Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 150575 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Olivia Musdalifah
"Salah satu tugas perkembangan pada masa remaja adalah membangun dan membentuk konsep diri (Grinder, 1990). Bagi anak kembar, adanya kesamaan dan kekompakan yang merupakan hal paling menonjol terutama pada kembar identik, menyebabkan orangtua dan orang-orang di sekitar memperlakukan mereka dengan sama., seolah-olah mereka sebagai suatu unit bukan sebagai individu (Mulyadi, 1996). Selain itu, adanya kecenderungan pada anak kembar untuk mengambangkan hubungan yang terlalu dekat dan saling tergantung satu sama lain juga dapat menghambat mereka untuk berkembang menjadi diri sendiri serta menghambat perkembangan mental dan sosialnya (Scheinfeld, 1973) Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh gambaran konsep diri pada remaja kembar identik. Gambaran konsep diri ini mengacu pada 3 dimensi dari Hattie (1992), yaitu Academic Self Concept, Social Self Concept dan Self Regard atau Presentation of Self berdasarkan tes Human Figure Drawings, House Tree Person dan Sack’s Sentence Completion Test. Penelitian dilakukan melalui pendekatan kualitatif dengan mengumpulkan dokumentasi serta catatan arsip sebagai metode pengumpulan data yang diperoleh dari arsip-arsip kasus yang tersedia di klinik bimbingan anak Pakultas Psikologi UI pada tahun 2002. Namun karena keterbatasan data yang tersedia, maka hanya ditemukan satu kasus sepasang remaja kembar identik dengan jenis kelamin laki-Iaki yang dijadikan subyek dalam penelitian ini.
Berdasarkan hasil analisa dan mengacu pada 3 dimensi konsep diri dari Hattie (1992), terlihat bahwa ada beberapa konsep diri yang digambarkan sama namun juga beberapa di antaranya digambarkan berbeda. Pada dimensi academic self concept terdapat perbedaan konsep diri yang ditunjukkan oleh kedua subyek. Namun pada dimensi social self concept dan seff regard/presentation of self beberapa sub dimensi tersebut sebagian diantaranya digambarkan sama dan sebagian lainnya berbeda. Adanya persamaan sekaligus perbedaan ini menunjukkan bahwa proses pembentukan konsep diri yang dialami kedua subyek terlihat lebih kompleks dimana di satu sisi mereka harus dapat menunjukkan pribadi mereka masing-masing, namun di sisi lain keberadaan mereka sebagai anak kembar menyebabkan adanya berbagai kesamaan dalam hal-hal tertentu. Untuk penelitian selanjutnya disarankan agar jumlah sampel yang digunakan lebih banyak. Pengambilan sampel sebaiknya tidak hanya terpaku pada data yang tersedia di bagian arsip namun juga berusaha untuk mencari subyek di lapangan. Selain itu sebaiknya penelitian juga dilakukan pada remaja kembar identik perempuan
sehingga diharapkan dapat terlihat perbedaan dinamika konsep diri yang mungkin muncul dari perbedaan jenis kelamin ini. Lebih lanjut lagi, dapat juga dilakukan penelitian dengan membandingkan antara remaja kembar yang tergolong identik serta fratemal. Karena penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif maka diharapkan hasil penelitian ini juga dapat lebih dikembangkan untuk penelitian lebih lanjut mengenai masalah yang sama dengan menggunakan pendekatan kuantitatif serta instrumen penelitian lainnya yang lebih sesuai untuk menggambarkan konsep diri."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2003
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ciptanti Parsaulina
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran tes HTP pada anak kembar identik yang mengalami hambatan dalam membina relasi sosial. Seperti diketahui, masa kanak-kanak madya (usia 6-1 l tahun) sering disebut sebagai masa sekolah. Salah satu tuntutan yang harus dipenuhi oleh anak usia sekolah, adalah membina relasi dengan teman sebaya. Untuk dapat diterima oleh teman sebaya, anak diharapkan memahami respon-respon yang dianggap sesuai dengan norma kelompok. Penelitian juga menunjukkan bahwa anak yang dapat diterima oleh kelompok adalah yang dapat menghargai anak lain dan tidak agresif. Pada masa sekolah, tampaknya peran orangtua bagi anak sangat penting sebagai model untuk bertingkah laku. Terutama pada anak kembar identik, yaitu yang berasal dari satu telur biasanya mengembangkan hubungan yang saling tergantung dengan saudara kembamya atau dengan orang terdekat seperti ibu.
