Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 165808 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Amalia Setyawati
"Autistic disorder gangguan yang parah dalam perkembangan, dan ditandai oleh adanya abnormalitas dalam fungsi-fungsi sosial, bahasa dan komunikasi, serta adanya tingkah laku dan minat yang tidak biasa (Trevarthen, Aitken, Papoucli & Robarts, 1998; Mash & Wolfe, 1999; Saltler, 2002). Autism disebabkan karena adanya gangguan kompleks dalam perkembangan otak, dimulai sejak masa prenatal, dan kemudian mempengaruhi berbagai aspek perkembangan dan belajar secara drastis pada akhir masa infancy, yaitu pada pada saat kemampuan bahasa mulai berkembang. Frekuensi atau jumlah penderita autisme di Indonesia tahun-tahun terakhir ini sudah meningkat dan menarik perhatian berbagai kalangan.
Salah satu karakteristik utama dari anak penyandang autisma ringan adalah mengalami hambatan dalam melakukan interaksi sosial. Mereka tidak mempunyai minat dalam interaksi dengan orang lain, dan perilaku sosial mereka cenderung aneh dan tidak adaptif. Anak penyandang autisma ringan juga tidak mampu untuk menggunakan bahasa untuk tujuan sosial atau hubungan interpersonal. Walaupun demikian, beberapa ahli mengatakan bahwa anak penyandang autisma ringan sebenarnya dapat menunjukkan afeksi dan kedekatan yang sifatnya hangat dengan orangtua pengasuh atau orang yang dekat dengan mereka (Cohen & Volkmar, 1997; Trevarthen et al, 1998).
Hal tersebut di atas menimbulkan pertanyaan dalam diri penulis mengenai hubungan interpersonal dari anak penyandang autisma ringan, lebih khususnya adalah bagaimana anak penyandang autisma ringan memandang dirinya dalam berhubungan dengan orang lain dan bagaimana sikap Serta pandangannya terhadap orangtua. Untuk mengetahui hal tersebut secara langsung dari anak penyandang autisma ringan tentu saja sangat sulit karena keterbatasan mereka dalam berkomunikasi. Sehingga dalam Tugas Akhir ini digunakan metode proyeksi untuk mengetahui gambaran dari hubungan interpersonal anak penyandang autisma ringan. Metode proyeksi yang cocok digunakan untuk anak yang mengalami hambatan dalam kornunikasi verbal adalah tes gambar. Dua tes gambar yang digunakan dalam Tugas Akhir ini adalah Human Figure Drawings (HFDS) dan House-Tree-Person (HTF).
Untuk melengkapi dan sebagai data penunjang dalam Tugas Akhir ini, penulis melakukan wawancara terhadap orangtua atau pengasuh. Dari hasil interpretasi yang dilakukan terhadap hasil tes HFDS dan HTP kedua subjek ditemukan bahwa keduanya memiliki hambatan dalam hubungan interpersonal. Mereka cenderung menarik diri dan memiliki minat yang terbatas dalam melakukan interaksi dengan orang lain, terutama teman dan orang asing. Namun, kemampuan subjek 1 dalam berhubungan dengan orang lain lebih berkembang daripada subjek 2, Terhadap orangtua, kedua subjek memiliki persamaan dalam sikap dan pandangan mereka terhadap orangtua. Keduanya memandang ibu sebagai figur yang penting dan dekat dengan diri mereka. Perbedaan antara kedua subjek terletak pada pandangan mereka mengenai peranan ibu (dominan atau tidak) dan komunikasi yang terjalin antara kedua subjek dan ibu. Perbedaan antara kedua subjek seperti yang telah disebutkan di atas dimungkinkan oleh karena beberapa faktor, antara lain, usia yang berbeda antara kedua subjek, pendidikan dan terapi yang telah diperoleh, kesempatan dalarn berinteraksi dengan orang lain, dan faktor pola pengasuhan ibu."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
T38392
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Natalia
"Anak-anak retardasi mental ringan memiliki kesulitan dalam hubungan interpersonal, khususnya berkomunikasi secara verbal (Nelson & Israel.,1997). Walaupun demikian, anak-anak ini tetap dapat merasakan sikap dan perlakuan oranglua terhadap mereka. Dari beberapa laporan kasus anak retardasi mental ringan yang datang ke Fakultas Psikologi UI (antara tahun 1998-2002) dan dari pengamatan yang dilakukan oleh peneliti di sekolah-sekolah luar biasa, terlihat bahwa anak-anak retardasi mental ringan ini akan berespon tertentu sesuai dengan perlakuan orangtua terhadap mereka. Maka dari itu setiap orangtua diharapkan dapat menerima dan memperlakukan anak-anak yang sudah didiagnosa retardasi mental ringan, dengan baik dan penuh tanggung jawab. Namun adakalanya orangtua menunjukkan penolakan dan menarik diri dari tugas merawat anaknya tersebut (Bigner, 1994).
