Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 117144 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Penny Soemapradja
"Hemofilia yang berakibat nyeri hebat, risiko cacat permanen dan kematian usia dini, belum dapat disembuhkan. Pengobatannya sangat mahal, kompleks dan terpapar pada penyakit lain seperti HIV AIDS, hepatitis B dan C Pemahaman masayarakat dan pelayanan pun belum merata. Kenyataannya, dengan stres demikian, ada penderita dan keluarga yang dapat benahan Penelitian bertujuan mendapat gambaran tentang stres apa saja yang dialami penderita dan keluarga, bagaimana cara mengatasinya dan faktor apa yang berpengaruh pada proses copingnya. Hasilnya diharapkan menjadi masukan berguna bagi lembaga dan profesi terkait, maupun berbagai kegiatan yang bertujuan meringankan penderita dan keluarga. Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode wawancara Subyek penelitian adalah 2 keluarga dengan minimal seorang anak sehat dan seorang penderita pada usia sekolah. Pendekatan stres dan coping menggunakan model kognitif transaksional. Hasil penelitian menunjukkan, stres penderita tampak dari gejala emotive, perilaku dan fisik. Masalah utama adalah tantangan sosioemosional dan tantangan afektif. Strategi coping yang digunakan adalah problem-focused untuk masalah situasional, emotion-focused untuk masalah emosional dan kedua strategi tersebut untuk masalah fisiologik Faktor pengaruh yang berarti untuk coping adalah sumber daya internal serta eksternal. Stres utama keluarga adalah kecemasan karena penyakit tidak bisa disemhuhkan, kecemasan akan kemampuan bertahan penderita dan ketidakberdayaan dalam mengatasi kebutuhan faktor Vlll. Stres Iain berupa gangguan terhadap fungsi keluarga. Kerentanan keluarga berpengaruh terhadap timbulnya krisis dan permasalahan setelah krisis. Sumberdaya dan pandangan keluarga serta agama bersama strategi coping berupa memanfaatkan jaringan sosial, mengelola pola pikir dan memelihara pola hidup sehat, ternyata dapat membawa keluarga pada adaptasi positif Saran untuk yang berwenang dalam bidang kesehatan adalah, agar pelayanan dan informasi untuk mengatasi dan mengantisipasi masalah, dapat ditingkatkan Kepada peneliti selanjutnya, agar lebih menggali masukan yang lebih terarah dan komprehensif untuk program intervensi."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2003
T37898
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
R.M. Suryo Anggoro K. Wibowo
"Latar Belakang. Hemofilia selama ini diketahui menimbulkan komplikasi muskuloskeletal dan penurunan densitas tulang adalah salah satunya. Faktor risiko penurunan densitas tulang pada hemofilia belum diketahui secara pasti. Profil pasien hemofilia dengan penurunan densitas tulang di Indonesia juga belum diketahui.
Tujuan. Mengetahui proporsi penurunan densitas tulang pada hemofilia dan karakteristik pasien hemofilia dengan penurunan densitas tulang.
Metode. Studi ini merupakan studi deskriptif potong lintang yang dilakukan pada bulan Juni-November 2012. Subyek penelitian adalah pasien hemofilia dewasa berusia 19-50 tahun yang berobat ke Poliklinik Hematologi Onkologi Medik RS Cipto Mangunkusumo atau yang terdaftar di Tim Hemofilia Terpadu berdomisili di area Jabodetabek. Variabel yang dinilai adalah densitas massa tulang, usia, indeks massa tubuh, aktivitas fisik, artropati, penggunaan terapi substitusi, infeksi HIV dan HCV. Densitas tulang diukur dengan Lunar GE Scan. Penurunan densitas tulang didefinisikan sebagai Z-score -2 atau kurang. Aktivitas fisik dinilai dengan kuesioner Hemophilia Activities List. Artropati secara klinis dinilai dengan Hemophilia Joint Health Score. Artropati secara radiologis dinilai pada sendi lutut menggunakan Skor Arnold-Hilgartner. Data numerik dinyatakan dalam mean + SD atau median. Data kategorik dinyatakan dalam n dan persentase.
Hasil. Sejumlah 63 subyek hemofilia dewasa berusia 19-46 tahun mengikuti studi ini dengan median usia 26 tahun. Proporsi penurunan densitas tulang pada hemofilia didapatkan sebesar 6,3%. Fraktur terjadi pada 14,3% subyek. Subyek dengan densitas tulang menurun memiliki usia lebih muda (19 tahun vs 26 tahun). Subyek dengan densitas tulang menurun memiliki IMT lebih rendah (18,6 + 2,8 kg/m2 vs 21,5 + 3,8 kg/m2). Subyek dengan densitas tulang menurun menggunakan terapi substitusi lebih banyak daripada subyek dengan densitas tulang normal (4047 IU/bulan vs 2000 IU/bulan). Infeksi HCV terjadi pada 25% subyek dengan densitas tulang menurun sedangkan pada densitas tulang normal sebesar 55,9%. Infeksi HIV hanya terjadi pada 1,6% subyek. Skor aktivitas ditemukan sama antara subyek dengan densitas tulang normal dan menurun. Skor artropati klinis ditemukan lebih baik pada subyek dengan densitas tulang menurun (18,7 + 4,4 vs 23,1 + 11,8).
Simpulan. Penurunan densitas tulang pada subyek hemofilia ditemukan sebesar 6,3%. Subyek dengan densitas tulang menurun berusia lebih muda, memiliki IMT lebih rendah, skor sendi lebih baik, lebih sedikit mengalami infeksi transfusi, dan mengalami perdarahan lebih banyak dibandingkan subyek dengan densitas tulang normal.

