Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 106942 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Simanjuntak, Ruhut Marhata
"Skripsi ini membahas pengaturan tindakan safeguard dalam ketentuan World Trade Organization (WTO), yaitu Pasal XIX The General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) dan Agreement on Safeguards (SA). Dalam menerapkan tindakan safeguard, harus diperhatikan unsur prosedural dan substantifnya. Dalam unsur prosedural, harus dipenuhi langkah-langkah investigasi, notifikasi, dan konsultasi. Dalam unsur substantif harus diperhatikan kenaikan impor yang menyebabkan kerugian serius atau ancamannya terhadap industri domestik. Selain itu, terdapat batasan-batasan yang harus diperhatikan dalam mengenakan tindakan safeguard terhadap negara lain, khususnya terhadap negara-negara berkembang.
Negara-negara berkembang memiliki hak khusus berdasarkan Pasal 9.1 SA yang dapat dikecualikan atas dikenakannya tindakan safeguard, jika memenuhi persyaratan de minimis levels. Selanjutnya, skripsi ini membahas kasus tindakan safeguard di negara-negara berkembang terkait Pasal 9.1 SA, yaitu kasus US - Line Pipe (2002), US - Steel Safeguards (2003), dan Dominican Republic - Polypropylene Bags and Tubular Fabric (2012).

This thesis studies the regulations concerning safeguard measure under the provisions of World Trade Organization (WTO), which are Article XIX of The General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) and Agreement on Safeguards (SA). In order to apply safeguard measure, the procedural and substantive elements must be observed. Procedurally, it shall meet the requirements of investigation, notification, and consultation. Substantively, it shall consider the increase of import that causes a serious injury or threat thereof to the domestic industry. Furthermore, there are limits in applying safeguard measure to other countries, especially developing countries.
Developing countries have special rights pursuant to Article 9.1 SA, where they can be excluded from the safeguard measure application, if they fulfill the requirement of de minimis levels. This thesis, additionally, studies some cases of safeguard measure in developing countries pursuant to Article 9.1 SA, which are US - Line Pipe (2002), US - Steel Safeguards (2003), and Dominican Republic - Polypropylene Bags and Tubular Fabric (2012).
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
S47119
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Kemal Adrianto
"Perdagangan internasional adalah salah satu aspek dari kehidupan dimana masyarakat dapat memiliki akses terhadap barang-barang yang pada umumnya susah untuk dijangkau. Untuk mengatur aspek perdagangan internasional, sebuah organisasi diperlukan untuk kepentingan tersebut. World Trade Organization merupakan organisasi yang memiliki fungsi umum sebagai pengatur perdagangan internasional dalam segala aspeknya seperti Langkah-langkah perdagangan, tarif, dan penyelesaian sengketa. Diantara instrumen-instrumen yang dapat dipakai untuk memfasilitasi perdagangan adalah safeguard measure. Safeguard measures memberikan perlindungan terhadap produk yang diimpor dengan jumlah banyak dan dapat menyebabkan atau akan menyebabkan kerugian serius bagi industri domestik negara pengimpor. Regional trade agreements merupakan perjanjian yang dibuat oleh dua atau lebih negara untuk tujuan perdagangan yang dapat memberi keuntungan bagi mereka seperti pengurangan tarif impor untuk negara-negara yang masuk dalam perjanjiannya. Skripsi ini bertujuan untuk meneliti pengaturan safeguard measure seperti yang tertuang dalam aturan World Trade Organization dan aturan dalam regional trade agreements dengan metode yuridis normatif. Dalam penelitian ini, terdapat beberapa perbedaan yang muncul dalam perbandingan aturan-aturannya, seperti jangka waktu, proses notifikasi, kenaikan tarif terhadap produk impor dan proses investigasi. Namun, hal ini tidak berarti bahwa peraturan dalam regional trade agreements berbeda dengan aturan dari World Trade Organization karena mereka saling melengkapi dan anggota regional trade agreements merupakan anggota World Trade Organization juga.