Hubungan sosial pada anak kembar dengan lingkungannya tampak menjadi sulit terbentuk karena ketergantungan tersebut. Hal ini mulai berbeda ketika anak beranjak besar. Klien anak kembar identik yang datang ke KBA Fakultas Psikologl UI, hampir seluruhnya memiliki keluhan akan kesulitan dalam berteman. Anak-anak ini menunjukkan perilaku yang tidak menyenangkan di sekolah seperti mengamuk, memukul, dan mengatai teman. Selain itu orangtua mengeluhkan sil-cap anak yang sulit untuk langsung bergaul dengan teman-temannya. Melalui metode proyeksi, dalam hal ini tes HTP, anak diharapkan dapat bercerita mengenai gambaran konflik, kebutuhan dan perasaan yang dirasakan oleh anak tentang dirinya, yang berhubungan dengan keberadaannya di lingkungan terdekat.
Penelitian dilakukan dengan menggunakan data sekunder sebanyak 3 pasang klien anak kembar yang datang ke KBA Fakultas Psikologi U1 antara tahun 200-2001 (2 pasang laki-laki dan 1 pasang perempuan). Analisis kualitatif dari hasil tes HTF, interpretasi tes, dan anamnesa menunjukkan bahwa anak kembar identik memiliki konflik, kebutuhan dan perasaan yang berbeda pada tiap anak. Respon ngin dekat dengan ayah, ingin dilindungi oleh ayah, ingin dekat pada ibu dan ayah tarnpak muncul pada beberapa subyek. Hampir semua subyek memiliki perasan tidak aman dan merasa cemas pada diri sendiri, beberapa ada yang merasa ibu sebagai figur yang penuh aturan. Selain itu, karakteristik gambar tes HTP pada anak kembar identik yang mengalami hambatan dalam membina relasi sosial adalah letak gambar yang rata-rata berada di sebelah kiri dan bagian bawah kertas, detil gambar rumah dengan peniadaan pintu, jendela, dan jalan setapak serta bentuk stick figure dari orang, tanpa ciri wajah, dan letak gambar yang berada di dalam rumah. Hal di atas mengindikasikan adanya kesulitan untuk membuka diri dan menampilkan diri di hadapan orang lain. Selain hal tersebut, diperoleh pula gambar rumah yang cenderung besar dan letak gambar orang dengan gambar rumah menggambarkan figur ibu yang dominan dan adanya ketergantungan anak pada ibu."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
T38504
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Puspita Tresnawati Madnawidjaja
"ABSTRAK
Anak Tuli adalah anak penyandang tuna rungu dengan tingkat kerusakan dengar yang parah, sehingga ia memerlukan alat bantu dengar. Anak tuli cenderung menekankan pada sensori visual dalam belajar. Hal ini menyebabkan adanya keterlambatan akuisisi bahasa, yang selanjutnya terus menjadi masalah utama bagi para anak tuli.
Keterlambatan akusisi bahasa ini tidak saja memperlambat kemampuan anak Tuli untuk menyerap informasi, tetapi juga membuat mereka sulit berekspresi dan memperoleh umpan balik dari lingkungan sekelilingnya, termasuk di dalamnya hubungan dengan orang tua. Hal ini kemudian mempengaruhi
pembentukan konsep diri anak, mengingat pengalaman dan hubungan dengan orangtua menjadi salah Satu faktor yang mempengaruhi pembentukan konsep diri.
Salah satu tes psikologi yang dapat digunakan untuk mengetahui konsep diri adalah dengan tehnik proyeksi menggamban Menurut Mamat (1984), menggambar merupakan metode ekspresi yang lebih akurat untuk dapat mengetahui perasaan seorang individu serta struktur kepribadiannya. Sehingga metode ini menjadi alat yang berharga untuk dapat memahami dan mengetahui karakteristik kepribadian seorang individu.
Salah satu tes gambar yang digunakan adalah Human Figure Drawings (HFDs), dimana seorang individu diminta untuk menggambarkan orang lengkap. Menurut Koppitz (1968), tcs HFDs dapat diintepretasikan sebagai refleksi individu akan sikap atau perasaannya terhadap orang yang signifikan dalam hidupnya; atau perasaan yang ditujukan terhadap dirinya. Kelebihan dari teknik proyeksi adalah responden tidak terbatas dalam mengekspresikan dirinya., artinya
ia akan mengekspresikan diri sesuai dengan apa yang penting untuk dirinya, bukan menurut peneliti.
Dari penelitian ini diperoleh hasil bahwa secara umum, konsep diri anak-anak Tuli berat dalam penelitian ini cenderung negatif Dari sepuluh orang responden, hanya dua orang yang mempunyai konsep diri yang positif. Komponen
konsep diri yang muncul dan terefleksikan cukup jelas pada seluruh hasil HFDs anak tuli dalam penelitian ini adalah komponen spiritual self social self dan self feeling. Enam responden merefleksikan material self yang berkaitan dengan ketubuhan dan hanya satu orang responden yang merefleksikan social self yang berkaitan dengan aspek akademis, walaupun tidak secara kuat, karena tidak
didukung oleh kehadiran indikator lainnya.
