Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 96552 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rezky Prismawarni
"Jenis kelamin ahli waris mempengaruhi besar bagian warisan yang didapat menurut Hukum Kewarisan Islam. Namun, dewasa ini terdapat orang yang berkeinginan mengubah jenis kelaminnya yang disebut sebagai transeksual. Transeksual merupakan bentuk gangguan identitas gender yang ditandai dengan keinginan transeksual untuk mengubah jenis kelaminnya melalui operasi penggantian kelamin. Saat ini operasi penggantian kelamin sudah dilegalkan melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.
Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan dan menganalisis tentang kedudukan ahli waris transeksual yang telah melakukan operasi penggantian kelamin dalam Hukum Kewarisan Islam. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif. Dari hasil penelitian didapat bahwa Hukum Islam mengharamkan operasi penggantian kelamin terhadap transeksual dan kedudukan ahli waris transeksual tersebut adalah ahli waris dengan jenis kelamin sebelum dilakukan operasi.

Beneficiary‟s sex will influence the amount of legacy in terms of Islamic Inheritance Law. However, today there are people who wish to change their sex, called as transsexual. Transsexual is a gender identity disorder that is marked by the desire to change their sex by way of sex reassignment surgery. Nowadays, sex reassignment surgery has been legalized by Law Number 23/2006 about The Indonesian Population Administration.
The objective of this thesis is to describes and analyze about the legal position of transsexual who have sex reassignment surgery as a beneficiary in terms of Islamic Inheritance Law. The research method used in this thesis is a normative juridicial research. The result of the research is that sex reassignment surgery forbidden in Islamic law and the legal position of transsexual who has sex reassignment surgery is his sex before surgery.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
S45894
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Melly Afrissyah
"Pada dasarnya Tuhan telah menciptakan manusia sebagai makhluk-Nya yang paling sempurna dengan jenis laki-laki dan perempuan. Dengan majunya teknologi kedokteran saat ini dimungkinkan bagi seseorang melakukan operasi penggantian kelamin dan bahkan beberapa orang telah mendapat penetapan dari Pengadilan tentang perubahan status mereka didepan hukum. Sehingga, keberadaannya ini menimbulkan permasalahan hukum terhadap status hukum dan akibat hukum serta perkawinan yang dilakukan oleh mereka.
Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui apakah Hukum Islam memperbolehkan perkawinan oleh transeksual yang telah diakui perubahan status kelaminnya oleh Pengadilan Negeri. Serta bagaimana Undang-Undang perkawinan di Indonesia memandang permasalahan perkawinan transeksual tersebut. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif.
Hasil penelitian adalah pada dasarnya tindakan operasi diharamkan, namun dibolehkan apabila terdapat kondisi yang memaksa. Sehingga Hukum Islam secara tegas tidak memperbolehkan terjadinya perkawinan antara seorang transeksual dengan orang yang sebenarnya berjenis kelamin sama, kecuali perubahan jenis kelaminnya sah menurut Hukum Islam. Sedangkan berbeda dengan Undang-Undang Perkawinan yang belum ada aturan secara tegas tentang transeksual, meski Undang-Undang perkawinan mendasarkan sah tidaknya suatu perkawinan juga ditentukan oleh ketentuan dalam tiap-tiap agama, maka tetap dimungkinkan bagi seorang transeksual yang telah mendapat penetapan dari pengadilan untuk melangsungkan perkawinan asalkan syarat perkawinan tersebut tidak dilarang atau tidak bertentangan dengan ketentuan yang ada dalam agama dari orang yang bersangkutan.

Naturally, God have created human as His perfect creation as male and female. With the latest medical technology, it is possible nowadays for everyone to do sex reassignment surgery and some of those have received the Decision from the court about the legal changes of their status. Therefore, the existing of it caused the legal problem about the legal status and the legal implication of their marriage done by them.
