan perlindungan yang memadai, dan hanya dapat dinikmati oleh pihakpihak yang kuat dan dekat dengan kekuasaan. Lahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat diharapkan mampu untuk mengurangi bahkan menghilangkan praktek-praktek persekongkolan tender di Indonesia. Dalam hukum persaingan usaha dikenal dua macam metode pendekatan yang digunakan dalam menganalisis kasus-kasus persaingan usaha, yaitu per se illégal dan rule of reason.
Terdapat perbedaan mendasar antara kedua metode pendekatan tersebut. Pendekatan rule of reason membutuhkan analisis ekonomi untuk mengetahui akibat dari perbuatan tersebut, sedangkan per se ¿Ilegal tidak lagi mensyaratkan adanya analisis ekonomi. Dalam Pasal 22 UU No.5 Tahun 1999 yang mengatur mengenai persekongkolan tender terlihat menggunakan analisis secara rule of reason, dimana hal tersebut bertolak belakang dengan beberapa putusan KP PU yang menggunakan pendekatan per se illégal.
Penyelesaian kasus-kasus yang terjadi di negara-negara lain adalah menggunakan pendekatan per se illégal dalam kasus-kasus persekongkolan tender (bid rigging) bahkan dipertegas dengan mengkategorikan sebagai perbuatan pidana.
Hal ini menunjukkan bahwa P'asal 22 UU No.5 Tahun 1999 perlu diadakan perubahan mengingat persekongkolan tender sama sekali tidak berkaitan dengan struktur pasar (structure), dan tidak terdapat unsur pro-persaingan sama sekali. Persekongkolan tender lebih mengutamakan perilaku (behavior) berupa perjanjian untuk bersekongkol iconspiracy) yang pada umumnya dilakukan secara diam-diam. Hal tersebut juga perlu dilakukan agar terdapat kesesuaian dengan penanganan kasus-kasus persekongkolan tender di negara-negara yang telah berpengalaman, sehingga tercipta suatu konvergensi antara aturan hukum di Indonesia dengan negara lain, sepanjang hal tersebut bermanfaat dan baik untuk diaplikasikan.(is)"
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T36599
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mustafa Khamal Rokan
"Persekongkolan dalam pelaksanaan tender menjadi fenomena yang paling banyak terjadi dalam dunia persaingan usaha di Indonesia. Akibatnya, terjadi inefesiensi, kualitas barang dan jasa yang tidak baik. Hal ini disebabkan oleh state and business centered dalam kegiatan ekonomi. Pusat perekonomian hanya dimiliki oleh sebagian pelaku usaha. Pelaksanaan tender dan lelang dimonopoli oleh pelaku usaha tertentu yang berada dalam lingkaran kekuasaan. Persekongkolan tender di Indonesia lebih didominasi dalam bentuk kerjasama antara penguasa dan pelaku usaha, selain antar pelaku usaha itu sendiri.
Pertumbuhan ekonomi hanya didominasi oleh sebagian pelaku usaha menandakan tidak terwujudnya keadilan yang merata. Dalam catatan, dari 40 juta pengusaha, hanya 200an merupakan pengusaha besar (baca: konglemerat) namun mendominasi GNP sekitar 60% persen, sedangkan penguasa kecil yang mencapai 99% lebih pengusaha hanya 40% dari porsi Gross National Product (GNP). Hal ini juga akan mengakibatkan terjadinya kesenjangan (gap) ekonomi secara meluas di kalangan pengusaha dan masyarakat sehingga keadilan yang merata sulit terwujud. Dengan menggunakan hak inisiatif DPR dibentuklah UU. No. 5 Tahun 1999 tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
Larangan melakukan persekongkolan tender terdapat pada Pasal 22. Pasal 22 UU. No. 5 Tahun 1999 secara tegas melarang pelaku usaha bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan atau memenangkan tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat. Implementasi konsep dan paradigma dalam kebijakan dan hukum persekongkolan tender secara khusus dan persaingan usaha secara umum dilaksanakan oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). KPPU dalam menjalankan amanat UU. No. 5 Tahun 1999 telah memutuskan dan menetapkan perkara yang dilaporkan maupun dari inisiatif.
