Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 118704 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Linda
"Dewasa ini fenomena keberadaan kaum homoseksual semakin hangar dibicarakan seiring dengan semakin banyaknya individu yang memiliki pilihan obyek seksual kepada sesama
jenis tersebut Orientasi seksual mereka yang berbeda dengan mayoritas masyarakat
omderung mendapatkan tanggapan negatif dan berbagai pihak, baik dalam lingkup keluarga maupun masyarakat umum sehingga kehidupan mereka cenderung diliputi
masalah, tekanan dan berbagai hal lainnya. Dalam hal ini gangguan penyesuaian seksual
yang dialami kaum homoseks memainkan peranan panting dalam perkembangan kepribadian mereka (Wheeler dalam Lemcr, 1975). Oleh karena im peneliti lertarik untuk mengadakan studi yang dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran kepribadian kaum
homoseks, sekaligus untuk mendeteksi orientasi seksual mereka berdasarkan tes proyeksi kepribadian, yakni tes Rorschach, dan metode wawancara mendalam (deplh interview).
Penelitian ini merupakan penelitian daskriptif dengan pcndekatan kualitatif Pengumpulan data dalam studi ini menggunakan instrumen berupa tes Rorschach, yang dilengkapi pula dengan metode wawancara Bentuk wawancara yang dilakukan adalah wawancara mmdalam berdasarkan pedoman wawancara umum dan personal life line Subjek dalam
penelitian ini berjumlah 3 (tiga) orang homoseks pria (gay) yang berusia antara 19-39 tahun. Kelompok subjek dalam penelitian ini merupakan pria homoseks yang telah
mengakui orientasi seksualnya tersebut dan berdomisili di Jakarta.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketiga subyek memiliki ciri kepribadian yang unik
satu sama lainnya Tidak ditemukan adanya persamaan karakteristik pada aspek kognisi
dan intelektual. Sedangkan pada aspek emosi dan afeksi, dapat disimpulkan bahwa ketiga
pria homoseks dalam peuelitian ini mengalami masalah afeksi dan hubungan
interpersonal, terutama dalam aspek seksualitas. Demikian pula pada aspek fungsi ego, di mana ketiganya memiliki fungsi ego yang tergolong lemah karena diliputi perasaan cemas, tegang, tidak aman dan mengalami berbagai konflik sehubungan dengan orientasi
seksual mareka.
Dalam kontcks psikodiagnistik, dapat disimpulkan pula bahwa tea Rorschach dapat dimanfaatkan sebagai alat diagnose kecenderungan homoseksualitas seseorang karena
dan protokol hasil tes ketiga subyek terdapat banyak respon yang mengungkap oricntasi
homoseksual mereka. Kesepuluh kartu Rorschach memiliki kemampuan untuk
mengungkap kecenderungan homosdcsual individu, di mana dalam hal ini kartu yang dapat dikalakan paling efektif adalah kartu III dan kartu X. Kesemua indikasi
homoscksualitas dalam penelitian ini terutama diperoleh dari hasil analisis isi respon.
