Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 101795 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Puspita Rani
"Dalam menjalankan profesinya sebagai officium nobile (jabatan yang mulia), seorang advokat memiliki kewajiban untuk memberikan jasa hukum bagi orang yang memerlukan, termasuk menjadi penasihat hukum bagi terdakwa pencucian uang. Disamping itu, sebagai imbalan atas jasa hukum yang telah diberikan oleh seorang advokat kepada kliennya, maka advokat yang bersangkutan berhak untuk mendapatkan honorarium. Hubungan kliental yang terjadi diantara advokat dengan kliennya yang merupakan terdakwa pencucian uang berimplikasi pada timbulnya tuduhan dari masyarakat yang menyamakan advokat dengan kliennya.
Sementara itu, adanya ketentuan yang bersifat pro parte dolus pro parte culpa menimbulkan kewajiban bagi siapapun untuk menaruh kecurigaan terhadap setiap prilaku atau transaksi mencurigakan yang berada dalam kekuasaannya yang mengindikasikan adanya kejahatan pencucian uang, termasuk pula pemberian honorarium dalam jumlah yang tidak wajar dari terdakwa pencucian uang. Metode penelitian yang digunakan pada penulisan ini adalah metode yuridis normatif. Merujuk pada ketentuan yang dimuat di dalam 40 Rekomendasi FATF, maka hasil dari penelitian ini menyarankan agar advokat dimasukkan sebagai pihak pelapor ke dalam Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang.

In exercising his profession as officium nobile, an advocate has a duty to provide legal services to people in need, including a lawyer for the defendant in money laundering case. In addition, in exchange for legal services that have been provided by a lawyer to his client, the lawyer is entitled to receive legal fee. Clientelism relationship that occurs between lawyers and their clients who are accused of money laundering allegations implicated in the emergence of the community that equate lawyers with their clients.
In the meantime, the provision that called pro parte dolus pro parte culpa creates the liability for anyone suspicious of any suspicious behavior or transactions that are within his control that indicate money laundering, including giving legal fee in the amount that does not match with clients’ profile. The research method that used in this paper is the normative method. Referring to the provisions contained in the 40 Recommendations FATF, advocates have position as Reporting Parties in the Anti Money Laundering Regime.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
S46231
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sarah Natassja Emmanuela Rawung
"Pencucian uang merupakan tindak kriminal tergolong baru namun berdampak fatal dalam perekonomian global. Urgensi negara-negara untuk menangani masalah tersebut mendorong terbentuknya Financial Action Task Force (FATF) yang berfungsi untuk menegakkan rezim anti pencucian uang internasional dan mempromosikan rezim tersebut ke negara-negara lain, termasuk Indonesia. Tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan proses pembentukan rezim anti pencucian uang di Indonesia serta keterlibatan FATF dalam proses tersebut. Metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif yang bersifat deduktif berdasarkan data dari studi pustaka dengan menggunakan teori siklus hidup norma sebagai landasan argumen. Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, mengambil kesimpulan bahwa FATF berfungsi sebagai norm entrepreneur yang mendorong pemerintah Indonesia untuk membentuk rezim anti pencucian uang. Penulis menemukan bahwa FATF menggunakan mekanisme sosialisasi norma berupa daftar hitam untuk mempromosikan norma sekaligus memberikan tekanan kepada Indonesia untuk patuh. Hal ini menunjukkan bahwa FATF memiliki keterlibatan yang signifikan dalam proses pembentukan rezim anti pencucian uang di Indonesia. Keseluruhan proses tersebut merupakan bagian dari tahapan siklus hidup norma, yaitu kemunculan norma, norm cascade dan internalisasi norma.