Dalam lima tahun perjalanannya, KPPU telah memutus 9 (sembilan) putusan mengenai persekongkolan tender dari 17 perkara yang ditangani. 3 (tiga) diantaranya dinyatakan tidak terbukti terjadi persekongkolan tender dan 6 (enam) terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan persekongkolan tender. Dari 6 (enam) putusan KPPU mempunyai bermacam karakter persekongkolan tender terjadi, ada yang bersifat persekongkolan horizontal antar sesama pelaku usaha dan lebih banyak persekongkolan vertikal antara panitia dengan pelaku usaha.
Bentuk persekongkolan terjadi juga bervariasi, melakukan persekongkolan di sebuah tempat, persaingan yang semu (sham competition), persyaratan prakualifikasi yang menuju pada satu pelaku usaha serta memberikan fasilitas khusus bagi pelaku usaha tertentu. Dan diantara yang tidak terbukti secara sah dan meyakinkan majelis hakim, Secara umum indikasi awal dalam perkara yang diputuskan oleh KPPU merupakan bentuk pelanggaran atas Keppres No. 80/2000 tentang pengadaan barang dan jasa dan ketentuan pengadaan barang dan jasa masing-masing perusahaan. Untuk itulah sinkronisasi UU. No. 5 tahun 1999 dan Keppres pengadaan barang dan jasa menjadi sangat penting dalam penegakan hukum persaingan usaha di Indonesia."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T18478
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nazlia Purnama Sari
"Persekongkolan dalam kegiatan tender merupakan perbuatan yang mengutamakan aspek perilaku berupa perjanjian untuk bersekongkol yang dilakukan secara diamdiam dalam persekongkolan tender, penawar menentukan perusahaan tertentu yang harus mendapat pekerjaan melalui harga kontrak yang diharapkan. Tesis ini menjelaskan tentang penerapan Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat di industri migas khususnya pada kasus tender pengadaan alat pengeboran eksplorasi minyak dan gas di Blok Madura.
Metode yang digunakan ialah menggunakan metode yuridis normative yaitu penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat pada peraturan perundang-undangan khususnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Adapun permasalahannya ialah bagaimana penerapan Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 oleh KPPU pada tender di Blok Madura, Pertimbangan Hakim Pengadilan Negeri dan Mahkamah Agung pada putusan KPPU tentang tender di Blok Madura, dan kendala-kendala yang diperoleh KPPU dalam membuktikan Pasal 22. Dengan ini Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) telah memutus perkara tersebut dengan menerapkan Pasal 22 berdasarkan Pedoman Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Kasus pengadaan alat pengeboran eksplorasi minyak dan gas di Blok Madura sudah sampai ke Pengadilan Negeri dan Mahkamah Agung, namun putusan KPPU tersebut dibatalkan oleh keduanya, karena bukti yang kurang cukup. Penerapan Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat pada pertimbangan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan Nomor Perkara 44/PDT/KPPU/2011/PN.Jkt Pst Tentang Tender di Industri Migas Pada Blok Madura dan Mahkamah Agung dengan Nomor Perkara 03K/PDT.SUS/201, yang mana kedua putusan tersebut merupakan lanjutan dari perkara dengan Nomor Putusan 31/KPPU-L/2010.