Background. Haemophilia can result in musculoskeletal complications and reduced bone density is one of the recently known musculoskeletal complications in haemophilia patients. Risk factors of reduced bone density in haemophilia have not been completely known yet. Moreover, profile of hemophilia patient with reduced bone density in Indonesia have not been studied.
Objectives. To know the proportion of reduced bone density and characteristics of hemophilia patient with reduced bone density.
Methods. A cross-sectional study on haemophilia patients aged 19-50 years old was conducted ini Haematology-Medical Oncology Clinic, Cipto Mangunkusumo Hospital from June-November 2012. Bone density, age, body mass index, physical activity, arthropathy, amount of replacement therapy, HIV and HCV infection are analyzed variables. Bone density was measured with GE Lunar Scan. Reduced bone density was defined as Z-score -2 or less. Physical activity was measured with Haemophilia Activities List questionnaire. Joint involvement was measured clinically with Haemophilia Joint Health Score. Joint involvement of the knee was measured radiologically with plain X-ray and graded according to Arnold-Hilgartner Score. Numerical data will be presented in mean + SD or median. Categorical data will be presented as n and percentage.
Results. Sixty three haemophilia subjects aged 19-46 years old joined the study with median age 26 years old. Reduced bone density was found in 6,3% of the subjects. History of fractures was found in 14,3% patient. Subjects with reduced bone density have younger age (19 vs 26 years). Subjects with reduced bone density have lower BMI (18,6 + 2,8 kg/m2 vs 21,5 + 3,8 kg/m2). Subjects with reduced bone density used replacement therapy more than their normal counterparts (4047 IU/month vs 2000 IU/month). HCV infection happened in 25% of subjects with reduced bone density while only found in 55% of normal bone density subjects. HIV infection was only found in 1,6% patient. Activity score between normal and reduced bone density was about the same. Clinical arthropathy score was better in reduced bone density subjects (18,7 + 4,4 vs 23,1 + 11,8).
Conclusion. Reduced bone density was found in 6,3% subjects. Subjects with reduced bone density have younger age, lower BMI, better joint score, less infection, and experienced more bleeding than subjects with normal bone density."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T32983
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kezia Meilany Azzahra
"Latar Belakang: Berdasarkan Laporan Pengelolaan Program Tahun 2019, penyakit hemofilia menghabiskan biaya Rp. 405,670,839,460 dengan 70,999 kasus. Pada tahun 2022, terjadi peningkatan kasus menjadi 116,767 kasus dengan pembayaran klaim oleh BPJS Kesehatan sebanyak Rp. 650 milyar untuk membayar pelayanan kesehatan Peserta JKN pada penyakit hemofilia. Tujuan: Mengetahui biaya dan faktor faktor yang berhubungan dengan penyakit hemofilia di FKRTL dalam satu tahun (12 bulan). Metode: Desain studi cross-sectional dengan analisis univariat dan bivariat, Hasil: BPJS Kesehatan menghabiskan anggaran sebesar Rp. 452,466,055,817 (452 Milyar) untuk membayar klaim 143 peserta aktif dalam satu tahun (12 bulan) Tahun 2019- 2020. Faktor-faktor yang berhubungan dengan biaya layanan JKN untuk penyakit hemofilia Tahun 2019-2020 yaitu Jenis Kelamin, Usia, Hubungan Keluarga, Kelas Hak Rawat, Segmentasi Peserta, Wilayah Kepesertaan, Kunjungan RJTL, Kunjungan RITL, Status Kepemilikan Fasilitas Kesehatan. Kesimpulan: RJTL menyerap dari total biaya penyakit hemofilia yaitu Rp814.260.386.772 (90%).

