Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 161611 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Reza Murdani
"ABSTRAK
Kemajuan yang begitu pesat di bidang teknologi informasi telah
memberikan sumbangan yang besar berkembangnya dunia informsai dan transaksi
elektronik. Akan tetapi tidak dapat dipungkiri, kemajuan yang begitu dahsyat
tersebut di satu sisi membawa berkat namun di sisi lain membawa kerugian bagi
manusia. Pemanfaatan kemajuan teknologi informasi ini bisa dimanfaatkan secara
tidak bertanggung jawab dengan menyerang kehormatan dan nama baik
seseorang. Walaupun dilakukan di dunia maya namun akibat yang ditimbulkan
atau dampaknya dirasakan dalam dunia nyata. Seperti dalam kasus Prita
Mulyasari yang disangka melakukan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik
kepada Rumah Sakit Omni dan dokter melalui media internet dengan Pasal 27
ayat (3) UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Berawal dari penerapan pasal tersebut penelitian dilakukan mengenai penghinaan
dan/atau pencemaran nama baik dalam UU ITE tersebut. Menurut penulis dengan
melihat kasus Prita Mulyasari ini adanya permasalahan dalam hal kejelasan
rumusan delik dan menafsirkan atau mengimpretasikan penghinaan dan/atau
pencemaran nama baik dalam UU ITE sehingga diperlukan penelitian lebih dalam
melalui KUHP, Putusan Pengadilan ataupun pendapat – pendapat ahli hukum
Dari hasil penelitian didapatkan kesimpulan bahwa delik penghinaan dan/atau
pencemaran nama baik dalam UU ITE bukan merupakan norma baru namun
merupakan suatu norma yang sudah ada sebelumnya yang diatur dalam Bab XVI
Penghinaan dalam KUHP, sehingga dalam penerapan delik penghinaan dalam UU
ITE tidak terlepas penerapannya dalam KUHP. Walaupun demikian masih perlu
batasan-batasan dalam memaknai penghinaan tersebut sehingga kasus seperti Prita
Mulyasari tidak terulang kembali.

ABSTRACT
Rapid progress in the field of information technology has made major
contributions to the development of world of information and electronic
transactions. But it can not be denied, such powerful progress on the one hand is a
blessing, and on the other hand bring harm to humans. Utilization of this
advanced information technology could be used irresponsibly by attacking a
person's dignity and reputation. Although it is conducted in the virtual world, the
effect or the impact is felt in the real world. For example, in the case of Prita
Mulyasari that were accused of humiliation and/or libel to Omni Hospital and the
physicians via Internet with Article 27 paragraph (3) of Law No.11 of 2008
concerning Information and Transaction of Electronic (ITE). Starting from the
application of the article, the research was conducted on humiliation and/or libel
in the ITE Law. According to the writer, by looking at this case of Prita
Mulyasari, there is a problem in terms of clarity of offense formulation and
interpretation of humiliation and/or libel in ITE Law so that further research was
needed through the Criminal Code, Court decision or legal adviser opinion. From
the research, it was concluded that humiliation and/or libel offense in ITE Law is
not a new norm, but it is a pre-existing norm set out in the Chapter XVI of
humiliation in the Criminal Code, so that application of the humiliation offense in
the ITE Law is inseparable from Criminal Code. However, it still need boundaries
within the interpretation of humiliation, so such cases as Prita Mulyasari do not
happen again."
Universitas Indonesia, 2013
T35676
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Martinus Evan Aldyputra
"Perkembangan teknologi informasi memberikan kemudahan dalam mengakses segala jenis informasi. Hal ini mengakibatkan munculnya jenis kejahatan baru yang dikenal dengan nama cyber crime. Dalam menghadapi akibat dari perkembangan tersebut, berbagai negara di dunia melakukan perkembangan dalam kebijakan hukumnya melalui pembuatan ketentuan yang dikenal dengan nama cyber law.