Money laundering is a relatively new crime, yet it has a fatal impact on the global economy. The urgency of countries to deal with these problems has prompted the formation of a Financial Action Task Force (FATF) whose function is to enforce the international anti-money laundering regime and promote the regime to other countries, including Indonesia. This paper aims to explain the process of establishing an anti-money laundering regime in Indonesia and the involvement of the FATF within the process. The research method used is a qualitative approach that is deductive in nature based on data from literature studies, while using the norm life cycle theory as the basis of the argument. Based on the analysis that has been done, it can be concluded that the FATF functions as a norm entrepreneur which pressured the Indonesian government to establish an anti- money laundering regime. The author finds that the FATF uses a norm socialization mechanism in the form of a blacklist in order to promote norms as well as to put pressure on Indonesia to comply. This shows that the FATF has a significant involvement in the process of establishing an anti-money laundering regime in Indonesia. The whole process is part of the stages of the norm life cycle, namely the norm emergence, the norm cascade and the norm internalization."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nadia Safitri
"ABSTRAK
Tesis ini membahas penerapan rekomendasi Financial Action Task Force (FATF) dengan memfokuskan pada studi kasus terkait upaya pembangunan rezim anti pencucian uang di Indonesia. Analisis dalam tesis ini menggunakan dasar teori yang dikemukakan oleh Stephen D. Krasner bahwa dalam rezim internasional terdapat hubungan yang erat antara basic causal variables (pengaruh dan kepentingan) dan outcomes and related behaviour sebagai faktor penyebab terjadinya suatu tingkah laku dalam sistem internasional. Berdasarkan teori ini diketahui bahwa pengaruh G7 dalam pembentukan FATF sebagai organisasi internasional yang mengeluarkan Non-Cooperative Countries and Territories (NCCT list) dan kepentingan Indonesia dalam dunia internasional telah menjadi latar belakang pemerintah mematuhi dan menerapkan rekomendasi FATF sebagai standar internasional dalam rezim anti pencucian uang. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan desain deskriptif. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa melalui peningkatan kepatuhan dengan menerapkan rekomendasi FATF khususnya terhadap sektor perbankan, Indonesia mampu menjaga integritas sektor perbankan nasional serta pencitraan negara.

ABSTRACT
This thesis discusses about implementation of Financial Action Task Force (FATF) that focused on case study of the development of anti-money laundering in Indonesia. The analysis in this thesis is based on the theory of Stephen D. Krasner which said that there is a close relation between basic causal variables (power and interest) and outcomes and related behaviour in international regime as a causal factor that contribute to the behavior in international system. Based on this theory, it is understood that the power of G7 in the establishment of Financial Action Task Force (FATF) as an international organization that published Non-Cooperative Countries and Territories (NCCT list) and Indonesia’s interest in international level, had become the reasons of Indonesia’s compliance and implementation towards FATF recommendations as an international standards of anti-money laundering regime. This research is qualitative with descriptive design. The result of research conclude that through enhancement of compliance by implementing FATF recommendations prominently towards banking sector, Indonesia was able to maintain the integrity of the national banking sector and national image. "
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2013
T35896
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adhika Widagdho Putro
"Financial Action Task Force on Money laundering (FATF), dibentuk sebagai suatu gugus tugas dengan tugas menyusun rekomendasi internasional untuk memerangi money laundering. FATF merupakan intergovernmental body sekaligus suatu policy-making body yang berisikan para pakar di bidang hukum, keuangan dan penegakan hukum yang membantu yurisdiksi negara dalam penyusunan peraturan perundang-undangan. Pembangunan rezim anti pencucian uang di Indonesia sendiri tidak dapat dilepaskan dari peran FATF itu sendiri, yang mana Indonesia dimasukkan ke dalam daftar Non Cooperative Countries and Territories (NCCTs) oleh FATF pada bulan Juni 200. Penelitian ini akan membahas mengenai rekomendasi Financial Action Task Force on Money Laundering dan penerapannya dalam rezim anti pencucian uang di Indonesia. Adapun metodologi yang digunakan dalam melakukan penulisan ini adalah penelitian yuridis normatif melalui bahan-bahan kepustakaan, dokumen dan literatur.

Financial Action Task Force on Money laundering (FATF) was formed as a task force with the task of preparing international recommendations to combat money laundering. FATF is an intergovernmental body as well as a policy-making body which consists of experts in the legal, financial and law enforcement to help countries in order to prepare the legislation of anti money laundering regulation. The Development of anti-money laundering regime in Indonesia could not be separated from the role of the FATF itself, to which Indonesia was in the list of Non-Cooperative Countries and Territories (NCCTs) by FATF in June 200. This research will examine about the Recommendation of Financial Action Task Force on Money and its implementations in the anti-money laundering regime in Indonesia. The methodology used in conducting this study is normative research through library materials, documents and literature."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
S44792
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Listawati
"Penangkapan ikan secara ilegal (illegal fishing) merupakan salah satu kejahatan dengan motif ekonomi yang masih marak terjadi di Indonesia. Untuk mengoptimalkan pemberantasan tindak pidana dengan motif ekonomi seperti illegal fishing tersebut diperlukan pendekatan yang berorientasi pada penelusuran aset hasil kejahatan atau follow the money yakni pendekatan anti pencucian uang. Namun dalam praktiknya hingga saat ini pendekatan anti pencucian uang belum pernah digunakan oleh penegak hukum untuk memberantas illegal fishing. Dengan demikian penulisan ini ditujukan untuk mengetahui dan memahami modus illegal fishing yang terindikasi tindak pidana pencucian uang, pendekatan anti pencucian uang berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang untuk memberantas illegal fishing, dan permasalahan hukum yang timbul dalam penerapan anti pencucian uang oleh penegak hukum. Dalam penelitian ini jenis penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif.
