Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 162640 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Samuel Raymond Rumantir Wardhana
"Filariasis limfatik merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh cacing Filaria dan ditularkan melalui gigitan nyamuk. Pada tahun 2000 WHO mencanangkan program eliminasi filariasis limfatik dengan strategi pengobatan massal selama minimal lima tahun menggunakan kombinasi dietilkarbamazin(DEC) 6mg/kg berat badan dan albendazol 400mg. Untuk mengevaluasi keberhasilan program tersebut, maka dilakukan penelitian melalui pengukuran kadar antibodi IgG4 dengan Pan LF.
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan desain studi uji cross sectional pada populasi dewasa di Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur setelah enam tahun pengobatan. Sebanyak 427 sampel darah malam telah diperiksa antibodi IgG4 dengan Pan LF yang terdiri dari 206 orang laki-laki dan 221 orang wanita dengan kisaran umur 18-85 tahun.
Hasil yang diperoleh menunjukkan penurunan prevalensi positif IgG4, tidak terdapat perbedaan prevalensi yang bermakna pada berbagai kelompok umur (p=0,555), jenis kelamin (p=0.894), dan kecamatan tempat tinggal (p=082). Dapat disimpulkan bahwa prevalensi IgG4 pada populasi tidak dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin maupun kecamatan dan terbukti program pengobatan massal telah berhasil menurunkan prevalensi positif IgG4 di Kabupaten Alor.

Lymphatic Filariasis is an infectious disease caused by Filaria worms and is transmitted through mosquito bites. In 2000, WHO launched a program of elimination of lymphatic filariasis by mass treatment strategies for at least five years using a combination of dietilkarbamazin (DEC) 6mg/kg and albendazole 400 mg. To evaluate the success of the program, the research carried out by measuring the levels of IgG4 antibodies using Pan LF.
The research was conducted using cross-sectional study design in the adult population in Alor regency, East Nusa Tenggara after six years of treatment. A total of 427 night blood samples were examined by Pan LF IgG4 antibody consisting of 206 men and 221 women with age range of 18-85 years.
The results show a decrease in the prevalence of IgG4 positive, there were no significant differences in prevalence in different age groups (p = 0.555), gender (p = 0894), and sub-district residence (p = 082). It is concluded that the prevalence of IgG4 in the population is not influenced by age, gender and district and the mass treatment program has proven successful in reducing the prevalence of IgG4 positive in Alor district.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Christian, Michael
"Penelitian ini dilakukan sehubungan dengan sulitnya skrining filariasis dengan menggunakan pemeriksaan mikroskopik di lapangan. Dengan penelitian ini, diharapkan Pan LF dapat diukur nilai diagnostiknya sehingga dapat ditentukan apakah Pan LF dapat menjadi alat skrining yang sesuai standar dan mudah digunakan dalam evaluasi program pengobatan filariasis. Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan menggunakan desain potong lintang. Hasil penelitian ini menunjukkan Pan LF memiliki sensitivitas sebesar 100% dan spesifisitas sebesar 93%. Sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi menjadikan Pan LF berpotensi sebagai alat skrining filariasis di lapangan dan dapat menggantikan pemeriksaan mikroskopik.

This research was conduct considering the difficulties in filariasis screening by microscopic examination which is found on field. It is expected that, by this research, the diagnostic value of Pan LF can be measured in order to decide if Pan LF can be used as a screening device which fit the standard and easy to use. This research is an analytic research with cross- sectional design. The result shows that Pan LF has 100% sensitivity and 93% specificity. By that means Pan LF can be used as screening device for filariasis on field and replace the role of microscopic examination."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yohanes Edwin Budiman
"Dalam upaya mengeliminasi filariasis limfatik, WHO mencanangkan GPELF (Global Program for the Elimination of Lymphatic Filariasis) yaitu pengobatan massal menggunakan kombinasi obat DEC- Albendazol. Penelitian ini bertujuan mengevaluasi keberhasilan pengobatan massal tersebut dengan menilai prevalensi antigen W. bancrofti pada anak SD di daerah endemis yaitu Kabupaten Alor, NTT setelah menjalani enam tahun program. Hasil penelitian menunjukkan prevalensi Mf < 1%, mengindikasikan keberhasilan program ini. Dari uji statistik menggunakan Fisher test, prevalensi antigen W. bancrofti tidak berkorelasi dengan persebaran kelompok umur (p=0,872), jenis kelamin (p=0,687), maupun letak kecamatan asal (p=0,061). Penelitian ini juga membandingkan dua pemeriksaan yaitu mikroskopis (gold standard) dan ICT. Uji diagnostik menunjukkan ICT mempunyai sensitivitas 0% dan spesifitas 99,54%, mengindikasikan ICT masih perlu dikaji lebih lanjut. Namun, ICT lebih praktis digunakan, sehingga dapat direkomendasikan untuk screening apabila pemeriksaan mikroskopis tidak tersedia.

