Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 91247 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Margareth Theresia
"Penelitian ini mengkaji tema utama dan tema tambahan yang terkandung di dalam novel Malhaneun Dol karya Moon Soon Tae melalui gagasan-gagasan yang ada di dalam novel ini. Malhaneun Dol penting untuk diteliti karena mampu menggambarkan suasana masyarakat desa pada saat Perang Korea dan akibat yang terjadi setelahnya. Metode yang digunakan adalah close reading atau membaca dekat yaitu dengan membaca tekun suatu karya untuk menelitinya lebih lanjut. Dengan latar belakang yang juga penulis pertimbangkan, dapat ditemukan bahwa tema utama dalam novel ini adalah balas dendam yang sia-sia. Tema tambahan dalam novel ini adalah suasana sosial perang, keadaan psikologis perang dan penghormatan kepada orang tua.

The research is focused on a study of main theme and supporting theme in the Malhaneun Dol novel written by Moon Soon Tae through its supporting ideas. Malhaneun Dol is important to be researched because this novel can describe the villagers’ atmosphere at Korean War and the time after that. The research method that applied in this thesis is close reading that we have to read a work to understand it more deeply. Historical background is considered and we can find that the main theme of the novel is a shameful revenge. The supporting themes are social atmosphere and psychological state at war, and filial piety."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2013
S45818
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chrisna Bhuana Marthinovianto
"Penelitian ini membahas masalah penilaian terjemahan dialog novel The Da Vinci Code (DVC) karya Brown (2003) dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia melalui pemerian kegagalan pragmalinguistis dan kegagalan sosiopragmatis yang ada di dalamnya. Penelitian ini bertujuan untuk menilai baik-buruknya terjemahan dialog DVC dengan menggunakan ancangan pragmatis yang terkait dengan kegagalan pragmalinguistis dan kegagalan sosiopragmatis.
Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk mencari dan menjelaskan bentukbentuk kegagalan pragmalinguistis di dalam terjemahan dialog DVC yang terkait dengan empat kriteria: (1) kegagalan mengalihkan frasa atau klausa; (2) kegagalan mengalihkan ungkapan rutin; (3) kegagalan mengalihkan deiksis eksofora; dan (4) kegagalan mengalihkan deiksis endofora. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk mencari dan menjelaskan bentuk-bentuk kegagalan sosiopragmatis di dalam terjemahan dialog DVC yang terkait dengan tiga kriteria, yaitu (1) kegagalan mengalihkan honorifik petutur; (2) kegagalan mengalihkan pagar; serta (3) kegagalan mengalihkan ungkapan formal.
Penelitian didasari atas metode error analysis, yang dimodifikasi menjadi analisis kegagalan pragmatis. Dialog-dialog di dalam teks sasaran (TSa) DVC diperbandingkan dengan dialog-dialog di dalam teks sumber (TSu) DVC untuk mencari kegagalan pragmalinguistis dan kegagalan sosiopragmatisnya. Setelah ditemukan, empat puluh percontoh data dianalisis dengan menggunakan tilikantilikan pragmatis. Di akhir analisis, usulan terjemahan yang dapat meminimalkan kegagalan pragmatis juga diberikan.
Hasil penelitian ini membuktikan bahwa terjemahan dialog DVC belum memenuhi kriteria ketepatan, kejelasan, dan kewajaran sehingga dinilai tidak baik. Analisis data dan simpulan yang didapat dari setiap data itu membuktikan bahwa tilikan-tilikan pragmatis, seperti daya ilokusioner, tindak tutur tidak langsung, ungkapan rutin, kesantunan positif, kesantunan negatif, deiksis, dan pagar, dapat digunakan sebagai pisau analisis untuk menilai baik-tidaknya terjemahan.

This research discusses the translation evaluation of the dialogues in a novel written by Brown (2003), The Da Vinci Code (DVC), by explaining pragmalinguistic failures and sociopragmatic failures found in DVC translation from English to Indonesian. This research is aimed at evaluating the correctness of the translation of the dialogues in DVC by using a pragmatic approach related to pragmalinguistic failures and sociopragmatic failures.