International trade takes part of everyday life to receive products that are normally unavailable. To govern the aspect of international trade, an organization was created for the purpose of it. The World Trade Organization acts as the premier organization in regulating international trade in all its aspects such as trade measures, tariffs, and dispute settlement. Instruments used to facilitate trade are trade remedies with one of them being safeguard measures. Safeguard measures provide protection from imported products that are brought in increased amounts and can or will cause serious injury to a country’s domestic industry. Regional trade agreements are an agreement between two or more countries to partake in a trade agreement that liberalizes tariff for the Parties in the agreement. This thesis will delve to the regulation of safeguard measures in accordance with the World Trade Organization rules as well as the regional trade agreements’ provisions via a judicial normative research method. From the research, there are differences that appear when comparing the provisions, such as difference in duration, notification process, tariff increase to products, and investigation procedures. However, this does not necessarily mean that the regulations under regional trade agreements are different than the World Trade Organization rules as they complement each other, and members of the regional trade agreements are members of the World Trade Organization as well.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nori Ayufi
"Perjanjian Fasilitasi Perdagangan (TFA) Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) bertujuan untuk mengurangi waktu dan biaya dalam proses perdagangan internasional dengan cara mendorong upaya-upaya yang paling efektif dalam proses ekspor-impor. Kendati demikian, belum ada penelitian sebelumnya yang dilakukan mengenai bagaimana TFA mempengaruhi perdagangan environmental goods. Dengan menggunakan data dari tahun 2017 hingga 2021, penelitian ini menggunakan model random effect panel data untuk mengetahui pengaruh TFA terhadap perdagangan environmental goods di negara-negara berkembang dan terbelakang. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada bukti bahwa TFA berdampak pada perdagangan environmental goods. Hasil tersebut juga terbukti dengan menggunakan metode instrumental variable, analisis subsampel, dan penggunaan standar error yang berbeda. Hal ini dapat terjadi karena upaya negara-negara tersebut untuk menerapkan TFA tidak berhasil memfasilitasi perdagangan environmental goods, atau tingkat komitmen TFA tidak secara akurat mencerminkan implementasi TFA yang sebenarnya di negara tersebut. Namun demikian, variabel kontrol seperti PDB, populasi, dan tingkat industrialisasi berdampak positif dan signifikan terhadap perdagangan environmental goods

The Trade Facilitation Agreement (TFA) of the World Trade Organisation (WTO) aims to reduce the time and cost of international trade by endorsing the most effective approaches for managing goods during cross-border shipments. Despite this goal, no previous study has been done on how TFA affects the trade of environmental goods. Using data from 2017 to 2021, this study uses a random effect panel data model to examine how the TFA affects trade in environmental goods in developing and least-developed countries (LDCs). The outcome demonstrates that there is no evidence that the TFA impacts trade in environmental goods. The result is robust to alternative estimation methods, subsample analysis, and using different standard errors. This might be because the countries' efforts to implement the TFA may not successfully facilitate trade in environmental goods, or the TFA commitment rate may not accurately reflect the countries' actual TFA implementation. However, control variables like GDP, population, and industrialisation level positively and significantly impact trade in environmental goods."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fathya Asti Ramadina
"Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan penjelasan deskriptif tentang komitmen Indonesia dibawah kewajibannya dalam perjanjian internasional, seperti dari Hukum WTO dan Perjanjian Perdagangan Barang ASEAN (ATIGA) sebagaimana dirumuskan dalam Undang-Undang yang baru saja diundangkan, UU No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan.
Penelitian ini menganalisis apakah Perdagangan ketentuan Barang dalam UU No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan sesuai dengan ketentuan dalam Hukum WTO/GATT dan Perjanjian Perdagangan Barang ASEAN (ATIGA) dan juga apakah Undang-Undang No. 7 Tahun 2014 memungkinkan Indonesia untuk melindungi kepentingan nasionalnya.