GPELF (Global Program for the Elimination of Lymphatic Filariasis) is a mass drug administration program by WHO using the combination of DECAlbendazole to eliminate lymphatic filariasis around the globe, including Indonesia as one of the endemic countries. As a global-scale program which demands great amount of money, GPELF needs to be evaluated consistently. Thus, this study is designed to evaluate the program by measuring the prevalence of W. bancrofti antigen in elementary students living in Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur. Alor is one of the endemic regions in Indonesia that had been joining the program for six years from 2002 to 2007. The result shows that Mf rate below 1% indicates the program has been succesful in eliminating lymphatic filariasis. This study also analyzes the correlation between the prevalence of W. bancrofti antigen with age group, sex, and district. Fisher test shows that there is no correlation between the prevalence of W. bancrofti with age group (p=0,872), sex (p=0,687), and district (p=0,061). This study also tries to determine whether ICT can be used as the only diagnostic test in endemic areas by analyzing its result compared with microscopic examination result. It shows that ICT has very low sensitivity but very high specifity compared to the gold standard. Moreover, ICT has practical advantages over microscopic examination so that this serology test can be considered to be used when microscopic examination is not available."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Christine Hendrie
"Filariasis merupakan penyakit yang disebabkan oleh cacing Filaria dan ditularkan melalui gigitan nyamuk. Penyakit ini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat diberbagai negara tropis dan subtropis termasuk di Indonesia dengan perkiraan 6 juta orang terinfeksi filariasis (2004). Pada tahun 2000 WHO mendeklarasikan "The Global Goal of Elimination of Lymphatic Filariasis as a Public Health Problem by 2020" dan Indonesia merupakan salah satu negara yang menyepakati kesepakatan tersebut. Strategi dari program tersebut adalah dengan pengobatan tahunan berbasis komunitas pada populasi yang berisiko menggunakan dietilkarbamazin (DEC) 6mg/kg berat badan dalam kombinasi dengan albendazol 400 mg. Oleh WHO dianjurkan untuk mengevaluasi program eliminasi karena anak-anak dengan serodiagnosis pada anak berusia 6-10 tahun untuk mengetahui apa transmisi masih berlangsung. Oleh sebab itu, peneliti ingin meneliti lebih lanjut tentang penggunaan serodiagnosis, Brugia Rapid, dalam memantau keberhasilan program eliminasi filariasis setelah 5 tahun pengobatan kombinasi DEC-abendazol di daerah endemik filariasis timori, Pulau Alor dengan mengetahui prevalensi antibodi anti filaria IgG4 pada anak-anak sekolah dasar. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data sekunder IgG4 dengan Brugia Rapid dari desain studi uji cross sectional pada Anak Sekolah Dasar setelah 5 tahun pengobatan. Hasil yang diperoleh menunjukkan adanya perbedaan prevalensi IgG4 pada berbagai kelompok umur dengan nilai tertinggi pada usia 10 tahun (6,78%). Terdapat perbedaan bermakna pada prevalensi IgG4 pada anak usia < 10 tahun (1,41% - 2,63%) dibandingkan dengan anak usia > 10 tahun (6,78%). Perbedaan prevalensi juga diamati antara kelompok laki-laki (4,94%) dan perempuan (3,03%) meskipun perbedaan ini tidak bermakna. Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa prevalensi IgG4 pada anak Sekolah Dasar tidak dipengaruhi jenis kelamin tapi dipengaruhi oleh umur.