This research is specifically aimed at seeking and explaining the forms of pragmalinguistic failures by using four criteria: (1) failures in translating phrases and clauses; (2) failures in translating conversational routines; (3) failures in translating exophoric deixis; and (4) failures in translating endophoric deixis. In addition, this research is also aimed at seeking and explaining the forms of sociopragmatic failures by using three criteria: (1) failures in translating addressee honorifics; (2) failures in translating hedges; and (3) failures in translating formal expressions.
This research is based on error analysis method, which is modified into pragmatic failure analyses. The dialogues in the target text (TT) DVC are compared with those of the source text (ST) DVC in order to seek for the pragmalinguistic failures and sociopragmatic failures. After the comparison stage, forty data are selected as samples and are analyzed by using some pragmatic insights. In the final stage of the analysis, each data is given an alternative translation of the TT as an attempt to minimize the pragmatic failures.
The results of this research show that the dialogues in TT have not fulfilled the criteria of accuracy, clarity, and naturalness; hence, they are considered as poorly translated. The data analysis and the conclusion of each data prove that pragmatic insights, such as illocutionary force, indirect speech acts, conversational routines, positive politeness, negative politeness, deixis, and hedges, can be used as tools to evaluate the correctness of a translation."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2007
T19232
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurhayati
"Keaspekan merupakan salah satu makna kewaktuan yang bersifat semesta. Baik bahasa beraspek maupun bahasa takberaspek mampu mengungkapkan makna keaspekan tersebut. Keterkaitan antara keaspekan dan makna kewaktuan lain, yaitu keaksionalan dan kekaiaan, menyebabkan banyak ahli bahasa merumuskan ketiga konsep tersebut secara tumpang tindih. Di satu kelompok mereka merasa tidak perlu memisahkan keaspekan dan keaksionalan (lihat Verkuyl 1993), sementara kelompok lain berpendapat bahwa keaspekan, keaksionalan, dan kekaiaan harus diperlakukan sebagai konsep yang terpisah (lihat Bache 1997).
Penelitian ini bertujuan meneliti kesemestaan konsep keaspekan, khususnya keimperfektifan, dengan berpijak pada pendapat yang menyatakan bahwa keaspekan harus dipisahkan dari keaksionalan dan kekalaan meskipun ketiganya berhubungan sangat erat. Ancangan tersebut acapkali disebut sebagai ancangan komposisional.
Dengan menggunakan ancangan tersebut, kita dapat menentukan makna dasar keaspekan dan makna yang dihasilkan dari interaksi antara keaspekan, keaksionalan, dan kekalaan. Sifat kesemestaan tersebut diuji dengan menggunakan metode analisis kontrastif, yaitu membandingkan dua bahasa yang sistem pengungkapan keimperfektifannya berbeda. Kedua bahasa itu ialah bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. Bahasa Inggris adalah contoh bahasa beraspek. Dalam mengungkapkan keimperfektifan, bahasa tersebut mempunyai peranti gramatikal yang berupa bentuk progresif, yaitu be-ing yang melekat pada predikat verba. Sementara itu, bahasa Indonesia adalah contoh bahasa takberaspek. Untuk mengungkapkan keimperfektifan, penutur bahasa Indonesia menggunakan pemarkah leksikal tertentu.
Penggunaan novel berbahasa Inggris dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia sebagai data didasari oleh kesistematisan pengungkapan keimperfektifan dalam bahasa Inggris, sementara dalam bahasa Indonesia, pemarkahan keimperfektifan yang sistematis, setahu saya, belum dirumuskan. Berdasarkan fakta tersebut, penelitian ini juga mempunyai tujuan menemukan pemarkah pemarkah yang berpotensi mengungkapkan keimperfektifan dalam bahasa Indonesia, serta merumuskan persamaan dan perbedaan sistem pengungkapan keimperfektifan tersebut.