Dengan beragamnya reaksi orangtna terhadap anaknya yang bermasalah dan melihat pentingnya pengaruh orangtua terhadap anak dengan kebutuhan khusus, peneliti tertarik untuk meneliti lebih jauh tentang hubungan antara orangtua dan anak retardasi mental ringan, khususnya dari sudut pandang anak. Salah satu media yang dapat melihat hubungan orangtua dan anak, sekaligus mudah bagi anak dengan kapasitas intelektual yang berada di bawah rata-rata, adalah tes House-Tree-Person. Di sini anak diminta untuk menggambar sebuah rumah, sebuah pohon, dan seorang manusia pada selembar kertas. Secara umum, tes HTP dapat diinterpretasikan sebagai refleksi baik sikap maupun perasaan-perasaan yang ditujukan pada dirinya dan lingkungannya. Rumah merefleksikan hubungannya dengan ibu, pohon merefleksikan perasaan terhadap ayah, dan orang merefleksikan perasaan terhadap dirinya. Untuk mendapatkan gambaran lebih jauh mengenai hubungan orangtua dan anak pada tes HTP, akan difokuskan pada interpretasi gambar HTP secara terpisah (masing-masing elemen) dan melihat hubungan tiga elemen, yakni rumah, pohon, dan orang (Marnat, 1999). Sebagai bahan pembanding, peneliti juga tetap akan melampirkan hasil anamnesa dengan orangtua, untuk melihat bagaimana pandangan orangtua terhadap hubungannya dengan anak-anaknya.
Setelah dilakukan analisis terhadap data sekunder yang diperoleh dari Bagian Klinis Anak Fakultas Psikologi Universitas Indonesia., diperoleh hasil yakni dalam memandang hubungannya dengan orangtua., tiga subyek merasakan kebutuhan akan kedekatan dengan figur ibu daripada ayah dan hanya satu subyek yang merasakan kebutuhan akan kedekatan dengan figur ayah daripada dengan ibu. Walaupun demikian, keempat subyek merasakan pentingnya kehadiran seorang ibu bagi mereka. Sedangkan dalam hal dominasi, ada dua subyek yang merasakan bahwa figur ibu lebih dominan daripada ayah dan dua subyek laiunya merasa dominasi kedua orangtua sama besarnya.
Sebagai bahan pembanding, dari anamnesa dengan orangtua, terlihat bahwa orangtua dari keempat subyek, kecuali ayah dari subyek 3, menolak kondisi anak mereka baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung ditunjukkan dengan sikap menarik diri dan tidak terlibat dalam pengasuhan anak, sedangkan sccara tidak langsung ditunjukkan dengan sikap tetap mengasuh anak namun dengan aturan yang keras dan disertai dengan hukuman fisik.
Peneliti menyadari bahwa hasil yang diperoleh dari penelitian ini masih memiliki banyak kekurangan dan harus diteliti secara lebih mendalam, mengingat adanya keterbatasan jumlah subyek penelitian, pengadminsrasian tes HTP yang tidak dilakukan langsung oleh peneliti, perbedaan pemahaman / persepsi antara peneliti dengan pemeriksa sebelumnya, dan keterbatasan peneliti dalam mengungkapkan aspek-aspek penting dari tes HTP. Maka dari itu perlu diadakan penelitian lanjutan dengan memperluas jumlah subyek dan jika memungkinkan dilakukan penelitian dengan menggunakan data primer."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
T38183
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Autisma merupakan gangguan yang kompleks dan berat yang dicirikan oleh
abnormalitas pada fingsi sosial, bahasa dan komunikasi serta adanya perilaku dan minat yang tidak biasa (Mash & Wolfe, 1999). Keterlambatan atau fungsi abnormal pada salah
satu dari ketiga area tersebut muncul sebelum usia tiga tahun (APA, 2000 pada Sattler, 2002). Gangguan perkembangan ini menyebabkan kekurangan pada tiga area yaitu area interaksi sosial, area komunikasi serta area perilaku. Kelcurangan pada area interaksi sosial
ini merupakan hal yang amat rnenjadi keluhan orang tua dan rnempakan ciri utama yang menyadarkan orang ma untuk curiga mengenai kemungkinan adanya gangguan pada anaknya
Dalam berinteraksi sosial dibutuhkan sebuah kemampuan yang disebut social understanding, yaitu kemampuan untuk membaca pikiran, memahami keyakinan, gagasan, pikiran serta perasaan yang dimiliki orang lain (Howlin, 1998). Sementara anak
penyandang autisma memiliki kekurangan dalam social understanding. Padahal
Kekurangan social understanding pada anak penyandang autisma menyebabkan mereka tidak mampu hidup mandiri bila sudah dewasa kelak (Pediatric Advisor, 2002). Untuk itu
peneliti tertarik utuk meneliti mengenai social understanding anak penyandang autisma agar dapat digunakan sebagai basis untuk intervensi.