The purpose of this research paper is to know whether Islamic Law allow the marriage which is done by the transsexual person which status had been recognized by the Court, and how the Act of Marriage's point of view about the transsexual marriage itself. The research is a normative legal research with qualitative analysis on secondary data.
The result of this research are: basically, the surgery is allowed if there is any force major therefore, Islamic Law not strictly ban the marriage of an transsexual person with the similar sex spouse unless its transsexual is legal according to Islamic Law. It is different with the Act of Marriage which haven't strictly regulate about transsexual although the act of marriage regulate whether the marriage is legal from every religion, therefore it is possible for a transsexual person who had been approved by court to get married if the marriage requirement is not banned or not broken the requirement of his/her religion.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S56887
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wildatun Aziza
"Ambiguous genitalia merupakan kondisi medis dimana alat kelamin seseorang tidak dapat secara sederhana ditentukan dengan tegas dan berpotensi menimbulkan permasalahan hukum karena dapat mengakibatkan kekeliruan antara identitas pada dokumen kependudukan dengan jenis kelamin seseorang yang sebenarnya. Metode penelitian yang digunakan adalah dengan bentuk yuridis normatif dan bersifat deskriptif untuk menjelaskan pengaturan operasi penggantian kelamin di Indonesia, menjelaskan tanggung jawab dokter dan rumah sakit dalam operasi penggantian kelamin berdasarkan kondisi ambiguous genitalia dan menganalisis kedudukan ambiguous genitalia sebagai pertimbangan Hakim dalam Penetapan No. 518/Pdt.P/2013/PN.Ung. Dari hasil penelitian diketahui bahwa: (1) operasi penggantian kelamin di Indonesia diatur secara khusus dalam Kepmenkes No. 191 Tahun 1989; (2) sebagai pihak yang terlibat aktif dalam operasi penggantian kelamin, sebagai salah satu metode penanganan ambiguous genitalia, dokter dan rumah sakit memiliki tanggung jawab hukum administrasi, perdata, dan pidana; (3) ambiguous genitalia tidak disebutkan secara spesifik dalam pertimbangan Hakim pada Penetapan No. 518/Pdt.P/2013/PN.Ung namun merupakan faktor medis sebagaimana tertuang dalam keterangan saksi dan alat bukti surat, yang bersama-sama faktor yuridis, agama, dan psikologis dipertimbangkan oleh Hakim sebelum mengabulkan permohonan penggantian kelamin.  Berdasarkan hasil penelitian, penulis menyarankan beberapa hal seperti revisi dan pembentukan peraturan terkait penggantian kelamin, sosialisasi serta penelitian akademis lanjutan terkait ambiguous genitalia dan operasi penggantian kelamin.

Ambiguous genitalia is a medical condition where a persons genitals cannot be simply determined firmly and potentially cause legal problems because it can lead to errors between identity in the document of population and the actual sex of a person. The research method used in this study is a normative-descriptive juridical to explain the provisions of sex reassignment surgery in Indonesia, explain the responsibilities of doctors and hospitals in sex reassignment operations based on ambiguous conditions of genitalia; and analyze the position of ambiguous genitalia as Judges consideration in Couert Decree No. 