Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 155947 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Irene Gracesiana H.P.
"Melajang, baik sebagai sebuah situasi atau suatu pilihan hidup membawa pengaruh pada setiap individu baik laki-laki apalagi perempuan. Masyarakat dewasa ini masih meyakini bahwa perempuan akan memperoleh kesempurnaannya jika ia menikah, berkeluarga dan mempunyai anak. sebagian besar masyarakat juga mengharapkan bahwa perempuan dewasa sudah seharusnya menikah dan memberikan batasan usia (jam sosial) bilamana perempuan harus menikah.
Oleh karena itu apabila ada perempuan yang belum menikah pada batas usia tersebut, masyarakat masih memiliki pandangan negatif terhadap perempuan yang melajang. Turner & Helms (1994) menyatakan bahan pandangan serta tuntutan masyarakat mampu menurunkan konsep dan kepercayaan diri perempuan lajang. Belum lagi pihak keluarga yang merupakan bagian dalam masyarakat turut memberikan tekanan-tekanan pada perempuan yang bersangkutan. Oleh karena itu mau tidak mau, perempuan hams mampu menyesuaikan diri dengan keadaan dan tuntutan tersebut. Penyesuaian diri ini tentunya dipengaruhi Oleh kepribadian sang perempuan karena menyangkut bagaimana perempuan lajang menjalankan fungsi dasarnya seperti emosi, kontrol dan diri serta fungsi intelektualnya Semua fungsi ini tercakup dalam aspek yang diukur oleh Tes Wartegg.
Cakupan diagnostik dari tes Wartegg adalah menggali fungsi- dasar kepribadian seperti emosi, imajinasi, dinamika, kontrol dan fungsi realitas yang dimiliki oleh individu (Kinget, 1964). Dasar dari tes ini adalah bahwa tiap individu memiliki cara-cara yang berbeda di dalam memersepsi dan bereaksi terhadap situasi yang tidak terstruktur dan cara-cara ini merupakan pembeda bagi masing-masing kepribadian (Kinget, 1964). Tes Wartegg atau Drawing Completion Test merupakan suatu alat yang digunakan untuk evaluasi kepribadian (personality assessment). Tes ini adalah tes proyektif yang merupakan kombinasi dad teknik completions dan expressions karena telah memiliki stimu1us~stimulus yang perlu diselesaikan_ (dengan mengekspresikan suatu gambar (Lanyon & Goldstein, 1997; Nieizel & Bemstein,1987).
Sedangkan pengel-Lian Perempuan Lajang dalam penelitian ini adalah perempuan yang tidak mcnikah saat ini dan yang tidak melakukan kohabitasi (Stein dalam Levinson, 1995). Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan menggunakan metode kualitatif melalui studi pustaka dan penggunaan alat tes terstandar sebagai alat yang utama (primer). Subyek dalam penelitian ini berjumlah (enam) perempuan lajang di atas 30 tahun. Tes Warlegg diadministrasikan secara individual, demikian juga dengan wawancara yang membcri koniinnasi interpretasi tes Wartegg. Tes Wartegg diinterpretasi sesuai dengan interpretasi Kinget (1964) (S-D-R., content dan execution). I-Iasil tes dianalisis dengan menggunakan metode narrative presentation dan memaparkan hasil Wartcgg dari keenam subyek penelitian secara keseluruhan tes Wartegg para Subyek, baik stimulus drawing relation, content maupun execution cukup adekuat hal ini menunjukkan bahwa secara umum enam subyek perempuan lajang memiliki kemampuan untuk menyesuaikan diri yang cukup adekuat.
Berdasarkan interpretasi tes Wartegg, perempuan lajang dalam penelitian ini memiliki ciri kepribadian feminin (féminine personality make-up). Tiga dari enam orang memiliki fungsi emosional yang lebih menonjol dibandingkan dengan fungsi rasional-kehendak. Dua orang dengan ihngsi rasional-kehendak yang menonjol dan satu orang cenderung seimbang antara kedua fungsi tersebut. Seluruh subyek memiliki fungsi imajinasi yang diperoleh dari pengalaman sensoris, realitas nyata serta fakta-falcta yang ada. Untuk fungsi intelektual lima orang memiliki fungsi intelektual yang praktis yang tertuju pada hal-hal konkret, obyektif, aplikatif dan cenderung matter of fact. Fungsi aktivitas cenderung bervariasi antara tipe dinamis dan terkontrol yaitu tiga orang dengan fungsi aktivitas yang dinamis dan tiga orang fungsi aktivitas tipe terkontrol."