Alat ukur yang peneliti gunakan adalah Picture Arrangement yang merupakan salah satu subtes dari aspek performa pada WISC-R yang secara non verbal mengulcur social understanding Penelitian dilalcukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif
dengan observasi dan wawancara sebngai alat penunjang analisis data Sampel yang diambil adalah dua anak penyandang autisma ringan yang berusia, masing-mining, 6 tahun dan 8 tahun. '
Dari hasil penclitian didapatkan bahwa subyek memang memiliki kemampuan
social understanding yang kurang Masing-masing subyck memiliki kekhasan dalam menunjukkan kekurangan mereka dalam social understanding tersebut. Misalnya pada subyek l masih berada pada tahap encoding yaitu memperhatikan aspek tertentu dari
penampilan dan perilaku seseorang atau sesuatu lalu menyimpan informasi tersebut ke dalam working memory, sodangkan subyek 2 sudah pada tahap representation yaitu
menginterpretasikan fenomena sosial yang mercka observasi dengan mengelaborasi informasi yang mereka peroleh melalui hal-hal yang telah mereka pelajari mengenai human nature. Perbedaan antara kedua suhyek ini kemungkinan banyak dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan dan intervensi yang diberikan kepada mereka_ Intervensi
perilaku dan pendidikan yang terus menerus sangat berguna untuk memperbaiki kekurangan penyandang autisma pada berbagai area terutama area interaksi sosial."
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
T38787
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ellizah Adam
"Pengasuhan anak merupakan suatu proses yang penuh stres (stressful) namun juga membawa kepuasan emosional bagi pasangan suami istri (Carter & Mc Goldrick, 1982). Berbagai masalah yang ditemui dalam mengasuh anak dapat membuat kedua orang tuanya mengalami konflik baik di antara mereka berdua maupun dengan orang sekitarnya. Masalah-masalah yang dialami oleh orang tua anak dengan gangguan perkembangan tertentu biasanya lebih besar dari orang tua dengan anak normal (Mangunsong, 1998).
Dalam penelitian ini, penulis tertarik untuk meneliti mengenai orang tua anak penyandang autisma Autisma adalah suatu gangguan perkembangan yang dialami oleh anak sejak tiga tahun awal kehidupannya. Gangguan ini bersifat menetap dan mempengaruhi semua aspek kehidupan anak. Gejala pada anak adalah kesulitan berkomunikasi verbal, kesulitan menjalin hubungan dengan orang lain, serta obsesi kuat terhadap rutinitas. Pada umumnya anak penyandang autis tidak memperlihatkan ciri-ciri penampilan fisik yang menunjukkan kelainannya itu, sehingga terkadang orang tua mengalami kesulitan menerima diagnosa anak. Selain itu, para orang tua juga merasakan berbagai perasaan negatif yang diakibatkan diagnosa autisma anak. Penelitian ini bertujuan mendapatkan gambaran proses stres dan coping pada orang tua anak penyandang autisma.
Dalam menggambarkan proses stres yang dialami oleh para orang tua penyandang autisma, akan digunakan model appraisal yang dikembangkan oleh Lazarus (dalam Cooper & Pavne, 1991). Proses ini terdiri dari dua tahap yaitu primary dan secondary appraisal. Dari hasil appraisal individu terhadap situasi yang dihadapinya maka individu akan menentukan bermasalah atau tidaknya situasi tersebut. Bila suatu situasi dirasa bermasalah, maka individu akan memunculkan respon untuk mengatasinya {coping). Model strategi coping yang digunakan adalah dari Carver, Wientraub & Scheier (1989) dengan skala COPE.
Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif yaitu melalui metode wawancara dan observasi. Yang menjadi subyek adalah tiga pasang suami-istri yang memiliki anak penyandang autisma. Semua subyek berdomisili di DKI Jakarta dengan tingkat pendidikan antara SMEA dan Strata-2 (pasca saijana). Tingkat sosial ekonomi subyek adalah menengah sampai menengah ke atas.
Dari hasil penelitian ditemukan bahwa sebelum mendapat diagnosa autisma anak, dua pasang orang tua tidak pernah mengetahui sama sekali tentang autisma sedangkan satu pasang sudah mengetahui dari media massa Ketidaktahuan mengenai autisma ini menyebabkan dalam penanganan anak menjadi kurang terarah dan juga kurang efektif. Di samping itu.diagnosa yang tidak pasti mengenai kondisi anak menimbulkan keresahan dan tekanan emosional pada kedua pasangan tersebut. Perilaku anak yang sulit dipahami dan tidak wajar juga menimbulkan masalah yang dirasa berat oleh semua subyek. Coping yang dilakukan pada saat ini biasanya berupa mencari informasi dan juga melampiaskan perasaan sedih dengan menangis atau berdoa.