Katagori skoring lain, baik lokasi, determinan, P/0 maupun tingkat FLR tidak menunjukkan ciri khas tertentu pada ketiga subyek
Adapun isi respon khas yang dimunculkan oleh ketiga subyek dalam penelitian ini adalah:
- Identifikasi lawan jenis, yakni Egur perempuan pada kartu III
- Respon botani berupa pohon dan atau daun yang mengandung makna interpretif
bahwa subyek memiliki peran seksual yang tidak pasti dan terpaku pada
dorongan homoseks, terutama orientasi homoseks pasi£
Respon binatang berupa ulat, kupu-kupu (pada area tidak popular), burung, dan katak Serta respon nature berupa laut yang mengandung makna interpretif bahwa
subyek mengalami kcgagalan/kesulitan penyesuaian heteroseksual dan memiliki orientasi homosdcsual feminin pasif
Di samping itu muncul pula beberapa indikator lainnya pada minimal 1 (sam) subyek,
yakni dalam bentuk:
- Rapon dehumanisasi Rcspon anaiomis
- Respon derealisasi Respon topeng
Penekanan pada respon scks Respon obyek
- Reject kartu VI
Dengan pertimbangan bahwa penelltian ini masih mengandung banyak kekurangan, bagi
pihak yang hendak melakukan penelitian serupa disaranknn supaym
- Menyediakan waktu yang lebih banyak untuk mengadakan pene1itian supaya dapat memperkaya dan, misalnya dengan menambah jumlah subyek
Mempersempit kriteria atau karaktedstik subyek, misslnya dalam hal rentang usia, tingkat statuus sosial, lama menjalani kehidupan sebagai homoseks, dam Iain- lain dengan harapan diperoleh ciri tertentu yang menggambarkan kondisi subyek
secara lebih mendalam.
Mencoba melakukan penelitian dengan pendekatan kuantitatif untuk
menvasitasi kembali reliabilitas dan validitas indikator-indikator yang menjadi acuan dalam studi ini.
Mencoba melakukan penelitian pada kelompok subyek yang memiliki
kecenderungan homoseksual namun belum mmgakui dan alau belum menjalani
kehidupan sebagai kaum homoseks unmk memperkaya pengetahuan mengenai
pemanfaatan indikaxor yang ada, temasuk indikator berupa detenninan "m"
dengan isi respon tertentu yang mengindikasikan homoseksual laten menurut
Lindner (dalam Lemer, I987).
Mencoba melakukan penelitian kepada kaum homoseks perempuan (lesbi) untuk mendapatkan gambaran apakah tes Rorschach juga dapat mengungkap
kecenderungan homoseksual mereka yang dikenal sebagai kelompok individu dengan ciri khas sifax tenutup; sekaligus untuk menelaah kembali apakah indikator-indikalor yang digunakan dalam studi ini jugs dimunculkan oleh kaum lesbi tersebut dan apakah terdapat perbedaan bentuk respon/indikalor antara kaum gay dan kaum lesbi."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
T38771
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Devanda Ghoziandi
"From the perspective of the predominantly heterosexual society, giving a tribute to the LGBTQ+ community in performance can be considered an act of respect. However, such an act can be counterproductive to the LGBTQ+ community. To build a case in seeing the root of the problem, this thesis examines Taylor Swift’s music video and song “You Need to Calm Down,” which was purposely made for her advocacy for LGBTQ+ people. It is argued that the music video does not depict LGBTQ+ people in the most realistic way as it prolongs or extends the harmful stereotypes of LGBTQ+ people, and the gender performances that are acted out or played in the music video do not conform to the gender performativity concept that has become the ground of LGBTQ+ rights. Additionally, the said gender performances are also considered unfavorable as they compare the struggle of LGBTQ+ people to a personal problem that shows a heteronormative bias. Using the analysis of cinematic devices as a method, it is concluded that Swift’s advocacy for LGBTQ+ people has its complexity that falls on heteronormative bias, problematic gender performativity, and unfavorable stereotypes.