Hasil analisis data menunjukkan bahwa secara konseptual, bahasa Indonesia mampu mengungkapkan makna dasar keimperfektifan serta maka hasil interaksi antara keaspekan, keaksionalan, dan kekalaan yang terdapat dalam metabahasa dan dalam bahasa Inggris. Perbedaan sistem pengungkapan yang ditemukan disebabkan oleh perbedaan fungsi pragmatis antara dua bahasa tersebut. Di dalam bahasa Inggris, persesuaian antara bentuk progresif dan pemunculan elemen-elemen tertentu menentukan kegramatikalan suatu kalimat atau klausa. Sebaliknya, jika elemen-elemen yang mengimplikasikan keimperfektifan muncul dalam kalimat/klausa bahasa Indonesia, pemarkah keimperfektifan tidak harus diungkapkan secara eksplisit. Kesan bahwa penutur bahasa Indonesia merasa tidak perlu menggunakan alat keaspekan dalam berkomunikasi disebabkan oleh keleluasaan penutur dalam mengungkapkan situasi secara netral. Dalam bahasa Inggris, penutur jarang mengungkapkan situasi secara netral karena penggunaan bentuk verba simpleks atau progresif menghasilkan tafsiran pemfokusan situasi tertentu atau menghasilkan tafsiran penggambaran situasi yang legap. Oposisi bentuk verba simpleks vs. verba progresif dengan kala kini menghasilkan oposisi makna keimperfektifan vs. kehabitualan, sedangkan oposisi bentuk verba simpleks vs. verba progresif dengan kala lampau menghasilkan oposisi makna keimperfektifan vs. keperfektifan.
Perbedaan lain disebabkan oleh sifat pertelingkahan antara pemarkah keimperfektifan dengan elemen-elemen lain yang berbeda antara bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. Di dalam bahasa Inggris, kata still atau always dapat berkombinasi dengan predikat verbal berbentuk progresif, sedangkan dalam bahasa Indonesia, kata masih atau selalu harus berkombinasi dengan bentuk predikat simpleks. Sebaliknya, di dalam bahasa Indonesia, pemarkah keimperfektifan dapat berkombinasi dengan predikat nonverbal, sedangkan di dalam bahasa Inggris, tipe kombinasi itu hampir tidak ditemukan.

Aspectuality is one of the universal temporal-meanings found both in an aspect language and in a nonaspect language. The other temporal meanings are actionality and temporality. They are realized grammatically or lexically. The three meanings interact closely to express a situation perceived by the lectionary agent in a sentence or a clause. The close relationship has caused some grammarians conceive aspect and tense as the same concept (Comrne 1976:1). Other grammarians such as Lyons (1977), Alive (1992), and Verkuyl (1993) have also conceived the concept of aspectuality and actionality as one concept with different realizations.
Beside the two groups, there are other grammarians such as Brinton (1988), Smith (1991), and Bache (1997) that have treated actionality and aspectuality as different concepts, Their argument was aimed to solve the problem of the confusing definitions of aspect and Aktionsart. Bache (1997:12) even said that aspect, action, and tense should be kept distinct as separate categories.
This research aimed at proving that the features of the universal concept of aspectuality, especially imperfectivity can be expressed in a non-aspect language. This research is based on the notional approach that differenciates aspectuality from actionality and temporality in a sentence. The three meanings interact thightly. By using that approach, we could establish the basic meaning of aspectuality and meanings derived from the interaction among aspectuality, actionality, and temporality of object languages.
To analize the universal meanings, I contrasted two object languages, English and Indonesian, which have different systems of expressing imperfectivity. English is an example of an aspect language. It has a grammatical form to express imperfective meaning. That form is be-ing embedded in a verbal predicate. In contrast, Indonesian is one of the nonaspect languages. It expresses the imperfective meaning by using certain lexical markers.
The data contrasted consist of some English sentences and their translations in Indonesian, I chose the type of the data because I assumed that imperfectivity is expressed systematically in English, whereas, as far as I know, the system of expressing imperfectivity in Indonesian has not been established systematically. Based on the fact above, the aim of this research is also to find out the potential imperfective marker of Indonesian. By finding out the markers, we could describe the similarities and the differences of the two systems. The result could be used as a test frame to prove whether Indonesian sentences or clauses theoretically containing the imperfective markers are always translated into English by using progressive form.
One of he findings of the research showed that Indonesian could express both the basic imperfective meaning and their interactional meaning as English does. The different system of expressing imperceptivity is as a result of the different feature of grammaticality and pragmatically function between the two languages. In English, the concord relation between the progressive form and the occurrence of the other Imperfectives, Meaning, English Language, Indonesian Language, Aspectuality, Novel, Translations, 1999.
