Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 197465 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Tiyana Sigi Pertiwi
"Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui pengaturan hukum internasional untuk keselamatan penerbangan sipil terhadap bahan dan barang berbahaya dalam pesawat udara beserta metode penerapannya dalam tingkat internasional dan nasional. Metode penelitian yang digunakan bersifat yuridis normatif dengan menggunakan data sekunder, diantaranya peraturan perundang-undangan dan buku.
Kesimpulan yang diambil dari skripsi ini yaitu keselamatan bahan dan barang berbahaya di udara secara umum diatur oleh Annex 18 Konvensi Chicago 1944 yang harus ditaati oleh semua negara anggota ICAO. Dalam perkara ini, hukum yang digunakan adalah hukum nasional negara anggota ICAO, yaitu Amerika Serikat, yang telah mengadopsi ketentuan Annex 18 Konvensi Chicago ke dalam undang-undangnya, yaitu USC 49.

This thesis aims to learn how international law governs civil aviation safety measures on dangerous goods that are carried onboard an aircraft and its methods of implementations, both internationally and nationally. This research is conducted in normative juridical sense using secondary data, such as legislation, textbooks, and journals.
The conclusion of this thesis is that civil aviation safety on dangerous goods carried onboard aircraft is generally governed by Annex 18 Chicago Convention 1944 in which it must be complied with by all members of ICAO. According to the case of United States v. SabreTech, the governing law used in court is the national law of the respective ICAO members, which is in this case United States of America’s national law, USC 49. This certain law has previously adopted standards contained in Annex 18 Chicago Convention.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
S45483
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
cover
cover
Gabriel Suwandy
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1990
S25534
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Daffa Muhammad Hilmi
"Penelitian ini bertujuan untuk meneliti lebih lanjut bagaimana penerapan ketentuan intersepsi dan pemaksaan mendarat dalam Pasal 3 bis Konvensi Chicago oleh Indonesia, Belarusia, dan Inggris, baik dalam ketentuan hukum nasional masing-masing negara maupun dalam penanganan kasus intersepsi oleh ketiga negara tersebut. Penelitian ini juga bertujuan untuk membandingkan penerapan ketentuan intersepsi pada ketiga negara tersebut, khususnya dari segi alasan intersepsi dan penanganan pesawat setelah pemaksaan mendarat.
Pasal 3 bis Konvensi Chicago memperbolehkan setiap negara untuk mengintersepsi dan memaksa mendarat pesawat udara sipil yang melintas wilayahnya tanpa membahayakan keselamatan penerbangan ataupun menggunakan senjata. Selain itu, kedua tindakan tersebut hanya boleh dilakukan atas dua alasan: pelanggaran kedaulatan wilayah udara dan penyalahgunaan penerbangan sipil. Walaupun ICAO melengkapi ketentuan tersebut dengan standar dan rekomendasi tata cara teknis intersepsi dalam Annex 2 dan Manual Intersepsi ICAO, ketentuan hukum internasional belum mengatur penanganan pesawat udara sipil pasca pemaksaan mendarat secara merinci. Selain itu, ketentuan hukum internasional juga belum mendefinisikan maksud penyalahgunaan penerbangan sipil sebagai alasan intersepsi dan pemaksaan mendarat.
Indonesia, Belarusia, dan Inggris memiliki ketentuan hukum nasional tersendiri untuk mengatur tindakan intersepsi dan pemaksaan mendarat, mulai dari alasan dan tata cara intersepsi hingga penanganan pesawat udara yang dipaksa mendarat. Mengingat ketentuan hukum internasional belum mendefinisikan maksud penyalahgunaan penerbangan sipil serta belum mengatur penanganan pesawat udara pasca pemaksaan mendarat, setiap negara menetapkan kedua hal tersebut dengan ketentuan yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Selain itu, perbedaan lainnya juga terlihat dari seberapa merinci peraturan tersebut dan seberapa selaras ketentuan tersebut dengan ketentuan Konvensi Chicago.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Indonesia, Belarusia, dan Inggris melaksanakan intersepsi dan pemaksaan mendarat menurut ketentuan hukum nasionalnya masing-masing. Pada akhirnya pula, keselarasan negara dalam menangani tindakan intersepsi dengan ketentuan Pasal 3 bis Konvensi Chicago dipengaruhi keselarasan ketentuan hukum nasional mengenai intersepsi dengan ketentuan Pasal 3 bis itu sendiri.