Background: Based on the 2019 Program Management Report. Hemophilia costs Rp. 405,670,839,460 with 70,999 cases. In 2022, there are an increase in cases to 116,767 cases with claim costs of Rp. 650 billion spent by BPJS Health to pay for health services for JKN participants for hemophilia.Objective: To find out the costs and factors associated with hemophilia at FKRTL in one year (12 months). Method: Cross- sectional study design with univariate and biavariate analysis. Results: BPJS Health spends a budget of Rp. 452,466,055,817 (452 billion) to pay the claims of 143 active participants in one year (12 months) 2019-2020. Factors related to the cost of JKN services for hemophilia in 2019-2020 are Gender, Age, Family Relations, Treatment Rights Class, Participant Segmentation, Participants Area, RJTL Visits, RITL Visits, Health Facility Ownership Status. Conclusion: RJTL absorbs the total cost of hemophilia, namely Rp814.260.386.772 (90%).
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rina Rakhmawati
"ABSTRAK
Darah adalah jaringan tubuh yang sangat vital bagi kehidupan. Hampir seluruh tubuh manusia dialiri oleh darah melalui pembuluh darah. Kehilangan darah dalam jumlah yang cukup banyak dapat membahayakan jiwa seseorang. Kehilangan darah dapat dipicu bila terjadi luka pada tubuh seseorang. Untuk mencegah kehilangan darah dalam jumlah banyak, tubuh memiliki faktor pembeku darah yang membantu dalam proses pembekuan darah. Kekurangan faktor pembeku darah dalam tubuh dapat mengakibatkan penderitanya mengalami perdarahan terus menerus. Kelainan darah seperti ini dikenal dengan hemofilia. Hemofilia adalah salah satu penyakit genetik yang sering di temui di Indonesia, selain thalassemia dan sindroma down (Femina, No.35/XXX, 2002). Satu-satunya pengobatan yang dapat dijalani penderita hemofilia adalah dengan melakukan transfusi plasma (darah) seumur hidup.
Penderita hemofilia sebagian besar adalah laki-laki. Berbagai aktivitas fisik yang berat dan memicu terjadinya perdarahan sebaiknya dihindari oleh penderita hemofilia. Penyakit hemofilia ini membuat penderitanya merasa dibatasi aktivitas fisiknya. Keterbatasan fisik ini dapat menimbulkan stres pada penderitanya. Selain itu menurut Kelley (1999) di masyarakat terdapat anggapan bahwa penderita adalah seseorang yang rapuh. Sedangkan menurut Parsons (dalam Sarwono, 1997) pada umumnya kepribadian yang diharapkan dari laki-laki berdasarkan norma baku yang berlaku dimana pun adalah dominan, mandiri, kompetitif, dan asertif. Didukung oleh penelitian Lerner, Orlos, dan Knapp (dalam Atwater, 1983) yang menyebutkan bahwa pria lebih cenderung menekankan kompetensi fisik atau apa yang dapat mereka lakukan dengan tubuh mereka agar dapat memberikan dampak yang bermakna bagi lingkungan. Anggapan masyarakat dan keterbatasan fisik yang dimiliki ini tentunya dapat mengganggu perasaan penderita hemofilia.