Jakarta: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2002
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indrias Ardhiana
"Pada tahun-tahun pertama kehidupan seorang anak, tokoh pertama yang dikenal adalah ibunya, sehingga. ibu memegang peranan panting dalam perkembangan anak. Melalui hubungan yang kontinyu, intim, dan hangat antara ibu dan anak, ibu menjadi peka terhadap kebutuhan-kebutuhan anak dan berusaha memuaskannya. Dengan pemuasan kebutuhan tersebut akan menimbulkan rasa percaya diri pada anak dan juga rasa percaya pada orang lain.

Anak-anak yang harus berpisah dengan orang tuanya terutama. ibunya dan kemudian tinggal di panti asuhan karena suatu sebab akan mengalami keadaan- keadaan yang tidak menyenangkan seperti kurangnya perhatian dan kasih sayang, serta kemungkinan timbulnya perasaan insecure. Dalam usaha menyesuaikan diri ini, anak biasanya lebih memilih untuk menuruti apa yang dikatakan atau diperintahkan padanya daripada melakukan apa yang sebetulnya menjadi kemauannya sendiri. Dengan mengikuti kemauan orang lain yang mungkin bertentangan dengan kemauannya sendiri bisa menyebabkan anak terganggu dan menimbulkan beban mental yang akhirnya dapat mengakibatkan terjadinya ilustrasi. Karena banyaknya kebutuhan-kebutuhan yang tidak terpenuhi yang menimbulkan ilustrasi, serta kejadian yang tidak mengenakkan, maka akan menimbulkan bermacam-macam tingkah laku untuk menyalurkan dorongan-dorongannya tersebut. Salah satu yang mungkin merupakan media penyalurannya adalah dengan bertingkah laku agresif atau menyerang orang lain (Berkowitz,1993). Agresivitas ini dapat tampil dalam bentuk yang tampak (overt) maupun yang tidak tampak (covert). Bentuk dan deraiat agresif yang tampil dapat berbeda antara seorang anak dengan anak yang lain tergantung pribadi si anak dan lingkungannya.

Hand test adalah suatu tes proyeksi yang menggunakan gambar tangan sebagai stimulusnya. Yang diungkap dari tes ini adalah kecenderungan tingkah laku yang tampak(over1 behavior). Salah satu yang bisa diungkap oleh hand test adalah prediksi tentang tingkah laku agresif yang tampak (AOR : Acting-Out Score). AOR didapatkan dengan membandingkan antara skor Ajeclion + Dependence + Communicarion dan Direction + Aggression. Seorang dikatakan agresif adalah bila pada AOR, skor agresif mendominasi kecenderungan tingkah laku. Hipotesa yang diajukan dalam penelitian ini ada dua, yaitu :
- Ho = Sum of Aggressive (AGG + DIR) sama dengan Sum of Cooperative (AFP + COM + DEP) pada anak-anak bermasalah yang tinggal di panti asuhan. Ha = Sum of Aggressive (AGG + DIR) lebih tinggi daripada Sum of Cooperative (AFF + COM + DEP) pada anak-anak bermasalah yang tinggal di panti asuhan
- Ho = Indikasi agresivitas pada anak-anak laki-lald bermasalah yang tinggal di panti asuhan sama dengan anak-anak perempuan bermasalah yang tinggal di panti asuhan. Ha = Indikasi agresivitas pada anak-anak laki-Iaki bermasalah yang tinggal di panti asuhan Iebih tinggi daripada anak-anak perempuan bermasalah yang tinggal di panti asuhan.
Sedangkan hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut
1. Sum of aggressive lebih rendah daripada Sum of Cooperative baik pada kelompok anak laki-Iaki maupun anak perempuan, Setelah dilakukan uji signifikansi untuk mengetahui apakah perbedaan antara Sum of Cooperative dan Sum of Aggressive tersebut signifikan atau tidak, maka data yang didapat menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara. Sum of Cooperative dan Sum of Aggressive. Hal ini berarti hipotesis yang diajurkan, yaitu Sum of Aggressive lebih tinggi daripada Sum of Cooperative pada anak-anak bermasalah di panti asuhan tidak terbukti
2. Bila mean Sum of Aggressive antara kelompok anak laki-laki dan anak perempuan dibandingkan, maka dapat disimpulkan bahwa indikasi agresivitas anak perempuan lebih tinggi bila dibandingkan anak laki-Iaki. Tetapi bila Sum of Aggressive antara kelompok anak iaki-laki dan perempuan dibandingkan dengan menggunakan 1-resi, maka perbedaan indikasi agresivitas antara anak perempuan dan anak laki-laki bermasalah di panti asuhan tersebut tidak signifikan.

