Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 178623 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Aldair Zerista Hutama
"Dalam eksistensialisme Sartre, rasa takut kurang mendapat penjelasan yang mendalam, sehingga sulit untuk dapat melihat pengaruhnya dalam eksistensi seorang subjek. Rasa takut sesungguhnya adalah salah satu rasa mendasar yang dimiliki oleh manusia. Rasa takut sudah terstruktur di dalam diri seorang manusia. Ia mempengaruhi hal-hal yang dilakukan oleh subjek bahkan sejak subjek masih dalam tahap kesadaran pra-reflektif. Rasa muak akan membawa subjek menyadari bahwa sesungguhnya ia memiliki kebebasan dan dapat menentukan eksistensi dirinya sendiri. Dari sana, kesadaran pra-reflektif berubah menjadi kesadaran reflektif. Kebebasan adalah kutukan karena ia selalu diiringi dengan tanggung jawab yang berat padahal tidak pernah ada kepastian akan hasil yang nantinya didapat. Hal itulah yang membuat manusia mengalami rasa cemas. Rasa cemas ini kemudian membawa manusia melihat konsekuensi-konsekuensi yang mungkin dari pilihan yang ada bagi si subjek. Disinilah kemudian rasa takut mempengaruhi subjek dalam mengambil pilihan eksistensialisnya. Apakah subjek akan memilih pilihan yang aman baginya, ataukah ia berani melawan ketakutannya dan bertransendenis menjadi diri yang baru.

The focus of this study is to prove the effect of fear for the existence of the subject, which is not well explained in Sartre’s existensialism. As a matter of fact, fear is one of human basic feeling, it is an undeniable structure as a human. Feareffected subjects act even in pra-reflective conciousness stage. Nausea will bring subject to realizing, that in fact, he has a freedom and he can choose freely, what kind of existence that he want to create for his own self. At that stage, prareflective conciousness will change into reflective conciousnes and subject could realize their freedom. But freedom it self is a curse because there's a great responsibility adheres our acts whereas there’s never been any certainity about the consequnces. This condition trap human in anxiety feeling. Anxiety will bring subject to see the consequences that probably will appear from all the choice that they can take. At this stage, fear will effecting subject in taking his existential choice. Will the subject going to choose the savest choiceor fight his fear and doing transcended and becoming a new self."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2013
S47773
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tika Sylvia Utami
"Modus keberadaan manusia (etre pour soi) yang berbeda dengan benda-benda (etre en soi), telah melahirkan adanya ketidaktunggalan identitas. Ada esensi yang mencair sehingga manusia bisa menjadi apa dan bagaimana sesuai dengan kehendaknya, sehingga ketunggalan identitas menjadi hal yang mustahil bagi manusia. Penggunaan tokoh tidak bernama dalam salah satu novel Iwan Simatupang, yakni novel Kering telah menjadi sebuah metafora yang sangat menarik akan keberadaan identitas yang tidak tunggal. Ada kebebasan yang dimiliki oleh manusia untuk menentukan identitas yang ingin disandangnya, sehingga sewaktu-waktu bisa menjadi apa saja, kapan saja dan di mana saja. Salah satu Filsuf Prancis, Jean-Paul Sartre mengetengahkan kebebasan sebagai sesuatu yang mutlak dimiliki oleh manusia. Meskipun ada penghayatan terhadap nilai-nilai yang bisa mengurangi kebebasan itu sendiri (faktisitas), bagi Sartre kebebasan manusia tetap mutlak.