Selain masalah keterbatasan fisik, masalah lain yang mungkin mengganggu penderita hemofilia adalah pengobatan yang harus dijalaninya seumur hidup. Selain itu berbagai masalah juga akan muncul seperti memenuhi tuntutan tugas perkembangan dewasa muda, seperti mandiri, mencari keija, dan menikah serta membentuk keluarga. Berbagai masalah yang dihadapi penderita hemofllia, terutama penderita hemofilia usia dewasa dapat menimbulkan tekanan bagi mereka. Bila tekanan tersebut melebihi kemampuan yang dimiliki individu, maka menurut Lazarus (1976) individu tersebut dapat mengalami stres. Salah satu usaha coping stres yang dapat dilakukan adalah mencari dukungan sosial.
Dukungan sosial dapat berbentuk dukungan emosional, harga diri, instrumental, informasi, dan dukungan jaringan. Dukungan sosial dapat diterima seseorang dari keluarga, teman dekat, tenaga profesional, maupun dari organisasi dimana individu itu tergabung. Penelitian ini ingin melihat bagaimana gambaran stres, coping, dan dukungan sosial pada penderita hemofilia dalam menghadapi penyakit hemofilia yang diderita seumur hidup ini.
Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif. Sedangkan metode pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara dan observasi.
Hasil dari penelitian yang diperoleh adalah reaksi awal ketika ketiga penderita didiagnosis memiliki penyakit hemofilia adalah menerima. Masalahmasalah yang dihadapi ketiga penderita adalah masalah biaya, pekerjaan, dan berkeluarga. Ketika responden mengatasi masalah-masalah tersebut secara berbeda-beda, tergantung pada sumber daya yang dimilikinya. Ada responden yang mengatasinya dengan strategi problem-focused coping atau dengan emotion focused coping. Ketiga responden mengatasi masalah biaya dengan strategi problem focused coping. Masalah pekeijaan oleh responden NO dan AF diatasi dengan strategi problem focused coping. Sedangkan responden AG mengatasinya dengan strategi emotion focused coping. Untuk masalah berkeluarga ketiga responden mengatasinya dengan strategi emotion focused coping. Bentuk dukungan yang diharapkan oleh penderita hemofilia adalah dukungan instrumental, harga diri, dukungan informasi dan emosional. Dukungan tersebut diharapkan diterima dari keluarga, teman, tenaga medis dan pemerintah."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2003
S3204
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Haemophilia is a congenital haemorrhagic disorders passed down by the x linked rescessive, divided into two: Haemophilia A caused by deficiency of factor VIII and Haemophilia B caused by deficiency of factor IX. Since spontaneous bleeding or bleeding after dental treatment can cause severe or even fatal complication, people with haemophilia or congenital bleeding tendencies are priority group for dental and oral preventive health care. Maintenance of a healthy mouth and prevention of dental problem is thus of great importance not only for quality of life and nutrition but also to avoid complications of surgery."
Journal of Dentistry Indonesia, 2003
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Saptuti Chunaeni
"

