Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 112129 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Asep Sunarjat
"Dalarn era desentralisasi, bidang kesehatan menjadi sepenuhnya kewenangan dan tanggung jawab Kabupaten/Kota dalam penyelenggaraan pembangunannya untuk mencapai peningkatan derajat kesehatan masyarakat di wilayahnya. Sebagai konsekwensinya pemerintah Kabupaten/Kota harus menyusun kebijakan dalam upaya pembangunan kesehatan, termasuk di dalamnya kebijakan pembiayaan kesehatan yang bersurnber dari pemerintah. Sistem pembiayaan kesehatan di daerah perlu dikembangkan agar isu pokok dalam pembiayaan kesehatan daerah, yaitu mobilisasi, alokasi dan efisiensi pembiayaan dapat terselenggara dengan baik sehingga menjamin pemerataan. mutu, efisiensi dan kesinambungan pembangunan kesehatan daerah. Tersedianya data tentang pembiayaan kesehatan menjadi sangat penting karena sangat mempengaruhi proses pembuatan keputusan untuk penentuan kebijakan dan strategi pembiayaan kesehatan daerah.
Sampai saat ini belum pernah dilakukan analisis pembiayaan kesehatan yang bersumber pemerintah di Kota Sukabumi sceura lengkap. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan untuk mengetahui berapa besar alokasi pembiayaan kesehatan dalam satu tahun, secara total maupun per kapita, sumber pernbiayaan, dan bagaimana peruntukannya dilihat dari jenis belanja, line item, mata anggaran, sub mata anggaran, unit pengelola, unit pengguna, program dan jenis biaya serta alokasi pembiayaan untuk program-program essensial. Penelitian ini dilaksanakan di Kota Sukabumi pada Dinas Kesehatan, RSUD dan instansi terkait yang menjadi pengelola pembiayaan kesehatan bersumber pemerintah. Studi ini menggunakan pendekatan District Health Account (DHA). Analisis pembiayaan kesehatan menggunakan data alokasi pembiayaan tahun anggaran 2006.
Hasil analisis menunjukkan bahwa total pembiayaan kesehatan bersumber pemerintah di Kota Sukabumi adalah sebesar Rp 71410_033,100,- dan Rp 58.866.442.000,- (78,04%) bersumber dari APBD. Pembiayaan kesehatan per kapita (gaji/tunjangan, investasi, dan pemeliharaan tidak dihitung) adalah sebesar Rp 155.920,- Dilihat dari peruntukannya, alokasi pernbiayaan di Kota Sukabumi, Dinas Kesehatan dan RSUD, proporsi belanja publik lebih besar dari belanja aparatur, kecuali di RSUD antara belanja aparatur dan publik hampir seimbang, sebagian besar dialokasikan untuk belanja operasional Proporsi belanja investasi lebih besar dari belanja pemeliharaan. Proporsi pembiayaan kesehatan bersumber APED mencapai 17,00% dari total APED Kota Sukabumi.
Dengan menggunakan angka estimasi Bank Dunia (biaya kesehatan Rp 41.17 / kapita/tahun), maka alokasi pembiayaan kesehatan di Kota Sukabumi sudah memenuhi ketentuan tersebut. Sementara itu untuk membiayai program-program essensial di Dinas Kesehatan, baru mencapai 6,74% dari total annum Dinas Kesehatan atau 15,74 % dari kebutuhan sesuai estimasi Bank Dunia. Untuk memenuhi laiteria pemerataan, mutu, efi.siensi dart kesinambungan pembangunan kesehatan di Kota Sukabumi, diperlukan analisis lebih lanjut terutama untuk mengetahui alokasi pada mata anggaran dan sub mata anggaran apa saja, agar indikator outcome, benefit, impact program dapat tercapai.

In decentralization era, health department becomes an authority and responsible for district/city fully in implementing development to improve public health level in their area. As consequence, district/city government must arrange a policy to develop health, included health cost policy which comes from government. Health cost system at district mast be developed in order main issue on health cost of district, such as mobilization, allocation, and cost efficiency can implement well so it can guarantee a generalization, quality, efficiency, and continuity of district health development. Applying data of health cost becomes a most important thing because it can affect a policy making process to determine policy and cost strategy of district health program.
Until now, it has not been conducted a health cost analysis yet which comes from government of Sukabumi completely. Therefore, this study is conducted to know how much health cost allocation for one year totally or each capita, cost resource, and how its function if it is seen from outcome type, line item, budget, sub budget, organizer unit, user unit, program and cost type and cost allocation for essential programs. This study was conducted at Health Service, RSUD and related instance in Sukabumi which became a health cost organizer which came from government. This study used a District Health Account (DHA) method. Health cost analysis used a cost allocation data on budget period of 2006.
Analysis result indicated that health cost totally which comes from government of Sukabumi are 75.410.033.100 rupiah and 58.866442.000 rupiahs (78,04%) come from APED. Health cost every capita are 155.920,- rupiahs (salary/subsidy, infestation and conservancy are not accounted). If it was seen from its function, cost allocation at Health Service and RSUD of Sukabumi, proportion of public outcome is bigger than government officer outcome, except proportion of government officer outcome and public outcome at RSUD are balance, most of them is allocated for operational outcome. Proportion of infestation outcome is bigger than conservancy outcome. Proportion of health cost which comes from 'APBD is 17,00% of APED in Sukabumi totally.
By using an estimation rate of World Bank (health cost is 41.171 every capita/every year), so health cost allocation of Sukabumi is out of rule. While for essential programs cost at Health Service, there are 6,74% of total budget at Health Service or 15,74% of the needs based on World Bank estimation. It is important a further analysis to fulfil/ criterion of generalization, quality, efficiency and health development continuity in Sukabumi especially for knowing budget and sub budget allocation so program indicators of outcome, benefit, and their impact can reach.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2007
T34354
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Misman
"Di Provinsi Jambi dibeberapa Kabupaten/Kota malaria masih merupakan permasalahan kronis. Di Kota Jambi angka AMT tahun 2004-2006 masib diatas toleransi Nasional dan pencapaian clan indikator SPM masih dibawah target. Program pemberantasan malaria mernpakan salah satu pelayanan esensiai yang dalam pelaksanaanya hams disubsidi (sebagian atau seluruhnya) oleh pemerintah. Denga.n adanya otonoun daerah anggaran bidang kesehatan masingmasing daerah sangat tergantung pada komitmen Pemerintah Daerah, kecuali dilakukan advokasi yang efektif dengan didasarkan pada informasi keuangan yang akurat.