Filariasis is a disease caused by filarial worms and transmitted to humans through mosquito bites. The disease is still a public problem in tropical and subtropical countries including Indonesia where it is estimated that 6 million people were infected filariasis (2004). In 2000 WHO launched "The Global Goal of Elimination of Lymphatic Filariasis as a Public Health Problem by 2020" and Indonesia is one of the countries agreed in this agreement. The strategy of this program is an annual treatment of Diethylcarbamazine Citrate (DEC) 6mg/kg body weight in combination with 400 mg albendazol to risked population. To evaluate the success of the program, WHO recommended to use serodiagnosis in children aged 6-10 years. Therefore, this research is proposed to investigate furthur the use of serodiagnosis, Brugia rapid, in monitoring the success of the filariasis elimination program after five years treatment with a combination of DEC-Albendazole (2002-2007) in filariasis timori endemic area, Alor Island by determining the prevalence IgG4 anti-filaria antibody in primary school children. The research was conducted using secondary data of IgG4 detected by Brugia rapid from a cross sectional study in Primary School Children after 5 years treatment. The result showed that there was differences in the prevalence of various age groups with the highest prevalence at the age of 10 years (6,78%) . The differences of the prevalence between children < 10 years old (1, ...% - 2,..%) and children > 10 years old (6,78%) is significant. However, the difference of IgG4 prevalence between boys and girls is not significant. This study revealed that sex of the children did not influence the prevalence of IgG4 but it was influenced by age."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009
S-pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Praba Ginandjar
"Ruang lingkup dan cara penelitian: Penentuan daerah endemis merupakan langkah paling awal yang harus dilakukan dalam program eliminasi filariasis. Dalam program eliminasi filariasis global WHO menganjurkan penggunaan metode serodiagnosis. Untuk filariasis brugia, metode serodiagnosis terbaik yang ada saat ini adalah deteksi antibodi IgG4 anti-filaria. Deteksi tersebut telah dikembangkan dalam bentuk dipstik (disebut brugia rapid) yang pengerjaannya sangat mudah dan singkat. Dalam penelitian ini ingin diketahui apakah brugia rapid dapat digunakan untuk mendeteksi IgG4 anti-filaria terhadap B. timori dan menentukan daerah endemis filariasis timori.
Penelitian ini merupakan studi uji diagnostik dengan desain cross-sectional. Sebagai pembanding digunakan metode baku emas diagnosis filariasis secara mikroskopis melalui deteksi mikrofilaria dengan teknik membran filtrasi (data sekunder), Penelitian dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Mainang di Pulau Alor, Nusa Tenggara Timur, menggunakan 500 sampel. Untuk melihat perbedaan hasil membran filtrasi dan brugia rapid dalam mendeteksi infeksi filariasis digunakan uj: Chi-square Mc-Nemar.
Hasil dan kesimpulan: Dalam peneltitian ini diperoleh angka infeksi filariasis berdasarkan pemeriksaan membran filtrasi sebesar 27,2%, sedangkan berdasarkan brugia rapid sebesar 77%. Uji McNemar menyatakan kedua metode tersebut memiliki perbedaan bermakna (p=0,000). Hasil pemeriksaan dengan brugia rapid memiliki sensitivitas 100% dan spesifisitas 31,59% terhadap membran filtrasi.
Disimpulkan bahwa: Metode brugia rapid dapat digunakan sebagai indikator daerah endemis filariasis timori. Brugia rapid dapat mendeteksi adanya infeksi filariasis timori, namun tidak dapat digunakan untuk memperkirakan angka mikrofilaria. Brugia rapid memberikan hasil yang lebih sensitif dibandingkan membran filtrasi. Brugia rapid dapat mendeteksi populasi normal endemik, karier mikrofilaremia dan pasien filariasis kronis di daerah endemis filariasis timori.