Hasil penelitian menyimpulkan terdapat kaitan yang erat antara illegal fishing dengan tindak pidana pencucian uang dimana pelaku illegal fishing berupaya “menyembunyikan atau menyamarkan” hasil illegal fishing melalui beberapa perbuatan seperti penggunaan identitas palsu untuk menampung hasil illegal fishing, pemanfaatan jasa keuangan tidak berizin, pemalsuan dokumen dan pemanfaatan bisnis yang sah untuk mencampur hasil kejahatan. Adapun pendekatan anti pencucian uang yang dapat digunakan untuk mengoptimalkan pemberantasan illegal fishing diantaranya melalui pemanfaatan peran berbagai instansi terkait dalam rezim anti pencucian uang; dan pemanfaatan berbagai ketentuan seperti penelusuran aset, pemblokiran, perampasan aset, pembalikan beban pembuktian dan kerjasama dalam lingkup nasional maupun internasional.
Adapun beberapa permasalahan hukum yang dihadapi penegak hukum dalam penerapan pendekatan anti pencucian uang ini diantaranya keterbatasan kewenangan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kementerian Keluatan dan Perikanan untuk menyidik tindak pidana pencucian uang, keterbatasan kewenangan pengadilan perikanan untuk mengadili tindak pidana pencucian; pertanggungjawaban korporasi; koordinasi antar penegak hukum yang belum maksimal, kemampuan pihak pelapor dalam mengidentifikasi transaksi keuangan mencurigakan dari hasil illegal fishing yang masih lemah, dan kurangnya kesadaran masyarakat khususnya masyarakat nelayan mengenai pentingnya menjaga kelestarian laut Indonesia.

Illegal fishing is one of the crimes with economic motive which is occuring extensively in Indonesia. To optimize the eradication of such economic-motive crime like illegal fishing, it requires an oriented follow the money approach, thats is the anti-money laundering approach. However, in practice the anti-money laundering approcah has not been utilized by the law enforcement agencies to counter illegal fishing. Therefore, this paper is aimed at identifying and understanding the illegal fishing typologies with money laundering indication, the anti-money laundering approach based on the Law Number 8 Year 2010 concerning The Prevention and Eradication of Money Laundering Crime in order to counter illegal fishing, and the legal issues resulted from the implementation of the anti-money laundering approach by the law enforcement agencies. This research employs a normative juridical type.
The result of this research concludes that there is a strong relation between illegal fishning and money laundering in which the illegal fishers attempt to “hide and disguise” the proceeds of illegal fishing throughout severals actions, such as using of fake identification for placement, using the unlicenced financial institutions, counterfeiting documents, and using the legal business to mingle with the proceeds of crime. The anti-money laundering approach can be implemented to optimize the eradication of illegal fishing by utilizing set of regulations, such as asset tracing, asset confiscation, reversal burden of proof, and national and international cooperation.
Nevertheless, there are several legal issues which might be faced by the law enforcement agencies in implementing the anti-money laundering approach, such as the limited auhorities mandated to the civil investigator of the Ministry of Marine Affairs and Fisheries to investigate money laundering, the limited authorities mandated to the Court of Fisheries to examine money laundering case, corporate responsibilities, ineffective coordination among the law enforcement agencies, the low capacity of reporting parties to identify the suspicious transaction in relation to illegal fishing, and lack of public awareness especially within the fisherman community on the importance of the Indonesian marine conservation.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
T53124
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ricky Eka
"Tujuan utama penelitian ini adalah untuk menyajikan bukti secara empiris hubungan antara penerapan kebijakan Anti Pencucian Uang (APU) dan kesenjangan pendapatan. Menggunakan panel data 80 negara dengan periode dari 2012 sampai 2019 dan metode estimasi fixed effect dengan penambahan time-fixed effect, menunjukan bahwa efektifitas penerapan kebijakan APU berkorelasi negatif dengan tingkat kesenjangan pendapatan. Selain itu penggunaan dua ukuran koefisien gini, yaitu gini bruto dan gini neto mengindikasikan bahwa salah satu komponen pendapatan yang terpengaruh oleh kebijakan APU adalah komponen redistribusi pendapatan dan transfer kekayaan.