Indonesia merupakan salah satu negara yang melakukan perkembangan seperti itu, melalui Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Undang-Undang ITE) terdapatlah sebuah cyber law di Indonesia. Walaupun demikian, Undang-Undang tersebut dapat dikatakan memiliki kekurangan-kekurangan dalam pengaturannya. Salah satu kekurangan tersebut adalah dalam hal mengenai penyebaran informasi yang memiliki muatan penghinaan. Menurut penulis, ketentuan yang mengatur penyebaran dengan muatan informasi seperti itu dapat menjadi masalah dalam penerapannya apabila tidak terdapat kejelasan dalam perumusannya. Oleh karenanya, untuk melihat sejauh mana ketentuan tersebut dapat menjadi masalah dilakukanlah penelitian ini.
Dari hasil penelitian didapatkan kesimpulan bahwa ketentuan mengenai penyebaran informasi yang bermuatan penghinaan dalam Undang-Undang ITE dapat menjadi suatu masalah. Walaupun dari segi perumusannya dapat dijelaskan unsur-unsur yang dimilikinya, namun dari segi batasannya ketentuan tersebut terlalu luas pengaturannya sehingga memungkinkan terjadinya penyalahgunaan dalam penerapannya.

Development of information technology provides easy access to all kinds of information, this resulted in the emergence of new crime known as cyber crime. To face the consequences of these developments, many countries around the world develop a new legal policy known as cyber law.
Indonesia is one of the country that did such a development, through The Criminalization, Information and Electronic Transaction Act (Law Number 11, 2008) cyber law exist in Indonesia. However, it can be said that the Act has flaws in its regulation. One of these is in the case regarding the spread of information that contains defamation. According to the authors, such policy could be a problem in practice if there is no clarity in the concept. Therefore, this research was conducted to see how far the policy can be a problem.
From the results of research, it can be said that Dissemination Policy of Defamation in The Criminalization, Information and Electronic Transaction Act can become a problem. Although it can be explained in terms of concept, but in terms of usage it is too broad that making it possible to abuse in its implementation.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
T30572
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Maria Estheralda
"Komunikasi dan informasi merupakan kebutuhan yang fundamental sifatnya bagi manusia dalam kehidupan modern dewasa ini. Melalui informasi manusia memperoleh pengetahuan, pendidikan maupun hiburan yang bermanfaat bagi dirinya. Oleh karena itu kehidupan manusia tidak dapat dipisahkan dari informasi yang merupakan produk dari dunia pers. Dalam penyajian suatu informasi bagi dunia pers seringkali terjadi suatu penulisan atau pemuatan berita yang dirasakan merugikan pihak lain, yang menjurus kepada suatu perbuatan melawan huKum khususnya penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Adanya penghinaan dan/atau pencemaran nama baik sering sulit untuk dibuktikan bahwa telah terjadi penghinaan tersebut. Hal. ini disebabkan dalam KUH Perdata "sendiri tidak terdapat definisi yang jelas dari penghinaan tersebut. Sehingga para sarjana seperti Wirjono Prodjodikoro misalnya mengatakan bahwa · titik berat dari soal penghinaan berada dalam lapangan dunia perasaan yang bersifat sekonyong-konyong dan biasanya tidak memberikan kesempatan berpikir secara tenang dan tenteram apakah sebetulnya isi dari perkataan orang yang dikatakan menghina itu. Tetapi hal yang nyata ialah bahwa pada waktu kata-kata itu diucapkan, sudah ada kesan dari ucapan itu dan mungkin perasaan seseorang sudah tertusuk waktu itu, padahal ia belum sempat berpikir tentang apakah maksud sebenarnya dari ucapan itu. Pada akhirnya hakimlah yang akan menentukan batasan-batasan tertentu dalam praktek di pengadilan. Dalam dunia pers sendiri telah ditentukan batasan-batasan bagi wartawan dalam menyajikan suatu berita yaitu Kode Etik Jurnalistik dan UU Pokok Pers, untuk menghindari penulisan yang bersifat menghina dan/atau mencemarkan nama baik. Dalam praktek di pengadilan, pemberitaan mengenai hal-hal yang menyangkut kepentingan umum tidak dapat dikualifikasikan sebagai penghinaan menurut pasal 1376 KUH Perdata. Contohnya adalah berita-berita mengenai KKN yang perlu diketahui masyarakat seperti informasi mengenai dugaan KKN yang dilakukan pejabat negara, kolusi dengan pihak swasta dan konglomerat dan nepotisme dengan keluarga pejabat negara adalah berita yang masuk dalam pengertian kepentingan umum. Dalam pemberitaan mengenai kepentingan umum tidak ternyata adanya maksud untuk menghina sehingga bukan merupakan suatu perbuatan melawan hukum dalam hal penghinaan dan/atau pencernaran nama baik."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003