 

ABSTRAK

 

Nama                        : Saptuti Chunaeni

Program Studi             : Program Doktor Ilmu Biomedik

Judul Disertasi             : Upaya Meningkatan Stabilitas Faktor VIII melalui

  Liofilisasi Produk Minipool Cryoprecipitate

  untuk Tatalaksana Penderita Hemofilia A di Indonesia.

Latar Belakang: Penderita Hemofilia di Indonesia sekitar 2.000 orang tersebar dari Sabang hingga Merauke. Di Jabodetabek, 403 anak penderita hemofilia, 86% hemofilia A dan 54% diantaranya hemofilia A berat. Konsentrat F VIII digunakan untuk terapi sulih Hemofilia A, mahal, harus impor dan tidak selalu tersedia. Kriopresipitat sebagai terapi sulih alternatif, kandungan F VIII sedikit dan pemberiannya untuk segolongan darah. MC cair dari Mesir, dapat meningkatkan kandungan dan keamanan F VIII. Bentuknya cair dan suhu penyimpanan minus 30°C, sehingga perlu ditingkatkan stabilitasnya dengan liofilisasi menjadi MC kering.

Tujuan:Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui stabilitas dan keamanan MC kering lebih besar atau sama dengan MC cair.

Metode:Liofilisasi MC cair menjadi MC kering dilakukan agar lebih stabil dan dapat disimpan di suhu dingin (2-6°C) dan suhu ruang ( > 25°C). MC kering, ada yang ditambah eksipien (KE+) dan tanpa eksipien (KE-). Dilakukan uji banding stabilitas MC cair dan MC kering pada hari ke 0, 7, 30 dan 240, meliputi pemeriksaan kandungan F VIII, pH, osmolalitas dan kelarutan. Pemeriksaan keamanan MC cair menggunakan flowcytometri dan MC kering dengan hemaglutinasi dan kontaminasi bakteri.  

Hasil:MC Kering tanpa Eksipien (KE-) pada waktu penyimpanan 30 hari (T30) lebih tinggi F VIII-nya dibandingkan MC Kering dengan Eksipien (KE+) dan MC Cair. Namun pada waktu penyimpanan 240 hari (T240) penurunan F VIII pada KE- lebih banyak daripada KE+. Keamanan dengan memeriksa kontaminasi bakteri dan hemaglutinin pada MC kering sama dengan MC cair. 

Kesimpulan:MC kering tanpa eksipen yang disimpan pada suhu dingin dan suhu kamar, stabilitas kandungan F VIII sangat baik pada hari ke 30. Penambahan eksipien yang terlalu banyak, dapat menghancurkan protein yang terkandung di dalamnya. Keamanan MC kering sama dengan MC cair.

Kata kunci: F VIII, Hemofilia A, MC kering, Stabilitas.


ABSTRACT

 

Name                           : Saptuti Chunaeni

Programme of study   :Doctoral Program in Biomedical Science

Title                             :To Improve Stability of Factor VIII with Minipool

 Cryoprecipitate Lyophilized for Hemofilia a Treatment in

 Indonesia

 

 

Background:  There are about 2.000 hemophilia patients in Indonesia. Nowadays in

Jabodetabek alone, there are 403 children hemophilia mostly of 86% hemophilia A and 54% among them are of severe type.

Use of F VIII concetrate as a standard replacement therapy of hemophilia A, is expensive, needs to be imported from overseas and it is not always available. Cryoprecipitate as an alternative replacement therapy contains only a small yield F VIII and is only available for same blood group patients. Liquid minipool cryoprecipitate (MC) from Egypt can increase the F VIII content and safety. The MC, however is liquid and must be stored at – 30oC. Considering this, there is a need to improve the stability of F VIII by lyophilization procedure.

The aim of present study was to determine whether the stability and safety of dry MC was greater or equal to liquid MC.

Materials and Methods:Liquid of MC was lyophilized and was added excipients (KE+) or without excipient (KE-). Liyophilization is carried out to be more stable and can be stored at cold temperatures and room temperature. Tests on the stability on certain days (0, 7, 30 and 240.) including examination of F VIII content, pH, osmolality and solubility. Safety checks using flowcytometry and hemagglutination and bacterial contamination.

Results: Dry MC at T30 was higher in F VIII. At storage T240 the decrease in F VIII at KE- was more than KE +. The safety of a dry MC is the same as a liquid MC.

Conclusion: F VIII at KE- is better on T30. Adding excipients can destroy protein. The safety is the same.

Keywords:  F VIII, Hemophilia A, Lyophilized MC, Stability.