Berdasarkan pertimbangan hakim Pengadilan Negeri dan Mahkamah Agung atas penerapan Pasal 22 tersebut, kedua hakim tidak menumukan unsur-unsur persekongkolan tender yang terdapat pada Pasal 22, adapun putusan KPPU dengan Nomor Putusan 31/KPPU-L/2010 dibatalkan oleh hakim Pengadilan Negeri dan Mahkamah Agung. Dikarenakan pada putusan KPPU kurangnya bukti petunjuk, KPPU juga tidak menejelaskan secara jelas bukti tidak langsung tersebut, dan bukti tidak langsung belum ada peraturan khususnya di Indonesia. Adanya kendala yang diperoleh KPPU mengakibatkan belum secara optimal melaksanakan kewenangan yang dimilikinya. Selain mengatasi permasalahanpermasalahan, tantangan yang harus dijawab selanjutnya adalah memperjelas status kelembagaan KPPU dalam sistem ketatanegaraan menyebabkan komisi ini menjadi rentan untuk diperdebatkan keberadaannya, utamanya ketika komisi ini menjalankan fungsi dan tugasnya. Selain itu, kendala yang diperoleh KPPU dalam pembuktian adalah perihal whistleblower yang sulit dalam pembuktiannya, karena whistleblower tersebut belum diatur dengan jelas di Indonesia.

Conspiracy in tender activity is an action -oriented aspects of behavior in the form of an agreement to conspire done secretly in a bid rigging , bidder must specify the particular company that got the job through the expected contract price. This thesis describes the application of Article 22 of Law No. 5 of 1999 on the Prohibition of Monopolistic Practices and Unfair Business Competition in the oil and gas industry, especially in the case of procurement of oil exploration and drilling tools natural gas reserve.
The method used is to use the method of normative juridical research that refers to the legal norms contained in laws, especially Law No. 5 of 1999 . The problem is how to implement Article 22 of Law No. 5 of 1999 by the Commission on the tender in Madura , Consideration of District Judges and the Supreme Court on the Commission 's decision on the tender in Madura, and the constraints obtained by the Commission under Article 22 proves. District Court and the Supreme Court, but the verdict was overturned by both the Commission, because of insufficient evidence. Application of Article 22 of Law No. 5 of 1999 on the Prohibition of Monopolistic Practices and Unfair Business Competition in consideration of the Central Jakarta District Court Case No. 44/PDT/KPPU/2011/PN.Jkt with Pst About Tender in the Oil and Gas Industry In Madura and Supreme Court case No. 03K/PDT.SUS/201 , in which both the decision is a continuation of the case with decision No. 31/KPPU-L/2010.
Based on consideration of the District Court and the Supreme Court on the application of Article 22, the two judges did not menumukan bid rigging elements contained in Article 22, while the decision by the Commission Decision No. 31/KPPU-L/2010 canceled by the District Court and the Supreme Court. Due to the lack of evidence hint Commission decision, the Commission also not menejelaskan clearly the circumstantial evidence, and no evidence of indirect rule, especially in Indonesia. Constraints obtained by the Commission resulted in yet optimally carry out its authority. In addition to addressing the issues, challenges that need to be answered next is to clarify the status of the Commission's institution in the state system led to the commission be susceptible to debate its existence, especially when the commission perform its functions and duties. In addition, the Commission obtained constraints in the proof is a difficult subject whistleblower in the proof, as the whistleblower has not been set out clearly in Indonesia.
"
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T38727
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Abdul Rasyid Fatonah
"Kinerja konsultan pada sebuah kontrak proyek pengadaan jasa konsultansi merupakan sebuah faktor penting dalam mencapai tujuan proyek. Adalah sangat penting bahwa perusahaan - perusahaan yang qualified saja yang terpilih untuk mengikuti tender..Di Indonesia panitia lelang jasa konstruksi maupun jasa konsultansi mempunyai batasan - batasan yang harus dipenuhi di dalam menjalankan tugasnya. Selain UU No.18 tahun 2000 (UUJK), Kep.Pres No 80 Tahun 2003 tentang pedoman pelaksanaan pengadaan barang / jasa pemerintah juga peraturan - peraturan yang dikeluarkan oleh masing - masing pemerintah daerah. Sesuai dengan Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah No: 257/KPTS/M/2004 tanggal 29 April 2004 tentang Standar dan Pedoman Pengadaan Jasa Konstruksi, mengenai Pedoman Evaluasi Penawaran Seleksi Nasional Pekerjaan Jasa Perencanaan dan Pengawasan Konstruksi (Konsultansi) menggunakan Metoda Evaluasi Kualitas Teknis dan Biaya yang terdiri dari evaluasi administrasi dan teknis.