LINGUISTICS
sentential elements concerns the grammatical acceptability of a sentence. On the contrary, the imperfective markers in Indonesian could be expressed explicitly or implicitly whenever there are other elements that imply the imperfective meaning.
An opinion that Indonesian speakers do not need aspectual markers in an act of communication is due to the fact that generally they express a situation without focusing on a particular situation. In English, it is difficult to get examples of expressing a situation without giving a certain focus.
The other difference concerns the different incompatibility of the imperfective markers and other sentence elements between English and Bahasa Indonesia. In English, we could combine adverbs still or always with the progressive verb. In bahasa Indonesia, the words masih and selalu are usually incompatible with an imperfective marker such as sedang. In Indonesian, we could combine the imperfective markers such as sedang, masih, and lagi with a nonverbal predicate, whereas we have hardly ever found the combination in English."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jossy Darman
"Ihwal tema-rema telah diteliti oleh banyak ahli bahasa, baik untuk bahasa Jerman maupun untuk sejumlah bahasa lain. Struktur tema-rema menarik perhatian para ahli ilmu bahasa karena analisis struktur kalimat secara tradisional kurang memuaskan. Yang dimaksud dengan analisis kalimat secara tradisional ialah pembagian kalimat dalam subjek dan predikat, atau subjek, predikat, dan objek. Istilah subjek, predikat, objek adalah istilah formal atau gramatikal. Bila masih ada keraguan di antara ahli bahasa akan tepatnya menerapkan kategori gramatikal tersebut pada bahasa secara universal, ujaran dalam semua bahasa dapat dipandang secara universal dari segi fungsional atau komunikatifnya, yaitu pengujar memberi keterangan (rema) tentang sesuatu (tema). Ujaran atau secara formal kalimat di bawah ini memiliki persamaan. Pengujar membubuhi keterangan kepada Ani (1.1) dan kepada mobil (1.2).
(1.1) Ani Mama sayang!
(1.2) Mobil itu menabrak sebuah pohon.
Dalam (1.1) seorang anak (2-3 thn) sebagai pengujar yang bernama Ani memberi keterangan tentang dirinya sendiri, yaitu bahwa ibunya harus menyayanginya. Dalam (1.2) pengujar berceritera tentang mobil yang menabrak pohon.
Pada hakikatnya bahasa adalah ciri khas manusia yang digunakan untuk berkomunikasi. Desco dan Szepe (1974:81) berpendapat bahwa topik-komen termasuk sistem semiotis yang universal. la menulis:
'topic-comment' is a substantive universal of semiotical order, i.e. covers an area where language falls into the same class with zoo-semiotical systems ...
Mirip dengan pendapat Desco dan Szepe, Lutz (1981:8) menulis: Jeder Aeusserung - in anscheinend jeder Sprache der Welt - liegt eine Thema-Rhema-Struktur zugrunde.
Istilah topic-comment digunakan sebagai padanan kata untuk tema-rema, tetapi ada juga ahli bahasa yang membedakan kedua dikotomi tersebut.
Dengan meneliti struktur tema-rema yang ada dalam tiap ujaran kita meneliti bahasa dalam fungsi dasarnya, yaitu sebagai alat komunikasi. Meskipun secara umum diakui bahwa semua bahasa memiliki struktur tema-rema, realisasinya dalam ujaran berbeda. Untuk mengetahui seluk beluk struktur tema-rema suatu bahasa, perlu diteliti mekanisme apa yang terkandung dalam struktur tema-rema. Dua ujaran berikut ini mengandung kata-kata dengan bentuk dan makna yang sama, namun maksud komunikatif pengujarnya dalam kedua ujaran di bawah ini berbeda.
(1.3) Amir ialah anak terpintar di kelas V.
(1.4) Anak terpintar di kelas V ialah Amir.