Keterbatasan penelitian ini terletak pada sdminsitrasi tes pada penelitian ini dilakukan secara klasikal, atau berkelompok, dengan perbandingan satu pemeriksa dengan sepuluh responden. Menurut Koppitz (1968) hal ini dibolehkan untuk alasan praktis dan keperluan penelitian Namun, menurut Malchiodi (1999), tingkat kedalaman emosional yang terproyeksikan oleh gambar-gambar (Salah
satunya HFDs) sangat dipengaruhi oleh hubungan personal, antara pemeriksa dengan kliennya Pemeriksa yang berhasil mendapatkan kepercayaan dari klien cenderung mendapatkan gambar yang sangat akurat mengenai kondisi emosional
klien saat itu. Selain itu , persepsi individu yang terekspresi kemungkinan sifatnya temporer dan tidak stabil Hal ini juga disebutkan oleh Koppitz (1968) bahwa
teknik HFDS merefleksikan sikap-sikap dan kekhawatiran anak pada saat tertentu, yang keseluruhannya dapat berubah karena kematangan dan pengalaman. Kedua, teknik ini memerlukan seorang interpreter. Smith (1992) menyalakan bahwa subyektifitas respon-respon membutuhkan kemampuan interpretatif yang baik. Oleh karena itu, sebaiknya penelitian yang menggunakan teknik proyeksi juga
didukung oleh data-data dari tes-tes non-proyeksi, seperti data dari tes-tes self report."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
T38377
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amalia Setyawati
"Autistic disorder gangguan yang parah dalam perkembangan, dan ditandai oleh adanya abnormalitas dalam fungsi-fungsi sosial, bahasa dan komunikasi, serta adanya tingkah laku dan minat yang tidak biasa (Trevarthen, Aitken, Papoucli & Robarts, 1998; Mash & Wolfe, 1999; Saltler, 2002). Autism disebabkan karena adanya gangguan kompleks dalam perkembangan otak, dimulai sejak masa prenatal, dan kemudian mempengaruhi berbagai aspek perkembangan dan belajar secara drastis pada akhir masa infancy, yaitu pada pada saat kemampuan bahasa mulai berkembang. Frekuensi atau jumlah penderita autisme di Indonesia tahun-tahun terakhir ini sudah meningkat dan menarik perhatian berbagai kalangan.
Salah satu karakteristik utama dari anak penyandang autisma ringan adalah mengalami hambatan dalam melakukan interaksi sosial. Mereka tidak mempunyai minat dalam interaksi dengan orang lain, dan perilaku sosial mereka cenderung aneh dan tidak adaptif. Anak penyandang autisma ringan juga tidak mampu untuk menggunakan bahasa untuk tujuan sosial atau hubungan interpersonal. Walaupun demikian, beberapa ahli mengatakan bahwa anak penyandang autisma ringan sebenarnya dapat menunjukkan afeksi dan kedekatan yang sifatnya hangat dengan orangtua pengasuh atau orang yang dekat dengan mereka (Cohen & Volkmar, 1997; Trevarthen et al, 1998).
Hal tersebut di atas menimbulkan pertanyaan dalam diri penulis mengenai hubungan interpersonal dari anak penyandang autisma ringan, lebih khususnya adalah bagaimana anak penyandang autisma ringan memandang dirinya dalam berhubungan dengan orang lain dan bagaimana sikap Serta pandangannya terhadap orangtua. Untuk mengetahui hal tersebut secara langsung dari anak penyandang autisma ringan tentu saja sangat sulit karena keterbatasan mereka dalam berkomunikasi. Sehingga dalam Tugas Akhir ini digunakan metode proyeksi untuk mengetahui gambaran dari hubungan interpersonal anak penyandang autisma ringan. Metode proyeksi yang cocok digunakan untuk anak yang mengalami hambatan dalam kornunikasi verbal adalah tes gambar. Dua tes gambar yang digunakan dalam Tugas Akhir ini adalah Human Figure Drawings (HFDS) dan House-Tree-Person (HTF).