Beberapa faktor yang mungkin dapat dikemukakan sebagai penyebab tidak
terbuktinya hipotesa yang diajukan adalah :
1. Perbedaan kriteria bermasalah antara pengurus panti asuhan dan kriteria bermasalah penelitian yang sudah ditentukan. Sebagai aldbatnya, kritena subyek penelitian menjadi berubah karena disesuaikan dengan kriteria pengurus sendiri
2. Ketika diambil data di salah satu panti asuhan (yaitu panti asuhan H. Patisah), pengums panti asuhan meminta untuk tetap menunggui jalannya tes yaitu dengan duduk di samping subyek ketika dilakukan wawancara dan diberikan tes.
3. Budaya Indonesia (Jawa Tengah khususnya) yang membiasakan bahwa
individu tidak bisa mengekspresikan dirinya seobyektif mungkin karena
segala sesuatunya harus dikaitkan dengan sopan santun
4. Meskipun hasil tes pada anak-anak bermasalah di panti asuhan tidak
menunjukkan hasil bahwa mereka agresif namun dari hasil observasi
didapat bahwa anak-anak yang ditunjuk untuk menjadi subyek penelitian
tampak agresi£ seperti tampak sulit untuk diam dan menunjukkan perilaku memberontak.
5. Banyak anak asuh yang sudah diwawancarai dan diberi tes memberitahu
jawabannya pada teman-temannya yang akan menjadi subyek penelitian.
6. Kurangnya inquiry yang dilakukan peneliti terhadap respon-respon yang diberikan subyek penelitian, sehingga kemungkinan menyebabkan kesalahan skoring."
Jakarta: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2002
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Megawaty Affriany
"Perkawinan kembali merupakan salah satu pilihan yang dapat dilakukan
setelah seorang wanita bercerai. Hasil survey di Amerika Serikat yang dilakukan kepada wanita bercerai menyebutkan bahwa 90% mempertimbangkan akan melakukan perkawinan kembali jika menemukan pasangan yang tepat (Thabes,dalam Papalia dkk 2001). Setelah perceraian, anak-anak umumnya tinggal bersama ibunya. Karenanya wanita seringkali membawa anaknya pada perkawinan berikutnya. Perkawinan kembali pascacerai yang melibatkan anak dan perkawinan sebelumnya cenderung memiliki masalah. Masalah akan semakin bertambah ketika wanita bercerai melakukan perkawinan kembali dengan pria lajang, Penyesuaian dalam perkawinan cenderung semakin sulit bila orang tua tirinya belum pernah menjadi orang tua sebelumnya (Hurlock, 1986). Untuk mewujudkan perkawinan kembali yang berhasil dan bahagia pasangan perlu melakukanpenyesuaian perkawinan pada berbagai area dalam perkawinan.
Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif dengan
jumlah responden 2 pasangan suami istri. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masalah yang biasa dihadapi pada perkawinan kembali pascacerai adalah masalah persetujuan keluarga, masalah hubungan ayah tiri dan anak tiri yang berusia remaja, masaiah hubungan dengan mantan suami, masalah antara suami dan istri akibat hubungan ayah tiri dan anak tiri yang kurang baik, masalah keuangan keluarga, kesulitan ijin dari suami jika mantan suami ingin berternu, dan masalah penggantian nama mantan suami dalam akte kelahjran anak. Strategi penyesuaian yang dilakukan setiap pasangan berbeda pada setiap masalah. Strategi yang paling dominan adalah aktif kompromi di mana penyelesaian masalah hanya memuaskan satu pihak. Gambaran penyesuaian perkawinan yang cukup berhasil tampak pada sedikit masalah pada area penyesuaian perkawinan. Gambaran penyesuaian yang kurang berhasil ditandai dengan masalah pada berbagai area penyesuaian yang belum terselesaikan. "
Jakarta: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rah Madya Handaya
"Dalam kehidupan komunitas gay, terdapat berbagai gaya hidup yang di antaranya adalah Close Couple, Open Couple dan Functional dimana masingmasing mempunyai ciri dan permasalahan khnsns (Bell dan Weinberg, dalam Nevid, Rathus & Rathus, 1995). Menurut McWhirter dan Mattison (1984), kaum gay, seperti juga kaum heteroseksual, menghadapi berbagai permasalahan dan tantangan dalam mempertahankan hubungan dengan pasangan. Namun demikian, seringkali pasangan tersebut tidak mampu untuk mengidentifikasi permasalahan utama sehingga mereka tidak mendapatkan solusi dan hubunganpun berakhir. Untuk mengatasi hal tersebut, pasangan yang memiliki masalah dapat meminta bantuan kepada psikolog, dimana seorang psikolog biasanya akan memberikan konseling dan menggunakan alat bantu berupa tes psikologi, checklist dan inventori untuk dapat memahami permasalahan secara lebih baik dan memberikan penanganan yang tepat.