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi peta pembiayaan yang bersumber dari pemerintah yang dialokaslkan untuk program pemberantasan malaria Tabun Anggaran 2004-2006 berdasarkan sumber, alokasi pemanfaatanrrya dan komitmen pejabat terkait Berta resource gap antara perhitungan estimasi kebutuhan program berdasarkan costing KW-SPM dengan ketersediaan dana. Ruang lingkup penelitian adalah pembiayaan program pemberantasan malaria yang bersumber pemerintah di Dinas Kesehatan Kota Jambi tahun 2004-2006. Data yang digunakan adalah data primer dan sekunder. Data primer diperoleh meialui wawancara mendalam dengan pejabat terkait, sedangkan data sekunder diperoleh dari dokumen keuangan.
Hasil analisis pembiayaan program pemberantasan malaria diperoleh gambaran bahwa pembiayaan program pemberantasan malaria tahun 2004-2006 semakin meningkat dari Rp 41,6 juta - Rp.I4,8 miliar (Program Kelambunisasi). Total pembiayaan diluar program kelambunisasi lzanya nark dan Rp. 41,6 juta menjadi Rp 214,8 juta. Pembiayaan yang bersumber dari APBD Kota meningkat, sedangkan pembiayaan yang bersumber APBD Provinsi tidak ada, pembiayaan bersumber APBN mulai ada di th 2005. Sementara pada tahun 2006 pembiayaan yang terbesar dari BLNIHibah yang mencapai 14,8 miliar hal ini karena adanya program kelambunisasi. Berdasarkan eleman kegiatan hampir setiap tahun alokasi terbesar untuk kegiatan freedmen yang sebagian besar berupa obat. Berdasarkan fumgsi program hampir setiap tahun alokasi untuk kuraiif yang sebagian besar berupa obat, sedangkan kegiatan preventif pada tahun 2006 mempunyai alokasi terbesar karena adanya program kelambunisasi. Berdasarkan mata anggaran hampir setiap tahun belanja operasional obat yang terbesar sedangkan belanja perjalanan mendapat alokasi yang terendah. Tabun 2006 belanja investasi mempunyai alokasi terbesar_ Berdasarkan perhihmgan esfimasi KW-SPM malaria dan ketersediaan alokasi dana di tahun 2006 terdapat resource gap sebesar 46% atau Rp.253.885.035, Jika di luar perhitungan gaji personil program kesenjangannya sebesar 33,3% atau Rp.312.872.831.
Dari basil wawancara mendalam dengan pejabat terkait diperoleh gambaran bahwa sektor kesehatan merupakan salah satu prioritas pembangunan di Kota Jambi. Demikian pula dengan permasalahan malaria merupakan permasalahan kesehatan yang perlu mendapat perhatian dan penanganan yang tepat.
Pemeriatah daerah perlu meningkatkan alokasi anggaran program pemberantasan malaria sesuai kebutuhan program dengan melakukan mobilisasi dana dari berbagai somber dengan mempertimbangkan kemampuan APBD Kota. Hal ini perlu ditunjang dengan upaya advokasi yang lebih efektif dari Dinas Kesehatan Kota Jambi serta melakukan koordinasi pada sektor-sektor yang terkait didalam program pemberantasan malaria. Dalam penyusunan anggaran program pemberantasan malaria perlu memperhatikan kebijakan dari gerakan Gebrak Malaria serta memperhatikan kesenambungan anggaran.

Malaria is a chronic problem in same district micifalities in province of Jambi. ANII rate is above national tolerance and SPM indicator is under target at period of 2004-2006. Malaria eradication program is one of essential service which must be subsided by government (a half or all of them) on implementation. The presence of district autonomy of health budget for each district is depend on district government commitment, except if it has been done an effective advocation based on an accurate financial information.
This study purpose is getting information about financial planning based on government which allocated for Malaria eradication program at period of 2004-2006 based on source, used allocation and commitment from authority government and resource gap between estimated calculation of program need based on KW-SPM costing of fund.
This study covered cost of Malaria eradication program of government funding District Health Office of Jambi at period of 2004-2006. This study used primary and secondary data. Primary data was collected from in-depth interview with stakeholder and secondary data was collected from financial document. From the cost analysis of Malaria eradication program was obtained an illustration that cost analysis of Malaria eradication program at period of 2004-2006 went up from 41,6 million rupiahs until 14,8 billion rupiahs because kelambunisasi program. Total cost out of Kelambunisasi program went up from 41,6 billion rupiahs until 214,8 billion rupiahs. There is not fend from Province budget, with contribution from central government begins in 2005. While the biggest cost of BLN/donation is 14,8 billion because of Kelambunisasi program. Based on activity element, the biggest allocation for treatment activity every year is medicine. According to program function., the biggest allocation for curative every year is medicine, white preventive activity in 2006 has a big allocation because of Kelambunisasi program. Based on budget, operational cost of medicine gets the biggest allocation, while traveling purchase of medicine gets the lowest allocation every year. Investation cost gets the biggest allocation in 2006. Based on KW-SPM Malaria estimation calculated and fund allocation in 2006 got 46% resource gap or 254 million rupiahs. Out of calculation of program personal salary, the different is 33,3% or 313 million rupiahs.
From in-depth interview result with stakeholder got art illustration that health sector is one of development priority in Jambi Problem of Malaria also need right handling and more attention.