Untuk melengkapi dan sebagai data penunjang dalam Tugas Akhir ini, penulis melakukan wawancara terhadap orangtua atau pengasuh. Dari hasil interpretasi yang dilakukan terhadap hasil tes HFDS dan HTP kedua subjek ditemukan bahwa keduanya memiliki hambatan dalam hubungan interpersonal. Mereka cenderung menarik diri dan memiliki minat yang terbatas dalam melakukan interaksi dengan orang lain, terutama teman dan orang asing. Namun, kemampuan subjek 1 dalam berhubungan dengan orang lain lebih berkembang daripada subjek 2, Terhadap orangtua, kedua subjek memiliki persamaan dalam sikap dan pandangan mereka terhadap orangtua. Keduanya memandang ibu sebagai figur yang penting dan dekat dengan diri mereka. Perbedaan antara kedua subjek terletak pada pandangan mereka mengenai peranan ibu (dominan atau tidak) dan komunikasi yang terjalin antara kedua subjek dan ibu. Perbedaan antara kedua subjek seperti yang telah disebutkan di atas dimungkinkan oleh karena beberapa faktor, antara lain, usia yang berbeda antara kedua subjek, pendidikan dan terapi yang telah diperoleh, kesempatan dalarn berinteraksi dengan orang lain, dan faktor pola pengasuhan ibu."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
T38392
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Astri Syafitri Widianti
"ABSTRAK
Pada awalnya kompetisi atau persaingan merupakan bagian dari hidup
manusia. Pada awalnya persaingan yang terjadi antara saudara kandung bertujuan
untuk mendapatkan perhatian dan kasih sayang orang tua. Bagaimana seorang
anak mengembangkan tingkah laku kompetitif tergantung dari sikap orang tua
dan masyarakat dalam memandang kompetisi, apakah mendukung atau tidak
mendukung terjadinya suatu kompetisi (Medinnus & Johnson, 1969).
Menurut Scheinfeld (1973), sekolah merupakan salah satu media yang
memiliki pengaruh dalam menengahi perbedaan dan kompetisi di antara anak
kembar dengan memisahkan mereka ke dalam kelas yang berbeda. Oleh karena
itu peneliti tertarik untuk melihat gambaran kompetisi yang terjadi pada remaja
kembar identik ketika mereka berada pada satu kelas dan ketika berada pada pisah
kelas dan bagaimana pengaruh kompetisi terhadap kegiatan belajar dan prestasi
belajar mereka di sekolah, serta faktor apa saja yang mempengaruhi munculnya
kompetisi.
Subyek yang dipilih adalah remaja kembar identik yang pernah berada
pada satu kelas dan pisah kelas. Metode penelitian yang digunakan adalah studi
kasus dengan melakukan wawancara terhadap enam orang subyek (3 pasang
remaja kembar identik).
Berdasarkan hasil wawancara, dapat disimpulkan bahwa kompetisi yang
terjadi pada subyek adalah kompetisi dalam hal berprestasi di sekolah. Kompetisi ini terjadi karena adanya sikap membandingkan dari teman, guru atau orang tua
dalam masalah prestasi belajar. Perbandingan dalam masalah fisik atau masalah
lainnya tidak menimbulkan kompetisi pada subyek. Faktor utama yang
mendorong subyek untuk berkompetisi adalah keinginan untuk mendapatkan
prestasi yang lebih baik atau paling tidak sama baiknya dengan saudara
kembamya. Pada umumnya adanya perasaan kompetisi juga menjadikan subyek
menjadi lebih bersemangat dalam belajar, walaupun belum tentu meningkatkan
prestasi seperti yang dicapai saudara kembarnya. Subyek juga merasa
berkompetisi dengan saudara kembamya ketika mereka berada pada satu kelas
karena lebih sering diperbandingkan dan kondisi yang mereka hadapi sama."
1998
S2682
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Farah Farida Tantiani
"Oppositional Defiant Disorder (ODD) digambarkan sebagai perilaku anak yang melawan permintaan, arahan, serta larangan orang dewasa (Wenar, 1994). Pola perilaku ini berlangsung terus menerus (minimal 6 bulan) dan berlangsung pada taraf yang tidak sesuai dengan tingkat usia dan taraf perkembangan anak. (APA, 2000). Manifestasi dari gangguan ini lebih terlihat dalam lingkungan rumah atau sekolah. Karakteristik ODD biasanya tampak pada interaksi antara anak dan orang dewasa, terutama orangtuanya, atau teman-teman yang mereka kenal dengan baik. Ibu anak ODD digambarkan sebagai ibu yang terlalu memiliki kontrol dan agresif sedangkan ayah digambarkan sebagai seseorang yang pasif dan tidak memiliki hubungan emosional yang dekat. Penelitian-pcnelitian obyektif juga menunjukkan bahwa ibu-ibu ini lebih negatif dan penuh kritik terhadap sang anak dibandingkan dengan ibu anak-anak normal. Mereka juga menampilkan perilaku yang lebih mengancam, marah serta penuntut.
