Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 44180 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"Autisma merupakan gangguan yang kompleks dan berat yang dicirikan oleh
abnormalitas pada fingsi sosial, bahasa dan komunikasi serta adanya perilaku dan minat yang tidak biasa (Mash & Wolfe, 1999). Keterlambatan atau fungsi abnormal pada salah
satu dari ketiga area tersebut muncul sebelum usia tiga tahun (APA, 2000 pada Sattler, 2002). Gangguan perkembangan ini menyebabkan kekurangan pada tiga area yaitu area interaksi sosial, area komunikasi serta area perilaku. Kelcurangan pada area interaksi sosial
ini merupakan hal yang amat rnenjadi keluhan orang tua dan rnempakan ciri utama yang menyadarkan orang ma untuk curiga mengenai kemungkinan adanya gangguan pada anaknya
Dalam berinteraksi sosial dibutuhkan sebuah kemampuan yang disebut social understanding, yaitu kemampuan untuk membaca pikiran, memahami keyakinan, gagasan, pikiran serta perasaan yang dimiliki orang lain (Howlin, 1998). Sementara anak
penyandang autisma memiliki kekurangan dalam social understanding. Padahal
Kekurangan social understanding pada anak penyandang autisma menyebabkan mereka tidak mampu hidup mandiri bila sudah dewasa kelak (Pediatric Advisor, 2002). Untuk itu
peneliti tertarik utuk meneliti mengenai social understanding anak penyandang autisma agar dapat digunakan sebagai basis untuk intervensi.
Alat ukur yang peneliti gunakan adalah Picture Arrangement yang merupakan salah satu subtes dari aspek performa pada WISC-R yang secara non verbal mengulcur social understanding Penelitian dilalcukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif
dengan observasi dan wawancara sebngai alat penunjang analisis data Sampel yang diambil adalah dua anak penyandang autisma ringan yang berusia, masing-mining, 6 tahun dan 8 tahun. '
Dari hasil penclitian didapatkan bahwa subyek memang memiliki kemampuan
social understanding yang kurang Masing-masing subyck memiliki kekhasan dalam menunjukkan kekurangan mereka dalam social understanding tersebut. Misalnya pada subyek l masih berada pada tahap encoding yaitu memperhatikan aspek tertentu dari
penampilan dan perilaku seseorang atau sesuatu lalu menyimpan informasi tersebut ke dalam working memory, sodangkan subyek 2 sudah pada tahap representation yaitu
menginterpretasikan fenomena sosial yang mercka observasi dengan mengelaborasi informasi yang mereka peroleh melalui hal-hal yang telah mereka pelajari mengenai human nature. Perbedaan antara kedua suhyek ini kemungkinan banyak dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan dan intervensi yang diberikan kepada mereka_ Intervensi
perilaku dan pendidikan yang terus menerus sangat berguna untuk memperbaiki kekurangan penyandang autisma pada berbagai area terutama area interaksi sosial."
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
T38787
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Primayana Miranti
"ABSTRAK
Anak ADHD digambarkan sering menampilkan perilaku yang membawa dampak negatif bagi hubungan antara anak dan orang-orang di sekitarnya, misalnya dengan orangtua dan teman sebaya anak (Mash dan Wolfe,1999). Perilaku anak seringkali tidak sesuai dengan tuntutan situasi atau harapan orang lain kepadanya. Hal tersebut menimbulkan pertanyaan mengenai faktor apa yang menyebabkan anak ADHD menampilkan perilaku tersebut. Apakah anak ADHD
mengalami masalah dalam kemampuannya untuk memahami situasi dan mengalami kesulitan untuk menentukan perilaku yang tepat sesuai dengan situasi?
Cicerone (dalam www.nbia.nf.ca) mengemukakan istilah penalaran sosial yang terdiri atas dua komponen penting yaitu pemahaman sosial dan penilaian sosial. Pemahaman sosial menyangkut kemampuan seseorang untuk memahami
situasi sosial, sedangkan penilaian Sosial mengacu pada kemampuan seseorang untuk menentukan keputusan yang tepat serta berperilaku secara tepat sesuai tuntutan situasi. Kemampuan penilaian sosial yang baik memerlukan kemampuan
seseorang untuk dapat mengantisipasi konsekuensi perilaku.