Dengan (1.3) pengujar membicarakan Amir dan dengan demikian Amir menjadi titik tolak ujarannya atau tema, dan ialah anak terpintar di kelas V ialah informasi yang diberikan pengujar tentang Amir. Dengan (1.4) pengujar membicarakan anak terpintar di kelas V. Bagian ujaran itu menjadi titik tolak ujaran atau tema, dan Amir merupakan penjelasan yang diberikan pengujarnya tentang tema. Jadi, bergantung pada sudut pandangan pengujar apakah Amir atau anak terpintar di kelas V yang menjadi titik tolak ujarannya. Pengujar cenderung memilih sebagai tema sesuatu yang diketahui atau dikenal pendengar. Dikenal tidaknya tema bergantung pada konteks bahasa dan situasi. Ujaran tidak bersifat mekanis, artinya tiap ujaran harus dilihat dalam konteks bahasa dan situasi. Bila Amir telah disebut sebelumnya pengujar lebih cenderung memilih Amir daripada anak terpintar di kelas V sebagai tema. Situasi juga penting. Misalnya, bila pada upacara tertentu kepala sekolah memberi hadiah kepada anak terpintar dari tiap kelas, maka pengujar mengambil tema anak terpintar di kelas V."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1992
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizkya Dian Maharani
"Skripsi ini merupakan sebuah telaah atas buku karya Jose Luiz Bermudez berjudul Thinking without Words. Manusia dalam kehidupan selalu menggunakan pikiran, kegiatan berpikir pun memiliki relevansi dengan bahasa. Namun, pada umumnya bahasa selalu dianggap sebagai sesuatu yang terdiri dari kata-kata yang menghasilkan kalimat. Hal itu merupakan pandangan ilmu linguistik terhadap bahasa. Maka, berpikir secara nonlinguistik berusaha untuk membuktikan bahwa bahasa tak hanya terlingkup oleh kata-kata dan pikiran adalah hal yang sebenarnya ?melampaui? pengetahuan terhadap kata-kata.

This undergraduate thesis is a analysis of Thinking without Words by Jose Luiz Bermudez. In life, human always use thinking, that thinking as relevance activity with language. But, in common, there assume for language as a thing consist by words and producing sentence. That is point of view by linguistic. Therefore, nonlinguistic thought have different point to understand language. Thinking on a Nonlinguistic proves that language not just words zone and thinking is something beyond knowlwdge of words."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2011
S1629
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Waridin
"Penelitian ini secara umum bertujuan memperoleh gambaran pemakaian ungkapan fatis dalam acara temu wicara televisi. Telaah tentang ungkapan fatis dalam acara temu wicara televise termasuk ke dalam bidang kajian analisis wacana dan pragmatik. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dan kuantitatif. Metode kuantitatif hanya digunakan sebagai pendukung dalam mengenalisis data, misalnya untuk menentukan persentase sampel penelitian dan menghitung frekuensi penggunaan ungkapan fatis.
Acara temu wicara yang dijadikan sumber data adalah News Dot Com yang ditayangkan oleh Metro TV tanggal 18 Maret dan 25 Maret 2007, Empat Mata yang ditayangkan oleh Trans7 tanggal 15 Maret dan 20 Maret 2007, Ceriwis yang ditayangkan Trans TV tanggal 27 Februari dan 10 Maret 2007, dan Kick Andy yang ditayangkan oleh Metro TV tanggal 22 Maret dan 29 Maret 2007. Total waktu acara adalah 361,6 menit atau 6,03 jam. Dari delapan episode acara temu wicara televisi yang dijadikan sumber data ditemukan 1012 ungkapan fatis. Data yang diambil sebagai sampel berjumlah 282 ungkapan fatis atau 27,8% dari 1012 populasi.
Terdapat ungkapan fatis yang sudah tercatat oleh peneliti terdahulu dan ungkapan fatis yang belum tercatat oleh peneliti terdahulu. Jenis kata dan partikel fatis yang sudah tercatat peneliti terdahulu dan ditemukan dalam korpus data penelitian adalah ya, sih, dong, kok, nah, kan, deh, lho, -lah, ah, halo, toh, dan yah. Jenis kata fatis yang belum tercatat peneliti terdahulu dan ditemukan dalam korpus data penelitian adalah oke, aja, em, baik, gitu, bentar, eh, amin, nih, hai, mah, lha, tahu, wong, alah, dan bo. Kata fatis yang cenderung digunakan dalam acara temu wicara televisi adalah kata fatis ya dengan frekuensi pemakaian 72 kali.