House-Tree-Person test (I-ITP) adalah tes proyeksi dengan teknik menggambar yang merupakan refleksi individu akan sikap atau perasaannya terhadap orang yang signiiikan dalam hidupnya; atau perasaan yang ditujukan terhadap dirinya. Pada HTP, individu diminta untuk menggambar rumah, pohon dan orang. Untuk beberapa individu, gambar rumah merefleksikan hubungan mereka dengan ibu, gambar pohon merefleksikan perasaan mereka terhadap ayah, dan gambar orang merefieksikan perasaan mereka terhadap diri mereka sendiri. Posisi gambar orang menggambarkan kedekatan individu tersebut dengan Salah satu orangtuanya seclangkan ukuran tiap gambar juga menunjukkan dominasi masing-masing tokoh (ayah, ibu, atau individu sendiri) (Marnat, 1934).
Diharapkan dengan menganalisis hasil gambar HTP anak-anak yang didiagnosis ODD dapat diketahui gambaran mengenai hubungan antam orangtua dan anak ODD. Hal ilu mengingat perilaku oposisional berhubungan dengan orang-orang yang signitikan dalam kehidupan anak, terutama Orangtua. Penelitian ini bersifat deskriptif, dengan pendekatan kualitatif, yaitu menggunakan data yang sudah tersedia di Klinik Bimbingan Anak F. Psi UI. Subjek penelitian ini berjumlah 5 orang yang didiagnosis ODD dan berusia antara 6-11 tahun.
Dari penelitian ini diperoleh hasil bahwa dalarn memandang hubungannya dengan orangtua, empat subjek merasa lebih dekat dengan ibu sedangkan satu subjek lainnya merasa lebih dekat dengan ayah. Selain itu, empat subjek memsa bahwa ibu kurang berkomunikasi dan kurang membuka diri sedangkan satu subjek merasa bahwa ibu mau membuka komunikasi walaupun banyak aturan yang diterapkan.
Penelitian ini menggunakan data sekunder. Kelemahan dari data sekunder adalah adrninistrasi tes HTP tidak diketahui dengau jelas sehingga peneliti tidak mengetahui secara pasti proses pengarnbilan tes. Untuk lebih memperkaya pengetahuan mengenai penggunaan tes HTP dan masalah ODD, penelitian selanjutnya disarankan menggunakan data primer."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
T38507
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Natalia
"Anak-anak retardasi mental ringan memiliki kesulitan dalam hubungan interpersonal, khususnya berkomunikasi secara verbal (Nelson & Israel.,1997). Walaupun demikian, anak-anak ini tetap dapat merasakan sikap dan perlakuan oranglua terhadap mereka. Dari beberapa laporan kasus anak retardasi mental ringan yang datang ke Fakultas Psikologi UI (antara tahun 1998-2002) dan dari pengamatan yang dilakukan oleh peneliti di sekolah-sekolah luar biasa, terlihat bahwa anak-anak retardasi mental ringan ini akan berespon tertentu sesuai dengan perlakuan orangtua terhadap mereka. Maka dari itu setiap orangtua diharapkan dapat menerima dan memperlakukan anak-anak yang sudah didiagnosa retardasi mental ringan, dengan baik dan penuh tanggung jawab. Namun adakalanya orangtua menunjukkan penolakan dan menarik diri dari tugas merawat anaknya tersebut (Bigner, 1994).
Dengan beragamnya reaksi orangtna terhadap anaknya yang bermasalah dan melihat pentingnya pengaruh orangtua terhadap anak dengan kebutuhan khusus, peneliti tertarik untuk meneliti lebih jauh tentang hubungan antara orangtua dan anak retardasi mental ringan, khususnya dari sudut pandang anak. Salah satu media yang dapat melihat hubungan orangtua dan anak, sekaligus mudah bagi anak dengan kapasitas intelektual yang berada di bawah rata-rata, adalah tes House-Tree-Person. Di sini anak diminta untuk menggambar sebuah rumah, sebuah pohon, dan seorang manusia pada selembar kertas. Secara umum, tes HTP dapat diinterpretasikan sebagai refleksi baik sikap maupun perasaan-perasaan yang ditujukan pada dirinya dan lingkungannya. Rumah merefleksikan hubungannya dengan ibu, pohon merefleksikan perasaan terhadap ayah, dan orang merefleksikan perasaan terhadap dirinya. Untuk mendapatkan gambaran lebih jauh mengenai hubungan orangtua dan anak pada tes HTP, akan difokuskan pada interpretasi gambar HTP secara terpisah (masing-masing elemen) dan melihat hubungan tiga elemen, yakni rumah, pohon, dan orang (Marnat, 1999). Sebagai bahan pembanding, peneliti juga tetap akan melampirkan hasil anamnesa dengan orangtua, untuk melihat bagaimana pandangan orangtua terhadap hubungannya dengan anak-anaknya.