Anak ADHD digambarkan mengalami defisit dalam kemampuan untuk memahami situasi sosial (Campbell dalam Zentall, javorsky, dan cassady, 2001). Singh (dalam Cadcsky, Mota, dan Schachar, 2000) mengungkapkan bahwa anak ADHD cenderung mengalami kesulitan dalam menginterpretasi cues sosial. Menurut Osman (2002), anak ADHD cenderung kurang memperhatikan pemainan atau percakapan yang sedang berlangsung sehingga anak mengalami kesulitan memisahkan informasi yang penting dari yang kurang penting. Anak
kehilangan konteks situasi dan akhirnya menampilkan perilaku yang kurang tepat sesuai situasi yang sedang dihadapi.
Osman (2002) mengungkapkan bahwa banyak anak ADHD gagal
mengamati ekspresi wajah., gerakan tubuh, Serta tidak memahami perubahan intonasi suara yang diucapkan orang lain. Dikaitkan dengan kemampuan untuk mengantisipasi konsekuensi perilaku, Barkley (dalam Wenar,l994) mengemukakan bahwa anak ADHD gagal memahami hubungan dari suatu perilaku / peristiwa dengan perilaku / peristiwa lain yang muncul sebelum dan sesudahnya.
Dari pendapat tersebut tampak bahwa anak ADHD mengalami masalah dalam penalaran sosial karena anak gagal memahami situasi sosial dan mengantisipasi konsekuensi perilaku atau peristiwa. Di sisi lain ada pendapat yang
mengemukakan bahwa anak ADHD tidak mengalami defisit dalam
kemampuannya untuk memahami situasi sosial. Whalen dan Henker (dalam Mash dan Wolfe, 1999) mengemukakan bahwa anak ADHD tidak mengalami defisit dalam kemampuan penalaran sosialnya atau kemampuan anak untuk menginterpretasi situasi sosial. Penelitian Whalen, Henker, dan Granger (dalam Wenar,l994) menghasilkan bahwa masalah sosial yang muncul dalam hubungan antara anak ADHD dan teman sebaya tidak disebabkan oleh kegagalan dalam
pemrosesan informasi sosial pada anak ADHD. Anak ADHD ternyata memiliki kemampuan yang setara dengan anak normal dalam mengevaluasi apakah perbuatan teman sebayanya merupakan perbuatan yang tepat atau tidak tepat.
Berdasarkan dua pandangan yang ada mengenai kemampuan anak ADHD dalam hal penalaran sosial, peneliti tertarik untuk melihat lebih lanjut kemampuan penalaran sosial anak ADHD. Penelitian dilakukan terhadap empat orang anak yang didiagnosis mengalami ADHD dengan rentang usia antara 8 hingga 12 tahun. Alat ukur yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah subtes Picture Arrangement WISC-R Subtes tersebut mengukur kemampuan untuk menginterpretasi situasi sosial serta mengantisipasi konsekuensi dari perilaku atau shuasi (Sauler,I992). Untuk dapat berhasil mengerjakan tugas subtes Picture Arrangement, anak harus memahami situasi total pada setiap item. Untuk dapat
memahami situasi, anak perlu memperhatikan informasi-informasi yang tampil, perlu mengenali dan menginterpretasi perilaku, ekspresi wajah, ciri fisik, dan
kondisi psikologis tokoh. Anak juga perlu dapat mengantisipasi konsekuensi perilaku tokoh atau situasi pada gambar. Hal-hal lersebut mencermikan kemampuan pemahaman dan penilaian sosial anak Menurut Cicerone (dalam www.nbia.nf.ca), kedua hal tersebut merupakan komponen penting dalam melakukan penalaran sosial.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa keempat subjek memiliki
kemampuan penalaran sosial yang cukup baik. Dalam memahami dan menilai situasi pada kartu-kartu Subtes Picture Arrangement WISC-R, subjek mampu melakukan encoding terhadap situasi yang tampil pada kartu, serta melakukan person perception dengan mengenali dan menginterpretasi perilaku, kondisi psikologis, ciri fisik, dan ekspresi wajah tokoh. Secara umum subjek dapat memahami situasi dan mengantisipasi perilaku tokoh pada subtes Picture
