Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 44911 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Wisran Hadi, compiler
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1981
899.221 WIS p
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Darsan
Yogyakarta: Sasmita Utama, 1995
808.84 DAR s
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Hanefi
Jakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai Budaya, Kemendiknas, 2013
700.92 HAN s
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Hanefi
Jakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai Budaya, Kemendiknas, 2013
700.92 HAN s
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Elis Widyaningsih H.
Depok: Universitas Indonesia, 1997
S20708
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irna Ismaranti
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1992
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tasaro
Yogyakarta: Bentang, 2016
899.221 32 TAS m
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Slamet Sumarno
"Pada prinsipnya terdapat persamaan antara sistem kewarisan patrilineal Syafi'i (ahlussunnah), sistem kewarisan bilateral Hazairin dan sistem kewarisan dalam Kompilasi Hukum Islam, walaupun dalam beberapa hal terdapat pula perbedaannya yang salah satunya adalah ketentuan mengenai bagian (warisan) untuk ayah dalam hal pewaris tidak meninggalkan anak (keturunan).Menurut kewarisan patrilineal Syafi'i, ayah memper oleh bagian terbuka atau bagian sisa dari harta warisan apabila pewaris tidak meninggalkan anak laki-laki. Pembagian warisan demikian hampir sama dengan pembagian menurut kewarisan bilateral Hazairin yang menempatkan kedudukan ayah sebagai ahli waris penerima bagian terbuka atau bagian sisa apabila pewaris tidak meninggalkan anak laki-laki dan anak perempuan. Namun, Pasal 177 KHI menyatakan "Ayah mendapat sepertiga bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak, bila ada anak, ayah mendapat seperenam bagian". Kalimat pertama dari Pasal 177 KHI ini jelas tidak sesuai dengan ketentuan pada kedua sistem kewarisan di atas, bahkan bertentangan dengan Al-Qur 'an (Q.S.IV:11e) dan Hadist Rasul. Hal ini menimbulkan ketidakjelasan maksud serta ketidakpastian hukum dari Pasal tersebut. Lalu, keluarlah SEMA Nomor 2 Tahun 1994 yang menyempurnakan ketentuan Pasal 177 KHI dan menjelaskan bahwa ayah mendapat sepertiga bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak tetapi meninggalkan suami dan ibu, bila ada anak, ayah mendapat seperenam bagian. Dengan mempergunakan ijtihad para fukaha yang bersumber pada Q.S.IV:11e,f, maka dari SEMA tersebut dapat disimpulkan bahwa ayah tidak memperoleh sepertiga atau seperenam bagian dari harta warisan apabila pewaris tidak meninggalkan anak dan tidak meninggalkan suami atau ibu."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1998
S20884
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simamora, Bhakti
"ABSTRAK
Pemberian kredit oleh bank merupakan peran bank dalam menggerakkan motor
perekonomian. Bank merupakan lembaga yang menghimpun dana dari dan
menyalurkannya kembali ke masyarakat dalam bentuk kredit, baik perorangan
maupun badan usaha. Kepercayaan merupakan unsur penting dalam pemberian
kredit karena rentan terhadap risiko macet. Bank dituntut untuk menerapkan
prinsip kehati-hatian dalam pemberian kredit, antara lain harus dilakukan dengan
perjanjian tertulis (sering disebut perjanjian kredit). Umumnya, bank telah
menetapkan sepihak syarat dan kondisi kredit. Lantaran ditetapkan sepihak,
perjanjian kredit rentan terhadap klausula yang tidak sesuai dengan ketentuan.
Walaupun bank sudah menetapkan klausula jaminan dan asuransi, ditemukan juga
klausula tanggung jawab ahli waris untuk membayar utang pewaris ketika debitur
meninggal dunia yang kemudian mendorong Penulis untuk menulis tesis ini.
Penelitian ini merupakan penelitian yuridis-normatif dengan data bersumber dari
studi kepustakaan serta disajikan secara evaluatif-analitis untuk menjawab
keberlakukan klausula menurut KUH Perdata. Penerapan klausula tanggung
jawab ahli waris untuk membayar utang pewaris dalam perjanjian kredit
menimbulkan beberapa persoalan yuridis, baik dari perspektif Hukum Waris
maupun Hukum Perjanjian. Klausula tersebut tidak mengikat ahli waris secara
hukum karena merupakan hak sepenuhnya dari ahli waris untuk menerima atau
menolak tanggung jawab tersebut. Persoalan yuridis lain muncul dari perspektif
Hukum Perusahaan kalau debitur merupakan Perseroan Terbatas (PT). Hubungan
hukum antara PT dan direktur berbentuk perwakilan sehingga perbuatan hukum
direktur menjadi tanggung jawab PT. Ketidakhati-hatian bank dalam ini
menyebabkan klausula tersebut tidak mengikat secara hukum karena tidak sesuai
dengan undang-undang.