Dari perspektif masyarakat yang didominasi heteroseksual, melibatkan komunitas LGBTQ+ dalam karya seni dapat dianggap sebagai tindakan penghormatan. Namun, tindakan semacam itu dapat menjadi kontraproduktif bagi komunitas LGBTQ+. Untuk melihat akar masalahnya, penelitian ini mengkaji video musik dan lagu Taylor Swift “You Need To Calm Down”, yang sengaja dibuat sebagai wujud pembelaannya terhadap komunitas LGBTQ+. Beberapa argumen mengatakan video music tersebut tidak menggambarkan komunitas LGBTQ+ dengan cara yang paling realistis karena memperpanjang atau memperluas stereotip negatif dari orang-orang LGBTQ+, dan pertunjukan gender yang diperankan atau dimainkan dalam video musik tidak sesuai dengan konsep performativitas gender yang menjadi landasan hak-hak LGBTQ+. Selain itu, pertunjukan gender tersebut juga dinilai kurang baik karena membandingkan perjuangan komunitas LGBTQ+ dengan masalah pribadi yang menunjukkan bias heteronormatif. Dengan menggunakan metode analisis perangkat sinematik, disimpulkan bahwa advokasi Swift untuk komunitas LGBTQ+ memiliki kompleksitas yang terjerumus pada bias heteronormatif, performativitas gender yang bermasalah, dan stereotip yang tidak menguntungkan."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Alma Safira Nurarafah
"David Levithan dikenal sebagai salah satu penulis yang tidak menggambarkan karakter LGBTQ yang stereotipikal dalam novel-novelnya. Salah satu novelnya, Every Day (2012) menyampaikan cerita tentang seorang karakter yang memiliki identitas gender berada di luar gender biner (gender non-conforming) yang dapat melakukan perjalanan dari satu tubuh ke tubuh lain setiap hari. Karakter utama novel ini adalah roh yang tidak memiliki tubuh. Penelitian ini bertujuan untuk menyelidiki konstruksi gender di Every Day (2012). Menggunakan analisis tekstual, penelitian ini menunjukkan bahwa Every Day (2012) mempermasalahkan representasi dari konstruksi gender dan menantang konstruksi tersebut melalui karakternya.

David Levithan is known as one of the authors who does not portray stereotypical LGBTQ character in his novels. One of his novels, Every Day (2012) delivers a story about a gender non-conforming character who can travel from ones body to another every single day. The main character of the novel is a spirit who does not possess any bodies. This research aims to investigate gender construction in Every Day (2012). Using textual analysis, this research suggests that Every Day (2012) problematizes the representation of gender construction and challenges the construction through its characters."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2019
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
"Penelitian tentang "Pandangan dan perilaku Penduduk Segara Anakan terhadap Lingkungannya" di lakukan di Desa Klaces Kecamatan Kampung Laut kawasan Segara Anakan Kabupaten Cilacap
"
PATRA 9(1-2) 2008
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Tissa Pitaloka Pagehgiri
"Dalam pemeriksaan psikologi, alat tes mempunyai peranan penting sebagai alat bantu bagi psikolog dalam memberikan penilaian tentang perilaku seseorang. Dengan alat tes dapat diketahui kemampuan seseorang serta ciri-ciri perilaku seseorang, seperti sikap, motivasi, kondisi emosi, dan hubungan sosial orang tersebut dengan lingkungannya. Dalam penelitian ini peneliti menekankan pada tes Rorschach yang merupakan tes kepribadian dngan metode proyeksi. Perilaku yang ditunjukkan seseorang selama pemeriksaan psikologi merupakan cerminan kepribadiannya.
Sebagai alat tes kepribadian Rorschach dapat mengungkap aspek-aspek kepribaiaan yaitu aspek intelektual/kognitif aspek emosi atau afektif, serta aspek fungsi ego. Fungsi aspek-aspek tersebut hanya dapat dipahami bila masing-masing aspek dihubungkan daiam suatu totalitas. Selain dapat mengungkap aspek-aspek kepribadian, tes Rorschach juga dapat mengungkap hal-hal patologis dari suatu kasus klinis, seperti Skizofrenia yang mempakan gangguan jiwa terberat dalam kelompok psikotik. Seorang penderita skizofrenia akan mengalami gangguan pada aspek kognitif, aspek emosi, dan aspek perilakunya. Pada aspek kognitif penderita mengalami gangguan berupa halusinasi, waham maupun proses pikirnya. Gangguan pada aspek emosi berupa emosi yang tidak sesuai yang ditunjukkan oleh penderita.