Dalam penelitian ini penulis ingin mengidentifikasi faktor - faktor apa yang paling dominan dalam penentuan pemenang lelang pada jasa konsultansi pada proyek pemerintah di DKI Jakarta. Oleh sebab itu penulis dalam menganalisa faktor - faktor penentuan pemenang lelang jasa konsultansi melihat pada faktor - faktor yang terdapat pada aspek administrasi dan teknis dengan metode literatur dan kuisioner, yang kemudian dianalisa dan validasi dengan bantuan program SPSS 13.0. Dari hasil analisa dengan SPSS 13.0 terhadap variabel - variabel yang diambil didapatkan 2 variabel yang dominan yaitu pendekatan dan cara penanganan pekerjaan oleh konsultan dalam melaksanakan proyek dan kemampuan konsultan dalam memahami Kerangka Acuan Kerja proyek."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2008
S35798
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Iwan Erar Joesoef
"Disertasi ini mengkaji bagaimana Pemerintah menerapkan konsep model kontrak build operate and transfer (BOT) dalam kerjasama Pemerintah dan Swasta (KPS) yang dituangkan dalam perjanjian pengusahaan jalan tol (PPJT) dibidang infrastruktur jalan tol di Indonesia setelah dikeluarkannya Undang-undang Nomor 38 Tahun 2004 Tentang Jalan (UU No. 38/ 2004) yang menggantikan Undang-undang Nomor 13 Tahun 1980 Tentang Jalan (UU No. 13/ 1980). Data yang diperoleh menunjukkan bahwa total ruas jalan yang terbangun berdasarkan UU No. 38/2004 (2004-2010) sepanjang 131,35 Km yang jauh lebih kecil dibandingkan total ruas jalan yang terbangun berdasarkan UU No. 13/1980 (1978-2004) yaitu sepanjang 610,62 Km. Partisipasi investor swasta juga sangat kecil yaitu hanya 25 % (dua puluh lima persen) sedangkan sisanya 75 % (tujuh puluh lima persen) adalah Jasa Marga sebagai badan usaha milik negara (BUMN).
Pemerintah telah melakukan regulasi-regulasi yang mendukung, namun kendala-kendala masih ditemukan seperti: kenaikan harga tanah, status tanah yang dimiliki Pemerintah namun dibiayai investor swasta, pengadaan tanah, kelembagaan dan prosedur badan layanan umum untuk pendanaan tanah, kemampuan investor swasta dalam pendanaan pengadaan tanah, dan adanya ruas jalan tol yang layak secara ekonomi namun belum layak secara finansial. Permasalahan yang mendasar adalah bahwa Pasal 33 ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa infrastruktur sebagai salah satu cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara. Hal ini terlihat dari pola investasinya dimana tanah dibiayai oleh investor swasta, namun dimiliki secara hukum oleh Pemerintah. Secara teoritis pola tersebut mengarahkan infrastruktur jalan tol sebagai public goods, padahal konsep model kontrak BOT secara teoritis merupakan private goods.
Disertasi ini mencoba memberikan solusi dengan membuat struktur hukum dimana infrastruktur jalan tol model kontrak BOT tetap sebagai private goods namun tidak melepaskan statusnya sebagai public goods, yaitu dengan memberikan hak penggunaan tanah kepada investor dalam bentuk hak pakai (HP) di atas hak pengelolaan (HPL) dari Kementerian Pekerjaan Umum RI. Dengan diberikannya HP di atas HPL selama masa konsesi private goods dan dapat dialihkan, disewa atau dijadikan jaminan utang dengan hak tanggungan, namun berdimensi publik, karena Pemerintah (Negara) masih menguasai infrastruktur jalan tol tersebut melalui HPL.