S21115
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Purba, Ester Helena
"Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi memberi dampak pada perubahan sosial, ekonomi, budaya, dan aspek lain dalam masyarakat. Hal ini juga mengakibatkan munculnya jenis kejahatan baru berupa cybercrime. Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang kemudian diubah menjadi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dibentuk menjadi pengaturan terkait tindak pidana dalam bidang teknologi informasi. UU ITE ini pun turut mengatur mengenai penghinaan atau pencemaran nama baik yang dirumuskan dalam Pasal 27 ayat (3). Pasal 310 dan 311 KUHP menjadi genus delict dari pasal penghinaan dalam UU ITE ini. Namun dalam perumusannya tidak disebutkan unsur penghinaan atau pencemaran nama baik yang dilakukan demi kepentingan umum atau membela diri. Selain itu, batasan terhadap alasan pembenar dalam kasus penghinaan atau pencemaran nama baik sesuai Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak jelas. Sebagai bentuk delik dikualifikasi, Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak perlu menyatakan secara eksplisit unsur dalam genus delict-nya, unsur tersebut berlaku dan dapat diterapkan dalam ketentuan di UU ITE. Alasan pembenar berupa kepentingan umum dimengerti bahwa pelaku memang secara jelas dan tegas menuduhkan sesuatu yang benar adanya supaya masyarakat umum dapat waspada terhadap oknum yang dicemarkan itu. Pembelaan diri berdasarkan Pasal 310 ayat (3) tersebut dapat dikategorikan sebagai noodweer dan juga noodtoestand, sehingga menurut Van Hamel lebih tepat digunakan istilah “noodzakelijke verdediging”.

Development of information and communication technology has an impact on changes in social, economic, cultural, and other aspect of society. This has also resulted in the emergence of a new type of crime in the form of cybercrime. Law Number 11 of 2008 concerning Electronic Information and Transactions (UU ITE) which was later changed to Law Number 19 of 2016 concerning amendments to Law Number 11 of 2008 concerning Electronic Information and Transactions (UU ITE) was formed into related regulations criminal acts in the field of information technology. Information and Electronic Transaction Act also regulates insults or defamation which is formulated in Article 27 paragraph (3). Articles 310 and 311 of the Criminal Code are the delict genus of the insulting articles in this Information and Electronic Transaction Act. However, the formulation does not mention elements of insult or defamation carried out in the public interest or in self-defense. In addition, the limits on justification in cases of insult or defamation according to Article 27 paragraph (3) of the Information and Electronic Transaction Act are not clear. As a form of qualifying offense, Article 27 paragraph (3) of the Information and Electronic Transaction Act does not need to explicitly state the elements in the genus of the offense, these elements are valid and can be applied in the provisions of the Information and Electronic Transaction Act. The justification in the form of public interest is understood that the perpetrator has clearly and unequivocally accused something that is true so that the public can be wary of the libelous person. Self-defense based on Article 310 paragraph (3) can be categorized as noodweer and also noodtoestand, so according to Van Hamel it is more appropriate to use the term "noodzakelijke verdediging"."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Daniel Alfredo
"Dalam kehidupan dunia mode rn d an serba kompleks, masyarakat memili ki kebutuhan a kan i n formasi yang sangat tinggi mengingat informasi merupakan media untuk memperoleh pengetahuan, pendidikan, hiburan dan bahkan sebagai kontrol sosial bagi masyarakat. Bagi bidang usaha pers yang bergerak dalam kegiatan jurnalistik, penyajian suatu informasi dalam bentuk berita seringkali menjadi masalah, manakala penulisan dan pemuatan berita ternyata dirasakan merugikan suatu pihak lain, yang menjurus kepada suatu perbuatan melawan hukum khususnya dalam hal penghinaan atau pencemaran kehormatan dan nama baik. Adapun penghinaan atau pencemaran kehormatan dan nama baik inilah yang kadangkala