Sedangkan gangguan perilaku ditunjukkan penderita dalam bentuk perilaku katatonik atau postur lilin. Berdasarkan gangguan-gangguan yang ada pada penderita skizofrenia maka peneliti ingin melihat bagaimana gambaran gangguan tersebut pada tes Rorschach, terutama pada aspek intelektualnya yang merupakan gangguan yang paling mencolok pada penderita skizofrenia.
Berdasarkan data sekunder yang diperoleh dari bagian Psikologi Klinis Dewasa sejak tahun 1996-2002, diperoleh 30 sampel yang terdiri dari skizofrenia tipe paranoid berjumlah 13 orang, tipe hebefrenik berjumlah 2 orang, tipe katatonik berjumlah 1 orang, tipe tak tergolongkan beljumlah 9 orang dan tipe residual berjumlah 5.
Dari hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa pada penderita skizofrenia baik tipe paranoid, hebefrenik, katatonik, tak tergolongkan maupun residual memiliki lcapasitas intelektual dibawah rata-rata dengan efisiensi intelektual yang juga berada pada rentang yang sama, yaitu dibawah rata-rata. Penderita skizofrenia juga mempunyai persentas respon W tinggi dengan kualitas minus. Selain W- pada penderita skizofrenia juga ditemukan konfabulasi W. F- minus juga terdapat pada sebagian besar penderita skizofrenia. Jumlah respon popular rendah dan respon minus ditemukan pula pada penderita skizofrenia. Untuk content, paling banyak ditemukan respon A. A% pada penderita skizofrenia sangat tinggi. Selain itu ditemukan juga suksesi loose dan confused."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2003
T38493
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Natalia
"Anak-anak retardasi mental ringan memiliki kesulitan dalam hubungan interpersonal, khususnya berkomunikasi secara verbal (Nelson & Israel.,1997). Walaupun demikian, anak-anak ini tetap dapat merasakan sikap dan perlakuan oranglua terhadap mereka. Dari beberapa laporan kasus anak retardasi mental ringan yang datang ke Fakultas Psikologi UI (antara tahun 1998-2002) dan dari pengamatan yang dilakukan oleh peneliti di sekolah-sekolah luar biasa, terlihat bahwa anak-anak retardasi mental ringan ini akan berespon tertentu sesuai dengan perlakuan orangtua terhadap mereka. Maka dari itu setiap orangtua diharapkan dapat menerima dan memperlakukan anak-anak yang sudah didiagnosa retardasi mental ringan, dengan baik dan penuh tanggung jawab. Namun adakalanya orangtua menunjukkan penolakan dan menarik diri dari tugas merawat anaknya tersebut (Bigner, 1994).
Dengan beragamnya reaksi orangtna terhadap anaknya yang bermasalah dan melihat pentingnya pengaruh orangtua terhadap anak dengan kebutuhan khusus, peneliti tertarik untuk meneliti lebih jauh tentang hubungan antara orangtua dan anak retardasi mental ringan, khususnya dari sudut pandang anak. Salah satu media yang dapat melihat hubungan orangtua dan anak, sekaligus mudah bagi anak dengan kapasitas intelektual yang berada di bawah rata-rata, adalah tes House-Tree-Person. Di sini anak diminta untuk menggambar sebuah rumah, sebuah pohon, dan seorang manusia pada selembar kertas. Secara umum, tes HTP dapat diinterpretasikan sebagai refleksi baik sikap maupun perasaan-perasaan yang ditujukan pada dirinya dan lingkungannya. Rumah merefleksikan hubungannya dengan ibu, pohon merefleksikan perasaan terhadap ayah, dan orang merefleksikan perasaan terhadap dirinya. Untuk mendapatkan gambaran lebih jauh mengenai hubungan orangtua dan anak pada tes HTP, akan difokuskan pada interpretasi gambar HTP secara terpisah (masing-masing elemen) dan melihat hubungan tiga elemen, yakni rumah, pohon, dan orang (Marnat, 1999). Sebagai bahan pembanding, peneliti juga tetap akan melampirkan hasil anamnesa dengan orangtua, untuk melihat bagaimana pandangan orangtua terhadap hubungannya dengan anak-anaknya.
