Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 153710 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Andre Iswara
"ABSTRAK
Gangguan saraf fasialis prefer unilateral merupakan suatu gangguan pada saraf fasialis akibat kelumpuhan otot sebagian atau seluruh wajah. Dalam menangani kasus saraf fasialis perifer unilateral, setiap klinisi dapat menggunakan beberapa modalitas pemeriksaan seperti pemeriksaan motorik sistem Freyss, House-Brackmann, uji topognostik (schirmer, refleks stapedius, gustatometri) dan pemeriksaan elektrofisiologis (kecepatan hantaran saraf, refleks blink, jarum EMG) dalam menentukan derajat kerusakan saraf dan letak lesi berdasarkan onset, derajat kerusakan saraf dan etiologi dalam membantu menegakkan diagnosis dan memperkirakan prognosis. Sangat penting dalam menyampaikan informasi yang tepat dan efektif antar klinisi mengenai keadaan saraf fasialis yang mengalami paresis saraf fasialis dalam menentukan tatalaksana selanjutnya. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif cross-sectional dengan pengambilan subjek penelitian secara consecutive sampling di poliklinik Neurotologi THT dan poliklinik EMG Neurologi RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo pada bulan Agustus 2012 sampai dengan Mei 2013 dan didapatkan sebanyak 44 subjek penelitian.
Berdasarkan hasil penelitian ini didapatkan hubungan yang bermakna dan kesesuaian yang cukup (Kappa R =0,5, p<0,05) pada 32 subjek penelitian dengan onset lama dengan derajat kerusakan sedang dan berat antara pemeriksaan motorik sistem Freyss, House-Brackmann dengan pemeriksaan elektrofisiologis. Pada penelitian ini tidak didapatkan hubungan yang bermakna dan kesesuaian yang baik (Kappa R=0,011, p=0,935) dalam menentukan letak lesi antara pemeriksaan uji topognostik dengan pemeriksaan elektrofisiologis. Tiga belas subjek penelitian tidak dapat ditentukan letak lesi berdasarkan pemeriksaan elektrofisiologis pada onset kronis dengan derajat kerusakan sedang dan berat sedangkan pemeriksaan uji topognostik mampu menentukan letak lesi pada onset akut maupun kronis. Untuk daerah-daerah yang tidak memiliki modalitas pemeriksaan elektrofisiologis, pemeriksaan motorik sistem Freyss dan House-Brackmann dapat digunakan dalam menegakkan diagnosis dan memprediksi prognosis.

ABSTRACT
Unilateral peripheral facial nerve palsy is a disturbance in facial nerve caused by partial or complete muscle paralysis. Clinician can use multiple examination modality such as Freyss system, House-Brackmann, topognostic test (schirmer, stapedius reflex, gustatometry) and electrophysiology (nerve conduction velocity, blink reflex, EMG needle) to establish diagnosis and prognosis. It is very important to deliver right and effective information between clinician about facial nerve condition and paralysis to determine further management. Achieve conformity between Freyss system, House-Brackmann, topognostic study and electophysiologic examination in diagnosis and prognosis. This study used descriptive cross-sectional method by taking study subject with consecutive sampling in Neurotology division of ENT department and EMG division of Neurology Department outpatient-clinic and 44 study subjects.
According to study result, there is significance and conformity (Kappa R =0,5, p=0,005) for 32 subjects late onset with detriment degree moderate severe between motoric examination Freyss, House-Brackmann and electrophysiologic examination. In this study there is no significanceand conformity (Kappa R=0,011, p=0,935) between determining lesion site between topognostic test and electrophysiology examination. Thirteen study subjects could not be determined for lesion site, due to chronic onset with moderate severe damage by electrophysiology examination, whereas topognostic test can determine lesion site in acute nor chronic onset. In region without facility for electrophysiologic examination, Freyss and House-Brackmann motoric system can be used in establishing diagnosis and determining prognosis."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kartika Maharani
"ABSTRAK
Latar Belakang: Neuropati perifer merupakan komplikasi neurologis tersering pada pasien HIV. Stavudin, yang dikaitkan dengan risiko neuropati perifer, mulai ditinggalkan sebagai pilihan pertama terapi antiretroviral. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui angka kejadian neuropati pada pasien HIV dalam terapi antiretroviral non stavudin menggunakan multimodalitas pemeriksaan, dan faktor risiko yang berhubungan.
Metode Penelitian: Penelitian berdesain potong lintang menggunakan data sekunder dari penelitian JakCCANDO ditambah dengan data primer dari pasien HIV dalam terapi antiretroviral non stavudin minimal 12 bulan yang berobat di Unit Pelayanan Tepadu (UPT) HIV Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo (RSUPNCM). Anamnesis dan penelusuran data faktor risiko, skrining klinis Brief Peripheral Neuropathy Screen (BPNS), elektroneurografi, dan Stimulated Skin Wrinkling (SSW) dengan krim lidokain:prilokain 5% dilakukan pada setiap subjek penelitian. Data dianalisis dengan SPSS 17.0.