Arragement WISC-R. Hasil penelitian tersebut mendukung pernyataan Whalen dan Henker (dalam Mash dan Wolfe, 1999) bahwa anak ADHD tidak mengalami defisit dalam kemampuan penalaran sosial atau kemampuan untuk menginterpretasi situasi sosial. Dikaitkan dengan hasil subtes Picture Completion tampak bahwa seluruh subjek memiliki kemampuan yang cukup baik untuk membedakan hal yang penting dari yang kurang penting. Hal tersebut merupakan faktor penting yang mempengaruhi kemampuan penalaran sosial seseorang (Cicerone dalam www.nbia.nf.ca). Cara kerja subjek yang secara umum mampu memberikan perhatian yang cukup baik saat mengerjakan tugas subtes Picture Arrangement WLSC-R juga mendukung kemampuan subjek dalam melakukan penalaran sosial terhadap situasi pada kartu-kartu subtes Picture Arrangement."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
T38814
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Gambaran Hasil Wechsler Intelligence Scale for Children-
Revised (WISC-R) Anak dengan Keterbelakangan Mental Ringan.
Masa usia sekolah merupakan saat yang penting bagi perkembangan fisik,
kognitif dan psikososial Sebagian besar anak memiliki perkembangan
yang setara dengan rata-rata anak dalam kelompok usianya sehingga dapat memenuhi tuntutan dari tugas perkembangannya. Namun demikian
beberapa anak dapat memiliki perkembangan yang melebihi ataupun
kurang dari rata-rata, baik dalam satu maupun beberapa aspek
perkembangan. Keterbelakangan mental (mental retardation) adalah satu
fenomena yang terjadi pada masa perkembangan di mana perkembangan
aspek intelektual berada jauh di bawah rata-rata anak-anak yang seusia.
Diagnosis dan pengelompokan keterbelakangan mental diawali dengan
pengukuran taraf inteligensi di mana salah satu alat tes yang digunakan
adalah WISC-R. Berdasarkan hasil dari WISC-R dapat dilihat adanya
kekuatan dan kelemahan pada aspek-aspek inteligensi yang ditampakkan
oleh skor setiap subtest.
Tujuan dari penelitan ini adalah untuk mengetahui bagaimana
gambaran basil WISC-R pada kelompok anak keterbelakangan mental
ringan. Dengan demikian dapat bermanfaat dalam penyusunan program
intervensi bagi anak keterbelakangan mental, baik yang berupa pendidikan, pendampingan, atau pelatihan. Hal ini dapat memaksimalkan potensi anak keterbelakangan mental sehingga diharapkan mereka dapat berfunggsi secara lebih optimal dalam masyarakat. Penelitian dilakukan dengan melakukan analisis hasil tes inteligensi WISC-R dari sembilan anak dengan keterbelakangan mental ringan yang pemah menjadi klien di Klinik
Perkembangan Anak Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa subjek penelitian memiliki IQ
Verbal dan IQ Performance yang setara dengan rata-rata skor yang
diperoleh berada dalam rentang 2, 67 (Picture Arrangement) hingga 6, 78 (Mazes). Pada Skala Verbal subtest yang memperoleh skor paling tinggi yang merupakan kekuatan adalah Comprehension dan subtest yang
memperoleh skor paling rendah yang merupakan kelemahan adalah
Vocabulary. Pada Skala Perfomance subtest yang memperoleh skor paling
tinggi yang merupakan kekuatan adalah Mazes dan subtest yang
memperoleh skor paling rendah yang merupakan kelemahan adalah Picture
Arrangement, Terdapat beberapa subtest yang saling berbeda secara
signifikan, antara lain pada subtest: Comprehension dan Information,
Similarities dan Vocabulary, Picture Completion dan Picture Arrangement,Comprehension dan Picture Arrangement, Serta Similarities dan Block Design
Dalam melakukan penelitian yang serupa sebaiknya digunakan
pendekatan kualitatif dan kuantitatif sehingga dapat diperoleh gambaran hasil WISC-R dari sampel yang lebih besar serta analisis yang lebih mendalam lagi mengenai kekuatan dan kelemahan anak keterbclakangan mental ringan Selain itu, pengumpulan data sebaiknya dilakukan secara langsung oleh peneliti (menggunakan data primer) sehingga hasil yang didapatkan menjadi Iebih luas dan lengkap."
