Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 12434 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Wilson Wijaya
"Kapitalisme sebagai sistem yang muncul di tengah-tengah masyarakat industri menjadi fenomena tersendiri di dalam relasi kehidupan manusia. Karl Marx sebagai seorang pemikir ekonomi, menemukan kontradiksi di dalam relasi kapitalisme ini, yaitu relasi kelas borjuis dan proletar. Ia menyatakan bahwa relasi hanya sekedar membawa kemunduran terutama bagi nilai-nilai kehidupan manusia, untuk itu diperlukan suatu gagasan final untuk mengakhiri relasi kelas ini dengan cara melakukan perjuangan kelas. Namun nyatanya gagasan finalitas Marx yang dianggap sebagai klimaks dari tatanan masyarakat belum bersifat menyeluruh menyentuh kefinalitasan tersebut, banyak celah yang masih dapat dikaji lebih mendalam. Slavoj Zizek sebagai pemikir Post-Marxian mencoba untuk mengkritik gagasan finalitas yang diusung oleh Marx. Menurutnya gagasan finalitas melampaui proses pembentukan subjek yang bersifat kontingen dan selalu berusaha untuk merevisi tatanan- tatanan simbolik yang ada.

Capitalism as a system that appears in the middle of an industrial society become a phenomenon in the relation of human life. Karl Marx as an economic thinker, finding contradictions in its relation, the relation of the bourgeois and the proletariat. He stated that the relationship just decreasing human value, so that it needed a final idea to solve this class relationwith take a class struggle. But in fact the idea of finality considered the climax of the whole society is not yet touched the finality itself, many gaps still needed to be studied more in depth. Slavoj Zizek as Post-Marxian thinker tried to criticize the idea of finality brought by Marx. According to him, the idea of finality beyond forming process that is contingent and subject always trying to revise the arrangements existing symbolic."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2013
S52532
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ronald Makmur Boesono Rakiman
"Skripsi kami ini akan membicarakan paham kebebasan yang ada pada pemikiran Karl Marx dimulai dari disertasi doktornya yang berjudul Uber die Differenz der demokiritschen und epikurischen Naturphilosopie sampai dengan pemikiran Marx yang lanjut yang terungkap dalam Materialistic Conception of History. Mengapa kami tergerak untuk membicarakan paham kebebasan yang ada dalam pemikiran Marx tidak lain karena di dalam pemikiran Marx sendiri terdapat suatu suasana yang problematis yaitu antara pemikiran humanis Karl Marx dan pemikiran sejarah Marx yang mengarah kepada determinisme ekonomi. Semua itu terlihat misalnya dengan munculnya Karl Marx sebagai nabi lewat ajaran Marx di sementara kalangan buruh, tani maupun banyak pejuang-pejuang kemerdekaan terutama dalam abad ke 19 dan awal abad 20. Dengan ajaran Marx kaum buruh menuntut perbaikan nasib, kaum tani menuntut suatu landreform dan pejuang-pejuang kemerdekaan mengusir kaum kolonianis; sehingga secara sepintas saja dapat dilihat bahwa ajaran Marx telah memberikan pegangan dasar bagi mereka untuk memperjuangkan kebebasan bagi kemanusiaan hidup mereka..."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1978
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Banning, W.
Amsterdam: De Arbeiderspers, 1950
BLD 320.1 BAN h
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Franz Magnis-Suseno
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999
320.531 FRA p
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Skousen, Mark
"History comes alive in this fascinating story of opposing views that continue to play a fundamental role in today's politics and economics. "The Big Three in Economics" traces the turbulent lives and battle of ideas of the three most influential economists in world history: Adam Smith, representing laissez faire; Karl Marx, reflecting the radical socialist model; and John Maynard Keynes, symbolizing big government and the welfare state. Each view has had a significant influence on shaping the modern world, and the book traces the development of each philosophy through the eyes of its creator. In the twenty-first century, Adam Smith's "invisible hand" model has gained the upper hand, and capitalism appears to have won the battle of ideas over socialism and interventionism. But author Mark Skousen shows that, even in the era of globalization and privatization, Keynesian and Marxian ideas continue to play a significant role in economic policy."
