Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 141168 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ismail Nasrul
"Pemasyarakatan sebagai lembaga dan tempat pelaksanaan putusan pengadilan telah mengalami kelebihan penghuni. Jika ditambah lagi pemidanaan yang makin marak maka menjadi pertanyaan dimanakah para pelanggar hukum ini akan ditempatkan. Sementara pemerintah untuk saat ini sndah tidak bisa menunjang seutuhnya kebutuhan Pemasyarakatan sebagai muara sistem peradilan pidana. Berangkat dari latar belakang tersebut ingin diketahui, pertama, upaya-upaya apa yang telah dilakukan oleh Sistem Peradilan Pidana dalam mengatasi over kapasitas. Kadua, Melalui punelitian ini ingin diketahui kendala-kendala apa saja yang ditemui dalam upuya mengatasi over kapasitas di Lapas oleh sub-sub sistem dalam sistem peradilan pidana. Dengan menggunakan data sekunder dan data-data empiris berupa wawancara dengan beberapa narasumber yang berkaitan langsung dengan sistem puradilan pidana. Upaya dalam hal ini untuk mengatasi over kapasitas telah dilakukan oleh masing masing sub-sub sistem dalam system peradilan pidana namun upnya yang dilakukan dengan menggunakan kewenangannya melalui dlskresi ternyata tidak bisa mengatasi over kapasitas. Dengan dlbentuknya Mahkamah Agung, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kejaksaan, dan Kepolisian (Mahkumjakpol) dapat mengatasi lemahnya koordinasi yang selama ini masih menjadi kendala dan melakukan penekanan kembali kepada para penegak hukum untuk mulai menjalankan apa yang telah dibuat dan dituangkan dalam surat keputasan bersama pada forum Mahkumjakpol sehingga permasalah ego sektoral yang menjadi kendala selama ini dapat terkikis melalui forum tersebut.

as an institution and place of execution of court decisions has been experiencing excess occupants. If in addition a more intense punishment then becomes a queation of where these offenders will be placed. While the government currently can not fully support the needs of Corrections as an estuary of the criminal justice system. Departure from this background we want to know, first, what efforts have been made by the Criminal Justice Syatem in addressing over-capacity. Secondly, through this research we want to know what the -obstacles encountered in efforts to overcome the over-capacity in prisons by the sub-sub-systems within the criminal justice system. By using secondary data and empirical data in the form of interviews with several speakers who are directly related to the criminal justice system. Efforts in this regard to overeome the over-capacity has been carried out by each sub-sub-systems within the criminal justice system but the attempt was made to use its authority through the discretion was not able to cope with over-capacity. With the establishment of !he Supreme Court, Ministry of Justice and Human Rights, the Attorney General, and Police (Mahkumjakpol) can overcome the weakness of coordination that still be a constraint and return to their emphasis on law enforcement to begin running what has been made and poured in a joint decree Mahkumjakpol on the forum so thar sectoral ego problems that become obstacles for this can be eroded through the forum."