Setelah dilakukan analisis terhadap data sekunder yang diperoleh dari Bagian Klinis Anak Fakultas Psikologi Universitas Indonesia., diperoleh hasil yakni dalam memandang hubungannya dengan orangtua., tiga subyek merasakan kebutuhan akan kedekatan dengan figur ibu daripada ayah dan hanya satu subyek yang merasakan kebutuhan akan kedekatan dengan figur ayah daripada dengan ibu. Walaupun demikian, keempat subyek merasakan pentingnya kehadiran seorang ibu bagi mereka. Sedangkan dalam hal dominasi, ada dua subyek yang merasakan bahwa figur ibu lebih dominan daripada ayah dan dua subyek laiunya merasa dominasi kedua orangtua sama besarnya.
Sebagai bahan pembanding, dari anamnesa dengan orangtua, terlihat bahwa orangtua dari keempat subyek, kecuali ayah dari subyek 3, menolak kondisi anak mereka baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung ditunjukkan dengan sikap menarik diri dan tidak terlibat dalam pengasuhan anak, sedangkan sccara tidak langsung ditunjukkan dengan sikap tetap mengasuh anak namun dengan aturan yang keras dan disertai dengan hukuman fisik.
Peneliti menyadari bahwa hasil yang diperoleh dari penelitian ini masih memiliki banyak kekurangan dan harus diteliti secara lebih mendalam, mengingat adanya keterbatasan jumlah subyek penelitian, pengadminsrasian tes HTP yang tidak dilakukan langsung oleh peneliti, perbedaan pemahaman / persepsi antara peneliti dengan pemeriksa sebelumnya, dan keterbatasan peneliti dalam mengungkapkan aspek-aspek penting dari tes HTP. Maka dari itu perlu diadakan penelitian lanjutan dengan memperluas jumlah subyek dan jika memungkinkan dilakukan penelitian dengan menggunakan data primer."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
T38183
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fatmah
"Tinggi badan adalah salah satu indikator klinik utama dalam menentukan Indeks Massa Tubuh (IMT) dalam menentukan status gizi individu/populasi. Namun, pengukuran tinggi badan manusia usia lanjut (manula) cukup sulit dilakukan dan reliabilitasnya diragukan. Persamaan estimasi tinggi badan dari pengukuran tinggi lutut untuk memprediksi tinggi badan manula yaitu persamaan Chumlea telah dikembangkan beberapa tahun lalu, tetapi belum ada studi yang dilakukan di Indonesia untuk mengembangkan suatu persamaan bagi pengukuran tinggi badan populasi usia lanjut menurut bermacam-macam kelompok etnis. Oleh karena itu, suatu cross sectional studi untuk mengembangkan persamaan tinggi badan manula berdasarkan pengukuran dua parameter yaitu tinggi lutut dan panjang depa (knee height dan arm span) telah dilakukan pada bulan Desember 2005 lalu. Total 217 manula (usia 60 - 92 tahun) dari 3 kelompok etnik yaitu: Jawa (56,7%), Cina (31,3%), dan lain-lain (12,0%) berpartisipasi dalam studi ini. Pengukuran antropometri termasuk berat badan, tinggi badan, panjang depa, dan tinggi lutut dilakukan oleh ahli gizi terlatih. Kesalahan inter dan intra observer dilakukan untuk pengukuran antropometri tinggi lutut dan panjang depa manula. Temuan utama studi adalah rata-rata usia manula asal Cina adalah tertinggi di antara suku lainnya; kebanyakan manula mengalami gizi kurang (43%); distribusi rata-rata tinggi lutut dan panjang depa hampir sama di tiap kelompok etnis; ada perbedaan signifikan antara tinggi lutut dengan tinggi badan sebenarnya pada wanita lanjut usia (lansia), dan korelasi tertinggi ditunjukkan oleh parameter tinggi lutut pada wanita lansia dan panjang depa pada pria lansia. Persamaan Chumlea menunjukkan kecenderungan under-estimate pada pria lansia dan over-estimate pada tinggi badan wanita lansia. Kesimpulannya, tinggi badan tegak/sebenarnya merupakan teknik ideal untuk estimasi tinggi badan lansia. Tetapi, pada kasus di mana pengukuran itu sendiri tidak memungkinkan atau tidak reliable, maka tinggi badan dapat diestimasi dari indikator proksi tinggi badan. Pada studi ini, panjang depa menggambarkan korelasi tertinggi dengan tinggi badan sebenarnya pada pria lansia , dan tinggi lutut pada wanita lansia.