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normative dengan sifat penjelasan-analisis. Secara normatif, penelitian ini akan mengkaji ketentuan Perdagangan Barang dibawah Hukum WTO / GATT dan Perjanjian Perdagangan Barang ASEAN (ATIGA) serta Undang-Undang No. 7 Tahun 2014.
Berdasarkan hasil penelitian, diharapkan penelitian ini akan memberikan gambaran hingga sejauh mana UU No. 7 Tahun 2014 sesuai dengan kewajiban internasional dan hingga sejauh mana dapat perlindungan kepentingan nasional. Indonesia adalah negara besar yang berada ditengah-tengah persiapa pelaksanaan Masyarakat Ekonomi ASEAN pada akhir 2015, sehingga kepastian hukum di sektor perdagangan penting untuk menjaga kompetisi kegiatan perdagangan yang adil antar negara dan juga memberikan perlindungan pada kepentingan nasional.

This research aims to get the descriptive idea of Indonesia?s commitment under its obligation in international agreements, such as from the WTO Law and ASEAN Trade in Goods Agreement (ATIGA) as formulated in the recently enacted law, Law No. 7 Year 2014 on Trade.
This research analyzes whether or not the Trade in Goods provisions in Law No. 7 Year 2014 on Trade in conformity with such provisions under the WTO Law/GATT and ASEAN Trade in Goods Agreement (ATIGA) and also whether or not the Law No. 7 Year 2014 enable Indonesia to protect its national interest.
This research paper will use the juridical-normative approach with the nature of explanatory-analysis. Normatively, this research will examines the provisions of Trade in Goods under the WTO Law/GATT and the ASEAN Trade in Goods Agreement (ATIGA) also as the Law No. 7 Year 2014.
Based on the research result, it is hoped that this research will provide a description to what length that the Law No. 7 Year 2014 is in conformity with the international obligations and the national interest protection. Indonesia is a big country that is in the midst of preparing for the fully implementation of the ASEAN Economic Community by the end 2015, thus the legal certainty in trade sector is important to keep a fair competitiveness in trade activity between countries as well as providing protection to national interest.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
S59415
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lidya Nathasya Widyastika
"Dewasa ini, fasilitasi perdagangan merupakan elemen penting dalam proses ekspor-impor suatu negara. Fasilitasi perdagangan pertama kali dibahas dalam Singapore Ministerial Conference tahun 1996 dan kemudian dikategorikan sebagai salah satu Singapore Issues. Akan tetapi, negosiasi terhadap fasilitasi perdagangan antara negara-negara WTO sempat mengalami deadlock dan menghabiskan waktu yang cukup lama. Hingga akhirnya pada 22 Februari 2017, Perjanjian Fasilitasi Perdagangan mulai diberlakukan bagi negara-negara anggota WTO. Dimulainya penerapan single window system di Indonesia, atau yang lebih dikenal sebagai Indonesia National Single Window INSW pada tahun 2008 menandai bahwa Indonesia menjalankan komitmen dalam negosiasi fasilitasi perdagangan WTO. Hal yang menarik adalah dalam hal ini Indonesia sudah mulai menerapkan kebijakan single window system sebelum kesepakatan terhadap Perjanjian Fasilitasi Perdagangan dicapai. Penerapan sistem ini dinilai penting oleh Indonesia demi menunjang proses ekspor-impor yang lebih efektif dan efisien, sebab seringkali proses tersebut memakan banyak waktu dan biaya yang cukup besar. Namun demikian, sebagai negara berkembang Indonesia membutuhkan dukungan baik secara kebijakan maupun pendanaan untuk dapat membangun sistem ini. Tulisan ini kemudian melihat bagaimana keterlibatan atau pengaruh WTO dan Bank Dunia dalam pengembangan sistem INSW. Dalam hal ini, pengaruh WTO lebih ditekankan pada penetapan aturan perdagangan yang berkaitan dengan fasilitasi perdagangan. Kemudian, keterlibatan Bank Dunia adalah dari sisi pendanaan dan pengawasan melalui program Development Policy Loan DPL yang mendukung policy reform, khususnya dalam kebijakan pengembangan sistem INSW. Cognitive authority yang dibangun oleh keduanya menunjukkan terdapat strong institutional belief untuk mewujudkan terciptanya perekonomian negara-negara di dunia yang lebih terbuka.