Frase fatis yang sudah tercatat oleh peneliti terdahulu dan ditemukan dalam korpus data penelitian adalah terima kasih, selamat datang, dan selamat malam. Frase fatis yang belum tercatat oleh peneliti terdahulu dan ditemukan dalam korpus data penelitian adalah apa kabar, betul sekali, bukan begitu, dan ya sudah. Frase fatis yang cenderung dipakai dalam acara temu wicara televisi adalah terima kasih/thanks dengan frekuensi pemakaian tiga belas kali. Kalimat fatis yang ditemukan dalam korpus data adalah kalimat fatis yang berfungsi menjaga keharmonisan/mempertahankan komunikasi dengan frekuensi dua kali, tanda meminta persetujuan kepada kawan bicara frekuensi penggunaannya dua kali, dan untuk mengakhiri pembicaraan frekuensi penggunaannya dua kali. Terdapat kalimat fatis yang digunakan secara terbatas pada acara tertentu.
Tiga jenis fungsi fatis yang digunakan secara terbatas dalam acara Empat Mata mencakupi fungsi (1) mengalihkan perhatian pembicaraan, (2) membuka atau memulai kontak dengan kawan bicara, dan (3) mempertahankan kontak pembicaraan dengan kawan bicara. Tiga jenis fungsi fatis yang digunakan secara terbatas dalam acara News Dot Com mencakupi fungsi (1) memutus sementara kontak sekaligus mempertahankan kontak pembicaraan, (2) mengakhiri pembicaraan, dan (3) membuka kontak atau memulai pembicaraan. Dua jenis fungsi fatis yang digunakan secara terbatas dalam acara Ceriwis adalah (1) memutus sementara kontak sekaligus mempertahankan kontak pembicaraan, (2) membuka kontak atau memulai pembicaraan. Jenis fungsi fatis yang digunakan secara terbatas dalam acara Kick Andy adalah fungsi mengakhiri sementara kontak sekaligus mempertahankan kontak pembicaraan.

This research is generally aimed at collecting description of phatic expressions employed during television talk shows. This study is concerned with the realm of pragmatic and discourse analysis. Qualitative and quantitative methods constitute mainly in this study, with the latter providing ground on which data analysis is used to measure percentage of research sample and calculate frequency of phatic expression uses.
The talk shows from which the data were gathered are News Dot Com by Metro TV on March 18th and 25th 2007, Empat Mata by Trans7 on March 15th and 20th 2007, Ceriwis by Trans TV on February 27th and March 10th 2007, and Kick Andy by Metro TV on March 22th and 29th 2007. The total time consumed by the combined talk shows on TV is on average 361,6 minutes or 6,03 hours. Of the eight episodes of the talk shows contrributing to the data source, 1012 phatic expressions were found, of which 282 of them were used as samples, or approximately 27,8% were used as samples.
Among the phatic expression samples that have been gathered, some of them have been previously recorded by the writer, forming the corpus data for his own research, while some have not. The phatic expression samples are in the form of word, phrase, and sentence. The recorded phatic words found while conducting this research are ya, sih, dong, kok, nah, kan, deh, lho, -lah, ah, halo, toh, and yah. The unrecorded phatic word samples that turned up during this study include oke, aja, em, baik, gitu, bentar, eh, amin, nih, hai, mah, lha, tahu, wong, alah, and bo. The most frequent phatic word that appeared on the TV talk shows, reaching up to the frequency of 72 times appearance is ya. Than, the phatic phrase samples.
The recorded phatic phrases that tuned up during the research are terima kasih, selamat datang, and selamat malam, while the unrecorded ones include apa kabar, betul sekali, bukan begitu, and ya sudah. The most frequent phatic phrase with thirteen times occurrence is terima kasih/thanks. Last of all, the phatic sentences. They served different purposes, which were found during the research. One that served to maintain communication flow appeared twice, another that requested consent from interlocuters appeared twice, and the other that functioned to end a conversation appeared twice. Further functions of phatic sentences have been found in relation to TV talk shows they are angaged in.