This dissertation examines how the government of Indonesia implements the concept of build operate and transfer (BOT) contract model upon partnership between government and private sector or public private partnership (PPP) of which entered into the toll road concession agreement after the government promulgated Law No. 38 year 2004 concering the Road (Law No. 38/ 2004) as new law which replaced the previous law. Data collected shows that total as built section roads refer to new law only 131,35 Km long compared with previous law which built as 610,62 Km long. Private sector was very small in participation as well with approximately 25 % (twenty five persen) only from which the remain with approximately 75 % (seventy five persen) operated by Jasa Marga as goverment enterprise.
Government had issued the regulations to support its development, but obstacles still exist such as: increasing of land price, land status which owned by government legally but financed by private investor, land acqusition, and there are many toll road sections are economic worthyness but not financial worthyness. However, the basic problem of wich, the article 33 (2) of Indonesian Constitution (UUD 1945) stipulated that infrastructure as one of part of product (goods and services) that is very important for State and dominate the social lives are under authority of State. These could been seen from the pattern of investments where the land acquisition financed by private investor but then owned by the government legally. Theoritically, such patterns bring the toll road infrastructure as public goods whilst the concept of BOT contract model theoritically as private goods.
This dissertation make an attempt to give a solution by making the legal structure where the toll road infrastructure contract model remain as private goods but do not realese the status as public goods, of which by giving to private investor the right of land use (Hak Pakai) upon the management right of land (Hak Pengelolaan) of Kementerian Pekerjaan Umum RI. By giving such the right of land during the concession period to private investor then the toll road infrastructure status could be as private goods, of which could be transferred, rent or could be put as collateral in debt financing (Hak Tanggungan), but with the public dimension, where the Government (State) still have the right of authority through Hak Pengelolaan.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
D1800
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Iwan Erar Joesoef
Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006
346.02 IWA p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Oryza Nada Shafa
"Kegiatan tender bertujuan agar pelaku usaha dapat memberikan penawaran dengan harga dan kualitas yang kompetitif untuk memberikan kesempatan yang sama, sehingga didapatkan produk dengan kualitas terbaik dengan harga terendah. Dalam realitanya, terdapat pelanggaran yang dilakukan oleh para pelaku usaha yaitu persekongkolan tender. Persekongkolan tender merupakan kegiatan yang dilarang dalam Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 yang membahayakan iklim persaingan usaha yang sehat. Isu yang diangkat dalam konteks ini adalah praktik persekongkolan tender yang terjadi dalam proyek Taman Ismail Marzuki pada Putusan Nomor 17/KPPU-L/2022 dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah. Tulisan ini akan menganalisis apakah kegiatan tersebut termasuk sebagai persekongkolan tender dengan melihat pemenuhan unsur yang terdapat pada Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Akan dianalisis pula bagaimanakah pertimbangan Majelis KPPU dalam memutuskan dugaan pelanggaran persekongkolan tender tersebut. Tulisan ini disusun dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif yang menekankan pada penggunaan kepustakaan atau data sekunder. Proyek Taman Ismail Marzuki pada Putusan 17/KPPU-L/2022 memenuhi semua unsur persekongkolan tender yaitu; unsur pelaku usaha, unsur bersekongkol, unsur pihak lain, unsur mengatur dan menentukan pemenang tender, dan unsur persaingan usaha tidak sehat dengan memperhatikan bahwa masih terdapat beberapa hal yang harus dibuktikan kembali terkait pembuktian mengenai kerja sama antara para pelaku. Menggunakan pendekatan rule of reason, terbukti telah terjadi persaingan usaha tidak sehat yang disebabkan oleh kegiatan persekongkolan. Pembuktian Majelis Komisi telah tepat dalam memutuskan bahwa Para Terlapor telah terbukti melanggar pelanggaran Pasal 22. Namun, pengenaan tindakan administratif yang diberikan dinilai kurang tepat dimana Terlapor I hanya diberikan sanksi berupa teguran dan perintah. Atas dampak negatif yang ditumbulkan, pemberian sanksi denda akan lebih efektif memberikan efek jera. Transparansi Majelis dalam memberikan pertimbangan dan alasan sangat penting sebelum menjatuhkan sanksi supaya Pelaku Usaha dan masyarakat dapat mengetahui konsekuensi dalam pelanggaran persaingan usaha tidak sehat untuk memberikan kejelasan hukum untuk menjadi acuan dalam bertindak.