It was suggested to district government to improve an estimated allocation of Malaria eradication program based on program need by mobilizing funds from various sources considering district capacity of budget. It is important to give support by advocation effort effectively from District Health Office of Jambi and coordination with other sectors on Malaria eradication program. It is important to give attention of policy from Gebrak Malaria movement and giving more attention of fund sustainability on fund arrangement of Malaria eradication program.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2007
T19097
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nia Aryani Rahmaniawati
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2006
T41468
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Sunarjadi
"Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) mempunyai tugas pokok menyelenggarakan pelayanan kesehatan dasar yang menyeluruh, bermutu, terjangkau oleh masyarakat dan sebagai motor pembangunan kesehatan di wilayah kerjanya. Mutu pelayanan kesehatan dasar di Puskesmas dirasakan masih belum memadai. Banyak faktor yang mempengaruhinya, antara lain standar pelayanan dan pembiayaan. Sampai saat ini biaya pelayanan kesehatan terutama di Puskesmas sangat min:m sehingga op rasional Puskesmas masih banyak mendapat subsidi baik dari pemerintah pusat maupun dari pemerintah daerah.
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran kecukupan pembiayaan kesehatan bersumber pemerintah di Puskesmas Baradatu Kabupaten Way Kanan pada tahun 2006. Ruang lingkup penelitian dilaksanakan di wilayah kerja Puskesmas Baradatu Kabupaten Way Kanan dengan membatasi area penclitian pada pembiayaan kesehatan bersumber pemerintah dari berbagai tingkatan yang dialokasikan dan dikelola oleh Puskesmas Baradatu yang ditelusuri pada tahw1 anggaran 2006. Desain penelitian yang dipergunakan adalah penelitian operasional. Data yang dikumpulkan adalah data sekunder yang berasal dari alokasi anggaran tahun 2006 dan diambil dari doktllllen di masing•masing instansi pengelola serta data sasaran dan cakupan program di Puskesmas Baradatu. Analisis pencapaian program pelayanan kesehatan di Puskesmas Baradatu dilakukan dengan mengacu pada indikator Standar Pelayanan Minimal bidang kesehatan. Pencapaian program pelayanan kesehatan Puskesmas Baradatu rendah yaitu baru 57,8% indikator program prioritas SPM yang sudah dijalankan sesuai dan melebihi target.
Pembiayaan kesehatan pemerintah tahun 2006 sebesar Rp.l.292.814.897,­dimana 85,57% dari APBD Kabupnten Way Kanan dan 14,43% dari APBN. Anggaran APBD Kabupaten Way Kanan 84,49% berasal dari DASK Puskesmas Baradatu sedangkan 15,51% berasal dari DASK Dinas Kesehatan Kabupaten Way Kanan. Estimasi pembiayaan kesehatan sebesar Rp. 35.316,- atau US$ 3,85 per kapita pertahun. Perkiraan kebutuhan biaya operasional pelayanan kesehatan berdasarkan pencapaian program prioritas SPM Puskesmas Baradatu tahun 2006, sebesar Rp.377.427.084,-. Penyelenggaraan pelayanan kesehatan dasar dan obat membutuhkan biaya operasional t rbesar. Total kebutuhan pembiayaan kesehatan bersumber pemerintah sebesar Rp.1.410.507.627,- Kesenjangan yang terjadi sebesar Rp.l17.692.730,- disebabkan kekurangan biaya operasional anggaran bersurnber APBD Kabupaten Way Kanan sebesar 10,64%. Keadaan ini menyebabkan rendahnya pencapaian program prioritas SPM Puskesrnas Baradatu tahun 2006.
Disarankan agar penyusunan perencanaan anggaran berdasarkan Standar Pelayanan Minimal, dengan mengalokasikan pembiayaan secara efektif dan efisien. Untuk mengatasi keterbatasan anggaran pernerintah dilakukan upaya rnenaikkan anggaran secara bertahap dari tahun ke tahun disesuaikan dengan kecenderungan kenaikan pemerintah hingga kebutuhan tersebut masih dapat ditanggung oleh daerah.

The Community Health Center (CHC)/Puskesmas have a main task to conduct the basic health services comprehensively, qualified, and affordable by the community, and act as the motor of the health development of its work area. However, the quality of the basic health services is still far from expectation. There are a lot of factors that affected, such as: the standard of the services and its cost Until this day, the cost for health services, especially at puskesmas is very low. Therefore, the operational cost of the puskesmas still have subsidized from the central and provincial government.
The study has a purpose on describing the appropriate health cost that resourced from the government, at Baradatu Puskesmas of the District of Way Kanan in the year of 2006. The study is carried out in the area of working of the puskesmas with a limitation of The analysis of target program achievement of the health services at Baradatu Puskesmas is obtaining by referring the indicators of Minimum Standard of Health Services (MSHS). It is found that the coverage of health services program at Baradatu Puskesmas is still low, i.e. only 57.8%, but indicators on priority program of MSHS that have been applied are appropriate and over the target.
Government health cost in 2006 is about 1,292,814,817,00 rupiah (one billion and two hundred ninety two million eight hundred fourteen thousand and eight hundred seventeen rupiah), where 85.5% of it is from the Provincial Budget and Expenditure (APBD) and 14.43% is from the Central Budget and Expenditure (APBN). The APBD of the District of Way Kanan is 84.49% from the DASK Puskesmas Baradatu, and its 15.51% is from the DASK of the District Health Authority of Way Kanan. It is estimated that the health cost at the District of Way Kanan is about 35,316 rupiah or$ 3.85 per-capita per­ year. Estimation for cost health services operational need based on program achievement on MSHS priority of Baradatu Puskesmas in the year of 2006 is around 377,427,084 rupiah. The implementation of the basic health services and medication need a considerable operational cost. The total needed on health services that resourced from the government is 1,410,507,627 rupiah. The disparity produced is 117,692,730 rupiah, caused by 10.46% of the shortage of operational budget from APBD resourced from the District of Way Kanan. The situation that lead to the low on target achieved by program priority of MSHS at Baradatu Puskesmas in 2006.