In Empat Mata the functions of phatic sentences include (1) diverting a mainstream talk, (2) starting a discussion, and (3) maintaining interest in a chat with interlocuters. In News Dot Com phatic sentences function to (1) temporarily cut off a conversation flow while at the same time maintaining it from the loss, (2) end a talk, and (3) to start or open a new talk. In Ceriwis phatic sentences serve to (1) temporarily cut off a conversation flow while at the same time saving it from the loss, and (2) to start a new discussion. In Kick Andy phatic sentences have a sole function which is to cut off a conversation flow temporarily while at the same time keeping it from the loss.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2008
T22761
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Supriyanto Widodo
"ABSTRAK
Penelitian tentang Peribahasa Jawa dalam cerpen-cerpen Jawa saat ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana para pengarang cerpen Jawa memanfaatkan paribahasa Jawa untuk memikat perhatian
pembacanya.
Data pene1itian ada1ah peribahasa Jawa yang diambi1 dari buku karangan S. Padmosoekotjo berjudul Ngéngréngan Kasusastran jawa jilid I dan II. Data juga diambi1 dari cerpen-cerpen berbahasa Jawa yang dimuat da1am maja1ah berbahasa Jawa Panjebar Semangat.
Dengan menggunakan metode deduksi, ditemukan bahwa peribahasa-peribahasa Jawa yang me1iputi paribasan, bebasan, saloka, sanepa isbat, pepindhan dan panyandra masih banyak muncul dalam
cerpan-cerpén Jawa saat ini. Kemunculan peribahasa-peribahasa Jawa ini da1am carpen-cerpen Jawa saat ini dimanfaatkan sebaik-baiknya oieh para pengarang cerpen Jawa untuk manarik perhatian
pembaca. Pemanfaatan per1bahasa-peribahasa Jawa ini untuk menarik perhatian pembaca, o1eh para pengarang ditampilkan sebagai judul cerpen, untuk merangkum paparan sebe1umnya dan juga untuk
memperje1as gambaran atau pelukisan suasana yang ingin disampaikannya."
Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1995
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Ifriani Annisa
"Salah satu cara penulis atau pembicara menyampaikan emosi adalah dengan mengekspresikan ekspresi emotif. Ekspresi emotif dapat ditemukan dalam wacana atau teks budaya. Teks yang dianalisis pada penelitian ini adalah panyandra panggih. Panyandra panggih adalah penggambaran dengan pengandaian yang disampaikan pada rangkaian acara pertemuan kedua pengantin setelah akad. Pada teks panyandra panggih ditemukan sejumlah ekspresi emotif yang terkait dengan rangkaian acara di dalamnya dan kedua pengantin. Dengan begitu, maka digunakan APPRAISAL (Martin dan White 2005) untuk menganalisis teks. Masalah pada penelitian ini adalah bagaimana makna atitudinal teks panyandra panggih dibangun. Tujuan penelitian ini adalah untuk menginvestigasi makna atitudinal pada ujaran teks panyandra panggih. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Data penelitian dikumpulkan dengan studi pustaka. Data yang didapatkan pada penelitian ini berupa ujaran. Hasil penelitian ini adalah polarisasi sikap dominan positif, jenis pengekspresian dominan implisit, dan ditemukannya pola klasifikasi desire dalam teks budaya berbahasa Jawa.