Setelah mendapat diagnosa, ketiga pasangan mengaku merasakan berbagai emosi negatif seperti sedih, kasihan pada anak, tidak percaya, dan sebagainya. Untuk mengatasi ini, para orang tua selain berusaha mencari informasi dan penanganan bagi anak, juga mencari dukungan dari orang sekitar seperti keluarga, teman dan rekan keija. Sesudah mengetahui diagnosa anak, masalah yang dihadapi antara lain masalah keuangan kesulitan menemukan fasilitas terapi yang cocok dan juga memberikan penjelasan pada keluarga besar agar dapat menerima autisma anak mereka. Dalam pembagian tanggung jawab pengasuhan anak, dua pasangan memiliki bentuk keluarga tradisional di mana suami bekerja dan istri mengurus anak sedangkan satu pasangan memiliki bentuk keluarga di mana suami dan istri sama-sama beker]a dan pengasuhan anak di siang hari diserahkan kepada baby sitter dan orang tua dari istri.
Ditemukan adanya perbedaan di mana pada keluarga tradisional, istri yang lebih banyak terlibat dalam pengasuhan anak cenderung lebih mengetahui cara mendidik anak dan juga lebih tahu cara menerapkan hal-hal yang diajarkan pada terapi. Para suami dalam keluarga tradisional ini berusaha untuk mengikuti perkembangan anak namun banyak terhambat oleh kesibukan pekerjaan. Karena ketidaktahuan mereka, kedua orang ayah terkadang inkonsisten dalam mendidik anak sehingga melanggar aturan pengasuhan yang ditetapkan oleh istri mereka. Inkonsistensi ini dirasakan sebagai masalah yang amat besar oleh satu pasangan sedangkan tidak oleh pasangan yang lain. Pada keluarga yang kedua orang tuanya bekerja, pengetahuan dan perlakuan terhadap anak relatif sama meski sang istri mengakui bahwa suaminya lebih tegas.
Setahun terakhir, para subyek merasakan kepuasan yang berbeda terhadap berbagai penanganan yang mereka lakukan terhadap anak mereka Dua orang pasangan mengaku sudah melihat banyak kemajuan pada anaknya dan bahwa sebagian besar cara yang mereka pilih membawa hasil yang positif sementara satu pasangan merasa sangat tidak puas. Ketidakpuasan ini diakibatkan oleh inkonsistensi dari suami dan juga karena kurang intensifnya terapi pada tahuntahun awal diagnosa karena hambatan biaya Penelitian ini menemukan bahwa ada beberapa gejala coping yang tidak diungkap oleh Skala COPE yaitu perbandingan keberhasilan diri sendiri dengan orang lain (socicil comparison). Skala ini juga tidak membahas mengenai pemberian dukungan sosial kepada orang lain sebagai sebuah strategi coping."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
S3456
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Olivia Musdalifah
"Salah satu tugas perkembangan pada masa remaja adalah membangun dan membentuk konsep diri (Grinder, 1990). Bagi anak kembar, adanya kesamaan dan kekompakan yang merupakan hal paling menonjol terutama pada kembar identik, menyebabkan orangtua dan orang-orang di sekitar memperlakukan mereka dengan sama., seolah-olah mereka sebagai suatu unit bukan sebagai individu (Mulyadi, 1996). Selain itu, adanya kecenderungan pada anak kembar untuk mengambangkan hubungan yang terlalu dekat dan saling tergantung satu sama lain juga dapat menghambat mereka untuk berkembang menjadi diri sendiri serta menghambat perkembangan mental dan sosialnya (Scheinfeld, 1973) Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh gambaran konsep diri pada remaja kembar identik. Gambaran konsep diri ini mengacu pada 3 dimensi dari Hattie (1992), yaitu Academic Self Concept, Social Self Concept dan Self Regard atau Presentation of Self berdasarkan tes Human Figure Drawings, House Tree Person dan Sack’s Sentence Completion Test. Penelitian dilakukan melalui pendekatan kualitatif dengan mengumpulkan dokumentasi serta catatan arsip sebagai metode pengumpulan data yang diperoleh dari arsip-arsip kasus yang tersedia di klinik bimbingan anak Pakultas Psikologi UI pada tahun 2002. Namun karena keterbatasan data yang tersedia, maka hanya ditemukan satu kasus sepasang remaja kembar identik dengan jenis kelamin laki-Iaki yang dijadikan subyek dalam penelitian ini.