The Equation of Prediction Stature Based on Age and Ethnic in Six Institutionalized Elderly at DKI Jakarta and Tangerang, Year 2005. Height is an important clinical indicator to derive body mass index (BMI) predicting the nutritional status. However, height measurement in the elderly may impose some difficulties and the reliability is doubtful. Equations estimating height from knee height parameter to predict stature in elderly i.e. Chumlea have been developed, but no one study has developed an equation for Indonesian population according to variety of ethnics. Therefore, a cross sectional study was conducted to develop equations using two types of anthropometric measurements (knee height and arm span) for estimating stature in Indonesian elderly. A total of 217 elderly (aged 60 to 92 years old) from three major ethnic groups Javanese (56.7%), Chinese (31.3%), and others (12.0%) participated in this study. Anthropometric measurement included body weight, height, arm span, and knee height were carried out by trained nutritionist. Inter and intra observer errors was calculated for each anthropometric measurement of arm span and knee height of elderly. Main findings of this study were the mean of age of Chinese was the highest among other ethnics; the most elderly suffered from underweight (43%); the distribution of mean knee height and arm span was almost similar in each ethnic group; there was a significant difference between knee height with stature in elderly women, and the highest correlation indicated by knee height in elderly women and arm span in elderly men. Chumlea equation showed tend to be under-estimate in stature of elderly men and over-estimate in stature of elderly women. In conclusion, standing height is an ideal technique for estimating the stature of elderly. However, in cases where its measurement is not possible or reliable, height can be estimated from proxy indicators of stature. In this study, arm span showed the highest correlation with standing height in elderly men, and knee height in elderly women.;The Equation of Prediction Stature Based on Age and Ethnic in Six Institutionalized Elderly at DKI Jakarta and Tangerang, Year 2005. Height is an important clinical indicator to derive body mass index (BMI) predicting the nutritional status. However, height measurement in the elderly may impose some difficulties and the reliability is doubtful. Equations estimating height from knee height parameter to predict stature in elderly i.e. Chumlea have been developed, but no one study has developed an equation for Indonesian population according to variety of ethnics. Therefore, a cross sectional study was conducted to develop equations using two types of anthropometric measurements (knee height and arm span) for estimating stature in Indonesian elderly. A total of 217 elderly (aged 60 to 92 years old) from three major ethnic groups Javanese (56.7%), Chinese (31.3%), and others (12.0%) participated in this study. Anthropometric measurement included body weight, height, arm span, and knee height were carried out by trained nutritionist. Inter and intra observer errors was calculated for each anthropometric measurement of arm span and knee height of elderly. Main findings of this study were the mean of age of Chinese was the highest among other ethnics; the most elderly suffered from underweight (43%); the distribution of mean knee height and arm span was almost similar in each ethnic group; there was a significant difference between knee height with stature in elderly women, and the highest correlation indicated by knee height in elderly women and arm span in elderly men. Chumlea equation showed tend to be under-estimate in stature of elderly men and over-estimate in stature of elderly women. In conclusion, standing height is an ideal technique for estimating the stature of elderly. However, in cases where its measurement is not possible or reliable, height can be estimated from proxy indicators of stature. In this study, arm span showed the highest correlation with standing height in elderly men, and knee height in elderly women.;The Equation of Prediction Stature Based on Age and Ethnic in Six Institutionalized Elderly at DKI Jakarta and Tangerang, Year 2005. Height is an important clinical indicator to derive