One of speaker’s or writer’s ways to deliver emotions is to expressing emotive expressions. Emotive expressions could be found in cultural discourse or text. The discourse or text analyzed in this research is panyandra panggih. Panyandra panggih is a depiction delivered in one of the series of events when the bride and the groom meet after the vow or akad. Numbers of emotive expressions related to the series of events and bride and groom are found in text. Therefore, APPRAISAL (Martin and White, 2005) is used to analyze the text. The research problem is how attitudinal meaning is constructed in panyandra panggih text. The aim of this study is to investigate the attitudinal meaning of panyandra panggih text. This study employs a qualitative method, drawing on a discourse analytical study. The form of the data is written speech. The findings of this study are positive polarization, implicit expressions of emotions and desire classification patterns found in Javanese cultural text."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2022
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Ratih Novianty Marlan
"Tesis ini membahas konseptualisasi metafora emosi dalam rubrik konsultasi majalah mingguan wanita Femina. Masalah yang diketengahkan dalam tesis ini adalah pengungkapan verbal emosi dalam rubrik konsultasi majalah Femina yang berbentuk metafora, serta pengaruh latar belakang masyarakat bahasa Indonesia terhadap konsep metafora emosi bahasa Indonesia. Tujuan penulisan tesis ini untuk mengungkapkan konseptualisasi metaforis emosi dalam bahasa Indonesia dan menunjukkan pengaruh latar belakang budaya penutur dalam pembentukan metafora emosi bahasa Indonesia, apakah bersifat universal atau bersifat khas? Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak semua majas digunakan untuk ungkapan emosi. Pembentukan metafora emosi menunjukkan konsep yang bersifat universal.

This thesis discusses the conceptualization of metaphorical emotion in consultation weekly women's magazine Femina. Objectives of the thesis is to reveal metaphorical emotion's concepts in bahasa Indonesia and shows the influence of speakers cultural background in the conceptualization of metaphorical emotion language, whether this concept is are used to express universal or typical? Results of research indicate that not all figurative language emotion and thw conceptualization of metaphorical emotions has universal character."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2009
T25898
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Lilis Marliani
"ABSTRAK
Penelitian ini menganalisis di antara dua buku ajar internasional Interchange 3 dan buku ajar lokal Look Ahead 2, manakah yang lebih mengejawantahkan prinsip-prinsip ancangan komunikatif (CLT) dan sejauh mana kedua buku ajar tersebut dapat membekali siswa dengan kompetensi komunikatif dengan latar pembelajaran di sekolah. Hasil penelitian ini menunjukkan Interchange 3 mengejawantahkan CLT lebih baik dari Look Ahead 2 dalam hal rancangan, bahan ajar, dan latihan yang disajikan dalam buku ini. Meskipun Interchange 3 secara metodologis lebih mengakomodasikan ancangan komunikatif dan sesuai dengan tujuan pemebaajarn dalam KTSP 2006, pengajar masih enggan menggunakannya karena ketidakpahaman mereka akan pentingnya ancangan komunikatif dalam pembelajaran. Look Ahead 2 digunakan lebih sering oleh pengajar, meskipun buku ini mengandungi banyak kekurangan. Selain itu, asumsi pengajar bahwa buku internasional mengandungi muatan budaya yang bertentangan dengan nilai edukasi sekolah, tidak terbukti dalam Interchange 3. Sebaliknya, buku lokal Look Ahead 2 mengandungi bahan ajar yang brutal dan merendahkan perempuan. Kesesuaian bahan ajar dengan prinsip-prinsip ancangan komunikatif tidak menjamin buku ini akan digunakan oleh pengajar di kelas. Kekurangpahaman pengajar terhadap ancangan komunikatif dapat menghambat keberhasilan penggunaan buku ajar yang dilandasi oleh ancangan ini.

ABSTRACT
This study analyzed two textbooks, Interchange 3, an internationally published textbook, and Look Ahead 2, a locally published one. This study aimed to find out which of the two implements the principles of CLT and which one has a methodology which was more suitable to equip learners with communicative competence in the given school setting. The findings show us that Interchange 3 better implements CLT in terms of its design, learning materials, and activities than Look Ahead 2. However, when each book is seen against the school circumstance, both textbooks could not equip learners with communicative competence. Interchange 3 was not used appropriately to equip learners with communicative competence. Teachers could not see the benefits of using Interchange 3, despite its suitability to the principles of CLT and KTSP 2006. Look Ahead 2, on the other hand, was used more frequently than Interchange 3 although it did not implement many principles of CLT. (3) Moreover, the assumption that internationally published textbooks contain materials against the school educational values was not proven. On the opposite, the locally published textbook represents some culturally sensitive materials; brutality and degrading women. In general, this study found out that there is no guarantee that a communicative-based textbook will be used appropriately to equip learners with communicative competence. Teachers? lack of knowledge of communicative approach may hamper the successful use of the textbook."
2009
T25940
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>