Salah satu alat bantu yang dapat dipergunakan oleh psikolog untuk mendiagnosa permasalahan dalam suatu hubungan adalah inventori yang disebut Dyadic Adjustment Scale (DAS). Inventori ini disusun oleh Graham B. Spanier pada tahun 1976 dan terbagi atas 4 sub-skala, yaitu dyadic satisfaction, dyadic cohesion, dyadic consensus, dan ajfectional expression, serta terdiri dari 32 buah item yang memberikan penilaian terhadap kualitas suatu hubungan antar pasangan yang dapat mempengaruhi kepuasan dalam hubimgan yang dimiliki.
Di Amerika, DAS tel^ dipergunakan dalam berbagai penelitian mengenai pasangan gay, seperti untuk hubungan antara pasangan gay yang menjadi orangtua (Johnson, 2001), kekerasan dalam hubungan pasangan gay (Busby,1996) dan sebagainya. Sedangkan di Indonesia, sampai saat ini, peneliti belum menemukan adanya penelitian yang menggunakan Dyadic Adjustment Scale pada pasangan gay.
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh hasil uji coba DAS pada pasangan gay dan memberikan usulan rancangan mengenai modifikasi yang diperlukan terhadap DAS agar lebih sesuai bila diberikan pada komnnitas gay di Indonesia. Penelitian dilakukan dengan memberikan DAS dan selanjutnya melakukan wawancara terhadap subjek mengenai gambaran kehidupan mereka dan mengenai DAS. Kriteria subjek adalah pasangan gay, telah menjalani hubungan minimal 1 tahun, bemsia 20-40 tahun, pendidikan minimal SMA dan tinggal di Jakarta.
Hasil dari penelitian mengenai hasil uji coba DAS adalah semua subjek menganggap pemberian DAS pada pasangan gay memberikan hal positif, namun dirasakan perlu untuk menambahkan beberapa item baru pada setiap sub-skala agar lebih dapat menggambarkan komunitas gay di Indonesia. Selain itu, DAS dianggap lebih sesuai untuk diberikan pada pasangan gay yang telah tinggal bersama.
Hasil penelitian mengenai usulan modifikasi DAS adalah penambahan item-item pada setiap sub-skala, yaitu sebagai berikut, terhadap sub-skala efyadic consensus^ item yang ditambahkan adalah mengenai kesepakatan dalam mengekspresikan kasih sayang di tempat umum, kesepakatan mengenai pola hubungan, kesepakatan mengenai pembagian peran, kesepakatan dalam pengaturan tempat tinggal, kesepakatan dalam pandangan hidup yang berhubungan dengan coming-out, kesepakatan dalam tingkat keseriusan hubungan, kesepakatan mengenai kegiatan seksual selain dengan pasangan, kesepakatan dalam cara mengekspresikan kasih sayang, kesepakatan mengenai cara berhubungan seksual dan firekuensi melakukan kegiatan seksual.
Terhadap sub-skala dyadic satisfaction, hasilnya adalah penambahan item mengenai frekuensi timbul keraguan terhadap rasa cinta dari pasangzin, frekuensi dari timbulnya perasaan bahwa akan ditinggalkan oleh pasangan, mengekspresikan kasih sayang secara fisik di tempat umum, dan perasaan nyaman atau tidak bila pasangan menunjukkan kasih sayang secara fisik di tempat umum, rasa cemburu, dilibatkannya teman-teman dalam penyelesaian masalah, kejujuran, frekuensi dikecewakan oleh pasangan, frekuensi timbulnya perasaan telah mengecewakan pasangan, frekuensi pemyataan rasa cinta secara verbal dan frekuensi timbulnya perasaan bukan sebagai orang yang terpenting bagi pasangan.
Terhadap sub-skala dyadic cohesion, item-item yang ada sudah cukup untuk mewakili karakteristik pasangan gay, namun masih perlu ditambahkan satu item, yaitu yang mengukur mengenai frekuensi dari dilakukannya pembicaraan mengenai hal-hal selain tentang hubungan dan kegiatan sehari-hari.