sulit untuk dibuktikan oleh karena tidak terdapat maksud yang jelas dengan definisi dari penghinaan atau pencemaran kehormatan dan nama baik dalam Undang-undang Hukum Perdata. Hal ini menimbulkan perdebatan dan perbedaan pendapat di kalangan para sarjana hukum sehinga pada akhirnya hakim sendirilah yang akan menentukan batasan tertentu dalam praktek pengadilan mengenai penghinaan atau pencemaran kehormatan dan nama baik. Dalam dunia pers sendiri, adanya suatu undang-undang tentang pers dan kode etik jurnalistik sebenarnya telah menjadi suatu rambu-rambu bagi para pelaku bidang jurnalistik agar dalam melaksanakan kegiatan jurnalistik tidak melakukan pemberitaan yang bersifat menghina atau melanggar hukum. Sehubungan dengan pemuatan suatu berta yang bersifat menghina atau mencemarkan nama baik terdapat beberapa cara penyelesaian, baik melalui media hak jawab terhadap suatu berita, penyelesaian melalui Dewan Pers maupun melalui proses peradilan, baik pidana maupun perdata."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003
S21209
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
cover
cover
Alika Putri Fachira
"Tulisan ini menganalisis bagaimana konsep pencemaran nama baik dianggap sebagai suatu perbuatan melawan hukum, dengan melakukan perbandingan antara peraturan perundang-undangan di negara Indonesia dan Australia. Definisi pencemaran nama baik tidak secara spesifik dijelaskan dalam KUHPerdata Indonesia. KUHPerdata hanya mengatur tentang upaya hukum pencemaran nama baik yang dicantumkan dalam Pasal 1372-1380. Istilah yang digunakan untuk menggambarkan perbuatan melawan hukum ini juga tidak seragam, ada yang menyebutnya sebagai pencemaran nama baik, sementara dalam beberapa sumber yang lain, termasuk KUHPerdata, menyebutnya sebagai penghinaan. Sebagai konsekuensi dari perbuatan tersebut, korban memiliki hak untuk menggugat pelaku dan menuntut pertanggungjawaban untuk memperoleh ganti rugi sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1365 KUHPerdata karena dianggap sebagai suatu perbuatan melawan hukum dan pemulihan nama baik serta kehormatannya. Sementara di Australia, pencemaran nama baik diatur secara spesifik dalam undang-undang yang dikenal sebagai Defamation Act 2005 dan Model Defamation Amendment Provisions 2020. Pencemaran nama baik merupakan salah satu bentuk tindakan hukum yang dikenal sebagai tort yang umumnya digolongkan dalam ranah hukum perdata. Walaupun Australia merupakan negara federal, tetapi undang-undang tersebut berlaku nasional karena mengikat seluruh negara bagian serta wilayah teritorinya. Oleh karena itu, sebagai fungsi inspiratif, dilakukan suatu perbandingan hukum terkait konsep pencemaran nama baik sebagai suatu perbuatan melawan hukum antara Indonesia dan Australia dengan menggunakan metode pendekatan perbandingan berbentuk doktrinal. Melalui penelitian ini, dapat diidentifikasi baik persamaan maupun perbedaan pengaturan terkait konsep pencemaran nama baik di kedua negara tersebut.

This paper analyzes how the concept of defamation is considered as a tort, by comparing the laws and regulations in Indonesia and Australia. The definition of defamation is not specifically explained in the Indonesian Civil Code. The Civil Code only regulates the remedy of defamation which is included in Articles 1372-1380. The term used to describe this unlawful act is also inconsistent, some refer to it as defamation, while some other sources, including the Civil Code, refer to it as an insult. Because of these actions, the victim has the right to claim the actor and prosecute for liability to obtain compensation according to the provisions in Article 1365 of the Civil Code because it is considered an unlawful act and to restore his good reputation and honor. Meanwhile in Australia, defamation is specifically regulated in a law known as the Defamation Act 2005 and the Model Defamation Amendment Provisions 2020. Defamation is a legal act known as a tort which is generally classified as a civil law. Although Australia is a federal state, the law applies nationally because it applies to all states and territories. Therefore, as an inspirational function, this research conducts a legal comparison related to the concept of defamation as an unlawful act between Indonesia and Australia by employing a doctrinal comparative approach. Through this research, both similarities and differences in the regulation of the concept of defamation in both countries can be identified."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>