Berdasarkan hasil analisa dan mengacu pada 3 dimensi konsep diri dari Hattie (1992), terlihat bahwa ada beberapa konsep diri yang digambarkan sama namun juga beberapa di antaranya digambarkan berbeda. Pada dimensi academic self concept terdapat perbedaan konsep diri yang ditunjukkan oleh kedua subyek. Namun pada dimensi social self concept dan seff regard/presentation of self beberapa sub dimensi tersebut sebagian diantaranya digambarkan sama dan sebagian lainnya berbeda. Adanya persamaan sekaligus perbedaan ini menunjukkan bahwa proses pembentukan konsep diri yang dialami kedua subyek terlihat lebih kompleks dimana di satu sisi mereka harus dapat menunjukkan pribadi mereka masing-masing, namun di sisi lain keberadaan mereka sebagai anak kembar menyebabkan adanya berbagai kesamaan dalam hal-hal tertentu. Untuk penelitian selanjutnya disarankan agar jumlah sampel yang digunakan lebih banyak. Pengambilan sampel sebaiknya tidak hanya terpaku pada data yang tersedia di bagian arsip namun juga berusaha untuk mencari subyek di lapangan. Selain itu sebaiknya penelitian juga dilakukan pada remaja kembar identik perempuan
sehingga diharapkan dapat terlihat perbedaan dinamika konsep diri yang mungkin muncul dari perbedaan jenis kelamin ini. Lebih lanjut lagi, dapat juga dilakukan penelitian dengan membandingkan antara remaja kembar yang tergolong identik serta fratemal. Karena penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif maka diharapkan hasil penelitian ini juga dapat lebih dikembangkan untuk penelitian lebih lanjut mengenai masalah yang sama dengan menggunakan pendekatan kuantitatif serta instrumen penelitian lainnya yang lebih sesuai untuk menggambarkan konsep diri."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2003
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adelina Syarif
"Autisma adalah salah satu gangguan yang dialami dalam masa perkembangan anak. Islilah ‘autisme’, baru dikenal di Indonesia secara luas semenjak tahun 1995-an, dan beberapa tahun terakhir merupakan suatu istilah atau fenomena yang cukup membuat khawatir kebanyakan orang tua. Belakangan ini jumlah anak yang dicliagnosa menyandang autisma semakin bertambah banyak seiring dengan meningkatnya faktor pemicu munculnya gangguan ini seperti faktor lingkungan (termasuk polusi udara) dan pola hidup. Menurut catatan pakar autis, di Amerika Serikat jumlah penyandang autis meningkat tajam dari tahun ke tahun bila dibandingkan dengan kelahiran normal. Pada tahun 1987 dikatakan I diantara 5000 anak menunjukkan gejala autisme maka I0 tahun kemudian tercatat l diantara 500 kelahiran. Bahkan pada 3 tahun terakhir meningkat menjadi l dari |50 kelahiran dan pada tahun 2001 jumlah ini meningkat menjadi 1 dalam 100 kelahiran. Jumlah penyandang autis di Indonesia kurang diketahui secara pasti tetapi di iperkirakan tidakjauh Dari perbandingan di Amerika tersebut. Banyak masyarakat yang belum memahanli istilah autis ini secara luas dan seringkali terjadi salah pengertian terhadap istilah ini. Perasaan bersalah, stres dan menghukum diri sendiri sering terjadi pada orang ma yang anaknya didiagnosa sebagai penyandang autisme ini karena belum memahami benar apa sebenamya autisma ini. Sebagai suatu gangguan perkembangan yang baru dikenal luas masyarakat, pemahaman terhadap istilah autisma sering kurang tepat. Bahkan para p rofcsional yang menangani anak yang mengalami gangguan perkembangan pun kadang masih mengalami kesulitan dalam rnendiagnosa seorang anak yang menunjukkan ciri-ciri autisme, sehingga orangtua harus mendatangi beberapa orang ahli sampai mendapatkan kesimpulan bahwa anaknya ternyata menyandang gangguan autisme. Terkadang suatu gejala sudah dianggap menunjukkan kelainan tenentu dan penangananya hanya untuk mengatasi keterlambatan yang ada tanpa melihat faktor lain yang mungkin menjadi penyebabnya. Seorang anak yang menunjulckan gejala yang hampir sama dapat menghasilkan diagnosa yang berbeda. Seorang anak yang menyandang autisma ini akan mengalami masalah, terutarna saat memasuki usia sekolah. Mereka sulit mengikuti kegiatan di sekolah umum biasa karena liclak clapat mengikuti instruksi yang diberikan oleh guru, berperilaku seenaknya dan dianggap mengganggu tata trtib sekolah. Gejala autisma sudah bisa terlihat dalam 30 bulan pertama kehidupan seorang anak. Jadi sebelum mereka berusia 3 tahun, gangguan autisma ini sudah bisa dideteksi bahkan sebagian dari mereka sudah menunjukkan gejala semenjak lahir, namun seringkali luput dari perhatian orangluanya (Sutadi, 1997). Beberapa ahli masih memperdebatkan pengklasifnkasian autisme