The main objective of this research is to present empirical evidence on the relationship between the implementation of Anti-Money Laundering (AML) policies and income inequality. Using panel data from 80 countries covering the period from 2012 to 2019 and employing the fixed effect estimation method with the addition of time-fixed effects, the study demonstrates that the effectiveness of AML policy implementation is negatively correlated with the level of income inequality. Furthermore, the utilization of two Gini coefficient measures (Gini gross and Gini net) indicates that one of the income components affected by AML policies is the income redistribution and wealth transfer component."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sheyla Namirah Korompot
"Aktivitas peer to peer lending memiliki akses yang sangat luas, risiko yang dapat terjadi pada kegiatan peer to peer lending adalah menjadi sarana pencucian uang dan pendanaan terorisme. Untuk mengurangi dampak bencana atas risiko tersebut, Penyelenggara peer to peer lending harus menerapkan proses kerangka kerja manajemen risiko dengan menerapkan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme secara efektif dan memadai yang terdiri dari lima pilar, yaitu pengawasan Aktif Direksi dan Dewan Komisaris, kebijakan dan prosedur, pengendalian intern, sistem informasi manajemen, serta sumber daya manusia dan pelatihan. Pada skripsi ini, Penulis akan membahas mengenai pengaturan dan implementasi manajemen risiko melalui Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme serta contoh implementasinya pada Platform X. Simpulan dari penelitian ini adalah bahwa pengaturan mengenai regulatory technology dan countermeasures belum sepenuhnya teregulasi secara efektif serta Platform X belum dapat mengimplementasikan manajemen risiko terkait anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme sepenuhnya secara efektif. Penulis berharap Otoritas Jasa Keuangan dapat membentuk peraturan mengenai persyaratan minimum regulatory technology dan peraturan yang mewajibkan Penyelenggara untuk melakukan pembatasan transaksi terhadap negara berisiko tinggi untuk kegiatan countermeasures. Selain itu, Penulis memberi saran kepada Platform X untuk memenuhi seluruh pilar Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme.

Peer to peer lending activities have very broad access, the risk that can occur in peer to peer lending activities is to become a means of money laundering and financing terrorism. To reduce the impact of disasters on this risk, peer to peer lending providers must implement a risk management framework process by implementing an effective and adequate Anti-Money Laundering and Counter-Terrorism Financing Program which consists of five pillars, namely active supervision of the Board of Directors and Board of Commissioners, policies and procedures, internal control, management information systems, as well as human resources and training. In this thesis, Author will discuss the regulation and implementation of risk management through the Anti-Money Laundering and Counter-Terrorism Financing Program and examples of its implementation on Platform X. This research is normative juridical with a descriptive-analytical research typology supported by data collection tools in the form of library materials and interviews. The conclusion of this study is that regulations regarding regulatory technology and countermeasures have not been fully regulated effectively and Platform X has not been able to implement risk management related to the anti money laundering and prevention of terrorism financing fully effectively. Author hopes that the Financial Services Authority can establish regulations regarding minimum regulatory technology requirements and regulations that require Providers to restrict transactions in high-risk countries for countermeasures activities. In addition, Author advises Platform X to fulfill all pillars of the Anti-Money Laundering and Counter-Terrorism Financing Program.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simanungkalit, Nico Andreas
"Perusahaan Pembiayaan menjadi salah satu bagian dari usaha perbankan yang digunakan sebagai sarana dan prasarana bagi pelaku kejahatan untuk melakukan “tindak pidana pencucian uang” yang lebih dikenal dengan istilah money laundering. Secara sederhana, kegiatan money laundering dikelompokkan pada tiga kegiatan, yakni : placement, layering, dan integration.. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 12/POJK.01/2017 tentang Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme di Sektor Jasa Keuangan mengatur bahwa Perusahaan Pembiayaan diwajibkan untuk menerapkan Program APU dan PPT dengan menugaskan unit kerja khusus dan membuat kebijakan dan Prosedur penerapan program APU dan PPT. Bahwa pada kenyataannya, keterbatasan dana dan alasan efisiensi membuat perusahaan pembiayaan lebih memilih untuk menempatkan fungsi tugas APU dan PPT ini disatukan dengan departement/divisi yang sudah ada sebelumnya. Namun, guna mengetahui adanya indikasi transaksi keuangan yang mencurigakan, Perusahaan Pembiayaan telah membuat indikator yang dijadikan pedoman, antara lain : Pembayaran DP ≥ 75% dari harga kendaraan dengan nominal ≥ Rp.150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah); melakukan pembayaran cicilan sebesar 5 (lima) kali cicilan atau lebih sekaligus; Pelunasan dipercepat dilakukan konsumen pada saat ≤ setengah tenor pembiayaan dan dengan nominal ≥ Rp.150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah); Transaksi dilakukan oleh konsumen yang telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus tindak pidana; Transaksi keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan yang diduga terkait dengan hasil kejahatan/tindak pidana.