Setelah dilakukan analisis terhadap data sekunder yang diperoleh dari Bagian Klinis Anak Fakultas Psikologi Universitas Indonesia., diperoleh hasil yakni dalam memandang hubungannya dengan orangtua., tiga subyek merasakan kebutuhan akan kedekatan dengan figur ibu daripada ayah dan hanya satu subyek yang merasakan kebutuhan akan kedekatan dengan figur ayah daripada dengan ibu. Walaupun demikian, keempat subyek merasakan pentingnya kehadiran seorang ibu bagi mereka. Sedangkan dalam hal dominasi, ada dua subyek yang merasakan bahwa figur ibu lebih dominan daripada ayah dan dua subyek laiunya merasa dominasi kedua orangtua sama besarnya.
Sebagai bahan pembanding, dari anamnesa dengan orangtua, terlihat bahwa orangtua dari keempat subyek, kecuali ayah dari subyek 3, menolak kondisi anak mereka baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung ditunjukkan dengan sikap menarik diri dan tidak terlibat dalam pengasuhan anak, sedangkan sccara tidak langsung ditunjukkan dengan sikap tetap mengasuh anak namun dengan aturan yang keras dan disertai dengan hukuman fisik.
Peneliti menyadari bahwa hasil yang diperoleh dari penelitian ini masih memiliki banyak kekurangan dan harus diteliti secara lebih mendalam, mengingat adanya keterbatasan jumlah subyek penelitian, pengadminsrasian tes HTP yang tidak dilakukan langsung oleh peneliti, perbedaan pemahaman / persepsi antara peneliti dengan pemeriksa sebelumnya, dan keterbatasan peneliti dalam mengungkapkan aspek-aspek penting dari tes HTP. Maka dari itu perlu diadakan penelitian lanjutan dengan memperluas jumlah subyek dan jika memungkinkan dilakukan penelitian dengan menggunakan data primer."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
T38183
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Pada usia 7 bulan hingga 3 tahun, kecemasan berpisah (separation anxiety) dengan orang yang signifikan dalam hidup anak merupakan suatu hal yang norma1
Apabila kecemasan tersebut menjadi berlebihan, tetap berlanjut di atas usia 3 tahun, dan mengganggu kegiatan sehari-hari maka anak dapat didiagnosis mengalami gangguan
kecemasan akan perpisahan (separation anxiety dirorder). Separation Anxiety Divorder
paling umum dialami oleh anak usia 6-11 lahun (middle childhood) (DSM-IV-TR 2000 dan Papalia, 2002).
Anak dengan Separation Anxiety Disorder selalu merasa tidak nyaman dengan ketidakberadaan orang yang signifikan di sisinya. Pada umumnya, anak yang mengalami
Separation Anxiety Disorder berasal dari keluarga yang memiliki hubungan yang sangat erat. Perpisahannya dengan lingkungan rumah akan otangtua membuat anak tersebut menarik diri dari lingkungan sosial, apatis, merasa sedih, atau tidak dapat berkonsentrasi
dengan permainan dan pekerjaannya (Mash & Wolfe, 1999; DSM-IV-TR,2000;
http/www.klis.com/chandler/pamphlet/panic/panicparpph1et.hltm.http//merck.com/mrkshared/mmanual.home2/sec23/ch2861.isp)
Anak yang mengalami Separation Anxiety Disorder, pada Umumnya, merasa
dirinya tidak dicintai oleh orang lain dan ingin mati. Mereka juga memiliki kemarahan dan agresivitas terhadap orang-orang atau keadaan yang membuatnya berpisah dengan
orang yang signifikan. Anak yang mengalami Separation Anxiety Divorder sering digambarkan sebagai anak yang pcnuntut dan terus menerus membutuhkan perharian dari orang lain.
Peristiwa atau perubahan yang muncul secara tiba-tiba pada diri anak merupakan
Salah Satu penyebab terjadinya Separation Anxiety Disorder (Mash & Wolfe,1999). Hal lain yang dapat mengembangkan perasaan cemas akan perpisahan ini adalah pengasuhan
orangtua yang overprotektif menuntut, serta orangtua yang depresi dan panik berlebihan
(htrp://www.emidencine.com/ped/topik2657.hLm)
Perasaan cemas, kebutuhan, dan sikap terhadap orang lain merupakan bagian dari dunia dalam pada diri anak (inner world). Anak yang mengalami Separation Anxiety
Disorder memiliki perasaan-perasaan dan sikap terhadap orang yang
signifikan Pada penelitian ini, peneliti ingin melihar dumia dalam djri anak (inner world), khususnya
melihat perasaan dan sikap anak yang mengalami Separation Anxiety Disorder dengan orang yang signifikan. Selain itu, peneliti juga ingin melihat perasaaan anak yang
mengalami Sepamtion Anxiety Disorder mengenai dirinya sendiri.