London: Routledge, 2015
e20497096
eBooks  Universitas Indonesia Library
cover
Efriani Effendi
"Filsafat kontemporer telah meninggalkan permasalahan subyek. Filsafat kontemporer melihat bahwa subyek telah mati karena selalu dipengaruhi oleh kehidupan sosial. Akan tetapi, Slavoj Zizek melihat bahwa subyek seharusnya dihadirkan kembali di kehidupan sosial. Subyek yang dimaksud merupakan subyek kosong yang terlepas dari simbol sosial maupun fantasi subyektif. Subyek kosong merupakan subyek yang terus menegasi kedua simbol tersebut dan menciptakan simbol-simbol baru. Dengan demikian, subyek selalu merefleksi semua tindakannya.

Philosophy of contemporary already left the problem of subject. Philosophy of contemporary sees that the subject is already died because it was influenced by social condition. But Slavoj Zizek thinks that the subject should present in social life. Subject that he means that is the void of subject whom apart of social symbolic and subjectivity fantasy. The void of subject is always refuses the both symbolics and then makes new symbolics. So that, the subject always reflects all the actions."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2011
S229
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Keuth, Herbert
New York: Cambridge University Press, 2005
192.121 KEU p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Fachru Nofrian
"Fokus utama skripsi ini adalah kritik atas fondasionalisme dalam pemikiran Richard Rorty, Metode yang digunakan bersifat deskriptif. Pemikiran (filsafat) modern dapat dikatakan titik equilibrium antara filsafat dan fondasionalisme daiam suatu masa. Ambisi Rorty adalah menjadikan filsafat bebas dari fondasionalisme. Rorty mengawali pembahasan tentang fondasionalisme dengan menelusuri para filsuf mulai dari Descartes sampai dengan Kant. Sedangkan filsuf seperti Husserl, Heidegger dan Russell juga dikatakan masih terjebak pada fondasionalisme. Agar dapat lebilt mudah dan tajam dalam memahami Rorty, perlu memahami pemikiran Filsuf tersebut dan juga Sellar, Quine, Rawls, Wittgenstein, Dewey. Peirce dan Davidson. Filsuf seperti tersebut yang pertama dibahas pada Bab 11, sedangkan yang terakhir dibahas pada Bab III. Karakter mendasar dari fondasionalisme adalah kesadaran dan kebenaran. Melalui kesadaran, semua penampakan adalah kesadaran atau ada dalam kesadaran. Eksistensi dan esensi ada dalam kesadaran. Dengan demikian ada keterpisahan antara kesadaran, dapat disebut ruang privat atau res cogitans dan natur, disebut ruang publik atau res extensa. Kesadaran kemudian berperan sebagai mahkamah pemikiran yang menentukan realitas, dengan demikian kesadaran mengatasi perbedaan esensi-eksistensi yang ada dalam filsafat atau pemikiran sebelumnya. Dengan adanya kesadaran. muncul kekuatan pikir sebagai penentu pengetahuan. Kesadaran merupakan pandangan yang terpisah dari realitas itu sendiri. Pada filsafat sebelumnya, tidak terdapat keterpisahan yang mampu memberikan kekuasaan pengetahuan pada manusia ini. Konsekuensi logis dari kekuatan pikir ini adalah munculnya sumber pengetahuan: rasionalitas dan empirisitas; pemilik pengetahuan, yaitu subyek dan yang diketahui, yaitu obyek; dan kondisi pengetahuan : subyektivitas dan obyektivitas. Kebenaran adalah keakuratan dan ketepatan representasi dengan realitas, disebut juga korespondensi. Filsafat Rorty merupakan usaha menghilangkan kesadaran yang memiliki keyakinan dan pengetahuan yang berada dalam kesadaran tersebut. Untuk itu, ia memulai filsafatnya dengan mengotak-atik ontologi epistemologi, yaitu mental-fisikal. Ia menganalisa antara mental-fisikal dengan partikularitas-universalitas. Selama ini, mental merupakan properti pengetahuan yang dimiliki subyek yang ada secara intuitif melalui kesadaran. Mental menghasilkan reduksi realitas universal, sementara realitas yang belum direduksi adalah realitas partikular atau hanya penampakan. Akibatnya, pengetahuan bergantung pada mahkamah pemikiran. Rorty menolak inidengan melihat bahwa ontologi adalah realitas partikular-universal saja, bukan mental-fisikal. Dengan kata lain, mental-fisikal hanyalah bagian dari distingsi ontologi partikular-universal itu tadi. Dengan ontologi epistemologi tersebut, maka pengetahuan lebih bergantung pada konteks daripada pada kesadaran. Kalaupun kesadaran ada, maka ia ada dalam konteks, yang artinya