The following research was established to further investigate on how Indonesia, Belarus, and the United Kingdom apply Article 3 bis of the Chicago Convention regarding civil aircraft interception and forced landing on their national laws and on how each state handle interception cases in their respective countries. The following research was also aimed to compare the application of civil aircraft interception provisions on the following three countries, especially regarding the reason of interception and handling of aircraft post-forced landing.
Article 3 bis of the Chicago Convention allows every state to intercept a civil aircraft flying through the concerned state’s territory and force its landing without endangering aviation safety and by refraining from using weapons. Both of those actions are only permitted under two reasons: violation of airspace sovereignty and misuse of civil aviation. Although ICAO supplement the following provision with their standards and recommendation regarding the technical procedures of aircraft interception on Annex 2 and ICAO’s Interception Manual, international law provisions have yet to regulate the handling of forced landed aircraft in detail. Furthermore, international law provisions have also yet to further define misuse of civil aviation as grounds for aircraft interception and forced landing.
Indonesia, Belarus, and the United Kingdom each have their own perspective national regulations regarding civil aircraft interception and its forced landing, ranging from grounds of interception and its procedures to handling of forced landed aircraft. Considering international law provisions have yet to further define misuse of civil aviation and regulate the handling of forced landed aircraft, each state has different regulations regarding both matters. Other differences of each national regulations are from how detailed its regulations are and how consistent its national regulations with the Chicago Convention.
To conclude, Indonesia, Belarus, and the United Kingdom handles civil aircraft interception and its forced landing in accordance with their respective national regulations. This further shows that how consistent a state’s handling of interception cases with Article 3 bis of the Chicago Convention are influenced by how consistent its national regulations on interception with the provisions of Article 3 bis itself.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rafika Rizky Aulia Rahman
"Pemanfaatan sistem pesawat tanpa awak berupa drone kini telah berkembang di berbagai bidang, salah satunya bidang komersial yaitu penggunaan drone dalam kegiatan pengiriman barang. Beberapa negara di dunia telah membuat drone yang dapat digunakan secara eksplisit dalam kegiatan pengiriman barang ini dan telah mengaturnya dalam undang-undang nasional negara masing-masing. Hal ini mendorong ICAO sebagai organisasi penerbangan sipil internasional untuk berperan dalam memberikan regulasi terkait hal tersebut dan menyelaraskan aturan yang ada di beberapa negara agar tidak melanggar aturan mengenai keselamatan dan keamanan penerbangan secara umum. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, penulis menemukan bahwa drone tidak terbatas pada bidang militer dan rekreasi. Drone telah berkembang menjadi sarana pengiriman barang di berbagai negara. Hal ini dikarenakan drone memiliki poin lebih dibandingkan bentuk transportasi lainnya. Namun, selain beberapa kelebihan yang ada, drone memunculkan beberapa permasalahan hukum terkait pengoperasian drone sebagai sarana pengiriman barang, yaitu terkait dengan keamanan dan keselamatan penerbangan secara umum. Sebagai otoritas tinggi yang mengatur penerbangan sipil dunia dan mengakomodasi perkembangan teknologi penerbangan yang semakin pesat berkembang menjadi komersial, ICAO telah memberikan model regulasi yang dapat digunakan negara-negara anggota sebagai acuan dalam penyusunan peraturan terkait hal ini di negaranya masing-masing. Indonesia sebagai salah satu negara anggota ICAO telah memiliki beberapa peraturan terkait pengoperasian sistem drone melalui beberapa undang-undang dan peraturan menteri terkait. Namun, Indonesia belum memiliki aturan yang komprehensif terkait pengiriman barang dengan menggunakan drone.