It is suggested that planning arrangement for budget based on MSHS, should be allocated efficiently and effectively. To deal with the limitation of the government budget, an increasing the budget year by year should be attempted in corresponds with the elevation on government budget Therefore, the cost needed can be managed by the district.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2007
T29180
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nisfarwati Volini
"Biaya kesehatan di Kota Depok dianggap sudah dapat memenuhi kebutuhan masyarakatnya, akan tetapi analisis tentang pembiayaan kesehatan yang bersumber dari Pemerintah untuk tahun 2003 ini belum pernah dilakukan. Analisis tentang hal ini dipandang perlu untuk melihat kecukupan alokasi dana kesehatan.
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang peta pembiayaan sektor kesehatan melalui institusi pemerintah menurut sumber dan alokasinya. Ruang lingkup penelitian dilakukan di Kota Depok meliputi Dinas Kesehatan, Dinas Bangunan dan FKDS (Forum Kota Depok Sehat), seiuruh instansi ini mendapatkan alokasi dana yang bersumber dari sektor publik. Pengumpulan data dilakukan dengan telaah dokumen dan wawancara mendalam dengan informan dari dinas yang bersangkutan dengan sektor kesehatan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa total anggaran untuk pembiayaan kesehatan bersumber pemerintah di Kota Depok untuk tahun 2003 adalah sebesar Rp 25.947.807.423,- atau sebesar 3.8% dari total APBD Kota Depok, dengan alokasi biaya kesehatan per kapita per tahun sebesar Rp 20.804,- atau S 2.3. Angka ini dianggap sudah dapat memenuhi kebutuhan masyarakat Kota Depok meskipun masih dibawah anjuran WHO maupun angka rata-rata nasional.
Biaya kesehatan di Kota Depok belum dapat terserap dengan baik akibat kurangnya kuantitas maupun kualitas sumber daya manusia di instansi kesehatan. Apabila alokasi dana kesehatan ini ditingkatkanpun maka pembiayaan kesehatan tidak secara langsung memperbaiki karena perlu didukung oleh SDM yang mampu mengelola secara tepat guna.
Saran untuk Pemerintah Daerah Kota Depok yaitu: Pertama, mempertimbangkan pengelolaan dana kesehatan dengan menggunakan sistem JPKM (Jaminan Penyelenggaraan Kesehatan Masyarakat) khususnya bagi penduduk miskin. Kedua, meningkatkan kuantitas dan kualitas sumber daya manusia agar dana kesehatan dapat dikelola dengan baik menuju Depok Sehat 2006."
Depok: Universitas Indonesia, 2004
T13164
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irwansyah
"Dibandingkan dengan negara tetangga dilingkunganAsia Tenggara, pembiayaan kesehatan di Indonesia masih relative kecil. Sebelum krisis, biaya kesehatan adalah sekitar 2,5 % GDP atau sekitar $ 12.00 per kapita per tahun. Jumlah tersebut menurun drastis menjadi rata-rata dibawah $ 1.00 atau dibawah Rp.10.000; /capital tahun karena adanya krisis yang berkepanjangan ditambah dengan inflasi biaya kesehatan yang tinggi.
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang peta pembiayaan sektor kesehatan melalui institusi pemerintah menurut sumber dan alokasinya di Kabupaten Lampung Selatan untuk periode tahun 2003. Ruang lingkup penelitian dilakukan di Kabupaten Lampung Selatan yang meliputi Dinas Kesehatan, RSU Kalianda, BKKBN, Dinas PU, Badan PMD, yang kesemuanya yang bersumber dari sektor publik dan memakai dasar alokasi. Pengumpulan data dilakukan dengan kajian dokumen dan melakukan wawancara mendalam dengan informan terpilih.
Studi ini menunjukkan bahwa alokasi anggaran pembiayaan sektor kesehatan adalah sebesar Rp. 41.857,38 atau US $ 4.87 per kapita per tahun. Angka dinilai cukup karena sudah memenuhi standard per kapita dari Bank Dunia sebesar Rp.41.174,-
Walaupun jumlahnya sudah besar, tetapi alokasi dana belum mengacu pada program prioritas, yakni zona pantai sehat, peningkatan mutu pelayanan kesehatan, dan peningkatan manajemen pelayanan. Hal ini terbukti dari minimnya alokasi dana untuk program-program tersebut, dibandingkan dengan program lain yang tidak menjadi prioritas. Disamping itu juga peruntukkan alokasi dana untuk program dimaksud kurang mendukung untuk keberhasilan suatu program. Lebih banyak ditemukan mata anggaran yang bersifat umum, belum spesifik untuk menjangkau sasaran program yang diharapkan.
Dari wawancara mendalam didapat informasi bahwa sektor kesehatan menjadi salah satu prioritas untuk mendapat prioritas perolehan dana-APBD. Sedangkan dari hasil perhitungan pembiayaan diperoleh bahwa sektor kesehatan mendapat alokasi dana 6,12% dari APBD, masih lebih rendah dari alokasi dana beberapa sektor lain.
Sebagai kesimpulan bahwa dari analisis kecukupan, alokasi dana sudah memadai karena sudah memenuhi standard Bank Dunia. Namun dari analisis terhadap program prioritas, alokasi anggarannya tidak sesuai dengan besarnya proporsi yang ditetapkan untuk suatu program prioritas.
Disarankan agar dalam menyusun perencanaan anggaran, menyesuaikan dengan program prioritas yang telah disusun, dengan cara meningkatkan alokasi pembiayaannya, disamping juga jenis kegiatan, sifat program, dan mata anggaran harus lebih menyentuh kepentingan rakyat.
Daftar bacaan : 32 (1977-2002)

Compared to neighbor countries within South East Asia, health financing in Indonesia is relatively still little. Prior to crisis, the GDP share for health is about 2.5% or about $ 12.00 per capita per year. This amount was drastically reduced to average below $ 1.00 or below Rp 10,000 per capita per year due to prolonging crisis and added by high inflation rate of health cost.