Terhadap sub-skala affectional expression, hasilnya adalah penambahan item mengenai pemberian berbagai alasan untuk tidak berhubungan seksual, menunjukkan rasa cinta secara fisik dan secara verbal, kepuasan terhadap peran dalam hubungan seksual."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2007
T38025
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rustam Hadi
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2002
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maharani Ardi Putri
"Penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran coping pada perempuan di usia dewasa muda yang mengalami kekerasan seksual, Kekerasan seksual yang dimaksud disini adalah kekerasan yang terjadi karena adanya unsur kehendak seksual yang dipaksakan dan mengakibatkan terjadinya kekerasan oleh pelaku dan tidak diinginkan oleh korban (Rubenstein dalam Yuarsi, Dzuhayatin dan Wattie, 2003) Rentannya perempuan dalam mengalami kekerasan seksual ditentukan oleh banyak faktor, yaitu antara lain faktor lingkungan dalam arti budaya dan masyarakat, faktor negara, dan juga faktor individu baik individu sebagai pelaku maupun sebagai korban. Pandangan yang sudah berakar kuat mengenai posisi perempuan yang subordinat, ketentuan hukum yang belum tegas dalam menindak pelaku kekerasan seksual, kehendak pelaku yang berada di luar kontrol perempuan, serta reaksi perempuan terhadap kekerasan seksual itu sendiri merupakan bentuk - bentuk konkrit yang memberi sumbangan besar pada kerentanan perempuan terhadap kekerasan seksual. Semakin lama, perempuan harus semakin mengurangi ketergantungannya pada lingkungan, dan menjadi lebih waspada pada perubahan lingkungan di sekitarnya Namun demikian kekerasan seksual dapat terjadi dimana saja baik dalam lingkup publik maupun privat, dan dilakukan oleh siapa saja baik orang yang dikenal maupun tidak dikenal, sehingga kadang kala kekerasan seksual itu tidak dapat dihindari. Saat perempuan mengalami kekerasan seksual, maka ia juga berarti mengalami suatu peristiwa yang tidak menyenangkan yang dapat memberikan baik dampak fisik maupun psikologis dan dapat menempatkan individu dalam keadaan bahaya atau emotional distres disebut, keadaan ini juga disebut sebagai stres (Baron & Byrne, 2000). Untuk mengatasi keadaan ini seseorang akan perlu melakukan coping. Dimana menurut Lazarus & Folkman (1984, dalam Aldwin dan Revenson, 1987 : 338) coping adalah usaha yang sifatnya kognitif maupun perilaku, yang terus berubah. Dimana usaha tersebut ditujukan untuk mengatasi tuntutan yang berat maupun yang melampaui sumber daya / kemampuan seseorang Pemilihan coping yang tepat akan membawa individu pada keadaan yang stabil. Oleh karena itu penulis ingin melihat bagaimana penghayatan perempuan yang mengalami kekerasan seksual trhadap peristiwa tersebut, dan kemudian coping apa yang dikembangkan oleh perempuan yang mengalami kekerasan seksual. Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif Oleh karena proses coping pada diri setiap orang berbeda, yang disebabkan karena perbedaan pengalaman dan penghayatan masing - masing individu, maka pendekatan kualitatif lebih tepat digunakan dalam pendekatan ini karena pendekatan ini berdasarkan pada sudut pandang individu yang mengalaminya. Selain itu, penelitian ini juga merupakan sebuah studi kasus, sebab meneliti hampir keseluruhan aspek yang terdapat pada kehidupan responden. Pengambilan sampel dilakukan pada 3 rcsponden, dengan menetapka kriteria bahwa responden adalah perempuan yang berada dalam usia dewasa muda dan pernah mengalami kekerasan seksual. Pada akhirnya responden pada penelitian ini memiliki latar belakang budaya yang berbeda, namun tingkat pendidikan yang relatif sama. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa setiap orang akan memiliki strategi coping yang berbeda - beda hal ini ditentukan dari bagaimana ia mempersepsikan keadaan lingkungan dan juga dirinya sendiri. Namun ditemukan pula bahwa apabila coping yang dilakukan lebih bersifat emotion focused tanpa diimbangi dengan jenis problem - directed, maka dapat membawa akibat yang negatif sebab perasaan negatif itu menjadi lebih ditujukan pada diri. Apalagi apabila yang dikembangkan adalah strategi avoidance."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mira Ariyani
"Penelitian ini adalah penelitian mengenai faktor yang berperan dan proses yang terjadi dalam keputusan perempuan dewasa untuk menjadi isteri kedua pada perkawinan poligami.
Daya tarik akan kebahagiaan dalam perkawinan, perasaan cinta, dan keinginan untuk selalu bersama serta berada dekat dengan orang yang dicintai, merupakan salah satu faktor
yang memperkuat keinginan seseorang untuk menikah, khususnya bagi individu di tahap perkembangan dewasa, baik awal maupun madya.
Perkawinan itu sendiri terdiri dari bercam-macam tipe, Salah satunya adalah poligami. Menurut pcengamatan penulis, praktik perkawinan poligami terlihat marak akhir-akhir ini. Fenomena ini beserta dinamikanya dapat disaksikan dalam berbagai media, baik
eleklronik maupun cetak.
Berdasarkan undang-undang di Indonesia, poligami diperbolehkan. Adapun pendapat agama mengenai poligami, berbeda-beda. Di dalam masyarakat, pro dan kontra tentang poligami pun tidak berhenti hingga saat ini.