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
T38045
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rita Damayanti
1987
S2090
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amalia Setyawati
"Autistic disorder gangguan yang parah dalam perkembangan, dan ditandai oleh adanya abnormalitas dalam fungsi-fungsi sosial, bahasa dan komunikasi, serta adanya tingkah laku dan minat yang tidak biasa (Trevarthen, Aitken, Papoucli & Robarts, 1998; Mash & Wolfe, 1999; Saltler, 2002). Autism disebabkan karena adanya gangguan kompleks dalam perkembangan otak, dimulai sejak masa prenatal, dan kemudian mempengaruhi berbagai aspek perkembangan dan belajar secara drastis pada akhir masa infancy, yaitu pada pada saat kemampuan bahasa mulai berkembang. Frekuensi atau jumlah penderita autisme di Indonesia tahun-tahun terakhir ini sudah meningkat dan menarik perhatian berbagai kalangan.
Salah satu karakteristik utama dari anak penyandang autisma ringan adalah mengalami hambatan dalam melakukan interaksi sosial. Mereka tidak mempunyai minat dalam interaksi dengan orang lain, dan perilaku sosial mereka cenderung aneh dan tidak adaptif. Anak penyandang autisma ringan juga tidak mampu untuk menggunakan bahasa untuk tujuan sosial atau hubungan interpersonal. Walaupun demikian, beberapa ahli mengatakan bahwa anak penyandang autisma ringan sebenarnya dapat menunjukkan afeksi dan kedekatan yang sifatnya hangat dengan orangtua pengasuh atau orang yang dekat dengan mereka (Cohen & Volkmar, 1997; Trevarthen et al, 1998).
Hal tersebut di atas menimbulkan pertanyaan dalam diri penulis mengenai hubungan interpersonal dari anak penyandang autisma ringan, lebih khususnya adalah bagaimana anak penyandang autisma ringan memandang dirinya dalam berhubungan dengan orang lain dan bagaimana sikap Serta pandangannya terhadap orangtua. Untuk mengetahui hal tersebut secara langsung dari anak penyandang autisma ringan tentu saja sangat sulit karena keterbatasan mereka dalam berkomunikasi. Sehingga dalam Tugas Akhir ini digunakan metode proyeksi untuk mengetahui gambaran dari hubungan interpersonal anak penyandang autisma ringan. Metode proyeksi yang cocok digunakan untuk anak yang mengalami hambatan dalam kornunikasi verbal adalah tes gambar. Dua tes gambar yang digunakan dalam Tugas Akhir ini adalah Human Figure Drawings (HFDS) dan House-Tree-Person (HTF).
Untuk melengkapi dan sebagai data penunjang dalam Tugas Akhir ini, penulis melakukan wawancara terhadap orangtua atau pengasuh. Dari hasil interpretasi yang dilakukan terhadap hasil tes HFDS dan HTP kedua subjek ditemukan bahwa keduanya memiliki hambatan dalam hubungan interpersonal. Mereka cenderung menarik diri dan memiliki minat yang terbatas dalam melakukan interaksi dengan orang lain, terutama teman dan orang asing. Namun, kemampuan subjek 1 dalam berhubungan dengan orang lain lebih berkembang daripada subjek 2, Terhadap orangtua, kedua subjek memiliki persamaan dalam sikap dan pandangan mereka terhadap orangtua. Keduanya memandang ibu sebagai figur yang penting dan dekat dengan diri mereka. Perbedaan antara kedua subjek terletak pada pandangan mereka mengenai peranan ibu (dominan atau tidak) dan komunikasi yang terjalin antara kedua subjek dan ibu. Perbedaan antara kedua subjek seperti yang telah disebutkan di atas dimungkinkan oleh karena beberapa faktor, antara lain, usia yang berbeda antara kedua subjek, pendidikan dan terapi yang telah diperoleh, kesempatan dalarn berinteraksi dengan orang lain, dan faktor pola pengasuhan ibu."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
T38392
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ellizah Adam
"Pengasuhan anak merupakan suatu proses yang penuh stres (stressful) namun juga membawa kepuasan emosional bagi pasangan suami istri (Carter & Mc Goldrick, 1982). Berbagai masalah yang ditemui dalam mengasuh anak dapat membuat kedua orang tuanya mengalami konflik baik di antara mereka berdua maupun dengan orang sekitarnya. Masalah-masalah yang dialami oleh orang tua anak dengan gangguan perkembangan tertentu biasanya lebih besar dari orang tua dengan anak normal (Mangunsong, 1998).