body mass index (BMI) predicting the nutritional status. However, height measurement in the elderly may impose some difficulties and the reliability is doubtful. Equations estimating height from knee height parameter to predict stature in elderly i.e. Chumlea have been developed, but no one study has developed an equation for Indonesian population according to variety of ethnics. Therefore, a cross sectional study was conducted to develop equations using two types of anthropometric measurements (knee height and arm span) for estimating stature in Indonesian elderly. A total of 217 elderly (aged 60 to 92 years old) from three major ethnic groups Javanese (56.7%), Chinese (31.3%), and others (12.0%) participated in this study. Anthropometric measurement included body weight, height, arm span, and knee height were carried out by trained nutritionist. Inter and intra observer errors was calculated for each anthropometric measurement of arm span and knee height of elderly. Main findings of this study were the mean of age of Chinese was the highest among other ethnics; the most elderly suffered from underweight (43%); the distribution of mean knee height and arm span was almost similar in each ethnic group; there was a significant difference between knee height with stature in elderly women, and the highest correlation indicated by knee height in elderly women and arm span in elderly men. Chumlea equation showed tend to be under-estimate in stature of elderly men and over-estimate in stature of elderly women. In conclusion, standing height is an ideal technique for estimating the stature of elderly. However, in cases where its measurement is not possible or reliable, height can be estimated from proxy indicators of stature. In this study, arm span showed the highest correlation with standing height in elderly men, and knee height in elderly women."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
PDF
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Helena Winata
"Jatuh merupakan hal yang sering terjadi pada lansia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengetahuan, sikap, dan perilaku keluarga tentang kejadian jatuh pada lansia di RW 05 Kelurahan Cisalak. Penelitian ini menggunakan desain deskriptif.
Hasil penelitian menunjukan keluarga memiliki pengetahuan yang dapat dikategorikan baik (51,9%), sebagian besar keluarga memiliki sikap baik (73,6%) serta tidak terdapat perbedaan antara perilaku baik dan kurang (50%) tentang kejadian jatuh pada lansia.
Peneliti menyarankan agar penelitian ini dapat digunakan untuk memotivasi keluarga dan pemberi layanan kesehatan dalam mempromosikan pentingnya pencegahan jatuh dalam rangka mengurangi kejadian jatuh pada lansia.

Falls are common among elderly. The aim of this study was to explore family's knowledge, attitude, and behavior about falls incident among elderly at RW 05 Kelurahan Cisalak. This study used a descriptive method for its design.
The result showed that the knowledge of the families were classified as good (51,9%), most of families had good attitudes (73,6%), and the behavior of the families did not have any difference between good and less (50%) about falls incident among elderly at RW 05 Kelurahan Cisalak.
Researcher suggest that this research could be used to encourage family and other health care provider to promote the importance of having falls prevention in order to reduce falls incident rate in elderly.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2013
S46442
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Darmawan
"Proporsi jumlah penduduk usia tua di Indonesia semakin meningkat. Hal ini menggambarkan bahwa usia harapan hidup masyarakat juga meningkat. Salah satu upaya untuk menilai status gizi dari lansia dapat dilihat dari Indeks Massa Tubuh (IMT) yaitu berat badan dan tinggi badan. Namun, pengukuran tinggi badan tegak pada lansia tidak dapat dilakukan karena skoliosis, kifosis, cacat, dan patah tulang. Tujuan studi ini adalah untuk memperoleh model prediksi tinggi badan pada pra lansia (45-59 tahun) dan lansia (60-90 tahun) berdasarkan panjang depa, tinggi lutut, usia, dan jenis kelamin. Studi ini dilakukan pada 202 (90 orang laki-laki dan 112 orang perempuan) pra lansia dan lansia, di Kecamatan Bojongsari, Kota Depok, Jawa Barat.