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2010
T33667
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Akbar Setia Wibawa
"Dinamika perkembangan hukum pidana di Indonesia mulai mengarah kepada restorative justice. Hal ini didukung dengan kehadiran Undang-Undang Pemasyarakatan tahun 2022 dan Undang-Undang Hukum Pidana Baru tahun 2023 yang memiliki semangat restorative justice dalam pelaksanaannya. Implikasi kedua undang-undang tersebut terhadap Pemasyarakatan juga turut memperluas tugas dan fungsi di setiap proses peradilan pidana khususnya untuk pelaku dewasa. Meskipun demikian, untuk sistem peradilan pidana umum, Pemasyarakatan belum memiliki model mengenai pelaksanaan restorative justice. Oleh karena itu, sebagai tindak lanjut dari kedua Undang-Undang tersebut maka diperlukan suatu model implementasi restorative justice yang dapat dilakukan oleh Pemasyarakatan. Penelitian ini dilakukan untuk mencari model restorative justice Pemasyarakatan dalam dua konteks berbeda yaitu dalam hubungan dengan sub sistem peradilan pidana lain dan dalam fungsi Pemasyaratan seperti pembinaan dan pembimbingan. Metode penelitian yang digunakan adalah studi dokumen peraturan-peraturan terkait pelaksanaan restorative justice di Indonesia serta wawancara studi lapangan. Kemudian peneliti menggunakan teknik delphi untuk memvalidasi rencana model yang telah diusulkan berdasarkan kerangka teoritik Evidence-Based Practice. Hasil penelitian memperoleh konsensus terhadap lima model implementasi restorative justice yang dapat dilakukan Pemasyarakatan dalam dua konteks tersebut. Model dalam hubungan dengan sub sistem peradilan pidana lain ditujukan untuk memberikan rekomendasi kepada penegak hukum melalui penelitian kemasyarakatan (litmas) yang dilakukan oleh Pembimbing Kemasyarakatan. Sedangkan model dalam fungsi pembinaan dan pembimbingan dilakukan untuk memperbaiki hubungan antara pelaku, masyarakat dan korban melalui program pembinaan dan pembimbingan. Untuk mendukung pelaksanaan model yang telah disusun, diperlukan dasar hukum yang mengikat seluruh aparat penegak hukum, reformulasi terhadap litmas dan penguatan struktur lembaga-lembaga terkait.

The dynamics of the development of criminal law in Indonesia are starting to lead to restorative justice. This is supported by the presence of the Corrections Law of 2022 and the New Criminal Law Law of 2023 which have a spirit of restorative justice in their implementation. The implications of these two laws for Pemasyarakatan also expand the duties and functions in every criminal justice process, especially for adult offenders. However, for the criminal justice system, Pemasyarakatan do not yet have a model for implementing restorative justice. Therefore, as a follow-up to these two laws, a restorative justice implementation model is needed that can be carried out by Pemasyarakatan. This research was conducted to look for a restorative correctional justice model in two different contexts, namely in relation to other criminal justice sub-systems and in Pemasyarakatan functions such as rehabilitation and guidance. The research method used was a study of regulatory documents related to the implementation of restorative justice in Indonesia and field interviews. Then Delphi technique was used to validate the proposed model based on the Evidence-Based Practice theoretical framework. The research results obtained a consensus on five models of implementing restorative justice that can be carried out by Pemasyarakatan in these two contexts. The model in relation to other criminal justice sub-systems is aimed at providing recommendations to law enforcers through social inquiry reports (litmas) carried out by Probation Officers. Meanwhile, the model in the coaching and mentoring function is carried out to improve the relationship between the perpetrator, the community and the victim through a rehabilitation and guidance program. To support the model that has been prepared, a legal basis is needed that binds all law enforcement officials, reformulation of social inquiry reports and strengthening the structure of related institutions."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sihotang, Daniel Tulus Marulitua