This research aims at getting a description of map of health financing of government institutions based on sources and its allocation in the District of Lampung Selatan for the period of 2003. The scope of research is including District Health Office, General Hospital Kalianda, Family Planning, Civil Work Office, and Community Empowerment Board; which is all fund are from public sector and is using allocation based method. Data collected by literature review and in-depth interview with selected informer.
This study shows that budget allocation for health sector is about Rp 41.857,38 or US$ 4.87 per capita per year. This figure is adequate and met with the standard per capita from the World Bank at Rp 41.174.
Although the amount of allocation is big, however the allocation is not line with program priority such as healthy beach zone, and improvement quality and management of health service. This evidence can be seen from the low amount of budget allocation compared to program, which is not a priority. Beside that, the purpose of allocated fund for program is not directly support the success of program. Mostly found that budget line is still using general category and not yet specifically to reach to the expected target program.
From in depth interview shows that health sector is priority to get government allocation fund. Meanwhile from computation shows that health sector get only 6.12% of total government allocation fund, and this figure is still below other sectors.
As conclusion, from the viewpoint of adequacy, budget allocation is met to the standard of the World Bank. However, from the viewpoint of program priority, budget allocation is not inline with the proportion of predetermined program priority.
Suggested that in the process of budget planning has to follow program priority that is predetermined before, increasing the allocation of budget, variety of activities, type of program, and budget lines has to fulfill the need of people.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2003
T12990
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Naniek Isnaini Lestari
"Pembiayaan kesehatan dalam era otonomi sangat tergantung pada komitmen daerah, khususnya pembiayaan yang bersumber dari pemerintah. Sistem pembiayaan kesehatan di daerah perlu dikembangkan agar isu pokok dalam pembiayaan kesehatan daerah, yaitu mobilisasi, alokasi dan efisiensi pembiayaan dapat terselenggara dengan baik sehingga menjamin pemerataan, mutu dan kesinambungan pembangunan kesehatan daerah.
Tersedianya data pembiayaan kesehatan menjadi sangat penting dengan adanya kebijakan desentralisasi pelayanan kesehatan yang diperlukan untuk penentuan kebijakan dan strategi pembiayaan program kesehatan di daerah.
Sampai saat ini belum pernah dilakukan analisis pembiayaan kesehatan bersumber pemerintah di Kabupaten Tangerang, oleh karena itu penelitian ini dilakukan untuk mengetahui berapa besar alokasi biaya kesehatan dalam satu tahun, secara total maupun perkapita, sumber pembiayaan, bagaimana peruntukan dilihat dari jenis belanja, line item, mata anggaran dan antar program, serta diketahuinya resource gap dalam pembiayaan program prioritas.
Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Tangerang pada Dinas Kesehatan dan instansi terkait yang menjadi Finance Intermediares pembiayaan kesehatan bersumber pemerintah. Studi ini menggunakan pendekatan District Health Account (DHA).
Analisis pembiayaan kesehatan menggunakan data alokasi tahun anggaran 2003, hasil analisis menunjukan bahwa total pembiayaan kesehatan bersumber pemerintah alokasi tahun anggaran 2003 adalah Rp. 80.960.838.900 dan 64.17% nya bersumber dari APBD, sedangkan pembiayaan kesehatan perkapita adalah Rp. 26.744/kapital tahun.
Dilihat dari peruntukannva, balk pembiayaan di Kabupaten, Dinas Kesehatan dan RSU, proporsi belanja publik lebih besar dari belanja aparatur dan sebagian besar dialokasikan untuk belanja operasional. Proporsi belanja investasi dan pemeliharaan di Kabupaten maupun di Dinas Kesehatan hampir berimbang, sedangkan di RSU alokasi belanja pemeliharaan sangat kecil, bahkan pemeliharaan gedung dan pelatihan tidak dianggarkan.
Dengan menggunakan angka estimasi Bank Dunia (biaya kesehatan Rp. 41.174/ kapital tahun) maka dibandingkan alokasi dana yang tersedia terdapat resource gap sebesar Rp. 43.683.563.300.
Disamping itu dari perhitungan input cost untuk 2 program prioritas, tidak didapatkan resource gap untuk P2TB Paru dan terdapat resource gap sebesar Rp. 11.180.000 untuk penanggulangan DBD (Demam Berdarah Dengue). Namun, bila biaya personel, gaji dan investasi dimasukkan dalam perhitungan, resource gap ternyata cukup tinggi. Kesulitan dalam perhitungan resource gap adalah dalam upaya mencocokkan Komponen Biaya dari dana yang tersedia dibandingkan kebutuhan dana.
Untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan kesehatan perkapita bagi penduduk Tangerang dan memperkecil resource gap perlu dipertimbangkan efisiensi internal, realokasi antar unit pengguna dan program atau mobilisasi dana dengan mekanisme penyesuaian tarif pelayanan di Instansi Pemerintah dengan melihat kemampuan masyarakat membayar (ATP).
Daftar Bacaan : 30 (1990 - 2003)

Analysis of The Government Expenditures for Health in Tangerang District, Fiscal Year 2003. (A District Health Account Approach)Health financing in the era of regional autonomy strongly depends on the commitment of regional governments, in particular the government resources. The regional health financing system needs to be evaluated and developed so that the main issues concerning regional health financing, such as mobilization of funds, allocation of funds, and financial efficiency, could be well implemented to ensure the equity, quality and sustainability of the region's health development.
The availability of health financing data becomes very important with the decentralization of health services, to facilitate the process of policy making and strategic planning of regional health financing.
The analysis of the government expenditures for Health in Tangerang District has never been analyzed before, this research is a mean to find out the budget allocation for Health in one fiscal year totally and per capita, the sources of funds, the proportion of uses of fund within health programs, uses of fund by type of expenditures and line items, and to identify the resource gaps in the financing of priority health programs.