ABSTRACT
Providing credit is one of the active roles of commercial banks in driving the
motor of our economy. Bank is an intermediary agent that collects funds from the
public and then transfers the funds in the form of credits, either to individuals or
businesses. Due to credit risk arising from the borrower uncertainty in the future
to meet its obligations, trust is one of the most important element in the process of
granting a loan. Therefore, banks are required to comply with the credit guidance
under Banking Act, namely to enter a written agreement, often called credit
agreement, prior to granting the loan. It is a common practice that bank as a
lender has unilaterally set the terms and conditions applicable to the credit
agreement. Hence, the credit agreement clauses are prone to be not in accordance
with applicable law. Unsatisfied with the collateral and insurance clauses in the
credit agreement, additionally the bank is trying to secure its interest by putting
the heir?s liability clause to pay off the debt into effect on account of the debtor
death which encourages the author to complete this thesis. This research is
conducted by using a normative legal perspective based on the library research
and presented by evaluative analysis to examine the clause validity according to
Indonesian Civil Code. In general, this research concludes that heir?s liability
clause to pay off the debts in the banking credit agreement is not legally binding
clause to the parties thereto as considered against the basic principles of
inheritance and contract laws. In addition, bank should be aware that a corporate
body, in this case Limited Liability Company, has a separate legal entity thus has
liabilities that are distinct from those of its directors. Therefore, heir?s liability is
also not applicable to the corporate entity or legally binding to its directors."
2012
T30788
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Aridho Dzilfy Taukhid
"Penelitian ini menganalisis bagaimana keabsahan pengesahan perkawinan dan pengesahan anak yang dilakukan setelah kematian pewaris serta implikasinya terhadap pembagian harta warisan, khususnya didasarkan pada Putusan Nomor 552/Pdt.G/2018/PN Mdn. Penelitian ini disusun dengan menggunakan metode penelitian doktrinal. Pengesahan perkawinan dan pengesahan anak merupakan sarana untuk memperjelas status suami, istri, dan anak dalam perkawinan sehingga dapat memperoleh hak keperdataan, termasuk hak waris. Namun, terdapat kasus di mana pengesahan perkawinan dan pengesahan anak dilakukan setelah kematian pewaris. Pengesahan perkawinan dan pengesahan anak yang dilakukan setelah kematian pewaris adalah mungkin untuk dilakukan. Pengesahan perkawinan dapat dilakukan setelah kematian pewaris melalui permohonan ke pengadilan negeri dengan membuktikan bahwa perkawinan tersebut telah sah secara hukum agama. Begitu juga terkait pengesahan anak setelah kematian pewaris dapat dilakukan melalui permohonan ke pengadilan negeri dengan membuktikan bahwa perkawinan kedua orang tua anak luar kawin telah sah secara hukum agama dan hukum negara, serta harus dibuktikan juga bahwa anak luar kawin dan ayahnya memiliki hubungan darah, baik berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum. Adapun implikasi dari pengesahan perkawinan setelah kematian pewaris adalah perkawinan tersebut menjadi diakui oleh hukum negara, sehingga pasangan yang masih hidup berhak menjadi ahli waris suami atau istri yang hidup terlama dalam ikatan perkawinan. Sedangkan, implikasi dari pengesahan anak setelah kematian pewaris adalah anak luar kawin akan berubah statusnya menjadi anak sah, sehingga ia berhak menjadi ahli waris anak sah. Implikasi dari pengesahan perkawinan dan pengesahan anak setelah kematian pewaris terhadap pembagian harta warisan dapat dilihat pada Putusan Nomor 552/Pdt.G/2018/PN Medan.

This research analyzes the validity of marriage legitimization and child legitimization conducted after the deceased's death and their implications for the division of inheritance, particularly based on Decision Number 552/Pdt.G/2018/PN Mdn. This research employs doctrinal legal research. Marriage legitimization and child legitimization are means to clarify the status of the husband, wife, and child in a marriage, enabling them to obtain civil rights, including inheritance rights. However, there are cases where marriage legitimization and child legitimization are carried out after the deceased's death. Marriage legitimization and child legitimization conducted after the deceased's death are possible. Marriage legitimization can be performed after the deceased's death through a petition to the district court by proving that the marriage was valid under religious law. Similarly, child legitimization after the deceased's death can be carried out through a petition to the district court by proving that the marriage of the out-of-wedlock child’s biological parents was valid under religious and state law, along with evidence that the out-of-wedlock child and their father share a blood relationship, supported by scientific and technological methods and/or other evidence admissible by law. The implication of marriage legitimization after the deceased’s death is that the marriage becomes recognized under state law, granting the surviving spouse the right to become the heir as the longest-living spouse in the marital bond. Meanwhile, the implication of child legitimization after the deceased’s death is that the status of the out-of-wedlock child changes to that of a legitimate child, granting them the right to become the heir as a legitimate child. The implications of marriage legitimization and child legitimization after the deceased’s death on the division of inheritance can be seen in Decision Number 552/Pdt.G/2018/PN Mdn. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>