ini, namun mereka sepakat dengan istilah Autistic Spectrum Disorder (ASD) atau ganggguan dengan spektrum autistik. Gejala autistik muncul dalam berbagai tingkatan dari yang ringan sampai yang berat dan tampak Iebih sebagai spektrum karena ternyata ditemukan anak yang tidak hanya menampakkan gejala autis melainkan juga anak dengan gangguan mmbuh kembang. Seperti anak yang rnengalami gangguan dalam perkembangan bahasa tetapi memiliki keterampilan motorik yang relatif baik sehingga istilah autis yang dikenal luas di masyarakat tidak hanya ditujukan pada anak yang menyandang autis murni. Gangguan autisme ini diklasifikasikan dalam beberapa tingkatan dari yang ringan hingga gangguan yang berat. Pengklasifikasian ini dapat dilakukan dengan menggunakan ‘alat’ antara lain dengan CARS ( Childhood Autism Rating Scale- bisa dipergunakan unluk mendiagnosa anak yang berusia 3 tahun keatas) dan GARS (Gilliam Autism Rating Scale- dapat dipakai untuk mendiagnosa penyandang autis berusia 3-22 tahun). Aspek-aspek yang diungkap dalam CARS dan GARS secara garis besar adalah sama. Perbedaannya keduanya adalah CARS masih menggunakan pengertian dari DSM-III dan cenderung mendiagnosa autis seorang anak yang memiliki keterampilan verbal yang minim, begitu juga terhadap anak yang memiliki keterbelakangan mental. Sedangkan GARS dibuat berdasarkan DSM-IV yang memuat kriteria diagnosa autis yang lebih rinci. Dalam studi ini peneliti mencoba untuk menyempurnakan instrumen berupa cheklist sebagai pedoman anamnesa dan observasi yang dapat sekaligus memberikan gambaran kemajuan seorang anak penyandang autis sejak awal diagnosa sampai saat/setelah ia menjalani terapi. Dalam hal ini peneliti akan menggunakan cheklist GARS, dengan menambahkan sejumlah aspek-aspek pertanyaan dalam anamnesa dan observasi yang belum terdapat dalam GARS sebagai pelengkap. Cheklist yang baru ini diberi nama GARS Plus. Cheklist ini diharapkan dapat memudahkan pembuatan diagnosis dalam waktu yang relatif singkat dan terutama ditujukan untuk panyandang autis yang berusia dibawah 5 tahun. Pemakaian terutama untuk usia balita, agar anak dapat didiagnosa secara tepat semenjak dini karena pada usia balita terjadi perkembangan otak yang pesat. Anak dapat diberi stimulasi untuk meningkatkan kemampuannya dan mengurangi dampak dari gangguan ini. Sampel penelitian pada penelitian ini adalah para orangtua dari 5 orang anak penyandang autis yang sedang menjalani terapi di sebuah klinik. Sampel ini dipilih dengan menggunakan teknik incidental sampling, artinya hanya terbatas pada orang tua yang bersedia ikut sebagai sampel. Hasil diagnosis anak (penyandang) autis yang sudah ada akan di cross-check dengan instrumen GARS plus, untuk melihat apakah hasil yang didapat tetap konsisten."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2003
T37955
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Farah Farida Tantiani
"Oppositional Defiant Disorder (ODD) digambarkan sebagai perilaku anak yang melawan permintaan, arahan, serta larangan orang dewasa (Wenar, 1994). Pola perilaku ini berlangsung terus menerus (minimal 6 bulan) dan berlangsung pada taraf yang tidak sesuai dengan tingkat usia dan taraf perkembangan anak. (APA, 2000). Manifestasi dari gangguan ini lebih terlihat dalam lingkungan rumah atau sekolah. Karakteristik ODD biasanya tampak pada interaksi antara anak dan orang dewasa, terutama orangtuanya, atau teman-teman yang mereka kenal dengan baik. Ibu anak ODD digambarkan sebagai ibu yang terlalu memiliki kontrol dan agresif sedangkan ayah digambarkan sebagai seseorang yang pasif dan tidak memiliki hubungan emosional yang dekat. Penelitian-pcnelitian obyektif juga menunjukkan bahwa ibu-ibu ini lebih negatif dan penuh kritik terhadap sang anak dibandingkan dengan ibu anak-anak normal. Mereka juga menampilkan perilaku yang lebih mengancam, marah serta penuntut.
House-Tree-Person test (I-ITP) adalah tes proyeksi dengan teknik menggambar yang merupakan refleksi individu akan sikap atau perasaannya terhadap orang yang signiiikan dalam hidupnya; atau perasaan yang ditujukan terhadap dirinya. Pada HTP, individu diminta untuk menggambar rumah, pohon dan orang. Untuk beberapa individu, gambar rumah merefleksikan hubungan mereka dengan ibu, gambar pohon merefleksikan perasaan mereka terhadap ayah, dan gambar orang merefieksikan perasaan mereka terhadap diri mereka sendiri. Posisi gambar orang menggambarkan kedekatan individu tersebut dengan Salah satu orangtuanya seclangkan ukuran tiap gambar juga menunjukkan dominasi masing-masing tokoh (ayah, ibu, atau individu sendiri) (Marnat, 1934).