518/Pdt.P/2013/PN.Ung. From the results of the study it was revealed that: (1) sex reassignment operations in Indonesia is specifically regulated in Kepmenkes No. 191 of 1989; (2) as parties actively involved in sex reassignment operations, doctors and hospitals have administrative, civil and criminal legal responsibilities; (3) ambiguous genitalia is not specifically mentioned in consideration of the Judge in Court Decree No. 518/Pdt.P/2013/PN.Ung but it is a medical factor as stated in the witness statement and proof of letter, which together with juridical, religious and psychological factors are considered by the Judge before granting the request for sex change. Based on the results of the study, the authors suggest several things such as revisions or establishment to the law, socialization and further academic research about ambiguous genitalia and sex reassigment surgery."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amanda Lauza Putri
"Dalam menetapkan ahli waris, hakim harus menerapkan prinsip keadilan dan kehati-hatian untuk melindungi hak ahli waris dan pihak ketiga dari pelanggaran hak mewaris mereka. Penelitian ini menganalisis kedudukan anak dan keturunan dari bibi melalui pihak ayah sebagai ahli waris dalam Hukum Kewarisan Islam dan perbedaan pertimbangan hakim mengenai hak mewaris anak dan keturunan dari bibi melalui pihak ayah. Penelitian ini menggunakan metode doktrinal dalam tesis yang berbentuk eksplanatoris. Permasalahan hukum tersebut diawali dengan seorang pewaris yang menuliskan wasiat kepada Masjid N. Kemudian, pewaris meninggal dunia dengan meninggalkan 1 (satu) orang anak perempuan dari bibi melalui pihak ayah serta 5 (lima) keturunan dari anak lelaki dari bibi melalui pihak ayah. Menurut Bilateral Hazairin, ahli waris merupakan mawali. Sedangkan menurut Patrilineal Syafi’i, mereka merupakan zul-arham. Kemudian, menurut KHI, mereka merupakan ahli waris pengganti kelompok derajat keempat. Pertimbangan hakim mengenai hak mewaris ahli waris dalam Penetapan PA Bantaeng No. 27/PDT.P/2020/PA.Batg sudah benar, namun kurang tepat karena hakim tidak menambahkan Pasal 185 KHI dalam pertimbangannya. Lalu, dalam Putusan Nomor 82/Pdt.G/2021/PTA.Mks yang dikuatkan dengan Putusan Mahkamah Agung No. 34 K/AG/2022, hakim telah salah dalam menerapkan hukum dalam pertimbangan atas keabsahan wasiat pewaris. Jika hakim menggunakan Patrilineal Syafi’i, maka ahli waris adalah zul-arham. Namun, jika hakim berpedoman pada KHI, maka mereka adalah ahli waris pengganti kelompok derajat keempat. Dengan demikian, wasiat seharusnya berlaku 1/3 (satu per tiga) dari harta peninggalan pewaris. Akan tetapi, SEMA No. 3 Tahun 2015 membatasi ahli waris pengganti sampai derajat cucu. Hakim dapat menggunakan ajaran Bilateral Hazairin yang sejalan dengan asas bilateral KHI. Pemerintah perlu melakukan revisi terhadap KHI dengan menjelaskan bagian dari ahli waris pengganti. Selain itu, peraturan internal Mahkamah Agung juga hendaknya mengacu pada Hukum Kewarisan Islam yang berlaku. Hakim hendaknya juga berpedoman pada KHI dalam menyelesaikan perkara kewarisan untuk menghindari perbedaan hasil ijtihad dan memberikan kepastian hukum bagi para pihak yang berperkara. Terakhir, Pemerintah, Mahkamah Agung, ulama, dan/atau institusi pendidikan Islam hendaknya berkolaborasi untuk memberikan sosialisasi mengenai Hukum Kewarisan Islam kepada masyarakat.