This research is carried out in the District Health Office of Tangerang District and other related institution, as finance intermediaries for government contribution for health. This study used a District Health Account approach.
Analysis of health financing is carried out from the data of fiscal year 2003. Analysis shows that the total source of government health expenditure in fiscal year 2003 amounts to Rp. 80.960.838.900,- with 64.17 % originating from the regional budget of Tangerang District, whilst the per capita health expenditure is Rp. 26.744,-per capita per year.
As judged by the usage of funds allocated to the District Health Office and the Regional Public Hospital, the proportion of funds used for public service exceeds that used for staff needs, with the greatest proportion of funds allocated for operational expenses. The proportion of funds for investment and maintenance in the Regional Health Service is almost equal, whilst the allocation of funds for maintenance in the Regional Public Hospital is minimal, even funds for the maintenance of buildings and training programs are not allocated.
Compared to World Bank estimated figure (health expenditure should be Rp.41.174 per capita per year) there is a resource gap of Rp. 43.683.563.300 per year.
Besides, from the calculation of input cost of two priority programs, there is no resource gap for the Tuberculosis Eradication Program and Rp. 11.180.000 for the Control of Dengue Hemorrhagic Fever Program. However, if we include the investment and salary, the resource gap will be quite high. We found difficulties in matching the line item of the fund available (DHA) and fund needed (input cost).
To fulfill the total requirement of per capita health needs of the population of Tangerang District and to minimize the resource gaps, the author suggests the need to improve internal efficiency financing, inter-program reallocation of funds, the reassessment of health services costs and tariffs, and the improvement of health services quality.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2003
T12928
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nuraihan
"Jumlah keseluruhan dana kesehalan yang ada di Kota Banda Aceh pasca Tsunami 2004 sang/at banyak dan terus mcngalami peningkatan dari tahun 2005 s/d 2007 terutama yang berasal dari Pemerintah. Pada kenyataannya dana tersebut belum merata pendistxibusiannya dalam mencakup keseluruhan program. Hal ini dapat diiihat dari Laporan Tahunan Dinkes Kota Banda Aceh tahun 2005 s/d 2007, dimana jumlah kasus penyakit menuiar masih tinggi padahal dari Laporan Realisasi Anggaran ternyata masih ada danasiaayang belum nabisdismp.
Penelitian ini bertujuan untuk mendapat gambaran pcndanaan kesehatan melalui institusi kesehatan di Kota Banda Aceh, berdasarkan sumber pendanaan, pengelola dana, penyedia pelayanan, fungsi peiayanan, mata anggaran dan penerima manfaat dari tiap kegiatan kesehalan untuk tahun anggaran 2006-2007. Ruang lingkup penelitian dilakukan di Kota Banda Aceh meliputi Dinas Kesehatan dan RSU meuraxa, yang kesemuanya bersumber dari sektor publik.Pcngumpulan data dilakukan dengan kajian dokumen dan melakukan wawancara mendalam dengan informan terpilih.
Hasil studi ini menunjukkan bahwa jumiah pendanaan total sektor keschatan cenderung meningkat dan jumlah pcndanaan perkapita di Kota Banda Aceh telah memenuhi standar yang ditetapkan oleh Depkes R.I, dan standar Bank Dunia (1993), tetapi belum mencukupi jika diiihat dari standar yang ditetapkan oleh WHO. Walaupun jumlah dana yang direalisasikan di sektor kesehatan cenderung meningkat, tetapi dalam penggunaan dana di tiap kegiatan kesehatan masih kurang tepat sasaran. Dimana dana yang ada, temyata dalazn penggunaannya lcbih besar digunakan untuk membayar gaji dan honor petugas serta untuk keperluan pengadaan pcralatan dan perlengkapan kantor. Di dalam tiap kegiatan pembangunan kesehatan yang dilaksanakan oleh tiap subdin, belum terkoordinasi dengan baik kamna tidak adanya program prioritas yang ditetapkan oleh pengambil kebijakan di tingkat dinkes dan RS, sehingga terkesan tiap kegiatan yang dilaksanakan kurang terkoordinasi dan kurang sampai ke masyarakat.
Disarankan kepada Pemerintah Kota, Bappeda dan DPRK Kota Banda Aceh, dalam menetapkan kebijakan alokasi anggamn supaya berdasarkan atas sektor-sektor prioritas daerah yang telah ditctapkan dalam RPJM, sehingga' selctor kesehatan yang menjadi salah satu sektor prioritas daerah mendapatkan proporsi pendanaan yang mcmadai. Dan kepada Dinas Kesehatan dan Rumah Sakit Meuraxa Kota Banda Aceh agar dalam melakukan penyusunan pengalokasian dana kesehatan, lebih men gutamakan kegiatan-kegiatan pembangunan kesehatan yang membed banyak manfaat kepada masyarakat.

The total health financing in Banda Aceh City after Tsunami in 2004 was abundant and getting increase from 2005 to 2007, mostly fiom govemment. In fact, the fimd was still not evenly distributed to cover all of programs. Banda Aceh City Health District Annual Report’s 2005-2007 showed that communicable disease cases were stili high although in Budget Realization Report was a rest ofthe fund that has not been spent yet.
The research was aimed to desribe health financing through health institution in Banda Aceh City, based on financing sources, financing agent , provider, function, line item budgeting and beneiiciaries Hom every health -programs in 2006-2007 budget years.'l'he research was conducted in Health District oiiice and Meuraxa Public Hospital Banda Aceh City, whose the hind resource were from public sector and employed basic realizationof alocation. Data were collected by documentation study and depth interview with selected informant.
The result showed 1.hat the number of health sector financing tend to increase and _ the number of per capita iinancing in Banda Aceh City has met the standar determined by Health Department R.I. and the standar of World Bank (1993), but hasn’t met standar determined by WHO. However, eventhough realization ofthe Iinancing tend to increase in health sector, fund utilization in every health program was still not addressed its target. The vast majority of available timd was spent on the oiiicer wage and incentive and office equipments. Health development conducted by every sub office was still not well coordinated due to there no priority of the program determined by policy maker in every health department and hospital hierarchy, so that it seemed as though every program in coordination and less to touch the society.