Tender activity aims to enable business actors to provide offers with competitive prices and quality to provide equal opportunities so the best quality products are obtained at the lowest prices. In reality, there are violations committed by business actors, namely bid rigging. Bid rigging is an activity prohibited in Article 22 of Law Number 5 of 1999 that endangers a healthy business competition climate. The issue raised in this context is the practice of bid rigging that occurred in the Taman Ismail Marzuki project in Decision Number 17/KPPU-L/2022 in the procurement of government goods and services. This article will analyze whether this activity is included as a tender conspiracy by looking at the fulfillment of the elements contained in Article 22. It will also analyze how the KPPU Council considered the alleged violation of tender conspiracy. This article was prepared using normative juridical research methods that emphasize the use of literature or secondary data. Decision 17/KPPU-L/2022 fulfills all the elements of bid rigging, namely; elements of business actors, conspiring, other parties, arranging and determining the winner of the tender, and unfair business competition. Taking into account that there are still several things that must be proven again regarding proof of cooperation between the actors. Using the rule of reason approach, it is proven that there has been unfair business competition caused by conspiratorial activities. The Commission Council's evidence was correct in deciding that the Reported Parties had been proven to have violated Article 22. However, the imposition of administrative measures was inappropriate, where Reported Party I was only given sanctions in the form of a warning and an order. Imposing fines will be a more effective deterrent. The Assembly's transparency in providing considerations and reasons is very important before imposing sanctions so that business actors and the public can know the consequences of violating unfair business competition to provide legal clarity to serve as a reference for action."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas ndonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Achmad Firmansyah
"Pengadaan barang/jasa pemerintah tidak terlepas dari ketentuan yang ada dalam peraturan presiden nomor 54 tahun 2010. Dalam peraturan tersebut jelas mengatur tentang mekanisme tender dan kelesuruhan hal mengenai pelaksanaan tender untuk memilih penyedia barang/jasa. Dalam perkara tender pengadaaan e-KTP di lingkungan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil, Kementrian Dalam Negeri tahun anggaran 2011-2012, terdapat berbagai permasalahan yang berdasarkan putusan KPPU nomor 03/KPPU-L/2012 berujung pada persekongkolan tender, dimana salah satu dugaan pelanggaran yang mengindikasikan adalah post bidding activity. Majelis Komisi kemudian dalam putusannya memutus untuk menghukum para Terlapor atas terjadinya persekongkolan tender sebagaimana diatur dalam pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999 atas dasar salah satu dugaan yang ada, yaitu post bidding activity.. Dengan melihat persoalan tersebut, maka kemudian perlu untuk menjabarkan lebih jelas unsur dari post bidding activity dan persekongkolan tender sebagaimana diatur dalam UU nomor 5 tahun 1999 dan Perpres nomor 54 tahun 2010 demi terciptanya penegakan hukum persaingan yang sehat di Indonesia.

Procurement of Government's good/services can't be separated from the provision of the Presidential rule no. 54 year 2010. The mecanism of selecting the good/servies provider is clearly stipulated witihin the provision. In the case of electronic citizenship card procurement in directorate general of occupation and civil registar, Ministry of domestic affairs budjet year 2011-2012. There are several issues under the Commission's desicion number 03/KPPU-l/2012 that leads to bid rigging in which post post bidding activity is one of the issues. In the Commission in comission's desicion adjudicat to punish the defendant's upon the bid rigging activity which are dealt with Law number 5 year 1999, especially for the post bidding indication. Acknowledging the issues, it is necessary for us to clearly define the elements of bid rigging and post bidding activity set forth in Law number 5 Year 1999 in order to execute a fair business law in Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>