Existence of human which different with the objects is born the not single identity. There is the essence of the melt, so that man can become what and how in accordance with his will. In this case, the single of identity become impossible thing for humans. The use of character is not named in the novel from Iwan Simatupang, namely Kering has become a methapor which very interesting about the existence of identity that not single. There is a freedom which is owned by humans to determine the identity of themselves, so that can be anything, anytime and anywhere. One of the French Philosopher, Jean-Paul Sartre explores freedom as an absolutely things. Although there is something that could reduce the value of freedom (Facticity), humans still have their freedom as an absolute."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2011
S11
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Okvi Elyana
"Pembicaraan mengenai komunitas dalam pemikiran Jean-Luc Nancy sesungguhnya adalah suatu upaya untuk membangkitkan kembali nilai-nilai persaudaraan di dalam masyarakat. Oleh karena itu komunitas yang ideal adalah Ada-Dalam-Kebersamaan. Kondisi ini tidak mensyaratkan manusia untuk menjadi sama, melainkan untuk menciptakan pemahaman bahwa setiap manusia memiliki perbedaan yang tidak dapat diatasi, bahkan dengan menciptakan persamaan. Komunitas justru hadir dari kesadaran akan perbedaan yang menjadi landasan untuk saling menghormati manusia yang senantiasa hidup bersama. Ada-Dalam- Kebersamaan tidak pernah mencapai titik akhir karena yang dibutuhkan adalah proses untuk selalu berada di Dalam kebersamaan. Maka sesungguhnya komunitas di dalam pemikiran Nancy memiliki dimensi utopia yang tidak mungkin terwujud karena selalu bergerak ke tempat-tempat berbeda. Namun ketidakmungkinan ini justru menciptakan kemungkinan agar senantiasa berada dalam proses mendekatinya. Hal ini karena ketika sesuatu dapat diwujudkan,maka ia bukanlah sebuah utopia.

In his discourse about community, Jean-Luc Nancy elucidating an effort to reviving the notion of fraternity in society. Therefore the ideal form of community is the state of Being-In-Common. This condition does not require every person to be the same, but rather to bring an understanding that each person has his own differences which is ceaselessly incomprehensible for one another, thus cannot be solved with an idea about sameness. By this perceptive, community takes place in the very awareness of this understanding about difference as a value-ground for each person to be able to live together. Being-In-Common would never come to an end because its main idea stands in the never-ending process of it, that is to always be In common. Hence community in Nancy's thought will always be in an utopian dimension since it can never be finally achieved. But this impossibility to reach the final purpose is exactly the thing that opens up the possibility for an endless attempt to pursue it. For when something has completely achieved, then it is no more can be called as utopia."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2012
S42802
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Nurul Arrifa
"Dalam dunia modern, manusia cenderung melihat segala sesuatunya hanya berdasarkan fungsi semata bahkan memandang manusia sendiri sebagai kumpulan fungsi. Gabriel Marcel, seorang filsuf Perancis yang berbicara mengenai keberadaan manusia berpendapat bahwa cinta kasih dapat membuat manusia keluar dari kumpulan fungsi tersebut dan memandang secara keseluruhan sehingga menjadi manusia yang ada. Pandangan Marcel ini menjadi alat untuk menganalisis seorang tokoh di dalam film yang berjudul 50 First Dates dengan menjadikan tokoh tersebut, Henry Roth, sebagai representasi manusia yang bereksistensi melalui cinta kasih di dalam sebuah relasi intersubjektivitas.

In the modern world, human tends to see everything is based only on the function even seeing human itself as a crowd of function. Gabriel Marcel, a French Philosopher who talked about the human existence had an opinion that love can make human gets out from that crowd of function and sees as a whole-being for becoming a human who exists. This view of Marcel becomes a tool to analyze a character in the film which has a title 50 First Dates by making that character, Henry Roth, as a representative from the human who exists through love in an intersubjectivity relation."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2013
S47056
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agung Nugraha
"Dalam pemikiran etika modern, eudaimonia dipandang tidak lagi relevan sebagai dasar dari moralitas atau bertindak etis. Hal ini terutama akibat kritik Kant terhadap etika eudaimonia, bahwa motivasi akan kebahagiaan hanya akan merusak inti dari moralitas. Bagi Kant, moralitas adalah persoalan kewajiban. Robert Spaemann bermaksud merehabilitasi etika eudaimonia dengan berusaha mencari titik temu antara kebahagiaan dan kewajiban. Pemisahan antara kebahagiaan dengan kewajiban adalah kesalahan dalam memahami dasar dari moralitas. Kesalahan Kant adalah memandang moralitas haruslah bebas dari segala kepentingan dan memandang motivasi akan kebahagiaan bersifat egoistik. Kesalahan tersebut adalah konsekuensi dari ontologi modern yang tidak dapat menampung konsep tentang transendensi diri. Spaemann lantas beralih kepada konsep cinta, yang menurutnya mengubah kepentingan diri, sebagai hasil dari transendensi diri makhluk rasional. Dalam cinta, tidak ada lagi pertentangan antara motivasi akan kebahagiaan dan melakukan yang wajib. Hal ini karena dalam cinta, yang menjadi motivasi dari tindakan adalah realitas orang lain, dan dalam cinta pula seseorang memperoleh kebahagiaan atas realitas orang lain.