"Sistem peradilan pidana merupakan suatu proses yang ditujukan untuk menanggulangi kejahatan melalui proses peradilan yang dilakukan terhadap pelaku tindak pidana. Sistem peradilan pidana diwujudkan melalui suatu ketentuan yang disebut dengan Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP). Sejatinya KUHAP ditujukan untuk melindungi hak-hak seorang tersangka dan/atau terdakwa serta mengatur tugas masing-masing dari sub-sub sistem peradilan pidana guna menciptakan suatu keterpaduan sistem peradilan pidana. Namun demikian, implementasi KUHAP masih jauh dari tujuan sebenarnya sehingga berpotensi menimbulkan pelanggaran-pelanggaran terhadap hak-hak tersangka/terdakwa. Oleh sebab itu perlu adanya suatu pembaharuan terhadap KUHAP. Pembaharuan tersebut diwujudkan dalam Rancangan Kitab Hukum Acara Pidana (R-KUHAP). Dalam R-KUHAP, terdapat nilai-nilai yang diadopsi di negara common law, salah satu dari nilai tersebut adalah lembaga plea bargaining. Akan tetapi R-KUHAP tidak secara mutlak mengadopsi nilai lembaga plea bargaining yang ada di negara common law. R-KUHAP hanya mengambil nilai plea guilty (pengakuan bersalah) yang merupakan salah satu nilai dari lembaga plea bargaining. Kedudukan lembaga plea bargaining (plea guilty) yang diatur dalam R-KUHAP melalui suatu klausul Jalur Khusus terdapat dalam tahap adjudikasi. Diadopsinya lembaga plea bargaining (plea guilty) dalam RKUHAP disebabkan adanya manfaat dari lembaga ini. Salah satu manfaat tersebut terlihat dalam perwujudan suatu peradilan cepat, sederhana dan berbiaya murah dalam implementasi lembaga plea bargaining (plea guilty). Disamping manfaat yang diperoleh, terdapat juga suatu potensi kerugian apabila implementasi dari lembaga plea bargaining (plea guilty) tidak berjalan dengan baik sehingga dapat menyebabkan miscarriage of justice (peradilan sesat). Oleh sebab itu dalam implementasi lembaga plea bargaining (plea guilty) nantinya diperlukan keterpaduan dari 3 (nilai) dasar hukum sebagimana dikemukakan oleh Friedman yaitu substansi hukum (perwujudan peraturan perundang-undangan yang terkait plea bargaining), struktur hukum (keterpaduan antar sub sistem dalam sistem peradilan pidana), dan budaya hukum (kesadaran dari aparat penegak hukum terhadap kewenangan yang dimilikinya) guna mencegah timbulnya miscarriage of justice (peradilan sesat).

The criminal justice system is a process that is intended to solve crimes through judicial proceedings conducted against criminal offence. The criminal justice system is realized through a provision called the Criminal Procedure Code (KUHAP). Indeed the Criminal Codeaimed at protecting the rights of accused and/or defendant sand set tasks for each of the sub-systems of criminal justice in order to create an integration of the criminal justice system. However, the implementation of the Criminal Procedure Code is still far from the goal and thus potentially give rise to violations against the rights of accused/defendant. Therefore, the need for a reform of the Criminal Procedure Code. The reform embodied in the draft Criminal Procedure Code (R-KUHAP). In draft Criminal Procedure Code, there are values that are adopted in common law. One of these values is plea bargaining. However ,the draft Criminal Procedure Code does not ultimately adopted the values of plea bargaining that exist in common law. The draft Criminal Procedure Code is only take a guilty plea which is one of the values of the plea bargaining. The position of plea bargaining (plea guilty) is regulated int he draft Criminal Procedure Code through a “Special Track” clause contained in the adjudication stage. Adoption of plea bargaining (guilty plea) in the draft Criminal Procedure Code due tothe benefits of this