The Finance Company is a part of banking business that used as a facility for criminals to do “Money Laundering Crimes” In simple terms, money laundering activities are grouped into three activities, namely: placement, layering, and integration.. Financial Services Authority Regulation No. 12/POJK.01/2017 concerning the Application of the Anti Money Laundering and Prevention of Terrorism Funding Program in the Financial Services Sector regulates that the Finance Company is required to implement the APU and PPT Program by assigning a special unit work and making policies and procedures for implement APU and PPT program. In the fact, funds limitation and efficiency reasons have made Finance Company prefer to place the APU and PPT tasks functions put together with exisiting departments/divisions. However, to be aware of any indications of suspictious financial transactions, the Finance Company has made indicators that used as guidelines, including DP payments ≥ 75% of the vehicles price with a nominal values ≥ Rp. 150.000.000 (one hundred and fifty milions rupiahs); make payments of 5 (five) installments or more at once; Accelerated repayment by consumer at or half the tenor of financing and with a nominal ≥ Rp.150.000.000 (one hundred and fifty milions rupiahs). Transactions by consumers who have been designated as suspects in criminal cases; Financial transactions carried out or canceled are suspected to be related to the proceeds of crime / crime."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
T52489
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Refki Saputra
"Kriminalisasi aktivitas pencucian uang, pada dasarnya merupakan respon atas sulitnya mengungkap kejahatan terorganisir. Hal ini dilakukan karena pelaku menggunakan teknik-teknik pencucian uang untuk menyembunyikan harta kekayaan yang diperoleh dari kejahatan tersebut. Melalui pendekatan anti-pencucian uang, proses penegakan hukum diarahkan tidak hanya sekedar menemukan pelaku kejahatan, melainkan juga mencari harta kekayaan hasil kejahatan. Rezim anti-pencucian uang kemudian dianggap sebagai strategi baru dalam memberantas kejahatan dengan merampas hasil kejahatannya. Tatkala para pelaku kejahatan dihalangi untuk menikmati hasil kejahatannya, maka diharapkan motivasi untuk melakukan kejahatan juga menjadi sirna. Regulasi anti-pencucian uang di Indonesia, sejauh ini sudah cukup memberikan panduan kepada institusi yang terlibat dalam implementasi rezim anti-pencucian uang sebagai bagian dari upaya memberantas kejahatan (tindak pidana asal). Hal ini misalnya tampak dari ketentuan-ketentuan yang berkenaan dengan upaya penelusuran hasil kejahatan. Misalnya terkait dengan ketentuan pelaporan dan analisis transaksi keuangan, upaya mengamankan aset hasil kejahatan dalam ketentuan terkait dengan penundaan, penghentian transaksi, pemblokiran, penyitaan, hingga upaya perampasan hasil kejahatan. Agar dapat memaksimalkan pemberantasan kejahatan, maka perlu adanya kesamaan persepsi diantara penegak hukum, bahwa kriminalisasi aktivitas pencucian uang merupakan pintu masuk dalam mengungkap kejahatan. Proses pembuktian harus dilakukan secara efisien dengan menggunakan mekanisme pembuktian terbalik. Selain itu juga, proses peradilan tindak pidana pencucian uang harus selalu diarahkan untuk menemukan hasil kejahatan untuk kemudian dirampas atau dikembalikan kepada yang berhak.