Scope and method: Identification of endemic area is needed to initiate global elimination program of filariasis. In such program, WHO proposed a serodiagnostic method to determine the endemic areas. The best serodiagnostic method for brugian filariasis is anti-filarial IgG4 antibody detection, which is now being available in dipstick format (named brugia rapid test). The test is easy to perform and the result can be read in ten minutes. In this study I intended to test the ability of brugia rapid to detect filariasis infection in order to determine timorian filariasis endemic area.
This was a cross-sectional diagnostic test study done in Mainang Puskesmas, Alor Island, East Nusa Tenggara. A total of 500 people were participated in this study. Conventional method, filtration membrane technique, was used as control method (secondary data). The result was analyzed by McNemar Chi-square test.
Result and conclusion: This present study showed that filariasis infection rate based on filtration membrane technique (mf rate) was 27.2%, while brugia rapid was 77.0%. McNemar test clarified that both methods were significantly different (p=0.000). Examination using brugia rapid has 100% sensitivity and 31.59% specificity against filtration membrane.
Based on the results, it was concluded that: Brugia rapid method could be applied as indicator to determine timorian filariasis endemic areas. Brugia rapid was able to detect timorian filariasis infection, but mf rate cannot be predicted by brugia rapid. However, brugia rapid gave more sensitive result compared to filtration membrane. Besides, brugia rapid was able to detect endemic normal, microfilaraemic carriers and chronic lymphoedema patients.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2003
T11293
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Felicia Deasy
"Filariasis limfatik disebabkan cacing nematoda dari superfamili Filarioidea dan ditularkan nyamuk. WHO mencanangkan program eliminasi filariasis di negara endemis dengan strategi pengobatan tahunan berbasis komunitas pada populasi yang berisiko menggunakan DEC 6mg/kg berat badan dan albendazol 400 mg. Penelitian dilakukan untuk mengetahui keberhasilan program pengobatan masal selama 5 tahun dalam menurunkan prevalensi hingga kurang dari 1% di Pulau Alor, NTT, sebagai daerah endemis filariasis Brugia timori. Peneliti menggunakan data sekunder dari desain studi eksperimental berupa prevalensi penderita filariasis sebelum dan setelah masa pengobatan. Hasil yang diperoleh menunjukkan pengobatan selama 5 tahun berhasil menurunkan prevalensi infeksi filaria. Disimpulkan bahwa metode pengobatan filariasis dengan kombinasi DEC dan albendazol terbukti mampu memenuhi target eliminasi filariasis WHO.

Lymphatic filariasis is caused by nematodes from superfamily of Filaroidea, with mosquito as its vector. Yearly medication based on the community treatment of risked population using DEC 6mg/kg and albendazol 400 mg is the strategy set by WHO. This research is proposed to know the success of 5 years mass treatment run in Alor Island, NTT, an endemic area for filariasis Brugia timori, to decrease the prevalency of filariasis until less than 1%. This research uses secondary data from the experimental study design in form of prevalency of people with filariasis before and after the medication. The result shows the five-year-medication with DEC and albendazol succeeds in decreasing the prevalence of filarial infection. The medication method of filariasis using the combination of DEC and albendazol is proved to fulfill the target set by WHO to eliminate filariasis."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009
S09047fk
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Joses Saputra
"Program eliminasi filariasis melalui pengobatan masal DEC-Albendazol divKabupaten Alor. Obat diberikan setiap tahun selama 6 tahun dari tahun 2002-2007. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi filariasis setelah program eliminasi melalui pemeriksaan serologi pada murid SD dan orang dewasa. Deteksi serologi, antibodi anti-filaria IgG4, dilakukan dengan menggunakan uji Pan LF.
Desain potong lintang telah digunakan dalam penelitian ini. Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder dari Departemen Parasitologi FKUI. Sebanyak 1232 murid SD ( 629 anak laki dan 605 anak perempuan) dan 427 orang dewasa (206 laki-laki dan 221 perempuan) telah diambil darah jari pada malam hari dan diperiksa adanya antibodi anti-filaria IgG4.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 12 sampel (0,97%) positif IgG4 pada murid SD dan 14 sampel (3,27%) pada orang dewasa. Analisis statistik dengan menggunakan uji Chi-square menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antara kedua kelompok tersebut (p = 0.001).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang dewasa laki-laki memiliki prevalensi positif IgG4 yang lebih tinggi (3,39%) dibandingkan dengan murid SD laki-laki (0,95%) dengan hasil uji Fisher’s (p= 0,022) yang menunjukkan adanya perbedaan signifikan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang dewasa perempuan memiliki prevalensi positif IgG4 yang lebih tinggi (3,16%) dibandingkan dengan murid SD perempuan (0,99%) dengan hasil uji Fisher’s (p= 0,034) yang menunjukkan adanya perbedaan signifikan. Dari penelitian ini dapatlah disimpulkan bahwa ada penurunan prevalensi IgG4 positif yang cukup signifikan pada murid SD dibandingkan pada orang dewasa.