In determining heirs, judges must apply the principles of justice and caution to protect the rights of heirs and third parties from violations of their inheritance rights. This research analyzes the position of children and descendants of aunts through the paternal line as heirs in Islamic Inheritance Law and the different considerations of judges regarding the inheritance rights of children and descendants of aunts through the paternal line. This research uses a doctrinal method in a thesis in the form of explanatory. The legal problem begins with a woman who wrote a will to a mosque. Then, the woman died leaving 1 (one) daughter from an aunt through the paternal line and 5 (five) descendants from the son of an aunt through the paternal line. According to Bilateral Hazairin, the heirs are mawali. Whereas according to Patrilineal Syafi'i, they are zul-arham. Then, according to KHI, they are substitute heirs of the fourth degree group. The judge's consideration regarding the inheritance rights of the heirs in Decision. 27/PDT.P/2020/PA.Batg was correct, but not entirely accurate because the judge did not add Article 185 of the KHI to his considerations. Then, in Decision 82/Pdt.G/2021/PTA.Mks which was ratified by Supreme Court Decision 34 K/AG/2022, the judge made a mistake in applying the law in considering the validity of the testator's will. If the judge uses Patrilineal Syafi'i, then the heirs are zul-arham. However, if they base themselves on the KHI they are substitute heirs of the fourth degree group. Thus, the will should apply to 1/3 (one third) of the inheritance of the testator. However, SEMA 3 of 2015 limits substitute heirs to the degree of grandchildren. The judge can use the principles of Bilateral Hazairin which are in line with the bilateral principles of the KHI. Thus, the government needs to revise the KHI to explain the portion of substitute heirs. In addition, the internal regulations of the Supreme Court should also refer to the applicable Islamic Inheritance Law. Judges should also be guided by the KHI in resolving inheritance cases to avoid differences in ijtihad and provide legal certainty for the parties involved. Finally, the Government, Supreme Court, theologian, and/or Islamic educational institutions should collaborate to provide socialization regarding Islamic Inheritance Law to the community."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Santri Panca Nurul Alami
"Dalam hukum waris Islam terdapat penghalang mewaris yaitu tidak saling mewaris antara orang muslim dengan orang non muslim Anak pada dasarnya adalah ahli waris karena hubungan darah dengan orang tuanya Namun apabila seorang anak berbeda agama dengan orang tuanya pewaris maka terhalang baginya untuk dapat mewaris Sehingga ia tidak berhak atas harta waris Namun kemudian sehubungan dengan hal tersebut Mahkamah Agung dan MUI memberikan peluang bagi non muslim untuk mendapat wasiat wajibah Penelitian ini merupakan penelitian hukum yang membahas kedudukan anak non muslim terhadap harta peninggalan orang tua muslim ditinjau dari hukum kewarisan islam dengan perolehan data melalui pengumpulan data sekunder berupa penelitian kepustakaan Dalam tahap pengolahan data metode yang digunakan adalah deskriptif analitis Dalam hukum waris Islam terdapat penghalang mewaris yaitu tidak saling mewaris antara orang muslim dengan orang non muslim Anak pada dasarnya adalah ahli waris karena hubungan darah dengan orang tuanya Namun apabila seorang anak berbeda agama dengan orang tuanya pewaris maka terhalang baginya untuk dapat mewaris Sehingga ia tidak berhak atas harta waris Namun kemudian sehubungan dengan hal tersebut Mahkamah Agung dan MUI memberikan peluang bagi non muslim untuk mendapat wasiat wajibah Penelitian ini merupakan penelitian hukum yang membahas kedudukan anak non muslim terhadap harta peninggalan orang tua muslim ditinjau dari hukum kewarisan islam dengan perolehan data melalui pengumpulan data sekunder berupa penelitian kepustakaan Dalam tahap pengolahan data metode yang digunakan adalah deskriptif analitis

In the Islamic inheritance law mewaris barrier which is not mutually mewaris between Muslims and non Muslim people Son is essentially heirs because blood relationship with his parents But when a child with his parents different religion heir then blocked for him to be able to mewaris Until it is not entitled to the estate beneficiaries But then in connection with the case of the Supreme Court and the MUI provides the opportunity for non Muslims to get obligatory will This research discusses the legal position of non Muslim children to inheritance parents Muslims in terms of Islamic inheritance law This research uses secondary data from the research literature In the data processing the method used is descriptive analytical "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
S44969
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gita Rianty Hapsari
"Pro dan kontra terhadap keberadaan kaum transeksual di Indonesia yang menimbulkan permasalahan hukum terhadap status hukum dan akibat hukum serta perkawinan yang dilakukan oleh mereka. Tujuan penulisan adalah untuk mengetahui apakah Hukum Islam memperbolehkan perkawinan oleh transeksual yang telah diakui perubahan status kelaminnya oleh Pengadilan Negeri, serta mengetahui kewenangan Kantor Urusan Agama dalam perkawinan tersebut. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif.