"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ferry Damardjati
"Pemeriksaan trombosit dan waktu protrombin dikatakan merupakan prediktor terjadinya fibrosis hati, akan tetapi hal ini masih diperdebatkan. Ultrasonografi (USG) merupakan alat yang dapat memberikan gambaran permukaan hati. Colli dick melaporkan, bila dijumpai ekogenisitas yang tidak homogen pada permukaan hati, kemungkinan besar telah terjadi fibrosis atau sirosis hati.
RUMUSAN MASALAH
1. Sampai saat ini belum banyak studi yang melaporkan bagaimana perjalanan klinis infeksi VHC pada anak. Masih sedikit penelitian yang melaporkan perjalanan penyakit infeksi VHC pada anak yang menderita hemofilia. Belum pemah dilakukan penelitian infeksi VHC kronik pada pasien hemofilia di Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSCM.
2. Beberapa penelitian melaporkan pemeriksaan non invasif, mudah, mudah dan cukup balk dalam menilai derajat beratnya penyakit hati secara tidak langsung pada pasien dengan infeksi VHC. Pemeriksaan ini terdiri dari ALT, rasio AST/ ALT, jumlah trombosit. Sampai saat ini belum pernah dilakukan penelitian gambaran ALT, rasio AST/ALT, jumlah trombosit pasien hemofilia yang terinfeksi VHC di Departemen Iimu Kesehatan Anak FKUI/RSCM.
TUJUAN PENELITIAN
Umum
Mengetahui gambaran klinis infeksi VHC pada pasien hemofilia di Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSCM.
Khusus
1. Mengetahui proporsi pasien hemofilia yang menderita infeksi VHC kronik.
2. Mendapatkan gambaran manifestasi klinis infeksi VI-IC pada pasien hemofilia.
3. Mendapatkan gambaran :
- Jumlah trombosit
- Peningkatan ALT
- Rasio AST/ ALT"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T58473
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yuniasti Evitasari
"Latar belakang: Hemofilia merupakan gangguan perdarahan yang bersifat herediter yang disebabkan oleh kekurangan faktor VIII. Pada kadar faktor koagulasi yang sama dapat menunjukkan karakteristik klinis yang berbeda.
Tujuan: Mengidentifikasi karakteristik klinis, penggunaan faktor VIII, dan komplikasi pada anak hemofilia A.
Metode: Penelitian kohort retrospektif pada anak le;18 tahun. Data diambil dari rekam medis Januari 2014 ndash; Juni 2016 meliputi data usia awitan perdarahan sendi, usia saat didiagnosis, kekerapan perdarahan, lokasi perdarahan, penggunaan faktor VIII, dan komplikasi yang dialami.
Hasil: Terdapat 109 subjek anak lelaki terdiri dari 2,8 subjek hemofilia A ringan, 27,5 hemofilia A sedang, dan 69,7 hemofilia A berat. Perdarahan paling sering ditemukan pada sendi 60,6 terutama pada lutut 37,2 . Anak hemofilia A berat menunjukkan usia awitan perdarahan sendi yang lebih dini median 12,5 4 - 120 bulan , kekerapan perdarahan sendi yang lebih sering median 8 1-44 kali/tahun , menggunakan konsentrat faktor VIII yang lebih banyak median 712 131 - 1913 IU/kg/tahun . Komplikasi yang ditemukan adalah hemofilik artropati dan sinovitis 46,8 , terbentuknya inhibitor faktor VIII 7,3 , anemia akibat perdarahan 2,6 , pseudotumor 0,9 , dan fraktur 0,9 . Terdapat 15,5 subjek hemofilia A berat yang menunjukkan karakteristik klinis yang lebih ringan.
Simpulan: Usia awitan perdarahan sendi berhubungan dengan kekerapan perdarahan sendi, kebutuhan faktor VIII, dan artropati. Artropati dan sinovitis merupakan komplikasi yang paling banyak ditemukan.