Hasil: Angka kejadian polineuropati simetris distal (PSD) pada 68 subjek penelitian berdasarkan BPNS, elektroneurografi, SSW, dan kombinasi ketiga modalitas ialah 16,2%, 25%, 29,4%, dan 52,9%. Subjek dengan CD4 nadir kurang dari 50 sel/l memiliki risiko PSD sebesar 2,85 kali lebih tinggi dibandingkan kelompok subjek dengan CD4 nadir yang lebih tinggi (IK 95% 1,99-8,29). Subjek yang memiliki tinggi badan lebih dari sama dengan 170 cm (p<0,03) dan viral load lebih dari sama dengan 35.000 kopi/ml (p<0,05) memiliki rerata kecepatan hantar saraf sensorik tungkai bawah lebih rendah dibandingkan subjek dengan tinggi badan dan viral load yang lebih rendah.
Kesimpulan: Angka kejadian neuropati perifer pada pasien HIV masih cukup tinggi yaitu 52,9% dari subjek penelitian, meskipun stavudin tidak lagi digunakan. Penggunaan multimodalitas pemeriksaan memberikan kemampuan deteksi neuropati lebih banyak dibandingkan modalitas pemeriksaan tunggal. Subjek dengan CD4 nadir kurang dari 50 sel/l, 2,85 kali lebih berisiko mengalami PSD. Penelitian ini juga menunjukkan adanya hubungan antara tinggi badan lebih dari sama dengan 170 cm dan viral load lebih dari sama 35.000 kopi/ml terhadap abnormalitas parameter elektroneurografi saraf sensorik tungkai bawah.

ABSTRACT
Background: Peripheral neuropathy was a common neurologic complications in HIV patients. Stavudine, which was often associated with neuropathy risk, is no longer used as first line HAART. This study was aimed to determine prevalence of neuropathy in HIV patients receving HAART without stavudine using multi modalities examination, and associated risk factors.
Materials and Method: A cross-sectional study was undertaken using secondary data from JakCCANDO study subjects and primary data from HIV patients receiving antiretroviral therapy without stavudine for minimum 12 months in Integrated HIV Outpatient Clinics of Cipto Mangunkusumo General Hospital. All subjects were performed history taking, Brief Peripheral Neuropathy Screen (BPNS), electroneurography, and Stimulated Skin Wrinkling (SSW) using lidocaine:prilocaine 5% cream. Data analysis was done using SPSS 17.0.
Results:Prevalence of symmetric distal polyneuropathy (DSP) from 68 study subjects based on BPNS, electroneurography, SSW, and combination of three modalities were 16,2%, 25%, 29,4%, and 52,9%. Subjects with nadir CD4 less than 50 cells/l were at increased risk of DSP 2,85 times larger than subjects with higher nadir CD4 (CI 95% 1,99-8,29). Subjects with a height of equal or more than 170 cm (p<0,03) and viral load of equal or more than 35.000 copies/ml (p<0,05) had significantly decrease mean of lower extremities sensory nerve conduction velocities based on electroneurography compared to subjects with lower height and viral load.
Conclusions: Peripheral neuropathy remained a numerous neurological complication, as much as 52,9% of study subjects, even when stavudine was no longer used. Multiple diagnostic tools used in this study gave higher neuropathy number compared to single diagnostic modality. Subjects with nadir CD4 less than 50 cells/l had 2,85 times higher risk of having DSP. There were also correlation between height equal or more than 170 cm and viral load equal or more than 35.000 copies/ml with electroneurographic parameter abnormalities of sensory nerve in lower extremities.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amato, Anthony
New York: McGraw-Hill, 2008
616.744 NEU
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Niken Alia Taskya
"Latar Belakang. Perangkat penilaian derajat keparahan paresis nervus fasialis PNF berperan dalam penentuan derajat keparahan PNF baik pada penilaian awal maupun evaluasi pasca terapi. Hingga saat ini perangkat standar yang terbanyak digunakan dalam publikasi ilmiah adalah House-Brackmann Facial Nerve Grading System HB-FNGS dan Sunnybrook Facial Grading System SFGS . Sebuah telaah sistematik menyebutkan bahwa SFGS lebih unggul dibandingkan perangkat penilaian PNF lainnya karena mampu menilai adanya perubahan minimal derajat keparahan PNF. Belum terdapat penelitian yang menilai kesesuaian antara SFGS dan HB-FNGS. Tujuan. Mengetahui kesesuaian antara SFGS dan HB-FNGS sebagai perangkat penilaian derajat keparahan pasien PNF unilateral tipe perifer. Metode. Studi potong lintang pada 40 subjek PNF unilateral tipe perifer. Dilakukan perekaman 7 gerakan wajah subjek menggunakan digital video camera. Penilaian dilakukan oleh 2 spesialis kedokteran fisik dan rehabilitasi SpKFR sebanyak 2 kali dengan periode washout di antaranya , menggunakan perangkat yang berbeda SFGS atau HB-FNGS . Hasil. Didapatkan kesesuaian SFGS dan HB-FNGS sebesar intraclass correlation coefficient ICC = - 0.863 p