Hasil penelitian adalah tindakan operasi pada dasarnya diharamkan, namun dibolehkan apabila terdapat kondisi cacat sejak lahir, sehingga pada dasarnya Hukum Islam tidak memperbolehkan terjadinya perkawinan antara seorang transeksual dengan orang yang sebenarnya berjenis kelamin sama kecuali operasi dilakukan karena terdapat kelainan bawaan sehingga perubahan jenis kelaminnya sah menurut Hukum Islam. Apabila perubahan kelamin sah, maka Kantor Urusan Agama tidak berhak menolak perkawinan, namun apabila perubahan kelamin tidak sah menurut Hukum Islam, maka Kantor Urusan Agama wajib menolak kehendak perkawinan.

Pros and cons of the existence of transsexuals in Indonesia which caused the legal problems for the legal status and the legal consequences and marriage by them. The objective of this thesis was to know if Islamic Law forbid the marriage of a transsexual who had been legalized to change the gender by court, and to know the authority of the Office of Religious Affairs in such marriages. The research method used in this thesis is a normative juridical research.
The result of this research is that the surgery is basically forbidden, but can be allowed if there is a condition of birth defects, so basically Islamic Law does not permit the marriage of a transsexual with a person who is actually on the same sex, unless the surgery was performed because there was a congenital abnormalities so the genderchanged can be legal by Islamic Law. If the sex change legal, then the Office of Religious Affairs is not entitled to reject marriage, but if the sex change is not valid under Islamic Law, the Office of Religious Affairs shall refuse the will of the marriage.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
S42491
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Laurensia Lefina Mulauli
"Di negara Indonesia dikenal adanya pluralisme hukum waris sebagaimana terdapat 3 (tiga) sistem hukum waris yang berlaku, antara lain hukum waris Islam, hukum waris perdata barat, dan hukum waris adat yang beraneka ragam mengikuti sistem kekeluargaan yang dianut oleh masing-masing suku bangsa di masyarakat. Tulisan ini disusun dengan metode penelitian doktrinal dan berfokus pada keberlakuan hukum waris adat Batak. Tulisan ini menganalisis bagaimana penyelesaian sengketa kewarisan yang terjadi pada keluarga Batak saat ini, apakah Majelis Hakim dalam pertimbangan hukumnya masih memberlakukan ketentuan hukum waris adat Batak secara penuh, sebagai masyarakat bercorak patrilineal, yang hanya memberikan bagian waris kepada anak laki-laki saja, atau turut mengindahkan adanya pergeseran nilai waris adat patrilineal dengan turut memberikan bagian waris kepada anak perempuan berdasarkan pada kaidah hukum Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 179 K/SIP/1961 yang mempersamakan kedudukan dan hak ahli waris perempuan dan laki-laki dalam sistem waris adat patrilineal. Pertimbangan Majelis Hakim yang menyetarakan kedudukan laki-laki dan perempuan, serta membagi proporsi warisan secara adil dan merata, dalam beberapa putusan penyelesaian sengketa kewarisan keluarga Batak saat ini, tidak serta merta dapat dikatakan sebagai suatu bentuk peleburan hukum waris adat Batak terhadap konsepsi hukum waris perdata barat yang secara prinsip tidak membedakan kedudukan dan hak ahli waris menurut jenis kelamin. Majelis Hakim tetap memberlakukan hukum waris adat Batak terhadap keluarga berperkara dengan mengindahkan adanya pergeseran nilai waris adat patrilineal sebagaimana kaidah hukum Yurisprudensi MA dengan turut memberikan bagian waris kepada anak perempuan, sebab sistem kekerabatan patrilineal yang dianut oleh masyarakat adat Batak akan selamanya bersifat mengikat secara turun-temurun dan tidak dapat diubah di mana pun masyarakat adat Batak tersebut bertempat tinggal.