Filariasis elimination program through DEC-albendazole mass treatment in Alor District. The drug is given every year for 6 years from 2002-2007. This study aims to determine the prevalence of filariasis after elimination program through serology test in primary school students and adult. Serological detection, anti-filarial IgG4 antibodies, carried out by using the test LF Pan.
Cross-sectional design was used in this study. The data used in this study is a secondary data from the Department of Parasitology Faculty of medicine. There are total of 1232 elementary school students (629 boys and 605 girls) and 427 adult (206 men and 221 women) had blood taken from finger at night finger and checked the anti-filarial IgG4 antibodies.
The results showed that 12 samples (0.97%) positive IgG4 in elementary school students and 14 samples (3.27%) in the adult. Statistical analysis using Chi square test showed a significant difference between the two groups (p = 0.001).
The results showed that adult male have a higher IgG4 positive prevalence (3.39%) compared with male primary school students (0.95%) with the results of Fisher's test (p = 0.022) indicating a significant difference.
The results showed that adult women have a higher IgG4 positive prevalence (3.16%) compared with girls of elementary school children (0.99%) with the results of Fisher's test (p = 0.034) indicating a significant difference. From this study it can be concluded that there is a significant decrease of IgG4 positive prevalence in elementary school students compared to adult.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Devita Febriani Putri
"Filariasis limfatik adalah penyakit tular vektor yang disebabkan oleh 3 spesies cacing filaria yaitu Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, dan Brugia timari. Fiiariasis ditargetkan untuk dieliminasi pada tahun 2020 oleh WHO dengan merekomendasikan pengobatan masal (MDA) dengan dosis tunggal kombinasi DEC 6 mg/kg berat badan + ALB 400 mg, selama 5 - 10 tahun. Teknik diagnostik yang digunakan adalah pemeriksaan mikroiilaria pada sediaan darah malam, namun teknik ini memiliki banyak kekurangan, sehingga perlu digunakan metode diagnosis lain, serologi, untuk memantau program eliminasi filariasis.
Diagnosis serologi dengan antigen rekombinan B.malayi Bml4, mendeteksi antibodi IgG4 antifilaria. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan penurunan prevalensi mikrofiiaria berdasarkan mikroskopis dengan penurunan respon antibodi IgG4 antifilaria berdasaxkan uji ELISA dengan antigen rekombinan Bml4 sebelum dan sesudah pengobatan masal, serta melihat sensitivitas dan spesitisitas antigen rekombinan Bml4 sebagai alat diagnosis baru untuk memantau pengobatan masal filariasis.
Studi longitudinal dilakukan di daerah endemik filariasis B. timori di Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur. Pengukuran kadar lgG4 anti tilaria menggunakan ELISA-Bml4 dibandingkan dengan pemeriksaan mikroskopik untuk dilihat sensitivitas dan spesiiisitasnya. Kemudian dilihat pola penurunan kadar IgG4nya terhadap teknik mikroskop selama pengobatan 5 tahun. Dari 51 sampel serum yang diperiksa, didapatkan hasil sensitifitas (94%) dan Nilai Duga Negatif (NDN) yang tinggi 88% (p=0.000). Dengan intervensi pcngobatan dapat menurunkan kadar IgG4 antifilaria yang bermakna pada kelompok Mf+ELISA+ (True positw dan Mf-ELISA+ (False Positf), sehingga uji diagnostik serologi menggunakan ELISA-Bm14 dapat digunakan untuk menentukan keberhasilan program pemberantasan filariasis di Indonesia.