The use of unmanned aircraft systems in the form of drones has now developed in various fields, one of which is the commercial field, namely the use of drones in goods delivery activities. Several countries in the world have made drones that can be explicitly used in this goods delivery activity and have regulated this in the national laws of their respective countries. This has encouraged ICAO as an international civil aviation organization to play a role in providing regulations related to this matter and to harmonize existing rules in several countries so that they do not violate the rules regarding aviation safety and security in general. Based on the research that has been done, the authors found that drones are not limited to the military and recreational fields. Drones have developed into a means of shipping goods in various countries. This is because drones have more points than other forms of transportation. However, in addition to some of the existing pluses, drones raise several legal problems related to the operation of drones as a means of delivering goods, which are related to aviation security and safety in general. As the high authority that regulates world civil aviation and accommodates the development of aviation technology which is increasingly rapidly expanding into commercial, ICAO has provided a regulatory model that member countries can use as a reference in drafting regulations related to this matter in their respective countries. Indonesia, as one of the ICAO member countries, already has several regulations related to the operation of drone systems through several laws and related ministerial regulations. However, Indonesia does not yet have comprehensive rules regarding drones delivering goods."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fadhlul Hamid
"Karya akhir ini membahas keterlibatan operator dan regulator dalam kejahatan terhadap keselamatan penerbangan dengan menggunakan metode studi kepustakaan Keterlibatan operator dan regulator dianalisis dengan menggunakan konsep state corporate crime yang melihat bagaimana regulator terlibat di dalam tindak kejahatan khususnya memberikan fasilitas untuk terjadinya kejahatan yang dilakukan oleh operator terhadap keselamatan penerbangan. Hasil dari tulisan ini memperlihatkan bahwa operator sengaja melakukan perawatan dan perbaikan yang tidak layak terhadap pesawat yang mengalami kerusakan sebagai aktivitas yang membahayakan dan merupakan kejahatan terhadap keselamatan penerbangan Regulator terlibat karena tidak melakukan pengawasan pengaturan dan evaluasi yang layak terhadap kegiatan operator.

The objective of this study was to see the involvement of operator and regulator in crime against the safety of aviation by using literature study The involvement of both operator and regulator was analyzed with the concept of state corporate crime which sees how regulator was involved in crime especially by facilitating the crime by operator to the crime against the safety of aviation. The result of this study shown that operator did not fix and maintain their planes with decent treatments with intention as harmful activity and as crime against the safety of aviation Regulator was involved since they did not supervise regulate and evaluate operator activities."
Depok: Universitas Indonesia, 2016
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Adre Dwi Wiratama
"Keselamatan penerbangan menjadi prioritas utama dalam operasional penerbangan di seluruh dunia. Namun, kecelakaan fatal penerbangan sipil masih sering terjadi di Indonesia. Kecelakaan fatal pada penerbangan umumnya tidak hanya melibatkan satu faktor, tapi terjadi melalui berbagai faktor yang terakumulasi dan saling berinteraksi. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang memiliki hubungan dengan kecelakaan fatal pada penerbangan sipil di Indonesia. Penelitian menggunakan desain potong lintang yang dilakukan pada bulan Juli 2023 dengan mengambil seluruh data dalam bentuk final report kecelakaan pesawat sayap tetap yang dipublikasi oleh Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) Indonesia dari tahun 2007-2019. Didapatkan total 36 insidensi kecelakaan fatal penerbangan sipil di Indonesia selama periode tersebut. Didapatkan total 36 insidensi kecelakaan fatal penerbangan sipil di Indonesia selama periode tersebut. Setelah eksklusi dan analisis bivariat dengan metode uji chi-square dan Fisher’s exact, faktor-faktor yang ditemukan berhubungan dengan kecelakaan fatal penerbangan komersial adalah jenis lisensi pilot, tipe kabin pesawat, jumlah engine pesawat, maximum takeoff weight (MTOW) pesawat, hari kecelakaan, lokasi kecelakaan terhadap bandara, keterlibatan api, kategori kecelakaan dan fase penerbangan. Tidak ditemukan adanya hubungan yang signifikan pada seluruh faktor yang diabalisis terhadap kecelakaan fatal penerbangan umum.