In Indonesia, there is known to be a pluralism of inheritance law as there are 3 (three) applicable inheritance law systems, including Islamic inheritance law, western civil inheritance law, and customary inheritance law which varies following the family system adopted by each ethnic group in the community. This paper is prepared with doctrinal research methods and focuses on the enforceability of Batak customary inheritance law. This paper analyzes how to resolve inheritance disputes that occur in Batak families today, whether the Panel of Judges in its legal considerations still applies the provisions of Batak customary inheritance law in full, as a patrilineal society, which only gives a share of inheritance to sons, or also heeds a shift in the value of patrilineal customary inheritance by contributing to giving a share of inheritance to daughters based on legal rules Supreme Court Jurisprudence No. 179 K / SIP / 1961 which equalizes the position and rights of female and male heirs in the patrilineal customary inheritance system. The consideration of the Panel of Judges who equalize the position of men and women, and divide the proportion of inheritance fairly and equitably, in some decisions on the settlement of Batak family inheritance disputes today, cannot necessarily be said to be a form of integration of Batak customary inheritance law to the conception of western civil inheritance law which in principle does not distinguish the position and rights of heirs according to sex. The Panel of Judges continues to apply Batak customary inheritance law to litigant families by heeding the shift in the value of patrilineal customary inheritance as the rule of Supreme Court Jurisprudence law by also giving a share of inheritance to daughters, because the patrilineal kinship system adopted by the Batak indigenous people will forever be binding for generations and cannot be changed wherever the Batak indigenous people live."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tazkiya Al Bariyyah
"Indonesia memiliki beragam masyarakat, keberagaman tersebut termasuk perbedaan agama dalam lingkup keluarga. Dalam hukum kewarisan Islam, perbedaan agama menjadi penghalang mewaris, lalu bagaimana pengaturan hak waris bagi ahli waris yang berbeda agama dengan pewaris menurut hukum kewarisan Islam dan bagaimana ketentuan penolakan menerima bagian warisan menurut hukum kewarisan Islam serta peran Notaris dalam pembuatan akta penolakan menerima bagian warisan oleh ahli waris yang berbeda agama dengan pewaris berdasarkan hukum kewarisan Islam. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif. Jenis data yang digunakan yaitu data sekunder dan alat pengumpulan data dengan studi kepustakaan, sedangkan metode analisis menggunakan metode kualitatif. Pengaturan hak waris bagi ahli waris yang berbeda agama dengan pewaris menurut hukum kewarisan Islam adalah seorang anak yang memiliki keyakinan yang berlainan dengan orang tuanya tidak dapat menjadi ahli waris karena terhalang untuk mewaris. Penolakan menerima bagian warisan yang dilakukan oleh anak yang berlainan agama tidak perlu dilakukan, karena tanpa menolak pun anak yang berlainan agama tidak berhak untuk mewaris dan tidak memiliki kewajiban untuk menyelesaikan urusan-urusan pewaris. Terlebih lagi dalam hukum kewarisan Islam tidak dikenal adanya penolakan warisan. Pembuatan akta penolakan menerima bagian warisan oleh ahli waris yang beda agama dengan pewaris yang dibuat oleh Notaris sebenarnya tidak memiliki kekuatan hukum, karena pembuatan akta penolakan bertentangan dengan Pasal 171 huruf c Kompilasi Hukum Islam dan tidak memenuhi syarat-syarat yang ditentukan Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Indonesia has a diverse society, such