Background: Hemophilia A is a congenital bleeding disorder caused by deficiency of factor VIII. Phenotypic differences between patients with hemophilia is well known from clinical practice.
Aim: To identify clinical characteristics, factor VIII usage for on demand therapy, and complications of children with hemophilia A.
Method: A retrospective cohort study on children aged le 18 years. Data was obtained from medical record January 2014 ndash June 2016 including age of diagnosis, age of first joint bleed, number of bleeding, site of bleeding, treatment requirement, and complications.
Result: We found a total of 109 boys with hemophilia A consisted of 2.8 mild, 27.5 moderate, and 69.7 severe hemophilia. The most common bleeding was hemarthrosis 60.6 of the knee 37.2 . Severe hemophilia children showed earlier age of first joint bleed median 12,5 4 to 120 months , higher number of joint bleeds median 8 1 44 times year , and higher consumptions of clotting factor median 712 131 to 1913 IU kg year compared to mild and moderate hemophilia. Complications commonly found in severe hemophilia were haemophilic arthropathy and sinovitis 46.8 , followed by factor VIII inhibitors 7.3 , anaemia due to bleeding 2.6 , pseudotumour 0.9 , and fracture 0.9 . This study showed that 15.5 of patients with severe hemophilia A have mild clinical characteristics.
Conclusion: The onset of joint bleeding is related with number of joint bleeds, treatment requirement, and arthropathy and may serve as an indicator of clinical phenotype.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T55602
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Novianti Santoso
"Analisis gelombang bekuan dapat mengevaluasi profil reaksi pembentukan bekuan secara kualitatif dan kuantitatif. Analisis gelombang bekuan ini didapatkan dari pemeriksaan masa tromboplastin parsial teraktivasi (APTT) tanpa menambah biaya pemeriksaan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola gelombang bekuan dan mengetahui nilai max velocity (Min1), max acceleration (Min2), dan max deceleration (Max2) pada pasien hemostasis normal dan hemofilia; serta mengetahui korelasi antara parameter tersebut dengan aktivitas F.VIII/F.IX. Penelitian dilakukan dengan desain potong lintang menggunakan 160 sampel pasien hemostasis normal dan 145 sampel pasien hemofilia di Laboratorium Pusat Departemen Patologi Klinik RSUP Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo yang berlangsung pada bulan Agustus-Desember 2019. Pada penelitian ini didapatkan titik awal koagulasi pada pasien normal adalah ±30-40 detik dengan fase prekoagulasi pendek dan slope yang lebih curam. Pada pasien hemofilia didapatkan fase prekoagulasi yang lebih panjang dan slope yang lebih landai dengan titik awal koagulasi yang lebih panjang dan bervariasi. Nilai median Min1, Min2, dan Max2 dewasa hemostasis normal didapatkan nilai yang lebih tinggi dibandingkan pasien anak. Nilai Min1, Min2, dan Max2 pada pasien hemofilia A dan B juga didapatkan nilai yang lebih rendah dibandingkan pasien hemostasis normal dan didapatkan perbedaan yang bermakna antara parameter Min1, Min2, dan Max2 pada pasien hemostasis normal dengan pasien hemofilia. Korelasi antara parameter Min1, Min2, dan Max2 dengan aktivitas F.VIII didapatkan korelasi sedang (p<0,001), dan Analisis gelombang bekuan dapat bermanfaat untuk skrining pasien hemofilia di fasilitas kesehatan yang memiliki keterbatasan pemeriksan F.VIII dan memberikan gambaran yang lebih lanjut terhadap pasien hemofilia A berat yang memiliki aktivitas F.VIII <1% dan pasien hemofilia A yang dengan atau tanpa inhibitor.