Nowadays, trade facilitation is a prominent element in a country rsquo s export import process. Trade facilitation was first discussed at the Singapore Ministerial Conference in 1996 and subsequently categorized as one the ldquo Singapore Issues. However, the negotiations on trade facilitation had been deadlocked and took considerable time to reach the conclusion. On February 22, 2017, the Trade Facilitation Agreement was finally applied to all of the WTO member countries. The commencement of the implementation of single window system in Indonesia, or Indonesia National Single Window INSW in 2008, indicates that Indonesia is committed to WTO trade facilitation negotiations. Indonesia has implemented this system even long before the Trade Facilitation Agreement is reached, which is considered unique as Indonesia is categorized as a developing country. Implementation of this system is considered crucial for Indonesia in order to promote the efficiency and effectivity of trade process, because sometimes this process takes a lot of time and costly indeed. Nevertheless, as a developing country Indonesia needs both policy support and funding to build this system. This paper explains the involvement of WTO and The World Bank in developing INSW system. In this case, the involvement of WTO is more emphasized on setting trade rules, especially relating to trade facilitation. The World Banks involvement is more on funding and monitoring through Development Policy Loan DPL program that promotes policy reform, particularly in the development of INSW system. Their cognitive authority shows there is strong institutional belief to stimulate more liberalized world."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Elisabeth Ardiastuti
"World Trade Organization (WTO) merupakan organisasi internasional yang berperan penting dalam memastikan arus perdagangan global dapat berjalan dengan sesedikit mungkin hambatan. Akan tetapi, berdasarkan Pasal XX (b) GATT, anggota WTO dapat melakukan suatu tindakan perdagangan yang perlu dilakukan untuk melindungi kehidupan atau kesehatan manusia, hewan atau tumbuh-tumbuhan. Persetujuan Penerapan Tindakan-Tindakan Sanitari dan Fitosanitari (Persetujuan SPS) merupakan penjabaran dari ketentuan Pasal XX (b) GATT tersebut. Berdasarkan Persetujuan SPS, anggota WTO berhak menerapkan ketentuan-ketentuan yang diperlukan untuk melindungi kesehatan atau kehidupan manusia, hewan atau tumbuhan, dengan didasarkan pada prinsip-prinsip ilmiah dan bukti ilmiah yang cukup, serta tidak menciptakan diskriminasi sewenang-wenang atau pembatasan terselubung bagi perdagangan internasional. Untuk memenuhi kebutuhan ilmiah dan teknis dalam penerapan Persetujuan SPS, Persetujuan SPS merujuk International Plant Protection Convention (IPPC) sebagai organisasi internasional relevan untuk mendorong harmonisasi tindakan fitosanitari dengan didasarkan pada standar internasional yang diadopsi oleh IPPC. Penelitian ini menganalisa penerapan Persetujuan SPS dan IPPC pada tiga kasus di WTO, yakni Japan - Agricultural Products II (2001), Japan - Apples (2005) dan Australia – Apples (2011).