diversity including religious differences within the family circle. In Islamic inheritance law, religious differences become a barrier inherit, and how settings inheritance rights for the heirs of a different religion heir according to the laws of inheritance Islam and how the provisions of rejection receive an inheritance according to the inheritance law of Islam and the role of Notary in deed refusal receive inheritance by heirs of a different religion heir by Islamic inheritance law. This reserach uses normative. Data used is secondary data and data collection tools to the study of literature, whereas the method of analysis using qualitative methods. Settings inheritance heirs rights of a different religion heir according to Islamic inheritance law is a child who has a different religion by parents could not be heir because it obstructed to inherit. Rejection receive inheritance done by children of different religions need not be done, because without rejecting any children of different religions are not entitled to inherit and have no obligation to settle the affairs of the deceased. Moreover, in Islamic inheritance law is not known their rejection of the inheritance. Deed refusal receive inheritance by the heirs of the different religions to the deceased Notary actually has no legal force, because the deed refusal contrary to Article 171 letters c Compilation of Islamic law and does not meet the requirements provided for in Article 1868 Law Civil Code.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
T46895
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Hanif Sulthoni
"Meskipun hukum positif di Indonesia hingga saat ini masih belum mengatur secara jelas dan pasti mengenai penggantian jenis kelamin, namun terdapat beberapa pengaturan yang pada dasarnya menyinggung mengenai hal ini secara implisit. Adapun UU Adminduk telah mengkategorikan penggantian jenis kelamin sebagai suatu bentuk peristiwa penting lainnya, sehingga seorang transeksual yang telah melakukan prosedur penggantian jenis kelamin dapat mencatatkan identitas barunya tersebut dengan syarat telah mendapatkan Penetapan Pengadilan. Ditemukan permasalahan lain dimana ketiadaan hukum yang mengatur mengenai hal ini membuat hakim harus melakukan penggalian terhadap sumber hukum tidak tertulis serta nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Selain itu, hakim juga diharuskan untuk melakukan penemuan hukum guna mengisi kekosongan hukum yang ada. Atas hal tersebut, maka penelitian ini akan melakukan analisis terhadap pertimbangan hakim dalam menetapkan suatu permohonan penggantian jenis kelamin serta mengidentifikasi metode penemuan hukum apa yang digunakan. Adapun penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan yang bersifat deskriptif analitis, dimana permasalahan yang ada akan dilakukan analisis secara kualitatif dengan acuan literatur dan ketentuan yang berlaku. Hasil dari penelitian ini sendiri adalah hakim dalam menetapkan suatu permohonan penggantian jenis kelamin tidak hanya mempertimbangkannya melalui aspek hukum saja, melainkan juga melihat pada aspek medis, sosial, dan agama. Untuk aspek hukum sendiri, hakim mendasarkan pertimbangannya pada UUD 1945, UU HAM, UU Adminduk, UU Kekuasaan Kehakiman, serta Perpres No. 25 Tahun 2008. Sedangkan untuk aspek medis, hakim menggunakan 5 (lima) aspek dalam menentukan jenis kelamin seseorang, antara lain aspek kromosom, aspek kelamin primer, aspek kelamin sekunder, aspek hormonal, dan aspek psikologis. Dan untuk metode penemuan hukum yang digunakan sendiri adalah metode konstruksi hukum dengan jenis Rechtsvervijnings, dimana hakim akan mengkonstruksikan ketentuan atau syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang dalam rangka mengubah jenis kelaminnya.