Clot waveform analysis can be used to evaluate clot formation profile both qualitatively and quantitatively. This waveform may be obtained from activated partial thrombolpastin time (APTT) assay without additional cost. This study aims to determine the clot wave pattern as well as the value of max velocity (Min1), max acceleration (Min2), and max deceleration (Max2) in patients with normal hemostasis and hemophilia; and to determine the correlation between these parameters with F.VIII/F.IX activities. The study was conducted with a cross-sectional design using 160 samples of normal hemostasis patients and 145 samples of hemophilia patients in the Central Laboratory of the Department of Clinical Pathology of Dr. Cipto Mangunkusumo National Hospital which takes place in August-December 2019. In this study, the starting point of coagulation in normal patients is ± 30-40 seconds with shorter precocagulation phase and steeper slope. In hemophilia patients, longer precoagulation phase and flatter slope was seen with longer and more variable starting point for coagulation. The min1, min2, and max2 value of adult with normal hemostasis are higher than that of children. The min1, min2 and max2 value of hemophilia A and B are also lower than the patients with normal hemostasis. There is a significant difference between min1, min2, and max2 parameters of patients with normal hemostasis and hemophilia patients. Moderate correlation was found between Min1, Min2, and Max2 parameters with F.VIII activity (p <0.001). Clot wave analysis is a very useful tool for screening hemophilia patients in health facilities with limited F.VIII examination and may provides much detailed information of severe hemophilia A patients who have F.VIII activity <1% as well as hemophilia A patients with or without inhibitors."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rania Ali Alamudi
"Latar Belakang: Hemofilia A adalah gangguan perdarahan herediter akibat defisiensi faktor VIII (FVIII). Scientific and Standardization Committee (SSC), pada tahun 2021, mengeluarkan nomenklatur baru yang membagi perempuan menjadi lima kategori: hemofilia ringan, sedang, berat, serta pembawa sifat simptomatik dan asimptomatik. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi proporsi pasien dan pembawa sifat hemofilia A perempuan di RSCM, serta manifestasi dan derajat keparahan menggunakan kuesioner International Society on Thrombosis and Haemostasis - Bleeding Assessment Tool (ISTH-BAT).
Metode: Penelitian cross-sectional analitik dilakukan di RSCM selama Agustus-September 2024. Subjek penelitian adalah kerabat perempuan dari pasien hemofilia A berusia ≤18 tahun. Pemeriksaan FVIII dilakukan. Kuesioner ISTH-BAT yang telah diterjemahkan digunakan sebagai alat skrining untuk mengevaluasi manifestasi perdarahan.
Hasil: Berdasarkan 74 subjek yang diteliti, 5 orang terdiagnosis hemofilia A, terdiri dari 4 hemofilia ringan dan 1 hemofilia berat. 69 subjek yang diidentifikasi sebagai pembawa sifat, 62 orang merupakan pembawa sifat asimptomatik, sementara 7 orang adalah pembawa sifat simptomatik. Manifestasi perdarahan pada pasien hemofilia A perempuan bervariasi antara kelompok anak dan dewasa. Pada kelompok anak, manifestasi paling umum adalah memar pada kulit, sedangkan pada kelompok dewasa, menoragia menjadi manifestasi yang paling sering ditemukan. Pada pembawa sifat simptomatik, baik anak maupun dewasa, manifestasi perdarahan yang dominan adalah memar pada kulit dan menoragia. Skor ISTH-BAT pembawa sifat asimptomatik, simptomatik, dan pasien hemofilia berturut-turut adalah 0,83 ± 1,7; 6,2 ± 1,2 dan 3,25 ± 2,9.
Kesimpulan: Hasil penelitian ini menunjukkan proporsi pasien hemofilia A perempuan di RSCM masih relatif rendah, dengan sebagian besar pembawa sifat bersifat asimptomatik. Manifestasi perdarahan tersering pada pasien dan pembawa sifat simptomatik hemofilia A perempuan adalah menoragia dan memar pada kulit.

Background: Hemophilia A is a hereditary bleeding disorder caused by factor VIII (FVIII) deficiency. In 2021, the Scientific and Standardization Committee (SSC) introduced a new nomenclature categorizing women into five groups: mild, moderate, and severe hemophilia, as well as symptomatic and asymptomatic carriers. This study aimed to identify the proportion of female patients and carriers of hemophilia A at RSCM, along with their manifestations and severity levels, using the International Society on Thrombosis and Haemostasis - Bleeding Assessment Tool (ISTH-BAT) questionnaire.
Methods: A cross-sectional analytical study was conducted at RSCM from August to September 2024. The study subjects were female relatives of hemophilia A patients aged ≤18 years. FVIII levels were measured, and the translated ISTH-BAT questionnaire was used as a screening tool to evaluate bleeding manifestations.
Results: Among the 74 subjects studied, 5 were diagnosed with hemophilia A, comprising 4 cases of mild hemophilia and 1 case of severe hemophilia. Of the 69 subjects identified as carriers, 62 were asymptomatic carriers, while 7 were symptomatic carriers. Bleeding manifestations in female hemophilia A patients varied between children and adults. In children, the most common manifestation was skin bruising, whereas in adults, menorrhagia was the most frequently observed manifestation. Among symptomatic carriers, both children and adults predominantly experienced skin bruising and menorrhagia. The ISTH-BAT scores for asymptomatic carriers, symptomatic carriers, and hemophilia patients were 0.83 ± 1.7, 6.2 ± 1.2, and 3.25 ± 2.9, respectively.
Conclusion: Results of this study indicate that the proportion of female hemophilia A patients at RSCM remains relatively low, with the majority of carriers being asymptomatic. The most common bleeding manifestations in symptomatic female hemophilia A patients and carriers are menorrhagia and skin bruising.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>