institution. One of the benefits is seen in the embodiment of a fast, simple and low-cost judicial/trial in implementation of plea bargaining (plea guilty). In addition to the benefits, there is also a potential loss when implementation of the institution of plea bargaining (plea guilty) do not work properly till causing the miscarriage of justice. Therefore, implementation of plea bargaining (plea guilty) will be required integration of three values of law as advanced by Friedman namely substance law (embodiment legislation related plea bargaining), structure law (coherence between sub-system in criminal justice systems), and cultural law ( of consciousness of law enforcement officials the authority to file to prevent the spread of miscarriage of justice."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T38982
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aufar Ariq Vargas Varago
"ABSTRAK
Acara Pemeriksaan Singkat yang diatur dalam Pasal 203 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau KUHAP merupakan salah satu jenis acara pemeriksaan perkara yang pada pelaksanaannya tidak pernah digunakan terhadap perkara tindak pidana narkotika. Namun dalam praktiknya Kejaksaan Negeri Kota Bandung pada akhir tahun 2018 menggunakan acara pemeriksaan singkat terhadap perkara tindak pidana narkotika terhadap perkara diancam dengan Pasal 127 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yaitu penyalahguna narkotika golongan I, yang berupa tanaman ganja. Dengan dikeluarkannya Surat Edaran Jaksa Agung No. B-029/A/EJP/03/2019 mengenai Pelimpahan Perkara Tindak Pidana Narkotika dan Penyalahgunaan Narjotka dengan Acara Pemeriksaan Singkat (APS), menjawab pertanyaan terhadap penggunaan acara pemeriksaan perkara dalam Putusan No. 1/Pid.S/2019/PN.BDG yang memberikan vonis terhadap Terpidana penyalahgunaan narkotika dengan menggunakan acara pemeriksaan singkat yang telah sesuai dengan peraturan yang menjadi landasan pelaksanaan. Dan dengan adanya fakta bahwa terjadi kelebihan kapasitas terhadap Lembaga Pemasyarakatan yang disebabkan oleh adanya Terpidana Narkotika di Indonesia, penggunaan acara pemeriksaan singkat oleh Jaksa Penuntut Umum terhadap perkara tindak pidana narkotika yang ditujukan kepada penyalaguna narkotika perlu memiliki fokus kepada rehabilitasi sosial dan medis didukung adanya peraturan yang khusus mengatur mengenai standar pelaksanaan pencegahan dan perawatan sosial dan medis terhadap para penyalahguna narkotika yang juga dapat mengurangi kelebihan kapasitas yang terjadi pada Lembaga Pemasyarakatan.

ABSTRACT
The Brief Examination Program that regulated in Article 203 of Law No. 8 of 1981 about Criminal Procedure Law or KUHAP is one of the examination case type of which in its implementation has never been used on narcotic crime cases. But in the end of 2018, the Bandung District Prosecutor used brief examination for narcotic criminal case against narcotic abuse that classified as class one, in the forms of cannabis plants which regulated in Article 127 paragraph (1) letter a of Law Number 35 of 2009 about Narcotics. With the issuance of Circular of Attorney General No. B-029 / A / EJP / 03/2019 about the Delegation of Criminal Narcotics Cases and Narcotic Abuses by using Brief Examination (APS), answering the questions regarding the use of case audits in Decision No. 1 / Pid.S/ 2019 / PN.BDG which gives verdicts against convicts of narcotics abuse by using brief examination programs that are in accordance with the regulations that are the basis for implementation. And the fact that there is a overcapacity on Penitentiary Institutions caused by the Narcotics Prisoners in Indonesia, the use of a brief examination by the Public Prosecutor of narcotics crime cases aimed at narcotics abusers needs to have a focus on social and medical rehabilitation supported by regulations that specifically regulating the standards for the implementation of prevention and social and medical care for narcotics abusers who can also reduce the overcapacity that occurs in prisons."