Even though positive law in Indonesia has yet to regulate sex reassignment, there are several regulations which basically allude to this matter implicitly. The Demography Administration Law categorizes sex reassignment as another form of important event, so that a transsexual who has undergone a sex reassignment procedure can register their new identity on condition that they have received a court decision. Another problem was found where the absence of laws governing this matter made judges have to dig into unwritten sources of law and the values that live in society. In addition, judges are also required to make legal discoveries to fill the existing legal void. For this reason, this study will analyze the judge's considerations in determining a request for sex reassignment and identify which legal discovery method to use. As for this research, it is a descriptive analytical literature research, in which the existing problems will be analyzed qualitatively with reference to the literature and applicable provisions. The results of this study are that judges in determining an application for sex reassignment do not only consider it through legal aspects, but also look at medical, social and religious aspects. For the legal aspect itself, judges based their considerations on the 1945 Constitution, the Human Rights Law, the Demography Administration Law, the Judicial Powers Law, and Presidential Regulation No. 25 of 2008. As for the medical aspect, judges use 5 (five) aspects in determining a person's sex, including chromosomal aspects, primary sex aspects, secondary sex aspects, hormonal aspects, and psychological aspects. And for the legal discovery method that is being used by the judge is the legal construction method with the Rechtsvervijnings type, where the judge will construct the conditions that must be fulfilled by someone in order to change their sex."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chairul Yaqin
"Jenis kelamin merupakan salah satu identitas yang melekat pada diri manusia. Dalam kenyataannya terdapat orang yang merasa bahwa jenis kelamin mereka tidak merepresentasikan diri mereka yang sesungguhnya atau sering disebut dengan transeksual. Hal tersebut berpotensi menimbulkan permasalahan maupun diskriminasi dari masyarakat. Untuk menghindari potensi tersebut, seseorang transeksual akan melakukan Operasi Ganti Kelamin. Permasalahan yang terjadi adalah tidak terdapat aturan yang jelas terkait kebolehan maupun prosedur pelaksanaan Operasi Ganti Kelamin. Namun, terdapat Putusan Nomor 1230/Pdt.P/2019/Pn Jkt.Sel terkait permohonan perubahan kelamin. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mengenai pengaturan di Indonesia terkait penentuan status hukum jenis kelamin dan dampak Operasi Ganti Kelamin terhadap status hukum Warga Negara Indonesia yang kemudian akan dianalisis berdasarkan Putusan Nomor 1230/Pdt.P/2019/Pn Jkt.Sel. Bentuk penelitian ini adalah yuridis normatif dan dilakukan menggunakan tipe penelitian deskriptif untuk menganalisis data yang ditemukan dari peraturan perundang-undangan dan sumber literatur yang lain mengenai dampak Operasi Ganti Kelamin terhadap status hukum Warga Negara Indonesia. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diperoleh hasil bahwa tidak ada aturan yang jelas terkait Operasi Ganti Kelamin. Perubahan status hukum jenis kelamin seseorang berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan harus didahului dengan putusan Pengadilan. Ketiadaan atau ketidakjelasan aturan tidak dapat dijadikan oleh hakim sebagai alasan untuk menolak kasus. Oleh karena hal tersebut hakim harus mencari cara untuk memutuskan perkara Operasi Ganti Kelamin. Salah satu mekanisme yang dapat digunakan oleh hakim adalah menggunakan teori interpretasi dari Dworkin yakni law as interpretation.

Sex is an identity that is always attached to every person. But in reality, there are some people felt that their sex cannot represent their true self. This condition is called as a transsexual. Obviously, this condition can cause a problem or a discrimination from the society. To avoid those problems, a transsexual will do Sex Reassignment Surgery (SRS). The problem is there are no clear regulations about that in Indonesia. However, there is a jurisprudence number 1230/Pdt.P/2019/Pn Jkt.Sel about a plea to change his sex legal status. Hence, this research is aim to find the regulations in Indonesia about the determination of sex legal status and the Impact of SRS on the legal status of Indonesian citizens. That aim will be analyze based on the jurisprudence number 1230/Pdt.P/2019/Pn Jkt.Sel. The form of this research is normative juridical and is using a descriptive type of research to analyze various data from regulation in Indonesia and other literature sources regarding about the impact of SRS on the legal status of Indonesian citizens. Based on the research conducted, the results are that there are no clear regulations about SRS. Related to Law number 23 of 2006 about Civil Administration, the transformation of sex legal status must be preceded by a jurisprudence. The unclear regulation about SRS can not be a justification by judge to reject the case. Hence, judge should find a way out for settle the case about SRS. One of the way out that can used by judge is using interpretation theory called “law as interpretation” by Dworkin."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>