Diharapkan dengan menganalisis hasil gambar HTP anak-anak yang didiagnosis ODD dapat diketahui gambaran mengenai hubungan antam orangtua dan anak ODD. Hal ilu mengingat perilaku oposisional berhubungan dengan orang-orang yang signitikan dalam kehidupan anak, terutama Orangtua. Penelitian ini bersifat deskriptif, dengan pendekatan kualitatif, yaitu menggunakan data yang sudah tersedia di Klinik Bimbingan Anak F. Psi UI. Subjek penelitian ini berjumlah 5 orang yang didiagnosis ODD dan berusia antara 6-11 tahun.
Dari penelitian ini diperoleh hasil bahwa dalarn memandang hubungannya dengan orangtua, empat subjek merasa lebih dekat dengan ibu sedangkan satu subjek lainnya merasa lebih dekat dengan ayah. Selain itu, empat subjek memsa bahwa ibu kurang berkomunikasi dan kurang membuka diri sedangkan satu subjek merasa bahwa ibu mau membuka komunikasi walaupun banyak aturan yang diterapkan.
Penelitian ini menggunakan data sekunder. Kelemahan dari data sekunder adalah adrninistrasi tes HTP tidak diketahui dengau jelas sehingga peneliti tidak mengetahui secara pasti proses pengarnbilan tes. Untuk lebih memperkaya pengetahuan mengenai penggunaan tes HTP dan masalah ODD, penelitian selanjutnya disarankan menggunakan data primer."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
T38507
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Olivia Musdalifah
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2001
S3064
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Pada usia 7 bulan hingga 3 tahun, kecemasan berpisah (separation anxiety) dengan orang yang signifikan dalam hidup anak merupakan suatu hal yang norma1
Apabila kecemasan tersebut menjadi berlebihan, tetap berlanjut di atas usia 3 tahun, dan mengganggu kegiatan sehari-hari maka anak dapat didiagnosis mengalami gangguan
kecemasan akan perpisahan (separation anxiety dirorder). Separation Anxiety Divorder
paling umum dialami oleh anak usia 6-11 lahun (middle childhood) (DSM-IV-TR 2000 dan Papalia, 2002).
Anak dengan Separation Anxiety Disorder selalu merasa tidak nyaman dengan ketidakberadaan orang yang signifikan di sisinya. Pada umumnya, anak yang mengalami
Separation Anxiety Disorder berasal dari keluarga yang memiliki hubungan yang sangat erat. Perpisahannya dengan lingkungan rumah akan otangtua membuat anak tersebut menarik diri dari lingkungan sosial, apatis, merasa sedih, atau tidak dapat berkonsentrasi
dengan permainan dan pekerjaannya (Mash & Wolfe, 1999; DSM-IV-TR,2000;
http/www.klis.com/chandler/pamphlet/panic/panicparpph1et.hltm.http//merck.com/mrkshared/mmanual.home2/sec23/ch2861.isp)
Anak yang mengalami Separation Anxiety Disorder, pada Umumnya, merasa
dirinya tidak dicintai oleh orang lain dan ingin mati. Mereka juga memiliki kemarahan dan agresivitas terhadap orang-orang atau keadaan yang membuatnya berpisah dengan
orang yang signifikan. Anak yang mengalami Separation Anxiety Divorder sering digambarkan sebagai anak yang pcnuntut dan terus menerus membutuhkan perharian dari orang lain.
Peristiwa atau perubahan yang muncul secara tiba-tiba pada diri anak merupakan
Salah Satu penyebab terjadinya Separation Anxiety Disorder (Mash & Wolfe,1999). Hal lain yang dapat mengembangkan perasaan cemas akan perpisahan ini adalah pengasuhan
orangtua yang overprotektif menuntut, serta orangtua yang depresi dan panik berlebihan
(htrp://www.emidencine.com/ped/topik2657.hLm)
Perasaan cemas, kebutuhan, dan sikap terhadap orang lain merupakan bagian dari dunia dalam pada diri anak (inner world). Anak yang mengalami Separation Anxiety
Disorder memiliki perasaan-perasaan dan sikap terhadap orang yang
signifikan Pada penelitian ini, peneliti ingin melihar dumia dalam djri anak (inner world), khususnya
melihat perasaan dan sikap anak yang mengalami Separation Anxiety Disorder dengan orang yang signifikan. Selain itu, peneliti juga ingin melihat perasaaan anak yang
mengalami Sepamtion Anxiety Disorder mengenai dirinya sendiri.
Dari tes-tes psikologi yang ada, peneliti merasa bahwa tes House-Tree-Permn
merupakan alat tes yang mendukung tujuan pcnelitian ini. Pada tes
House-Tree-Person,anak dimita untuk menggambar rumah, pohon, dan orang dalam selembar kertas.Tes
House-Tree-Person merupakan tes proyeksi yang dapat menggambarkan bagaimana perasaan dan sikap anak mengenai orang-orang yang signifikan bagi dirinya serta
bagaimana perasaan mengenai dirinya sendiri (Mamat, 1984).