Background. Facial nerve grading system is necessary to determine facial nerve paralysis severity, whether at initial assessment or evaluation after previous therapy. House Brackmann Facial Nerve Grading System HB FNGS is the most common grading system used worldwide, including at neuromuscular division policlinic, Physical Medicine and Rehabilitation Department FKUI RSCM. Other facial grading system commonly used is Sunnybrook Facial Grading System SFGS . SFGS was stated as the best facial nerve grading system among other grading system due to its sensitivity to detect minor clinical changes. No study has assess agreement between SFGS and HB FNGS. Aim. To assess agreement between SFGS and HB FNGS. Method. Cross sectional study on 40 subjects with unilateral peripheral facial nerve paralysis. Each subject was recorded with digital video camera while performing 7 facial movements. Assessments were done by 2 physiatrists twice with a washout period between , using either SFGS or HB FNGS. Results. The intraclass correlation coefficient ICC between SFGS and HB FNGS was 0.863 p"
2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M. Julwan Pribadi
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2002
T59026
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arnadi
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2002
T58808
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Puji Sugianto
"Latar belakang dan tujuan: Dalam dekade terakhir. penggunaan PCS termasuk N. Tibialis posterior, semakin dirasakan manfaatnya Kegunaannya terutama untuk memperkirakan keluaran dari penderita gangguan medula spinalis. Hasil perekaman PCS dapat dikatakan normal ataupun abnormal tergantung dari nilai normal yang sudah didapat sebelumnya, dalam hal ini masa laten dan amplitudo. Saat ini nilai normal yang dipakai berasal dari rujukan luar negeri. Terdapat kemungkinan nilai normal tersebut kurang tepat dipakai untuk orang Indonesia dikarenakan perbedaan yang ada antara orang Indonesia dan Non Indonesia. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan rerata nilai normal masa laten dan amplitudo PCS N. Tibialis posterior orang dewasa Indonesia. Metode: Perekaman PCS N. Tibialis posterior diambil dari para sukarelawan di lingkungan bagian Ilmu Penyakit Saraf FKUI RSUPN dr Cipto Mangunkusumo Jakarta mulai bulan Desember 1997 sampai Juli 1998. Analisis statistik menggunakan metode uji-t, dan uji regresi linier dan multivariat. Hasil Rekaman dilakukan pada 104 subyek, terdiri dari 52 pria dan 52 wanita, berusia antara 15-50 tahun. Hasilnya adalah sebagai berikut (1) tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara masa laten pria dan wanita, (2) tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara masa laten dari tungkai kanan dan tungkai kiri; (3) terdapat korelasi yang bermakna antara usia ataupun tinggi badan dengan masa laten, di mana semakin tua ataupun tinggi seseorang masa latennya semakin panjang, dan (4) hanya pada usia saja terdapat hubungan yang bermakna dengan amplitudo, di mana semakin tua seseorang amplitudonya semakin kecil. Oleh karena itu, usia dan tinggi badan harus diperhatikan saat mengevaluasi hasil perekaman PCS N. Tibialis posterior."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1998
T57300
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ade Martinus
"Latar belakang: Cidera saraf perifer sebagai keluaran dari post operatif hingga saat ini belum ditangani dengan maksimal. Penelitian ini ditujukan untuk menentukan potensi dari sekretom pada regenerasi cidera saraf perifer.
Metode: Cidera saraf perifer buatan dilakukan pada tikus dengan melakukan diseksi pada saraf sciatic. Evaluasi perbaikan motorik dilakukan mengunakan Sciatic Functional Index (SFI) pada minggu ke enam (SFI 1), minggu ke sembilan (SFI 2), dan minggu ke dua belas (SFI 3). Rasio berat basah antara otot gastrocnemius kanan dan kiri dibandingkan serta dilakukan histomorphometry saraf sciatic pada tiap kelompok.
Hasil: Kelompok III menunjukan SFI 1 yang lebih baik dibandingkan kelompok I (p=0.017). Kelompok I dan III menunjukan perbedaan SF2 yang signifikan dibandingkan dengan kelompok II dan IV (p<0.001). Rasio tertinggi dari otot gastrocnemius ditemukan pada kelompok I dan III, yang bernilai 0.65 ± 0.059 dan 0.67 ± 0.179 (p<0.001). Pada histomorphometry, akson termyelinisasi paling banyak ditemukan pada kelompok I dan III, yang bernilai p<0.001.