It is suggested to City Government, the institution of development plan and parliament of Banda Aceh City in speciiying policy of allocation health financing that based on to area preference sectors which has been specified in RPJM, so that health sector gets proportion of adequate financing. And to Public Health Service and Hospital Meuraxa Banda Aceh City in expection of -doing compilation of allocation health financing, more majoringly development activitys of health giving many benefits to public.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2008
T34361
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Syofia Dasmauli
"Sampai saat ini efektivitas dan pemanfaatan dana yang terbatas masih menjadi masalah di sebagian besar Kabupaten/Kota di Indonesia, padahal hampir semua daerah menetapkan kesehatan sebagai salah satu program prioritas. Pemberlakuan Otonomi Daerah memberi peluang kepada Daerah untuk menyusun perencanaan, dan pengalokasian anggaran dilingkungan Pemda masing-masing. Peran dan komitmen policymakers sebagai pengambil kebijakan sangat besar dalam menentukan arah pembangunan dan pengalokasian anggaran bersumber dari Pemerintah. Penelitian ini bertujuan untuk melihat efektifitas anggaran program prioritas, Dinas Kesehatan bersumber Pemerintah di Kota Bukittinggi tahun 2004. Penelitian ini juga untuk melihat Komitmen policymakers dalam menetapkan anggaran program prioritas Kesehatan.
Penelitian ini adalah penelitian dekriptif pendekatan kualitatif, analisis data sekunder dengan cars telaah dokumen, sedangkan data primer dianalisa dengan cara analisis isi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembiayaan kesehatan di Kota Bukittinggi tahun 2004 masih rendah yaitu 2,75% dari APBD Kota setara dengan Rp. 46.755,- per kapita per tahun. Sedangkan pembiayaan kesehatan dari berbagai sumber Pemerintah adalah 4,2% total APBD Kota Bukittinggi setara dengan Rp.70.740,- per kapita per tahun. Alokasi anggaran dari berbagai sumber untuk program prioritas kesehatan adalah Rp.123.801.284,- setara dengan 4,2% APBD Kesehatan, setara pula dengan 0,17% dari total APBD Kota Bukittinggi, dengan biaya kesehatan perkapita Rp.2,826, per tahun.
Kebutuhan menurut standar World Bank dalam proyek PHP II dengan Inflasi tahun 2004 sebesar 6,89% adalah Rp.57.788,-untuk Program esensial, sedangkan untuk program prioritas kebutuhan normatifnya adalah Rp. 25.723,- terjadi gap yang besar antara alokasi dan kebutuhan biaya kesehatan. Sementara Alokasi anggaran Program prioritas dari APBD Kota Bukittinggi adalah Rp. 80.098.000,- setara dengan biaya kesehatan per kapita Rp.799,- per tahun.
Efektifitas dari pengalokasian anggaran program prioritas kesehatan tersebut dihubungkan dengan Indikator Indonesia Sehat 2010 dan Indikator Standar Pelayanan Minimun Bidang Kesehatan memperlihatkan hasil tidak optimal dalam pencapaian target. Komitmen para pengambil kebijakan (policymakers) dalam pengalokasian dana untuk program perioritas kesehatan baru sebatas memahami namun tidak kuat komitmennya dalam penerapan pengalokasian dana.
Agar pengalokasian dana pembiayaan kesehatan mempertimbangkan dan menghubungkan dengan penetapan program prioritas sesuai visi, misi dan renstra kota. Divas Kesehatan Kota Bukittinggi fokus ke program prioritas dan meningkatkan advokasi, sosialisasi dan penyusunan program lebih mempertimbangkan manfaat dan dampak bagi kesehatan masyarakat.

Up to now, the effectiveness and the utilization of limited budget are still a problem in most of the regency/city in Indonesia, while almost every region maintains health as one of its priority programs. The imposition of regional autonomy provides an opportunity for regions to design their planning and allocate the budget in their respective regional government. The role and commitment of the policymakers are very significant in determining the course of development and the allocation of budget derived from the government. This research aims to see the effectiveness of budget derived from government for priority programs of Health Office in Bukittinggi in 2004 and the commitment of policymakers in stipulating budget of health priority program.
This descriptive research uses qualitative approach. The secondary data were analyzed by documentary study and the primary data were analyzed by content analysis. The results show that health financing in Bukittinggi in 2004 is still low, namely 2.75% of Regional Revenues and Expenditures Budget {APBD) equal to Rp 46,755,- per capita per year. Meanwhile, health financing from many governmental sources is 4.2% of total APBD of Bukittinggi which is equal to Rp 70,740,- per capita per year. The budget from many sources for health priority program is Rp 283,559,984- equal to 4% of APBD for health. This amount is also equal to 0.17% of total Bukittinggi's APBD, namely Rp 2,826,- of health financing per capita per year.
The need according to World Bank standard in PHP II project by inflation of 6.89% in 2004 is Rp 57,788,- for essential programs, whereas for priority program normatively the need is Rp 25,723,-. Thus, there is a big gap between the allocation and the need of health financing. The budget of priority program from Bukittinggi's APBD is Rp 80,098,000,-equal to health financing of Rp 799,- per year.
The effectiveness of budget allocation of the health priority programs connected with the indicators of Healthy Indonesia by 2010 and the indicators of Minimum Services Standard in Health indicates that the result is not optimum in achieving the target. The commitment of the policymakers in budget allocation for health priority program is just limited to understand and the commitments is not consisten in implementing the allocation.