World Trade Organization (WTO) is an international organization who plays an important role in ensuring that the global trade can works with a little barriers. However, pursuant to Article XX (b) GATT, WTO Members can perform an action trade necessary to protect human, animals or plants health or life. Agreement on the Application of Sanitary and Phytosanitary Measures (SPS Agreement) is derived from the provision of Article XX (b) GATT. Based on the SPS Agreement, WTO Member have a right to take sanitary and phytosanitary measures necessary for the protection of human, animal, health or plant life or health, which is based on scientific principle and is not maintained without sufficient scientific evidence; and not unjustifiably discriminate or be applied in a manner which would constitute a disguised restriction on international trade. For the fulfilment of scientific and technical need within the application of SPS Agreement, SPS Agreement refers International Plant Protection Convention (IPPC) as an international organization relevant, to encourage harmonisation of phytosanitary measures, based on international standards which adopted by IPPC. This thesis analyzes the application of the SPS Agreement and the IPPC in three cases at WTO: Japan- Agricultural Products II (2001), Japan - Apples (2005) and Australia - Apples (2011)."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
S63493
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
A. Fauzan Eko N.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002
S23729
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Azam Hawari
"ABSTRACT
Dalam hukum World Trade Organization (WTO), persoalan lingkungan hidup diatur pada Pasal XX (b) dan (g) GATT 1994, beserta dua peraturan khususnya yakni, The Agreement on the Application of Sanitary and Phytosanitary Measures (SPS Agreement) dan Agreement on Technical Barriers to Trade (TBT Agreement). Sehubungan dengan ini, pada tahun 2018 Uni Eropa mengeluarkan Renewable Energy Directive (RED) II terkait kebijakan pelarangan penggunaan minyak kelapa sawit untuk kebutuhan biofuels pada 2030, yang dilakukan secara bertahap dari tahun 2021. Dasar pelarangan ini adalah untuk melindungi lahan dengan stok karbon tinggi yang diakibatkan oleh pembukaan lahan untuk perkebunan sawit. Oleh karena itu, skripsi ini melakukan analisis kesesuaian kebijakan larangan impor atas dasar lingkungan hidup ini terhadap pengaturan dalam WTO. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif, dengan melakukan studi kepustakaan terhadap teks RED II dengan kebijakan tata kelola sawit Indonesia berdasarkan peraturan perundang-undangan Indonesia dan sumber hukum WTO. Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa kebijakan pelarangan impor Uni Eropa tidak masuk dalam ruang lingkup ruang lingkup SPS Agreement ataupun TBT Agreement.  Kebijakan ini merupakan bentuk hambatan kuantitatif yang melanggar GATT 1994 karena tidak memenuhi persyaratan Pasal XX (g) GATT 1994. Kebijakan ekstrateritorial Uni Eropa ini juga tidak dapat dibenarkan karena tidak memenuhi ketentuan chapeau.

ABSTRACT
Under World Trade Organization (WTO) law, Article XX (b) and (g) GATT 1994, and its two specialized agreements, The Agreement on the Application of Sanitary and Phytosanitary Measures (SPS Agreement) dan Agreement on Technical Barriers to Trade (TBT Agreement) provide environmental-trade measure rulings. In this regard, European Union seek to gradually limit palm oil from 2021 and phase out the use for biofuels by 2030 within Renewable Energy Directive (RED) II that was released in 2018. This measure is set to limit biofuels produced from significant expansion of the production area into land with high carbon stock is observed. This research uses normative juridical approach by literature study of RED II legal text and Indonesian palm oil governance within relevant laws and WTO sources of law. The result indicates that the EU measure is is not fell under scope of SPS Agreement as well as TBT Agreement. This environmental-trade measure is found to be inconsistent to GATT substantive rule of quantitative restriction as it fails to fulfill requirements under Article XX (g) GATT 1994. As it does not satisfy chapeau requirements, the European Union extraterritorial measure can not be justified."
2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simbolon, Manuel
"Tesis ini membahas tentang Demokrasi Deliberatif dan partisipasi Masyarakat sipil dalam proses pembentukan hukum di World Trade Organization (WTO). WTO didirikan untuk mengatur perdagangan internasional sesuai dengan WTO Agreement. WTO mendorong arus perdagangan antarnegara, dengan mengurangi dan menghapus berbagai hambatan yang dapat mengganggu kelancaran perdagangan barang dan jasa. Namun sejak kelahirannya WTO telah mendapatkan resistensi yang sangat besar dari berbagai kalangan akar rumput. Hal tersebut dikarenakan hukum perdagangan internasional dalam kerangka WTO telah menimbulkan norma-norma yang bersinggungan langsung dengan individu masyarakat. Keputusan-keputusan yang lahir dalam sistem hukum WTO adalah keputusan yang nyata memiliki dampak secara langsung.