Dalam penelitian ini, penulis tertarik untuk meneliti mengenai orang tua anak penyandang autisma Autisma adalah suatu gangguan perkembangan yang dialami oleh anak sejak tiga tahun awal kehidupannya. Gangguan ini bersifat menetap dan mempengaruhi semua aspek kehidupan anak. Gejala pada anak adalah kesulitan berkomunikasi verbal, kesulitan menjalin hubungan dengan orang lain, serta obsesi kuat terhadap rutinitas. Pada umumnya anak penyandang autis tidak memperlihatkan ciri-ciri penampilan fisik yang menunjukkan kelainannya itu, sehingga terkadang orang tua mengalami kesulitan menerima diagnosa anak. Selain itu, para orang tua juga merasakan berbagai perasaan negatif yang diakibatkan diagnosa autisma anak. Penelitian ini bertujuan mendapatkan gambaran proses stres dan coping pada orang tua anak penyandang autisma.
Dalam menggambarkan proses stres yang dialami oleh para orang tua penyandang autisma, akan digunakan model appraisal yang dikembangkan oleh Lazarus (dalam Cooper & Pavne, 1991). Proses ini terdiri dari dua tahap yaitu primary dan secondary appraisal. Dari hasil appraisal individu terhadap situasi yang dihadapinya maka individu akan menentukan bermasalah atau tidaknya situasi tersebut. Bila suatu situasi dirasa bermasalah, maka individu akan memunculkan respon untuk mengatasinya {coping). Model strategi coping yang digunakan adalah dari Carver, Wientraub & Scheier (1989) dengan skala COPE.
Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif yaitu melalui metode wawancara dan observasi. Yang menjadi subyek adalah tiga pasang suami-istri yang memiliki anak penyandang autisma. Semua subyek berdomisili di DKI Jakarta dengan tingkat pendidikan antara SMEA dan Strata-2 (pasca saijana). Tingkat sosial ekonomi subyek adalah menengah sampai menengah ke atas.
Dari hasil penelitian ditemukan bahwa sebelum mendapat diagnosa autisma anak, dua pasang orang tua tidak pernah mengetahui sama sekali tentang autisma sedangkan satu pasang sudah mengetahui dari media massa Ketidaktahuan mengenai autisma ini menyebabkan dalam penanganan anak menjadi kurang terarah dan juga kurang efektif. Di samping itu.diagnosa yang tidak pasti mengenai kondisi anak menimbulkan keresahan dan tekanan emosional pada kedua pasangan tersebut. Perilaku anak yang sulit dipahami dan tidak wajar juga menimbulkan masalah yang dirasa berat oleh semua subyek. Coping yang dilakukan pada saat ini biasanya berupa mencari informasi dan juga melampiaskan perasaan sedih dengan menangis atau berdoa.