In modern ethics, eudaimonia is considered as irrelevance to become a ground for morality or ethical actions. It is primarily an implication of Kant's critique to ethics of eudaimonia, that motif of happiness may corrupt the core of morality. According to Kant, morality is all about obligation. Robert Spaemann attempts to rehabilitate ethics of eudaimonia by seeking for a link between happiness and obligation. The separation between happiness and obligation is a mistake in attempt to understand the ground of morality. Kant makes a mistake by considering morality as free from any interest and also considering that motif of happiness is egoistic. That mistake is a consequence of modern ontology that unable to accommodate the concept of selftranscendency. Thus Spaemann turns to concept of love, which he thinks can change self-interest as the result from rational being's self-transcendency. In love, there is no opposition between motif of happiness and doing obligation. It is because, in love the motif of an action is other's reality; it is also in love that someone acquires happiness from other's reality."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2012
S42990
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Cahyo Arswandaru
"Subjek merupakan salah satu objek kajian yang memiliki andil besar dalam pergerakan pemikiran filsafat. Diskursus mengenai subjek hadir dalam setiap periodisasi filsafat, sejak jaman Yunani Kuno hingga filsafat Kontemporer. Pemetaan tentang subjek ini salah satunya diungkapkan oleh seorang pemikir psikoanalisa, yaitu Jean Jacques Lacan, melalui pembacaannya atas subjek Cartesian dan subjek Freudian yang dipadukan dengan gagasan dialektika Hegel, serta strukuralisme dari Saussure. Subjek Lacanian mengemban tiga wilayah utama, yaitu The Imaginary, The Symbolic, dan The Real, dimana ketiga wilayah tersebut saling berintegrasi membentuk kerangka subjek, serta digerakan oleh hasrat dan kekurangan yang menjadi poros dalam roda triadik tersebut. Komplemen lain yang turut membentuk kerangka subjek ialah kehadiran Phallus, Maternal Phallus, the other, the Other, rangkaian penanda hingga Jouissance sebagai jawaban atas konflik yang senantiasa diemban oleh subjek dalam usahanya untuk mencapai keutuhan diri. Subjek Lacanian dijelaskan sejak masa kelahiran hingga mencapai puncak konflik di wilayah Simbolik. Selaras dengan hal tersebut, sinopsis yang disajikan dalam teks album The Wall melalui narasi lirik lagu sejak lagu pertama hingga terakhir, menyajikan cerita mengenai perjalanan pencarian jati diri subjek sejak kelahiran hingga puncak konflik hidup yang dialaminya. Jalan cerita yang disajikan dalam teks album The Wall relevan dengan alur pemetaan subjek Lacanian. Analisis atas teks The Wall merupakan sebuah usaha menemukan kebaruan yang tersembunyi dibaliknya.