The criminalization of money laundering activities, essentially a response to the difficulty of uncovering organized crime. This is done because the perpetrators use techniques of money laundering to conceal wealth obtained from the crime. Through the anti-money laundering approach, law enforcement process directed not only to find the perpetrators, but also to seek the proceeds of crime. Anti-money laundering regime is then considered as a new strategy to fight against crime by seizing the proceeds of crime. When the perpetrators are prevented from enjoying the proceeds of crime, it is expected that the motivation to commit crimes also be annihilated. Anti-money laundering regulation in Indonesia, so far is sufficient to provide guidance to the institutions involved in the implementation of anti-money laundering regime as part of efforts to combat crime (predicate offenses). It can be seen from the provisions relating to the search effort of criminal proceeds. For instance associated with the provision of financial transaction reporting and analysis, to secure the assets of criminal proceeds in the provisions relating to delays, termination of the transaction, blocking, seizure, up to confiscation of proceeds of crime. In order to maximize efforts to fight crime, we need a shared understanding among law enforcement agencies, that the criminalization of money laundering activity is an entry point to uncovering crime. Trial process must be done efficiently by using the reversal of burden of proof. In addition, the judicial process of money laundering should always be directed to locate the proceeds of crime, to be seized or returned to those entitled."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
T43825
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ananda Kurniawan
"Tesis ini menganalisis terkait bagaimana penerapan atas program anti pencucian uang pada industri perdagangan berjangka komoditi dan bagaimana program tersebut berperan dalam usaha pencegahan tindak pidana pencucian uang dengan menggunakan metode penelitian yuridis normative. Pencucian uang sebagai salah kejahatan lintas negara (transnational crime) merupakan tindak pidana yang membutuhkan keterlibatan setiap negara di dunia, dalam hal ini termasuk Indonesia. Maka dari itu, peraturan perundang-undangan di Indonesia seperti UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang disusun. Di sisi lain, dikarenakan banyaknya volume perdagangan berjangka komoditi, industri juga mengadopsi program anti pencucian uang. Program anti pencucian pada perdagangan berjangka komoditi secara umum diatur pada Peraturan Kepala Bappebti Nomor 8 Tahun 2017 dan Peraturan Kepala Bappebti Nomor 11 Tahun 2017, yang mana mengatur hal-hal apa saja yang harus dimasukkan dan diaplikasikan oleh Pialang Berjangka dalam rangka pelaksanaan program anti pencucian uang. Tesis ini mempelajari langkah-langkah dan kebijakan apa saja yang harus diaplikasikan dalam melakukan mitigasi dan Tindakan represif atas tindak pidana pencucian uang di perdagangan berjangka komoditi. Dalam hal ini, program yang dimaksud mencakup Pengawasan Aktif Direksi dan Dewan Komisaris, Kebijakan Uji Tuntas Nasabah (Customer Due Diligence/CDD), Kebijakan Penerimaan dan Identifikasi Calon Nasabah dan Beneficial Owner, Uji Tuntas Lanjut (Enhanced Due Diligence/EDD), Simplified Customer iDue Diligence, Pengendalian Intern, Sistem Informasi Manajemen, Sumber Daya Manusia dan Pelatihan, dan Pelaporan. Tesis ini juga memperlihatkan bahwa Pialang Berjangka memiliki peran paling krusial dalam rangka pencegahan tindak pidana pencucian uang dalam perdagangan berjangka komoditi sebagai ‘gerbang’ usaha preventif tindak pidana pencucian uang

This thesis analyzes the application of the anti money laundering program in the commodity and futures trading industry and how the program plays role in efforts to prevent money laundering using normative juridical research methods. Money laundering as a transnational crime is a crime that requires the involvement of every country in the world, in this case including Indonesia. Therefore, the laws and regulations in Indonesia such as Law Number 8 of 2010 concerning the Prevention and Eradication of the Crime of Money Laundering was created. On the other hand, due to the large volume of commodity and futures trading, the industry has also adopted an anti-money laundering program and generally regulated in the Regulation of the Head of COFTRA Number 8 of 2017 and Regulation of the Head of COFTRA Number 11 of 2017, which regulate what matters must be included and applied by futures brokers. This thesis examines the steps and policies that must be applied in mitigating and repressive actions against money laundering in commodity futures trading, such as Active Supervision of the Board of Directors and the Board of Commissioners, Customer Due Diligence (CDD) Policy, Policy for Acceptance and Identification of Prospective Customers, Beneficial Owner, Enhanced Due Diligence, Simplified Due Diligence, Internal Control, Management Information Systems, Human Resources and Training, and Reporting. This thesis also shows that the Futures Broker has the most crucial role in preventing money laundering in commodity futures trading as a ‘first line of defense’ to money laundering prevention efforts"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>