Walau hagaimanapun pro dan kontra yang ada, keputusan perempuan untuk menjadi isteri kedua tetap menimbulkan bermacam pertanyaan dan dugaan. Di satu pihak,
ketidakkonsistenan peraturan pemerintah dan perbedaan pendapat tentang praktik poligarni
di Indonesia belum berakhir, sedang di pihak lain, masih banyak pihak perempuan yang bersedia menjadi isteri kedua dengan berbagai alasannya.
Hal ini menimbulkan masalah penelitian yakni tentang faktor-faktor apa saja yang berperan dalam keputusan perempuan untuk menjadi istcri kedua, bagaimana proses
terjadinya keputusan tersebut, dan apakah pcrbedaan dan persamaan Paktor-faktor tersebut jika perempuan dewasa yang memutuskan menjadi isteri kedua berada dalam tahap
perkembangan yang berbeda, yakni pada masa dewasa awal dan dewasa madya.
Penelitian yang hendak dilakukan adalah penelitian kualitatif. Adapun landasan teori yang digunakan adalah mengenai perkawinan, pemilihan pasangan, pengambilan keputusan, dan teori perkcmbangan usia dewasa.
Hasil anaiisis mcnyebuLkan bahwa faktor yang mempengaruhi proses pengambilan keputusan, seperti faktor lingkungan, kepribadian, nilai, tendensi alami terhadap resiko, dan
potensi disoenansi; memang turut benpcran bagi subjek.
Hampir seluruh subjek penelitian menyertakan faktor ekonomi dan emosional dalam
keputusannya tersebut. Adapun dalam hal kepribadian yang dinyatakan oleh subjek sendiri,
terdapat beberapa kesamaan, yaitu seluruh subjek penelitian adalah pribadi-pribadi yang selalu menemukan sendiri pilihannya, berani, dan keras.
Dalam hal proses pengamnbilan keputusan, tidak seluruh tahap proses pengambilan keputusan dilakukan oleh subjek, terutama tahap evaluasi sebelum memilih altematif.
Seluruh subjek penelitian tidak melakukan kompromi atau meminta pendapat orang tua dan
keluarga sebelum mengambil keputusan. Selain itu, kebanyakan subjek tidak memiliki pengembangan alternatif lain selain hanya pilihan menikah atau tidak menikah.
Perbedaan antar subjek penelitian ini bukan terletak pada tahap perkembangan usia dewasa, akan tetapi, perbedaan yang cukup menonjol terletak pada faktor gadis (belum
pernah menikah) dan janda. Mereka yang menikah dalam kondisi masih gadis, memang cenderung disebabkan oleh keinginannya atau kesejahteraannya sendiri. Tujuan yang bersifat
emosional lebih berpengaruh di sini. Adapun mereka yang menikah dalam kondisi janda,lebih memikirkan kesejahteraan anak-anak sebelum mengambil keputusan. Namun, hal ini
hanya berlaku bagi mereka yang memiliki hak asuh anak
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Reita Amelia
"PT. ZZZ adalah perusahaan farmasi yang mengutamakan keunggulan kinerja di mana kunci sukses perusahaan terletak pada kualitas dan motivasi SDM. Dalam hari ini, karyawan PT. ZZZ tidak dapat bekerja sendiri namun harus bekerjasama sehingga keadaan interdependensi ini membuat kepercayaan antara bawahan dan atasan sangat penting dalam membentuk tim kerja yang kompak. Kepemimpinan transformasional memotivasi karyawan untuk berprestasi melampaui harapan sehingga karyawan merasa percaya kepada pemimpinnya dan termotivasi untuk mencapai kinerja superior. PT. ZZZ adalah salah satu perusahaan yang ingin menerapkan kepemimpinan transformasional.
Pelatihan adalah suatu usaha untuk meminimalkan kesenjangan antara kinerja yang dituntut dengan kinerja yang dimiliki oleh seorang karyawan. Agar kesenjangan tersebut dapat diminimalkan atau dihilangkan maka memberikan program pelatihan yang cocok dengan kebutuhan karyawan sangat penting dilakukan oleh Departemen SDM. Namun masalah yang terjadi di PT. ZZZ adalah turn over karyawan tinggi karena ketidakpuasan pada hubungan bawahan dan atasan atau tingkat kepercayaan bawahan terhadap atasan rendah. Karyawan yang mengundurkan diri berjumlah 10% dari 500 orang dan mereka memiliki kinerja yang outstanding sehingga merugikan bagi perusahaan karena terjadi peningkatan biaya perekrutan, biaya penyeleksian, biaya pelatihan dan pengembangan, biaya akibat atasan membangun system dari awal lagi, biaya membina hubungan dan komunikasi, dan lain-lain.