Aviation safety is a priority in aviation operations throughout the world. However, fatal civil aviation accidents still occur frequently in Indonesia. Fatal aviation accidents generally do not only involve one factor but occur through various factors that accumulate and interact with each other. This research aims to identify factors that are related to fatal accidents of civil aviation in Indonesia. The research used a cross-sectional design which was carried out in July 2023 by including all final reports on fixed-wing aircraft accidents published by the Indonesian National Transportation Safety Committee (KNKT) from 2007-2019. There were a total of 36 fatal civil aviation accidents in Indonesia during the period. After exclusion and bivariate analysis using the chi-square and Fisher's exact test methods, the factors found to be associated with fatal commercial aviation accidents were type of pilot license, aircraft cabin type, number of aircraft engines, maximum takeoff weight (MTOW) of the aircraft, day of the accident, accident location relative to airport, fire involvement, accident category and flight phase. There was no significant association found between all factors that responded to fatal general aviation accidents."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rhahadian Bima Saputra
"ABSTRAK
Industri penerbangan sipil di Indonesia telah dinominasikan oleh beberapa lembaga survei sebagai industri dengan tingkat keselamatan terendah di dunia. Banyaknya kecelakaan penerbangan sipil di Indonesia disebabkan oleh sistem manajemen keselamatan yang buruk. Menurut Maintenance Error Decision Aid (MEDA), saat ini, 80% kecelakaan penerbangan disebabkan oleh kesalahan manusia (pilot, pengontrol lalu lintas udara, mekanik, dll). Hasil ini berbeda dibandingkan dengan tahun-tahun awal industri penerbangan yang 80% kecelakaan disebabkan oleh kegagalan mesin. Oleh karena itu, kita harus menemukan metode yang paling tepat untuk menganalisis kecelakaan penerbangan untuk mencegah terulangnya hal itu. Penerbangan sipil berjadwal di Indonesia hampir mewakili semua penerbangan sipil karena masih belum umumnya industri general aviation di Indonesia. Oleh karena itu, penelitian ini mengusulkan model analisis dan investigasi kecelakaan yang dimodifikasi berdasarkan swiss cheese model untuk mengidentifikasi faktor manusia dan organisasi yang terkait dalam kecelakaan penerbangan sipil berjadwal. Model ini akan terdiri dari kategori dan subkategori yang dikembangkan oleh model sebab-akibat yang dikombinasikan dengan hukum dan peraturan yang berlaku serta praktik sistem manajemen keselamatan di industri penerbangan sipil berjadwal di Indonesia. Model yang diusulkan diharapkan dapat menganalisis kecelakaan penerbangan sipil terjadwal dengan lebih baik dan jelas serta membantu manajemen untuk mengambil tindakan keselamatan yang diperlukan untuk mencegah terulangnya kecelakaan.

ABSTRACT
Civil aviation industry in Indonesia has been nominated by some survey institutes to be the lowest in safety rating in the world. This is caused by poor safety management system which lead to many civil aviation accidents in Indonesia. According to Maintenance Error Decision Aid (MEDA), nowadays, 80% of aviation accident are due to human error (pilots, air traffic controllers, mechanics, etc). This result differ compared to the early years of the aviation industry which is 80% of accident are caused by machine failure. Therefore, we have to find the most appropriate method to analyze an aviation accident in order to prevent its reccurence. In Indonesia, scheduled civil aviation almost represent all civil aviation in the country. Therefore, This research proposed a modified accident analysis and investigation model based on swiss cheese model to identify the human and organizational factors involved in scheduled civil aviation accidents. The model will be consist of categories and subcategories which is developed by classic ancient causation models combined with the laws and regulation in Indonesia and a safety management system practices in the scheduled civil aviation industry. The proposed model is expected to be able to analyze scheduled civil aviation accident better and clearer and help the management to take a safety action needed to prevent the recurence of accidents."
2019
T54249
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>