Penelitian ini bersifat deskriptif dengan harapan akan memperoleh gambaran tes
HTP pada anak-anak yang mengalami Separation Anxiety Disoder Untuk menunjang analisis, peneliti juga menulis mengenai latar belakang anak yang
Pendekatan yang dipilih adalah pendekatan kualitatif dengan menggunakan dam sekunder
atau data yang sudah tersedia di Klinik Anak Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
Dari hasil penelitian, gambaran sikap dan perasaan anak yang mengalami
separation anxiety disorder terhadap orangtua adalah tiga anak memiliki hubungan yang dekat dan hangat dengan ibu, dua anak merasa ibu memiliki peranan ymg penting bagi
mereka, dua anak merasa ibu mampu membuka diri dan berkomunikasi dengan baik, 2 anak lainnya merasa ibu tidak mampu herkomunikasi dengan baik, satu anak bersikap
protektif pada ibu, satu anak merasa memiliki hubungan yang dekat dengan ayah sedangkan 3 anak meras tidak dekat dengan ayah, dan terdapat 1 anak yang meniadakan keberadaan ayah.
Gambaran perasaan anak yang mengalami separation anxiety disorder terhadap dirinya adalah satu anak merasa cemas serta 1 anak merasa tidak aman, curiga, marah,
dan berhaLi-hati dengan lingkungan, satu anak merasa kurang percaya diri dan 1 anak tidak mau membuka diri terhadap orang lain, dua anak merasa tergantung pada ibu, dan
dua anak membutuhkan perhatian dan kehangatan dari lingkungannya"
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
T38792
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ciptanti Parsaulina
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran tes HTP pada anak kembar identik yang mengalami hambatan dalam membina relasi sosial. Seperti diketahui, masa kanak-kanak madya (usia 6-1 l tahun) sering disebut sebagai masa sekolah. Salah satu tuntutan yang harus dipenuhi oleh anak usia sekolah, adalah membina relasi dengan teman sebaya. Untuk dapat diterima oleh teman sebaya, anak diharapkan memahami respon-respon yang dianggap sesuai dengan norma kelompok. Penelitian juga menunjukkan bahwa anak yang dapat diterima oleh kelompok adalah yang dapat menghargai anak lain dan tidak agresif. Pada masa sekolah, tampaknya peran orangtua bagi anak sangat penting sebagai model untuk bertingkah laku. Terutama pada anak kembar identik, yaitu yang berasal dari satu telur biasanya mengembangkan hubungan yang saling tergantung dengan saudara kembamya atau dengan orang terdekat seperti ibu.
Hubungan sosial pada anak kembar dengan lingkungannya tampak menjadi sulit terbentuk karena ketergantungan tersebut. Hal ini mulai berbeda ketika anak beranjak besar. Klien anak kembar identik yang datang ke KBA Fakultas Psikologl UI, hampir seluruhnya memiliki keluhan akan kesulitan dalam berteman. Anak-anak ini menunjukkan perilaku yang tidak menyenangkan di sekolah seperti mengamuk, memukul, dan mengatai teman. Selain itu orangtua mengeluhkan sil-cap anak yang sulit untuk langsung bergaul dengan teman-temannya. Melalui metode proyeksi, dalam hal ini tes HTP, anak diharapkan dapat bercerita mengenai gambaran konflik, kebutuhan dan perasaan yang dirasakan oleh anak tentang dirinya, yang berhubungan dengan keberadaannya di lingkungan terdekat.
Penelitian dilakukan dengan menggunakan data sekunder sebanyak 3 pasang klien anak kembar yang datang ke KBA Fakultas Psikologi U1 antara tahun 200-2001 (2 pasang laki-laki dan 1 pasang perempuan). Analisis kualitatif dari hasil tes HTF, interpretasi tes, dan anamnesa menunjukkan bahwa anak kembar identik memiliki konflik, kebutuhan dan perasaan yang berbeda pada tiap anak. Respon ngin dekat dengan ayah, ingin dilindungi oleh ayah, ingin dekat pada ibu dan ayah tarnpak muncul pada beberapa subyek. Hampir semua subyek memiliki perasan tidak aman dan merasa cemas pada diri sendiri, beberapa ada yang merasa ibu sebagai figur yang penuh aturan. Selain itu, karakteristik gambar tes HTP pada anak kembar identik yang mengalami hambatan dalam membina relasi sosial adalah letak gambar yang rata-rata berada di sebelah kiri dan bagian bawah kertas, detil gambar rumah dengan peniadaan pintu, jendela, dan jalan setapak serta bentuk stick figure dari orang, tanpa ciri wajah, dan letak gambar yang berada di dalam rumah. Hal di atas mengindikasikan adanya kesulitan untuk membuka diri dan menampilkan diri di hadapan orang lain. Selain hal tersebut, diperoleh pula gambar rumah yang cenderung besar dan letak gambar orang dengan gambar rumah menggambarkan figur ibu yang dominan dan adanya ketergantungan anak pada ibu."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
T38504
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>