Untuk mengeliminasi hal ini dan untuk meningkatkan penerapan kepemimpinan transformasional maka Departemen SDM diminta untuk melakukan suatu desain pelatihan efektif yang diawali dengan melakukan identifikasi kebutuhan pelatihan. Dari hasil analisis diketahui bahwa karyawan membutuhkan pelatihan untuk meningkatkan kepercayaan bawahan terhadap atasan agar tercapai tim kerja yang kompak (team bonding). Metode pengumpulan data yang digunakan adalah dengan melakukan wawancara terhadap bawahan (Direktur, Manajer Senior, Manajer Yunior, Supervisor, dan Ketua Tim). Dari hasil pengumpulan data diperoleh bahwa masih terdapat kesenjangan antara kondisi ideal yang diharapkan bawahan terhadap atasan dengan kondisi aktual para atasan.
Oleh karena itu, penulis menyusun rekomendasi terhadap hasil yang diperoleh dan pengumpulan data. Pelatihan pembentukan tim yang kompak untuk meningkatkan kepercayaan bawahan terhadap atasan akan fokus kepada pengenalan beberapa materi yang berhubungan dengan kebutuhan yang ada ditambah tugas atau simulasi yang mengarah kepada penerapan materi. Sistem pelatihan yang dimulai dari mengidentifikasi kebutuhan pelatihan, menyusun sasaran pelatihan, mendesain program pelatihan, mengimplementasi program pelatihan, serta mengevaluasi dan menindaklanjuti pelatihan diharapkan dapat menjadi salah satu upaya dalam rangka penyelesaian masalah yang terjadi di PT. ZZZ."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2003
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ririn Dwi Lestari. H
"Tugas akhir ini berisi analisis penerapan dan usulan Penilaian Kinerja Pegawai (PKP) di PT. A, sebuah BUMN di bawah Departemen Perhubungan yang bergerak di bidang pengelolaan dan pengusahaan jasa bandar udara di Indonesia (profil perusahaan lihat lampiran 1). Sebagai salah satu sub sistem dalam pembinaan pegawai berdasarkan prestasi (merit system) di PT. A maka terapkanlah PKP sejak tahun 1994. Pada kenyataannya sistem PKP ini tidak berjalan dengan semestinya. Salah satu penyebabnya adalah sistem PKP di PT. A menggunakan sistem penilaian multi-raters. Sistem penilaian ini mengharuskan bawahan menilai alasan, sedangkan budaya perusahaan belum siap menerimanya. Sistem PKP yang sudah ada juga kurang spesifik mengukur hasil kerja karena belum ada Sasaran Kerja Individu-nya. Selain itu masih ada hal-hal lain yang belum diatur pada sistem PKP PT. A antara lain tidak adanya féedback dan jabatan khusus yang bertugas dan bertanggung jawab atas jalannya PKP. (lihat analisis data pada halaman 15-32).
Menanggapi kondisi di PT.A, penulis menginformasikan bahwa PKP sebagai bagian dari sistem manajemen kinerja harus kongruen dengan strategi, tujuan dan budaya dari Suatu organisasi Sementara itu masih ada faktor-faktor eksternal (di luar sistem PKP) yang dapat memuluskan jalannya PKP di suatu organisasi, seperti dukungan yang signifikan dari manajemen senior dan dijadikannya PKP sebagai masalah strategis dalam organisasi.
Berdasarkan analisis sistem PKP di PT. A, penulis memberikan usulan sistem PKP yang disesuaikan dengan budaya PT. A. Penyesuaian terdapat pada sistem penilaian dan penerapan PKP’ berbasis sasaran (SKI) yang salah satu sasarannya kerjanya adalah menjalankan PKP dengan tepat waktu Sehingga jalannya PKP terjamin dan terpantau. Usulan juga diberikan terhadap hal-hal yang belum diatur dalam sistem PKP PT. A seperti pemberian feedback dan jabatan khusus Dari dua alternatif sistem penilaian yang ada (single-rarer dan multi-raters), penulis merekomendasikan sistem penilaian tetap multi-raters
namun bawahan tidak lagi sebagai penilai. Atasan I, atasan II, rekan sekerja dan diri sendiri menjadi penilai pemegang jabatan manajer atau supervisor. Untuk penerapan SKI diusulkan agar dikerjakan oleh konsultan bekerjasama dengan personalia PT. A."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2003
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ratna Amijanti
"Manajer Madya PERTAMINA pada umumnya memiliki masa kerja yang relatif lama akan memiliki corak keikatan organisasi dan gaya kepemimpinan tertentu dalam menjalin hubungan dengan bawahan maupun atasannya. Saat ini PERTAMINA sedang berada dalam kondisi transisi yaitu adanya perubahan visi dan misi dari cost oriented menjadi profit oriented Berbagai macam tindakan yang menunjang perubahan yang terjadi telah dimulai sejak tahun 1992, yang diawali dengan sosialisasi tentang perubahan tersebut selama beberapa tahun.