Setelah mendapat diagnosa, ketiga pasangan mengaku merasakan berbagai emosi negatif seperti sedih, kasihan pada anak, tidak percaya, dan sebagainya. Untuk mengatasi ini, para orang tua selain berusaha mencari informasi dan penanganan bagi anak, juga mencari dukungan dari orang sekitar seperti keluarga, teman dan rekan keija. Sesudah mengetahui diagnosa anak, masalah yang dihadapi antara lain masalah keuangan kesulitan menemukan fasilitas terapi yang cocok dan juga memberikan penjelasan pada keluarga besar agar dapat menerima autisma anak mereka. Dalam pembagian tanggung jawab pengasuhan anak, dua pasangan memiliki bentuk keluarga tradisional di mana suami bekerja dan istri mengurus anak sedangkan satu pasangan memiliki bentuk keluarga di mana suami dan istri sama-sama beker]a dan pengasuhan anak di siang hari diserahkan kepada baby sitter dan orang tua dari istri.
Ditemukan adanya perbedaan di mana pada keluarga tradisional, istri yang lebih banyak terlibat dalam pengasuhan anak cenderung lebih mengetahui cara mendidik anak dan juga lebih tahu cara menerapkan hal-hal yang diajarkan pada terapi. Para suami dalam keluarga tradisional ini berusaha untuk mengikuti perkembangan anak namun banyak terhambat oleh kesibukan pekerjaan. Karena ketidaktahuan mereka, kedua orang ayah terkadang inkonsisten dalam mendidik anak sehingga melanggar aturan pengasuhan yang ditetapkan oleh istri mereka. Inkonsistensi ini dirasakan sebagai masalah yang amat besar oleh satu pasangan sedangkan tidak oleh pasangan yang lain. Pada keluarga yang kedua orang tuanya bekerja, pengetahuan dan perlakuan terhadap anak relatif sama meski sang istri mengakui bahwa suaminya lebih tegas.
Setahun terakhir, para subyek merasakan kepuasan yang berbeda terhadap berbagai penanganan yang mereka lakukan terhadap anak mereka Dua orang pasangan mengaku sudah melihat banyak kemajuan pada anaknya dan bahwa sebagian besar cara yang mereka pilih membawa hasil yang positif sementara satu pasangan merasa sangat tidak puas. Ketidakpuasan ini diakibatkan oleh inkonsistensi dari suami dan juga karena kurang intensifnya terapi pada tahuntahun awal diagnosa karena hambatan biaya Penelitian ini menemukan bahwa ada beberapa gejala coping yang tidak diungkap oleh Skala COPE yaitu perbandingan keberhasilan diri sendiri dengan orang lain (socicil comparison). Skala ini juga tidak membahas mengenai pemberian dukungan sosial kepada orang lain sebagai sebuah strategi coping."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
S3456
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Olivia Musdalifah
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2001
S3064
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fabiola Priscilla Harlimsyah
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana kemajuan yang dicapai oleh seorang anak penyandang autisme ringan melalui penerapan terapi sensory integration selama tiga bulan. Selain itu, penulisan tugas akhir ini juga bertujuan untuk mengetahui hal-hal apa yang mendukung keberhasilan terapi. Penelitian ini melibatkan seorang anak penyandang autisme ringan yang diambil secara purposif dengan menggunakan pendekatan kualitatif berupa studi kasus. Pengumpulan data dilakukan melalui observasi dan wawancara mendalam. Hasil penelitian ini menunjukkan terdapat kemajuan dalam aspek komunikasi, interaksi, dan emosi pada diri subjek setelah menerapkan terapi sensory integration secara efektif selama tiga bulan. Hal ini disebabkan oleh pelaksanaan sesi terapi yang cukup rutin juga keterlibatan keluarga subjek untuk melakukan berbagai aktivitas dan pendekatan yang mendukung terapi. Berbagai aktivitas yang mendukung terapi seperti hiking, berkuda, dan renang dapat memberikan input-input sensorik yang dibutuhkan subjek. Pendekatan visual support yang diterapkan terhadap subjek memudahkannya untuk berkomunikasi melalui gambar. Interaksi antara subjek dengan Ibu juga lebih berkembang dengan penerapan prinsip floor Iime, meskipun belum diterapkan secara optimal. Selain beberapa faktor yang mendukung, terdapat juga beberapa kondisi yang dapat menghambat terapi, antara lain kondisi Kendala maupun kemajuan yang dialami oleh subjek dapat dipengaruhi oleh berbagai hal yang belum banyak tergali dalam waktu yang singkat. Untuk itu, penelitian serupa hendaknya dapat dilakukan dalam jangka waktu yang lebih lama. Dengan demikian, kita dapat memperoleh gambaran yang lebih baik mengenai kemajuan maupun informasi tambahan dari penerapan terapi sensory integration pada anak penyandang autis ringan."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2003
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indri Hapsari
"Autisma merupakan gangguan perkembangan yang kompleks dan berat, yang ditandai dengan gejala-gejala tertentu yang muncul sebelum usia tiga tahun. Gejalagejala yang diperlihatkan oleh penyandang autisma berupa defisit pada perkembangan bahasa, pada interaksi sosial, dan adanya perilaku-perilaku repetitif. Kelainan ini menyebabkan penyandang autisma mengalami kesulitan dalam berkomunikasi dengan orang lain dan berhubungan dengan dunia luar. Anak penyandang autism memiliki hambatan yang nyata dalam interaksi sosial. Ketrampilan sosial anak penyandang autisma dapat ditingkatkan melalui interaksi yang intensif dengan saudara sekandung.
Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran yang komprehensif mengenai peran saudara sekandung terhadap perkembangan interaksi sosial anak autis. Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif dengan wawancara mendalam sebagai alat pengumpul data utama serta observasi sebagai alat pengumpul data penunjang. Subyek penelitian adalah keluarga yang memiliki anak penyandang autisma yang berusia prasekolah dan memiliki saudara sekandung dengan jarak usia dekat. Yang menjadi subyek untuk diwawancara adalah ibu dan saudara sekandung anak autis.
Berdasarkan hasil penelitian ternyata peran saudara sekandung cukup besar dalam meningkatkan interaksi sosial. Namun peran saudara sekandung ini ditentukan sekali oleh peran ibu dalam melibatkan saudara sekandung dan adiknya yang autis. Ditemukan ibu dengan disiplin yang tinggi dan memberikan tanggung jawab yang cukup besar bagi saudara sekandung untuk selalu berinteraksi dengan adiknya maka interaksi keduanya menjadi cukup intensif dan terlihat peningkatan interaksi sosial yang signifikan dari anak penyandang autisma. Namun ibu yang memiliki kontrol yang lemah terhadap hubungan antar saudara sekandung, ditemukan interaksi keduanya sangat sedikit, dan ini memiliki pengaruh terhadap perkembangan interaksi sosial anak penyandang autisma yang tetap minim tanpa peningkatan. Namun faktor -faktor seperti: jarak usia, perilaku dan taraf kemampuan anak penyandang autisma, sikap dan perasaan saudara sekandung terhadap perlakuan khusus kepada anak penyandang autisma, konteks keluarga secara keseluruhan berkontribusi dalam menentukan peran saudara sekandung tersebut.
Ditemukan juga dalam penelitian bahwa saudara sekandung tidak hanya berperan pada bidang interaksi sosial anak autis tetapi juga turut membantu terapi adiknya yang berupa kemandirian dalam bidang bina diri, kemampuan akademis serta terapi okupasi. Ini berhubungan dengan subyek anak autis yang berusia prasekolah dan sedang melakukan terapi intensif sehingga ibu sering memberikan tugas kepada saudara sekandung yang berhubungan dengan membantu terapi.
Untuk penelitian selanjutnya disarankan untuk melakukan observasi sebagai metode utama kedua sehingga dapat diperoleh gambaran peran saudara sekandung dalam kesehariannya secara utuh. Dalam pemilihan subyek penelitian juga bisa saudara sekandung dan anak autis yang berusia remaja. Selain itu mungkin penting untuk mendapatkan informasi yang memadai mengenai kehidupan perkawinan keluarga yang diteliti sehingga didapatkan gambaran dalam lingkungan keluarga seperti apa saudara sekandung ini berada. Selain itu sebaiknya penelitian yang akan datang dapat memfokuskan kepada keluarga yang memiliki status ekonomi menengah ke bawah."
Depok: Universitas Indonesia, 2001
S2851
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2003
S3253
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>