Walaupun secara normatif WTO dianggap sebagai organisasi internasional yang lebih demokratis, namun dalam tataran praksis banyak sekali praktek-praktek pengambilan keputusan yang lebih bersifat oligarkis. Proses pengambilan keputusan di WTO melalui mekanisme konsensus sangatlah tidak transparan, selektif dan rahasia. WTO telah mengalienasikan dirinya dan menjadi otonom dari kepentingan masyarakat sipil. Padahal agar suatu pengambilan keputusan bersifat demokratis, maka proses pengambilan keputusan itu harus melibatkan pihak-pihak yang terkena akibat dari keputusan-keputusan tersebut, baik itu secara langsung maupun melalui perwakilannya masing-masing. Disamping itu, keputusan-keputusan tersebut juga harus dicapai sebagai suatu hasil dari adanya pertukaran argumentasi yang rasional, terbuka dan transparan.
Penulis mencoba menawarkan teori demokrasi deliberatif yang digagas oleh Jurgen Habermas sebagai jawaban dari permasalahan yang terjadi dalam proses pembentukan hukum di WTO. Demokrasi dapat disebut deliberatif jika proses pemberian suatu alasan atas suatu kandidat kebijakan publik diuji terlebih dahulu lewat konsultasi publik atau lewat diskursus publik. Menurut Habermas, politik selalu dipengaruhi oleh dua aspek. Aspek tersebut adalah faktisitas hukum dan validitas hukum. Faktisitas hukum menekankan kepastian hukum demi rumusan yang ada pada pada hukum itu sendiri, sedangkan validitas hukum menekankan bahwa hukum harus dapat dilegitimasikan secara moral. Maka dari itu, sesungguhnya teori tersebut merupakan sebuah desakan bagi WTO untuk membuka ruang-ruang dan kanal-kanal komunikasi politis di dalam masyarakat, agar keputusan-keputusan yang diambil dalam proses pembentukan hukum di WTO tidak teralienasikan dari masyarakat sipil dan menimbulkan kurangnya legitimasi.

This theses elaborates the deliberative democracy and participation of civil society in the law-making process at the World Trade Organization (WTO). World Trade Organization (WTO) was established to regulate international trade in accordance with the WTO Agreement. WTO encourages the flow of international trading, by reducing and removing barriers that may interfere the accelerations of trade in goods and services. But since the establishment of the WTO has gained enormous resistance from various grassroots. That is because the law of international trade within the WTO framework has led to the norms that interact directly with individual communities. The decisions that were taken in the WTO legal system is the decisions that have a direct impact.
Although normatively WTO is considered as an international organization that is more democratic, but in a many practical level, decision-making practices in WTO are more oligarchic. The decision making process in the WTO through a consensus mechanism is not transparent, selective and confidential. WTO has alienated himself and become autonomous from the interests of civil society. And to a democratic decision-making, then the decision-making process must involve the affected parties as a result of these decisions, either directly or through their respective representation. In addition, these decisions should also be achieved as a result of an exchange of arguments were rational, open and transparent.
The author tries to offer a theory of deliberative democracy initiated by Jurgen Habermas as an answer to the problems that occur in the WTO law-making process. Democracy can be called deliberative if the process of giving a reason on a public policy candidate tested in advance through public consultation or through public discourse. According to Habermas, politics is always influenced by two aspects. These aspects are legal facticity and legal validity. Legal facticity emphasizes the rule of law toward the formulas that exist in the law itself, while the legal validity emphasizes that law must be legitimized morally. Therefore, the theory actually is an insistence for the WTO to open spaces and channels of political communication in the community, so that the decisions taken in the law-making process in the WTO is not alienated from civil society and causing a lack of legitimacy.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
T45280
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Taryana Soenandra <=Sunandar>
Jakarta: Departemen Kehakiman , 1996
343.087 026 1 TAR p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>