Tercapainya visi dan misi PERTAMINA sebagai suatu perusahaan MIGAS di masa depan membutuhkan peran dari manajer madya dalam mengimplementasikan kebijakan, ketentuan, prosedur yang telah diputuskan oleh manajemen puncak. Selaku manajer madya PERTAMINA, akan memiliki corak keikatan organisasi dan gaya kepemimpinan tertentu. Saat kini corak kegiatan apa yang dimiliki dan bagaimana gaya kepemimpinan yang dipergunakan saat kini sehubungan dengan nilai-nilai pribadi dari para manajer madya tersebut.
Untuk membahas kondisi tersebut akan dipergunakan teori-teori : keikatan organisasi dari Allen & Meyer (1990), kepemimpinan transaksional transformasional dari Bass (1985) dan nilai-nilai pribadi dari Rokeach (1973).
Landasan Teori
Keikatan organisasi seorang manajer madya pada awalnya tumbuh dan berkembang dari adanya kesediaan untuk menjalankan perintah atasan, menyetujui dan melaksanakan pengaruh atasan (berupa instruksi atau perintah) berdasarkan keyakinan diri pribadinya Akhirnya, berdasarkan pengalaman kerjanya, manajer madya akan melakukan identifikasi terhadap atasan, kelompok kerja, perusahaan dan mempertahankan keanggotaannya dalam perusahaan tersebut.
Dalam pengalaman bekerjanya, proses keikatan organisasi akan berlangsung terus sampai karir akhir. Keikatan awal yang diperoleh akan menjadi bertambah kuat dengan bertambahnya masa kerja yang dilaluinya, serta faktor-faktor lain yang mendukung di tempat kerjanya (pekerjaan, harapan terhadap organisasi, kelompok teman dll.). Selaku manajer madya PERTAMINA diharapkan memiliki gaya kepemimpinan transformasional dalam mendukung pencapaian visi dan misi organisasi. Dengan kepemimpinan transformasional, manajer madya akan dapat mengubah persepsi, sikap dan perilaku bawahan disesuaikan dengan harapan organisasi/perusahaan masa depan. Melakukan perubahan terhadap bawahan dapat dilakukan dengan mengaplikasikan perilaku-perilaku yang tergolong dalam the four I's yaitu memberikan pengaruh yang diidealkan, memberikan inspirasi, melakukan stimulasi intelek, serta mempertimbangkan pemberian kewenangan atau otoritas yang berbeda-beda bagi setiap bawahan disesuaikan dengan kemampuan individunya.
Rancangan Penelitian
Subyek penelitian tesis ini adalah para manajer madya PERTAMINA di lingkungan Kantor Pusat yang memiliki fungsi / peran sebagai ‘key person' dalam program sosialisasi dan restrukturisasi perusahaan / organisasi. Alat ukur yang dipergunakan adalah keikatan organisasi (OCQ) dari Allen & Meyer (1990), kuesioner Multi Leadership (MLQ) untuk gaya kepemimpinan transaksional transfo nasional dari Bass (1990) dan Nilai-nilai pribadi dari Rokeach (1973). Analisis dan interpretasi dilakukan atas dasar perhitungan statistik dan korelasi regresi berganda (Multi Regression).
Kesimpulan dan Diskusi
Dari hasil kajian statistik dan korelasi terlihat bahwa keikatan organisasi yang dimiliki manajer madya PERTAMINA adalah keikatan bercorak afektif dengan mengaplikasikan gaya kepemimpinan transaksional. Menurut Bass (1985), keikatan afektif berhubungan dengan gaya kepemimpinan transformasional sedangkan keikatan kesinambungan berhubungan dengan gaya kepemimpinan transaksional. Kondisi yang ditemukan tersebut dapat memperlambat atau bahkan menghambat proses sosialisasi dan restrukturisasi yang berlangsung. Disamping itu nilai-nilai yang diharapkan dicapai dalam kehidupan manajer madya PERTAMINA adalah "rasa aman dalam keluarga" yang cenderung terfokus pada diri
pribadi.
Cara atau perilaku yang diidealkan adalah perilaku yang bertanggung jawab jujur dan memiliki pandangan luas. Seandainya ketiga nilai tersebut masih diinginkan berarti manajer madya PERTAMINA juga harus menjabarkan nilai-nilai yang berorientasikan kepada diri sendiri dialihkan menjadi berorientasikan kelompok, masyarakat. Perubahan yang terjadi di PERTAMINA berkemungkinan akan membutuhkan waktu yang lebih panjang dari yang diharapkan. Upaya memperpendek waktu transisi adalah dengan menyediakan ‘maproad yang gamblang, menjadi coach bagi bawahan serta melakukan pelatihan yang mendukung pengembangan pekerja PERTAMINA."
Jakarta: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2000
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>