Subject is an object of study that have a significan impact in philosophical discourse. This discourse about subject present in every periodization of philosophy, from the Ancient Greek to the Contemporary philosophy. One of the Psychoanalitic thinker that revealed about this mapping of subject is Jean Jacques Lacan, through his reading of Cartesian subject and Freudian subject combined with the concept of Hegelian dialectic, and also structuralism from Saussure. Lacanian subject contains three main areas, there are The Imaginary, The Symbolic, and The Real, where this three regions are integrated to form the structure of subject, and its also powered by desire and lack. Another complements that form the subject are the presents of Phallus, Maternal Phallus, the other, the Other, chain of signifiers, and Jouissance as the solution of subject’s conflict in order to attain the self completeness. Lacanian subject is explained since the birth of subject until the climax of conflicts in Symbolic area. In tune with this mapping of subject, The Wall present a narration in its text, about the journey of a subject, since the birth until the climax conflicts of life. The narration is formed by every lyrics of the song, from first to last in the album. The storyline of The Wall’s text is relevant with the mapping line of Lacanian subject. Analysis of The Wall is an effort to find novelty beyond its text."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2012
S45091
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Oktania Tri Hastuti
"Militer dan politik tidak dapat dipisahkan. Reformasi tidak menghilangkan dwi fungsi militer walaupun ada perubahan paradigma yang dilakukan militer untuk mengubah gambaran represif yang sudah tertanam. Dwi fungsi membuat militer memiliki kesempatan yang lebih besar dibanding sipil dalam perpolitikan Indonesia. Hegemoni merupakan jalan yang ditempuh militer untuk melakukan dominasi terhadap sipil. Hegemoni memerlukan konsensus aktif dari sipil. Dengan adanya hegemoni dan ditambah dengan kurangnya kesadaran kritis sipil, popular consciousness akan mengatakan bahwa pemimpin yang baik adalah pemimpin dari kalangan militer.

Military and politics are inseparable. Reform does not eliminate the dual function even though the military made their paradigm shift to transform the image of repressive military that has been embedded. Dual function made the military has a greater chance than civil in Indonesian politics. Hegemony is the path for military to dominate civilian. Hegemony requires an active consensus of civilians. With the hegemony, coupled with the lack of critical awareness of civil, popular consciousness would say that a good leader is the leader from the military."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2013
S53383
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pretty Kusumaningrum
"Teori keadilan memiliki dua tantangan serius yang tidak terselesaikan. Pertama, untuk menghasilkan keputusan yang rasional tanpa bertentangan dengan nilai-nilai moral yang tertanam dalam hati nurani. Kedua, adanya pluralitas nilai dan identitas dalam masyarakat sosial seringkali menjadi penyebab utama isu ketidakadilan seperti diskriminasi, kekerasan, dan pelanggaran HAM. Amartya Sen menawarkan solusi terhadap kedua permasalahan tersebut dalam argumen-argumen yang dibangun berdasarkan kritiknya terhadap Utilitarianisme, Intuisionisme, dan terutama Kontraktarianisme John Rawls. Dengan menggunakan pendekatan kapabilitas, demokrasi, dan imparsialitas terbuka untuk menciptakan ruang diskusi masyarakat bernalar, ketidakadilan niscaya dapat dikurangi.

The theory of justice has always been faced with two problematic challenges. First, to make reasonable judgments that are not in conflict between rationality and moral values provided in sense of justice. Second, the ontological fact of plurality of values and identities in society is often seen as major cause of injustice issues, such as discrimination and human rights violations. Amartya Sen proposes the solutions to both problems in arguments build from his critics to Utilitarianism, Intuisionism, and especially, Rawlsian contractarianism. By using capability approach, democracy, and open impartiality to improve reasoned public discussion, the problem of injustice will eventually be reduce.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2014
S57060
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anggono Wisnudjati
"Permasalahan tentang siapakah aku yang sebenarnya merupakan permasalahan pokok di dalam filsafat manusia. Permasalahan ini belum memiliki jawaban yang tuntas dan menyeluruh. Hal ini disebabkan oleh karena manusia dapat dilihat dari berbagai macam segi _ Salah satunya adalah dari segi jiwa dan tubuhnya. Plato merupakan salah satu filsuf yang berefleksi tentang manusia dari segi jiwa dan tubuhnya."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2002
S15996
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Urmson, J.O.
Oxford: Clarendon Press, 1960
100 URM p
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>