In order that health financing considers and has connection with the stipulation of priority program vision and mission and the city strategic plan, Health Office of Bukittinggi has to focus on the priority program and enhance the advocacy, dissemination. Beside, in designing the program it has to consider more the benefit and the impact of the program to people.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T19335
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Uswatun Khasanah
"Secara persentase, alokasi anggaran di Dinas Kesehatan Kota Tangerang pada tahun 2021 yang bersumber dari APBD Kota Tangerang mengalami penurunan dari tahun 2020. Pada tahun 2021 jumlahnya13,83% dari total APBD Kota Tangerang sementara pada tahun 2020 sebesar 15,04% dari total APBD. Jumlah kematian ibu hamil di Kota Tangerang pada tahun 2021 adalah sebanyak 15,47/100.000 kelahiran hidup dimana meningkat dari tahun 2020 yang sebesar 12,92/100.000 kelahiran hidup dimana 50% penyebab kematian adalah karena COVID-19. Pandemi COVID-19 turut mempengaruhi jumlah kematian ibu hamil di Kota Tangerang, selain itu dari sisi anggaran terdapat perubahan kebijakan terkait alokasi anggaran dalam rangka penanganan COVID-19. Untuk mengetahui bagaimana kesesuaian pembiayaan kesehatan dengan perencanaan anggaran oleh pemerintah daerah dalam program pelayanan kesehatan ibu hamil di Kota Tangerang, maka perlu dilakukan analisis pembiayaan kesehatan yang bersumber Pemerintah. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kesesuaian belanja program pelayanan kesehatan ibu hamil di Dinas Kesehatan Kota Tangerang tahun 2020-2022 dengan perencanaan pada awal tahun anggaran. Penelitian ini menggunakan desain crosssectional dengan menganalisis data pembiayaan kesehatan program pelayanan kesehatan ibu hamil bersumber pemerintah di Dinas Kesehatan Kota Tangerang tahun 2020-2022. Hasil penelitian adalah pembiayaan program pelayanan kesehatan ibu hamil bersumber pemerintah di Dinas Kesehatan Kota Tangerang mengalami peningkatan dari tahun 2020 hingga tahun 2022. Dimensi sumber pembiayaan program pelayanan kesehatan ibu hamil bersumber pemerintah di Dinas Kesehatan Kota Tangerang yang terbesar adalah bersumber dari APBN Kementerian Kesehatan berupa innatura. Berdasarkan jenis kegiatan, belanja untuk kegiatan tidak langsung proporsinya lebih besar dibandingkan belanja kegiatan langsung, sehingga belum mencerminkan adanya penganggaran berbasis kinerja (performance based budgeting). Menurut dimensi mata anggaran, jenis input yang dibeli dengan proporsi terbesar yaitu belanja operasional untuk peningkatan kinerja pelayanan kesehatan. Belanja pada program pelayanan kesehatan ibu hamil untuk tahun 2020-2022 tidak sesuai dengan perencanaan pada awal tahun anggaran karena terjadi refocusing anggaran untuk penanganan pandemi COVID-19, selain itu juga terdapat pembatasan kegiatan tatap muka sehingga beberapa jenis belanja kegiatan tidak dapat terserap. Penelitian ini menyarankan bahwa Dinas Kesehatan Kota Tangerang perlu meningkatkan pembiayaan program pelayanan kesehatan ibu hamil dari pemerintah daerah; memperkuat kerjasama dengan fasilitas pelayanan kesehatan swasta dan organisasi profesi; dan membuat kebijakan yang mengarah kepada kegiatan-kegiatan langsung yang dapat dirasakan oleh masyarakat dan meningkatkan cakupan program baik di tingkat Dinas Kesehatan maupun puskesmas. Sementara itu, puskesmas diharapkan perlu mengoptimalkan pendapatan BLUD baik dari pendapatan kapitasi maupun non kapitasi JKN dan meningkatkan pembiayaan kegiatan-kegiatan langsung yang bersentuhan dengan masyarakat.

In percentage terms, the budget allocation at the Tangerang City Health Office in 2021 sourced from the Tangerang City APBD has decreased from 2020. In 2021 the amount is 13.83% of the total Tangerang City APBD while in 2020 it is 15.04% of the total APBD. The number of deaths of pregnant women in Tangerang City in 2021 is 15.47/100,000 live births which has increased from 2020 which was 12.92/100,000 live births where 50% of the causes of death were due to OVID-19. The COVID-19 pandemic has also affected the number of pregnant women deaths in Tangerang City, apart from a budget perspective, there have been policy changes related to budget allocations in the context of handling COVID-19. In order to find out how the suitability of health financing is with the budget planning by the local government in the health service program for pregnant women in Tangerang City, it is necessary to analyze government-sourced health financing. The purpose of this study was to determine the suitability of program spending on pregnant women’s health services at the Tangerang City Health Office in 2020-2022 with planning at the beginning of the fiscal year. This study used a cross-sectional design by analyzing data on government-sourced health financing for pregnant women’s health service programs at the Tangerang City Health Office in 2020-2022. The results of the study are that government-sourced financing for pregnant women's health services at the Tangerang City Health Office has increased from 2020 to 2022. The largest dimension of government-sourced maternity health service program financing at the Tangerang City Health Office is sourced from the State Budget of the Ministry of Health in the form of innatura. Based on the type of activity, spending on indirect activities has a larger proportion than spending on direct activities, so it does not yet reflect performance-based budgeting. According to the dimensions of the budget line, the type of input purchased with the largest proportion is operational expenditure for improving the performance of health services. Expenditure on the health care program for pregnant women in 2020- 2022 is not in accordance with the planning at the beginning of the fiscal year due to budget refocusing for handling the COVID-19 pandemic, besides that there are also restrictions on face-to-face activities so that several types of activity spending cannot be absorbed. This study suggests that the Tangerang City Health Office needs to increase the financing of the maternal health service program from the local government; strengthening cooperation with private health care facilities and professional organizations; and make policies that lead to direct activities that can be felt by the community and increase program coverage at both the Health Office and puskesmas levels. Meanwhile, it is hoped that the puskesmas will need to optimize the BLUD's income, both from capitation and non-capitation JKN income; and increase the financing of activites directly in contact with the community.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2023
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>