2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sugeng Riyadin
"Tesis ini membahas tentang Lembaga Pemasyarakatan Terbuka sebagai Sub-Sistem dalam Sistem Peradilan Pidana Terpadu dengan titik beratnya adalah latar belakang pembentukan Lembaga Pemasyarakatan Terbuka, pembentukan Lembaga Pemasyarakatan Terbuka dikaitkan dengan tujuan pemidanaan dan pelaksanaan pembinaan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Terbuka. Metode penelitian yang digunakan dalam tesis ini adalah metode penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder. Pengumpulan data dilakukan melalui studi kepustakaan dan studi lapangan yang dilakukan dengan wawancara dan pengamatan, selanjutnya diolah secara deduktif. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa Lembaga Pemasyarakatan Terbuka dibentuk berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman Nomor : M.03.PR.07.03. Tahun 2003 tanggal 16 April 2003 tentang Pembentukan Lembaga Pemasyarakatan Terbuka Pasaman, Jakarta, Kendal, Nusakambangan, Mataram dan Waikabubak. Bahwa pembentukan lembaga pemasyarakatan terbuka ini dilatar belakangi hal-hal sebagai berikut : sebagai salah satu upaya untuk mengurangi kelebihan narapidana (over crowding) di lembaga pemasyarakatan biasa (tertutup), merupakan perwujudan dari konsep community-based corrections, yang mana di lembaga pemasyarakatan terbuka pembinaan narapidana menekankan keterlibatan masyarakat, sebagai upaya untuk lebih menyiapkan narapidana berintegrasi dengan masyarakat sebagai tujuan pemidanaan, Namun keberadaan Lembaga Pemasyarakatan Terbuka Jakarta pada khususnya dan lembaga pemasyarakatan terbuka di Indonesia pada umumnya merupakan kebijakan pemerintah yang setengah hati atau hanyalah propaganda pemerintah dalam pembinaan narapidana, karena keberadaannya hingga saat ini belum pernah dievaluasi dan perkembangan lembaga pemasyarakatan terbuka tidak menunjukkan kemajuan yang signifikan baik dari segi pembinaan narapidana maupun peraturan spesifik mengenai lembaga pemasyarakatan terbuka yang menjadi landasannya. Pembentukan Lembaga Pemasyarakatan Terbuka (lapas terbuka) sebagai sub-sistem peradilan pidana dalam kaitannya dengan tujuan pemidanaan, harus dimaksimalkan mengenai konsepnya untuk mencapai tujuan pemidanaan di Indonesia, yaitu mengembalikan dan mengintegrasikan narapidana ke masyarakat, menjadi manusia yang taat dan patuh pada hukum. Dengan demikian pembentukan lapas terbuka dapat menjembatani tujuan dan mewujudkan tujuan pembinaan di Indonesia. Pembinaan narapidana di lapas terbuka dimulai dengan penyeleksian narapidana yang harus memenuhi syarat subtantif berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehakiman, Nomor : M.01.PK.04.10, Tahun 1999, Tentang asimilasi, Pembebasan Bersyarat dan Cuti Menjelang Bebas, Pasal 7 ayat (2) dan syarat administratif Surat Keputusan Menteri Kehakiman, Nomor : M.01.PK.04.10, Tahun 1999, Tentang asimilasi, Pembebasan Bersyarat dan Cuti Menjelang Bebas, Pasal 8. Selain itu bukan termasuk narapidana kejahatan penipuan, terorisme, narkotika dan illegal logging. Bahwa proses seleksi untuk menjadi warga binaan pemasyarakatan pada Lapas Terbuka Jakarta pada khususnya atau lapas terbuka di Indonesia pada umumnya sangat memungkinkan terjadinya penyimpangan seperti adanya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), karena sangat banyak narapidana yang berada di wilayah Jabodetabek namun mengapa hanya lima orang yang menjadi warga binaan pada Lapas Terbuka Jakarta. Manjadi pertanyaan apakah kelima orang tersebut benar-benar memenuhi syarat ataukah ada KKN dalam proses kepindahanya dari Lapas Tertutup ke Lapas Terbuka Jakarta. Sehingga pembinaan narapidana pada Lapas Terbuka Jakarta tidak sesuai yang diharapkan karena program pembinaan tidak berjalan sebagaimana mestinya, dengan kata lain Lapas Terbuka Jakarta hanyalah tempat singgah sebelum para narapidana tersebut bebas.