Lymphatic iilariasis is a disease transmitted by mosquito vectors which is caused by 3 spesies of tilarial worms, Wuchereria bancrojli, Brugia maiayi, and Brugia limori. Filariasis has been targetted to be eliminated by WHO in the year of 2020 using mass drug treatment in population with combination drugs of DEC 6 mg/kg body weight plus Albendazole 400 mg for 5 - 10 years.
Diagnostic tool used in the program is microscopic examination of night blood samples however there are some constraints. Ti1?I¢f0l?C, other diagnostic tools such as serological assay has to be used in monitoring the filariasis elimination program. Serological diagnosis using recombinant antigen B. malayi Bm14 has been developed to detect IgG4 antibody anti tilaria. The purpose of this study is to determine the decrease of iilariasis prevalence detected by two different diagnostic tools, microscopic examination for microfilariac and ELISA using Bml4 recombinant antigen for IgG4 antibody before and after mass treatment and the comparison between the two diagnostic tools in terms of Sensitivity and specificity.
A longitudinal study is done in B. timori endemic area in Alor district, Nusa Tenggara Timur. Measurement of IgG4 anti filaria titer using ELISA-Bm] 4 is compared to microscopic examination to detect microfilariae in determining the infected persons. The decrease of IgG4 titer as well as microtilarial counts are also observed during 5 years mass treatment. A total of 51 sera samples was examined by microscopic and ELISA showing sensitivity is (94%) and negative predictive value is also high, 88% (p~#0.000). After intervention with mass treatment, the titer of IgG4 decreased significanlty in Mf+E,LISA+ (True Parity) group as well as Mf-ELISA-+ (False Parity) gmup. The result indicates that serological method, ELISA-Bml4, can be used to dctemiine the progress of the filariasis elimination program in Indonesia.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009
T32355
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Lutfie
"Hingga saat ini, filariasis adalah salah satu penyakit infeksi yang menjadi masalah kesehatan masyarakat dunia. Sebagai upaya eliminasi filariasis limfatik, WHO mencanangkan program pengobatan masal yang berlangsung selama enam tahun menggunakan kombinasi DEC – albendazol. Adapun program eliminasi filariasis di Kabupaten Alor, NTT, sudah dimulai sejak tahun 2002. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi keberhasilan program tersebut melalui pengukuran kadar antibodi spesifik filaria IgG4 dengan Pan LF. Penelitian menggunakan desain potong lintang pada anak Sekolah Dasar di Kabupaten Alor, NTT. Sampel darah dikumpulkan dari 1232 anak SD usia 3 hingga 10 tahun, yang terdiri dari 629 anak laki – laki dan 603 anak perempuan. Hasil yang diperoleh menunjukkan terjadinya penurunan prevalensi positif IgG4 secara signifikan. Prevalensi IgG4 tidak dipengaruhi oleh umur (p=0,765) maupun jenis kelamin (p=0,941), akan tetapi dipengaruhi oleh kecamatan tempat tinggal (p=0,042). Disimpulkan bahwa pengobatan massal yang dilakukan di Kabupaten Alor berhasil menurunkan prevalensi positif IgG4 pada anak SD.