Kesimpulan: Sekretom sel punca mesenkimal korda umbilikalis dapat digunakan sebagai terapi baru untuk menggantikan autograf pada penanganan kerusakan saraf perifer.

Background: Currently, the post-surgical outcome of peripheral nerve injury has not been optimal. The purpose of this research is to determine the potency of secretome in peripheral nerve injury regeneration.
Method: The mice had artificially-induced peripheral nerve injury, which was created by dissecting the sciatic nerve. Sciatic Functional Index (SFI) was used to evaluate the motoric recovery on week six (SFI 1), week nine (SFI 2), and week twelve (SFI 3). The mice was sacrificed on week twelve. The wet mass ratios of the right and left gastrocnemius muscle were compared, then the sciatic nerve histomorphometry evaluation was performed on each group.
Results: Group III showed a better SFI 1 result than Group I (p=0.017). Group I and III showed significantly better SFI 2 than group II and IV (p<0.001). The highest ratio of gastrocnemius muscle was found in group I and III, which were 0.65 ± 0.059 and 0.67 ± 0.179 (p<0.001). On histomorphometry, the highest number of myelinated axons were found in group I and III, which were p<0.001.
Conclusion: Umbilical cord mesenchymal stem cell secretome can be used as a new therapy to replace the autograft in peripheral nerve defect management.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
"This updatable book provides an accessible informative overview of the current state of the art in nerve repair research.
The introduction includes history of nerve repair research and establishes key concepts and terminology and will be followed by sections that represent the main areas of interest in the field: (1) Biomaterials, (2) Therapeutic Cells, (3) Drug, Gene and Extracellular Vesicle Therapies, (4) Research Models and (5) Clinical Translation. Each section will contain 3 - 6 chapters, capturing the full breadth of relevant technology. Bringing together diverse disciplines under one overarching theme echoes the multidisciplinary approach that underpins modern tissue engineering and regenerative medicine. Each chapter will be written in an accessible manner that will facilitate interest and understanding, providing a comprehensive single reference source. The updatable nature of the work will ensure that it can evolve to accommodate future changes and new technologies.
The main readership for this work will be researchers and clinicians based in academic, industrial and healthcare settings all over the world."
Switzerland: Springer Cham, 2019
e20503311
eBooks  Universitas Indonesia Library
cover
Arif Rahmat Widodo
"Cedera saraf perifer merupakan beban klinis yang besar. Berbagai modalitas terapi dikembangkan untuk mencapai perbaikan fungsi, salah satunya dengan platelet-rich plasma (PRP). Walaupun PRP sudah diterapkan secara klinis, namun proses intrinsik di dalamnya belum sepenuhnya diketahui. Oleh karena itulah penelitian ini dibuat untuk mengetahui efek pemberian PRP terhadap populasi sel Schwann dan makrofag pada lokasi cedera saraf perifer. Penelitian eksperimental dengan sampel tikus Wistar, terdiri dari tiga kelompok penelitian untuk masing-masing terminasi di hari ke-3 dan hari ke-7, yaitu kontrol, model sciatica, dan model sciatica yang diberi PRP. Model sciatica dilakukan dengan metode crush injury. Fungsi motorik dinilai pada hari ke-3 dan ke-7 menggunakan Sciatic Functional Index (SFI) dan Foot Fault Test (FFT). Ekspresi marker sel Scwann diperiksa dengan imunohistokimia (IHK) SOX10, dan ekspresi marker sel makrofag dengan IHK CD68. Fungsi motorik meningkat pada hari ke-7 (p<0,05), dan populasi sel Schwann meningkat pada hari ke-7 (p<0,05). Pemberian PRP mempengaruhi proses regenerasi saraf perifer model tikus sciatica.

Peripheral nerve injury is a large clinical burden. Various therapeutic modalities have been developed to achieve improved function, one of which is with platelet-rich plasma (PRP). Although PRP has been applied clinically, the intrinsic processes are not fully understood. For this reason, this study was made to determine the effect of PRP administration on the Schwann cell population and macrophages at the site of peripheral nerve injury. Experimental study with samples of Wistar rats, consisted of three research groups for termination on day 3 and day 7 respectively, namely control, sciatica model, and sciatica model treated with PRP. The sciatica model was performed using the crush injury method. Motor function was assessed on day 3 and 7 using the Sciatic Functional Index (SFI) and Foot Fault Test (FFT). Schwann cell marker expression was examined by SOX10 immunohistochemistry (IHC), and macrophage cell marker expression was examined by CD68 IHC. Motor function increased on day 7 (p<0.05), and the Schwann cell population increased on day 7 (p<0.05). PRP administration affects the process of peripheral nerve regeneration in the sciatica rat model."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>