This thesis discusses the Open Prison as a Sub-System in the Integrated Criminal Justice System with emphasis is the background of the formation of the Open Prison, Penitentiary establishment of the Open was associated with the goal of punishment and execution of prisoners in the Penitentiary building the Open. The research method used in this thesis is a normative legal research methods. Normative legal research done by examining library materials or secondary data. The data was collected through library research and field studies conducted by interviews and observations, then treated deductively. The results of this study concluded that the Open Prison was established by Decree of the Minister of Justice No. M.03.PR.07.03. 2003 April 16, 2003 on the establishment of the Open Pasaman Correctional Institution, London, Kendal, Nusakambangan, Mataram and Waikabubak. That the formation of an open prison this background the following matters: as an effort to reduce excess inmates (over crowding) in ordinary prisons (closed), is a manifestation of the concept of community-based Corrections, which is in open prisons coaching inmates emphasizes community involvement, as an effort to better prepare inmates integrate into society as the goal of punishment, but the existence of the Open Prison Jakarta in particular and open prisons in Indonesia in general is a government policy that half-hearted or just government propaganda in the coaching of prisoners, because its existence until now has not been evaluated and the development of open prisons did not show significant progress both in terms of specific guidance or regulations regarding inmate penitentiary opened which it rests.Penitentiary establishment of the Open (open prison) as a sub-system of criminal justice in relation to the purpose of sentencing, the concept should be maximized to achieve the purpose of punishment in Indonesia, that is to return and integrate inmates into society, a man who obey and comply with the law. Thus the formation of an open prison to bridge the goals and realize the goal of coaching in Indonesia. Inmates in open prisons coaching begins with the selection of eligible inmates who have substantive based on the Decree of the Minister of Justice, No. M.01.PK.04.10, 1999, On assimilation, Parole and Leaves Towards Free, Article 7 paragraph (2) and administrative requirements of Decree of the Minister of Justice, No. M.01.PK.04.10, 1999, On assimilation, Parole and Leaves Towards Free, Article 8. Besides not including inmate fraud, terrorism, narcotics and illegal logging. That the selection process to become prisoners in open prisons Jakarta in particular or open prison in Indonesia in general is very possible occurrence of irregularities such as corruption, collusion and nepotism (KKN), since so many inmates who are in the Greater Jakarta area, but why only five people who became citizens of the built in Jakarta Open Prison. Even become a question whether those people are actually qualified or is there corruption in the process of prison kepindahanya Closed to Open Prison in Jakarta.Thus fostering the Open Prison inmates in Jakarta is not as expected because the coaching program is not running as it should, in other words Jakarta Open Prison was a haven before the prisoners are free."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2012
T 29872
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Afif Rosadiansyah
"ABSTRAK
Tesis ini membahas kedudukan justice collaborator dalam sistem peradilan
pidana di Indonesia. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis
normatif. Implementasi penerapan Justice Collaborator pada 2 (dua) kasus yakni
Agus Condro Prayitno dan Kosasih Abbas dibahas sebagai bahan analisis dalam
tesis ini. Dari hasil analisis diperoleh kesimpulan bahwa Agus Condro memiliki
peran yang signifikan sebagai saksi pelaku yang bekerjasama dalam mengungkap
kasus tersebut sehingga mendapatkan keringanan hukuman namun pada saat Agus
Condro dijatuhi hukuman, belum ada peraturan mengenai Justice Collaborator.
Berbeda dengan kasus Kosasih Abbas, ia ditetapkan oleh Komisi Pemberantasan
Korupsi Republik Indonesia (KPK RI) sebagai Justice Collaborator karena
kooperatif pada saat penyidikan. Namun pada saat dijatuhi hukuman, majelis
hakim berpandangan berbeda, majelis tidak mempertimbangkan ia sebagai Justice
Collaborator. Kedepan dibutuhkan formulasi dan konsepsi dalam pengaturan
Justice Collaborator dalam proses hukum pidana sebagai upaya pembaharuan
hukum pidana di Indonesia.

ABSTRACT
This thesis discusses the position of the justice collaborator in the criminal justice
system in Indonesia. The research method in use is normative juridical.
Implementation of the application justice collaborator in two (2) cases namely
Agus Condro Prayitno and Kosasih Abbas discussed for analysis of materials in
this thesis. From the analysis result concluded that Agus Condro have a
significantly role as a witness who cooperated to get relief. but at the time was
sentenced Agus Condro, there are no regulations about justice collaborator. In
contrast to case of Kosasih Abbas, he is defined by The Corruption Eradication
Commision of Indonesia Republic (KPK RI) as a justice collaborator because of
cooperative as the investigation, but at the time of sentenced he panel of
judgesargued differently, the panel did not consider he as justice collaborator. In
teh future, it will be needed formulation and conception in the setting of justice
colaborator in the process criminal law as effort to reform the criminal law in
Indonesian."