lebih ditentukan oleh proses sosial, justifikasi sosial dan sebab sosial. Di sinilah bahasa menjadi hanya bahasa, bukan gambaran realitas yang paling benar ataupun yang paling Ada. Bahasa tidak lagi memiliki unsur-unsur metafisis, baik itu melalui logika matematika ataupun logika bahasa, dan terlebih lagi tidak ada penentuan makna dari bahasa atas suatu realitas secara mental. Intuisi yang berasal dari mental digantikan intuisi sosial yang bersifat spontan. Pengetahuan ini bukan berarti tidak ada makna, tapi justru menjadi banyak makna. Konsekuensi dari pemikiran ini adalah tidak ada kebenaran yang absolut, kebenaran adalah permainan bahasa dan bersifat historis, bukan ahistoris. Kebenaran bersifat kontingen (berubah), bukan necessary. Oleh karena itu, seluruh perangkat pengetahuan, seperti rasionalitas dan obyektivitas yang selama ini menjadi house of knowledge dari ilmu pengetahuan menjadi banal (tumpul), lebih jauh lagi, itu semua adalah mitos. Rorty ingin mengembalikan semua kekuasaan pengetahuan pada manusia itu sendiri, bukan pada kesadaran yang bersifat nonhuman tersebut. Intuisi spontan membawanya pada metafora. Baginya metafora penting karena bisa memperluas ruang logis yang kemudian diilmiahkan melalui proses sosial dan justifikasi sosial. Definisi-definisi seperti: sejarah adalah semata-mata perjuangan kelas. cinta adalah satu-satunya aturan, adalah sebuah metafora yang kemudian mengalami justifikasi sosial menjadi definisi dari sesuatu. Implikasi sosial pemikiran Rorty adalah perlunya percakapan (konversasi) dalam menghilangkan masalah utama manusia, yaitu kesendirian. Baginya, semua metode ilmu pengetahuan bukan ditujukan untuk menekankan realisme, yaitu korespondensi yang paling akurat dengan realitas partikular diluarsana, tapi hanya suatu metafora yang mungkin berguna bagi suatu jaman, atau masa, sebelum diperluas lagi oleh metafora lainnya. Ia lebih melihat percakapan sebagai suatu evolusi."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2004
S16109
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marin, Louis
Paris : Les Editions de Minuit, 1975
104 MAR l
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Bambang Wahyu
"Tujuan penelitian ini adalah mengkaji pemikiran Slavoj Žižek tentang subyek kuasa dan hubungannya dengan struktur kekuasaan. Subyek kuasa adalah manusia yang melakukan tindak kuasa melalui imajinasi yang politis dan melalui dialektika pengakuan dengan yang lain. Struktur kekuasaan adalah struktur simbolis yang menjadi media bagi subyek untuk melangsungkan tindakan politiknya. Penelitian ini dilakukan dengan studi kepustakaan melalui analisa terhadap karya-karya Slavoj Žižek, komentator tentangnya, serta kaitan dengan realitas politik kontemporer.
Sebagai hasil dari penelitian adalah subyek kuasa menurut Žižek merupakan subyek kosong, yang memiliki kekurangan identitas dalam membentuk tindakan politiknya. Tapi ia menjadi kondisi positif untuk membentuk dan mempengaruhi struktur kekuasaan secara bebas. Kemudian, struktur kekuasaan pun tidak sempurna. Ia tidak mampu menginterpelasi subyek kuasa ke dalamnya. Dalam terang ketidaksempurnaan ini, ia menyediakan kebebasan bagi subyek kuasa untuk mentransmutasi struktur simbolis kekuasaan serta mengeserkan diri pada yang lain.

The aim of this research was studied Slavoj Žižek’s thought on subject of power and its relation to structure of power. Subject of power was man who act his power through political imaginary and dialectics of acknowledgement with others. The structure of power was a symbolic structure which became a medium for subject to act his political action. This research was done by library research through Žižek’s works analyse, his commentators, and relied on contemporary political reality.
The result was showed that Žižek’s subject of power was the empty subject, whose a lack identity in creating his political acts. But it was a positively condition produced and influenced the structure of power freely. Thus, the structure of power was also incomplete. It was not able interpellated the subject of power into it. In this incompleteness, it gave a freedom to subject of power transmuted the symbolic structure of power and displaced him to the other.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2014
D2011
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>