Until now, filariasis is one of the infectious diseases troubling the world. To eliminate it, WHO implements a six year mass drug administration program using the combination of DEC-albendazol. The elimination program in Alor district, NTT, has been started since 2002. The purpose of this research is to evaluate the program by measuring IgG4 antibody titre with Pan LF. This study uses cross sectional design to elementary school students in Alor district, NTT. The blood samples were collected from 1232 elementary school students whose ages ranged from three to ten years old, consisted of 629 boys and 603 girls. The result shows a significant decrease of positive IgG4 prevalence. The prevalence is not influenced by age (p=0,765) and sex (p=0,941), but is influenced by subdistrict (p=0,042). It is concluded that the mass drug administration held in Alor district succeed to lower the positive IgG4 prevalence on elementary school students."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vira Nur Arifa
"Introduksi: Toksokariasis dilaporkan dengan prevalensi tinggi di negara-negara berpenghasilan rendah hingga menengah. Mengingat kurangnya sistem surveilans yang memadai, beban toksokariasis yang sebenarnya di Indonesia mungkin diabaikan. Sumba Barat Daya sebagai salah satu daerah endemis filariasis limfatik (LF), telah memulai pemberian obat massal (MDA) sejak tahun 2014. Namun, dampak regimen obat ini terhadap toksokariasis belum diketahui.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian prospektif, sebagai bagian dari penelitian yang lebih besar “Studi Berbasis Komunitas Terapi 2 Obat versus 3 Obat untuk Limfatik Filariasis di Indonesia Bagian Timur”. MDA diberikan kepada masyarakat dengan kombinasi dosis tunggal albendazol (400 mg) dan dietilkarbamazin sitrat (6 mg/kgBB). Sampel diambil sebelum dan sesudah MDA masing-masing pada tahun 2016 dan 2017. Antigen protein rekombinan rTc-CTL-1 IgG spesifik diukur dengan ELISA sebelum dan sesudah MDA.
Hasil: Sebanyak 70 partisipan terlibat, terdiri dari 35 subjek perempuan dan 35 subjek laki-laki dengan median usia 26 (jangkauan interkuartil:11-40) tahun. Rentang median dan IQR IgG spesifik rTc-CTL-1 terhadap toksokariasis yang diukur pada awal dan setelah MDA masing-masing adalah 0,94 (0,57 – 1,59) dan 1,11 (0,43 - 1,67). Tidak ada perubahan signifikan dalam kadar IgG spesifik rTc-CTL-1 setelah MDA. Tingkat seropositivitas IgG spesifik rTc-CTL-1 tidak mengalami penurunan yang signifikan; penurunannya hanya 1,4%, dari 94,3% sebelum MDA menjadi 92,9% setelah MDA. Analisis tambahan menunjukkan bahwa usia dan jenis kelamin tidak memiliki efek perancu pada perbedaan positif IgG antara dua titik waktu.
Konklusi: Regimen MDA untuk LF yang terdiri dari albendazol dan DEC tampaknya tidak berpengaruh signifikan terhadap seroprevalensi toksokariasis di desa Karang Indah, kabupaten Sumba Barat Daya. Di masa depan, disarankan untuk melakukan penelitian yang lebih besar dengan ukuran sampel yang lebih besar dan durasi penelitian yang lebih lama.

Introduction: Toxocariasis has been reported at high prevalences in low to middle-income countries. Given the lack of adequate surveillance systems, the actual burden of toxocariasis in Indonesia is likely to be overlooked. Sumba Barat Daya as one of endemic areas for lymphatic filariasis (LF), has started mass drug administration (MDA) since 2014. However, the impact of this drug regimen on toxocariasis is not known.
Methods: This research was a prospective study, as a part of the larger study “Community Based Study of 2-Drugs versus 3-Drugs Therapy for Lymphatic Filariasis in Eastern Indonesia”. MDA was given to the community with combination of a single dose of albendazole (400 mg) and DEC (6 mg/kgBW). Samples were taken before and after MDA in 2016 and 2017, respectively. Recombinant protein antigen rTc-CTL-1 specific IgG was measured by ELISA before and after MDA.
Results:  A total of 70 participants were involved, consisting of 35 female and 35 male subjects with median age of 26 (interquartile range: 11 – 40) years old. The median and IQR of rTc-CTL-1 specific IgG against toxocariasis measured at baseline and after MDA was 0.94 (0.57 – 1.59) and 1.11 (0.43 – 1.67), respectively. There was no significant change in levels of rTc-CTL-1 specific IgG after MDA. The seropositivity rate of rTc-CTL-1 specific IgG had no significant decrease; the decrease was only 1.4%, from 94.3% before MDA to 92.9% after MDA. Additional analysis showed that age and gender had no confounding effect on the difference of IgG positivity between the two time points.
Conclusion: The MDA regimen for LF consisting of albendazole and DEC seemed to have no significant impact on the seroprevalence of toxocariasis in Karang Indah village, Sumba Barat Daya district. In the future, it is recommended to conduct a larger study involving extended sample size and longer duration of the study.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>