Dari tes-tes psikologi yang ada, peneliti merasa bahwa tes House-Tree-Permn
merupakan alat tes yang mendukung tujuan pcnelitian ini. Pada tes
House-Tree-Person,anak dimita untuk menggambar rumah, pohon, dan orang dalam selembar kertas.Tes
House-Tree-Person merupakan tes proyeksi yang dapat menggambarkan bagaimana perasaan dan sikap anak mengenai orang-orang yang signifikan bagi dirinya serta
bagaimana perasaan mengenai dirinya sendiri (Mamat, 1984).
Penelitian ini bersifat deskriptif dengan harapan akan memperoleh gambaran tes
HTP pada anak-anak yang mengalami Separation Anxiety Disoder Untuk menunjang analisis, peneliti juga menulis mengenai latar belakang anak yang
Pendekatan yang dipilih adalah pendekatan kualitatif dengan menggunakan dam sekunder
atau data yang sudah tersedia di Klinik Anak Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
Dari hasil penelitian, gambaran sikap dan perasaan anak yang mengalami
separation anxiety disorder terhadap orangtua adalah tiga anak memiliki hubungan yang dekat dan hangat dengan ibu, dua anak merasa ibu memiliki peranan ymg penting bagi
mereka, dua anak merasa ibu mampu membuka diri dan berkomunikasi dengan baik, 2 anak lainnya merasa ibu tidak mampu herkomunikasi dengan baik, satu anak bersikap
protektif pada ibu, satu anak merasa memiliki hubungan yang dekat dengan ayah sedangkan 3 anak meras tidak dekat dengan ayah, dan terdapat 1 anak yang meniadakan keberadaan ayah.
Gambaran perasaan anak yang mengalami separation anxiety disorder terhadap dirinya adalah satu anak merasa cemas serta 1 anak merasa tidak aman, curiga, marah,
dan berhaLi-hati dengan lingkungan, satu anak merasa kurang percaya diri dan 1 anak tidak mau membuka diri terhadap orang lain, dua anak merasa tergantung pada ibu, dan
dua anak membutuhkan perhatian dan kehangatan dari lingkungannya"
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
T38792
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arlianti
"Masa remaja merupakan masa peralihan dari anak-anak menuju dewasa yang disertai dengan perubahan-perubahan fisik dan psikologis. Masa peralihan tersebut menyebabkan remaja terjadi rentan terhadap masalah-masalah. Salah satu masalah yang sering terjadi adalah masalah kenakalan remaja berupa perilaku membolos, terlibat perkelahian, mencuri, dan perilaku antisosial lainnya. Munculnya perilaku-perilaku tersebut pada remaja merupakan sebagian simtom dari conduct disorder. Conduct disorder adalah gangguan yang ditandai dengan adanya pola tingkah laku melanggar hak-hak orang lain atau peraturan dasar sosial yang berulang dan menetap pada anak dan remaja. Individu dengan conduct problems mungkin mengalami berbagai gangguan dalam konsep diri yang mempengaruhi tingkah laku anti sosialnya. Salah satu cara untuk mengetahui konsep diri remaja dengan conduct disorder adalah dengan menggunakan tes HFDs.
Melalui wawancara dengan remaja yang memiliki conduct disorder juga akan dapat diperoleh gambaran mengenai konsep dirinya Penelitian ini ingin melihat bagaimana gambaran konsep diri remaja dengan conduct disorder dilihat dari hasil tes HFDs dan apakah gambaran konsep diri tersebut juga didukung oleh hasil anamnesa terhadap subjek yang bersangkutan. Aspek-aspek konsep diri yang diteliti adalah academic self concept social self concept, dan seifregard/presentation of seb' (Hattie dalam Bracken, 1996). Untuk mendapatkan data yang diperlukan digunakan data sekunder yang diperoleh dari Klinik Bimbingan Anak Fakultas Psikologi Universitas Indonesia berupa hasil tes HFDs dan anamnesa dari lima orang remaja yang telah di diagnosis conduct disorder.
Dari hasil analisis data didapatkan bahwa tidak terdapat gambaran mengenai academic self concept dari subjek yang diteliti. Berkaitan dengan social self concept, dua dari lima subjek dalam penelitian ini family self concept yang negatif. Salah satu dari subjek tersebut memiliki peer self concept yang negatif dan lainnya memiliki peer self concept yang positif. Berkaitan dengan self regard/presentation of self hanya dapat diketahui aspek confidence. Hanya ada tiga dari lima subjek dalam penelitian ini yang dapat dilihat aspek confidence-nya dan ketiga objek tersebut memiliki keyakinan diri (confidence) yang negatif. Gambaran social self concept subjek yang didapat dari hasil interpretasi tes HFDS didukung oleh pernyataan subjek yang diperoleh dari anamnesa. Kedua subjek yang memiliki family self concept yang negatif menyatakan bahwa dalam hubungan keluarga mereka merasa dirinya kurang dihargai. Mereka merasa tidak dianggap oleh orang dewasa, sering dipukul untuk kesalahan yang besar maupun kecil, dan ditolak keinginannya karena dianggap tidak serius. Subjek yang memiliki peer self concept negatif merasa kurang mampu dalam berinteraksi dengan teman dan merasa tidak diterima oleh teman-temannya. Subjek yang memiliki peer Seb' concept yang positif merasa bahwa teman-temannya sangat mengharapkan dirinya. Hasil anamnesa tidak memberikan gambaran mengenai academic self concept dan self regard/presentation of self.
Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi tambahan mengenai konsep diri remaja dengan conduct disorder sehingga dapat dilakukan penanganan yang tepat dan efektif pada remaja dengan conduct disorder. Penelitian ini juga memiliki kekurangan-kekurangan sehingga sebaiknya penelitian selanjutnya dilakukan dengan tidak hanya menggunakan satu hal tes tetapi gabungan dari beberapa tes dan menggunakan data primer sehingga gambaran konsep diri yang didapat lebih kaya."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Kuswardhani Partawidjaja
"Gambaran Profil Human Figure Drawings (HFDS) pada Anak yang Memiliki lndikasi Brain Injury. Penelitian ini bertujuan mendapatkan gambaran profil Human Figure Drawings (HFDS) pada Anak yang memiliki indikasi Brain Injury. Sampel penelitian adalah kasus-kasus
anak yang terdapat di Klinik Bimbingan Anak Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, yang memiliki indikasi brain injury, berusia 6 - 12 tahun, berjenis kelamin laki-laki, memiliki tingkat kecerdasan rata-rata.
Penelitian dilakukan atas dasar ketertarikan peneliti terhadap permasalahan brain injury yang cukup banyak terdapat pada kasus-kasus yang datang ke Klinik Bimbingan Anak Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Permasalahan brain injury dikaitkan dengan hasil Human Figure Drawings (HFDS), dimana terlihat adanya diri tertentu pada hasil Human
Figure Drawings (I-lFDs) anak-anak yang memiliki indikasi brain injury.
Teori utama yang digunalcan dalam penelitian ini adalah teori mengenai Human Figure Drawings (HFDS) dari Koppitz (1968), Serta teori mengenai brain injury (Doman, 1994). Pengambilan data dilakukan dengan mengumpulkan data sekunder berupa hasil Human Figure Drawings (HFDS) sesuai dengan karakteristik sampel. Data yang diperoleh kemudian
dihitung prosentasenya dan selanjutnya dibuat profil.
Ditinjau dari indikator emosional berdasarkan kualitas gambar, profil hasil Human Figure Drawings (HFDS) subyek penelitian rnenggambarkan adanya prosentase yang besar untuk gambar kecil (54_29%). Berdasarkan ciri-ciri khusus, prosentase indikator emosional terbesar pada subyek penelitian adalah lengan pendek (20%). Berdasarkan penghilangan bagian figur, profil hasil Human Figure Drawings (HFDS) subyek penelitian menggambarkari adanya prosentase yang besar untuk penghilangan bagian leher(20%).
Berdasarkan kriteria indikator emosional, hasil Human Figure Drawings (HFDS) subyek dengan indikasi brain injury menunjukkan adanya 6 indikator emosional yang tergolong tidak normal berdasarkan kualitas gambar, 8 indikator emosional yang tergolong tidak normal berdasarkan
ciri-ciri khusus, serta 4 indikator emosional yang tergolong tidak normal berdasarkan penghilangan bagian figur. Penghilangan bagian leher masih tergolong normal untuk anak laki-laki sampai dengan usia 10 tahun (Koppitz, 1968).
Berdasarkan interpretasi formal, hasil Human Figure Drawings (HFDS) pada subyek dengan indikasi brain injury mempunyai kecenderungan ukuran gambar yang kecil, penempatan gambar di sisi kiri kertas, tekanan garis kuat, dibuat dalam posisi kertas vertikal, Serta kualitas garis yang kontinu atau tidak putus-putus- Terlihat pula adanya shading
pada rambut serta penghapusan pada bagian kaki, kepala, mata, muka, rambut, dan badan.
Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah bahwa gambaran profil Human Figure Drawings (HFDS) pada subyek penelitian yang mengalami indikasi brain injury yang datang ke Klinik Bimbingan Anak Fakultas Psikologi Univrsitas Indonesia menunjukkan adanya
masalah emosional pada subyek.
Penelitian ini terbatas pada data sekunder yang ada di Klinik Bimbingan Anak Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Berkaitan dengan hal tersebut, saran yang dapat diberikan untuk penelitian sejenis adalah melakukan pengambilan data primer Serta memperbesar ukuran
sampel."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2003
T38509
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>