Studi menggunakan desain cross sectional. Kriteria inklusi responden adalah laki-laki maupun perempuan dengan usia 45-90 tahun, memiliki kondisi tubuh yang sehat atau masih mampu berdiri tegak, serta dapat berkomunikasi dengan baik. Kriteria eksklusi responden adalah lansia yang memiliki salah satu tangan tidak dapat direntangkan karena patah tulang atau sebab tertentu, mengalami patah tulang/kaki palsu, dan gangguan komunikasi.
Hasil dari studi ini menunjukkan bahwa korelasi panjang depa dengan tinggi badan pada laki-laki r = 0,86 perempuan r = 0,71. Korelasi tinggi lutut dengan tinggi badan pada laki-laki r = 0,79 perempuan r = 0,72. Model prediksi tinggi badan dapat dilakukan dengan prediktor panjang depa, tinggi lutut, dan usia. Model prediksi ini dapat diaplikasikan pada pasien yang diamputasi atau gangguan patah tulang.

Proportion of elderly in Indonesia increases. This situation describe that the life expectation have also increased. A tools to assess the nutritional status of the elderly can be seen from the Body Mass Index (BMI) from weight and height. However, measurement of height in elderly can nott be obtained because scholiosis, khifosis, deformity, of fracture. The purpose of this study was to obtain the height prediction model in middle-age (45-59 years) and elderly (60-90 years) based on arm span, knee height, age, and gender. The study was conducted on 202 (90 men and 112 women) middle-age and elderly, in Bojongsari District, Depok, West Java.
This study use cross-sectional design. Inclusion criteria for the respondents were men and women aged 45-90 years, having a healthy body condition or still able to stand upright, and can communicate well. Exclusion criteria were elderly respondents who had one hand can not be stretched because of fracture or a particular cause, suffered a rosthetic limbs, and discommunication.
Results of this study indicate that the correlation arm span to height for men women r = 0.86 r = 0.71. Knee hight correlation with height in men women r = 0.79 r = 0.72. The new height prediction models can formed using arm span, knee height, and age. The predictive models can be applied to patients who amputated or fracture.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2013
S45792
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fanuva Endang Tri Setyaningsih
"Populasi lansia yang meningkat memerlukan perawat yang cukup di panti werdha. Penelitian ini bertujuan mengetahui gambaran motivasi perawat untuk bekerja di panti werdha Pemerintah DKI Jakarta melalui cross sectional dengan deskriptif sederhana. Perawat yang bekerja di panti werdha pemerintah DKI Jakarta sebanyak 15 orang merupakan responden secara total sampling. Hasil penelitian menunjukkan 86,7% perawat mempunyai motivasi sedang dan lainnya mempunyai motivasi yang tinggi, dimana sifat pekerjaan, penghargaan dan hubungan interpersonal menjadi motivator untuk bekerja di panti werdha pemerintah. Dari hasil penelitian tersebut, disarankan agar meningkatkan kualitas kondisi kerja, status dan jenjang karir, pendapatan dan keamanan kerja untuk menjaga motivasi perawat.

Nurses are needed to handle increased number of elderly. The purpose of this study was describing nurses motivation to work in Jakarta government institution. This is a descriptive research design using total sampling in 15 nurses. The result showed that 86,7% nurses have enough motivation level to work in goverment institution, and the others have high level of motivation, where the work itself, appreciation, and relationship are the motivator to work in government institutions. The result suggest that to keep the nurse’s motivation with improving the quality of working condition, career status, income and job security in government institutions.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2013
S47452
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>