Universitas Indonesia, 2013
T35933
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agustinus Purnomo Hadi
"Pembebasan bersyarat, pada hakekatnya merupakan satu tahapan dari proses pelaksanaan pidana penjara dengan sistem pemasyarakatan. Tahapan itu merupakan rangkaian dalam penegakan hukum pidana, yang berarti menanggulangi kejahatan dengan sarana hukum pidana, yang dioperasionalkan melalui suatu sistem yang di sebut sistem peradilan pidana (criminal justice system). Sebagai suatu sistem, maka akan didukung dengan unsur perundang-undangan (unsur substansial) dan unsur kelembagaan (unsur struktural) meliputi: Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan, yang harus bekerja secara terpadu. Namun, secara praktis, kenyataan menunjukkan, yang terjadi justru masih terdapat ketidakterpaduan baik unsur substansial maupun struktural, khususnya yang berkaitan dengan pembebasan bersyarat. Dalam unsur substansial terdapat kontradiksi antara hukum pidana material dengan hukum pidana formal; antara hukum pidana material dengan hukum pelaksanaan pidana; antara hukum pidana formal dengan hukum pelaksanaan pidana.
Aspek yang sangat penting yang berkaitan dengan pembebasan bersyarat, bahwa secara faktual sebagian besar narapidana ternyata hanya menjalani dan dibina di dalam lembaga pemasyarakatan kurang dari setengah masa pidana dari putusan hakim. Keadaan ini disebabkan karena cara penghitungan persyaratan masa menjalani pidana duapertiga yang tidak sesuai dengan ide KUHP yang menjadi dasar pembebasan bersyarat. Unsur struktural, juga masih terdapat ketidakserasian yang berkaitan dengan proses pemberian pembebasan bersyarat, yaitu tidak dilibatkannya Hakim Wasmat dalam proses pemberian pembebasan bersyarat. Ketidakserasian itu berarti mengarah pada ketidakterpaduan sistem peradilan pidana, yang jika tidak diadakan perbaikan, justru dapat menjadi faktor penyebab timbulnya kejahatan, atau faktor kriminogen."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yevgeni Lie Yesyurun
"Miscarriage of justice, adalah suatu istilah yang berkaitan dengan putusan pengadilan yang salah atau keliru, yang dapat berupa dipidananya seseorang sekalipun tidak didukung dengan alat bukti yang cukup, atau dipidananya seseorang yang sama sekali tidak melakukan tindak pidana. Miscarriage of justice tidak disebabkan oleh factor tunggal, akan tetapi sebagian besar dari kasus-kasus miscarriage of justice baik yang terjadi di Indonesia maupun di negara-negara lain menunjukkan bahwa kesalahan penyidik pada tahap penyikan menjadi faktor penyebab yang paling dominan. Kesalahan-kesalahan tersebut mengambil banyak bentuk antara lain, salah mengidentifikasi saksi mata, salah dalam menginterpretasi bukti forensik, termasuk tindakan kriminal penyidik seperti merekayasa saksi  (fabricated witness) atau mendistorsi keterangan saksi, memaksakan pengakuan tersangka, menyembunyikan atau mengabaikan bukti-bukti yang membebaskan tersangka atau terdakwa. Kesalahan-kesalahan ini terjadi karena lemah dan tidak efektifnya mekanisme kontrol yang disediakan oleh hukum acara pidana, terutama di fase penyidikan. Praperadilan yang sedianya menjadi sarana atau mekanisme kontrol terhadap jalannya penyidikan ternyata hanya menguji segi formil dari suatu upaya paksa, padahal penyimpangan yang terjadi ditahap ini tidak hanya mengenai pelaksanaan upaya paksa. Selain mekanisme kontrol yang tidak efektif, kedudukan advokat dalam proses pidana hanya menjadi sasaran tindakan yang disebabkan oleh pengaturannya yang sangat minimalis dalam hukum acara pidana. Rancangan Undang Undang Hukum Acara Pidana Tahun 2012 tenyata belum memberikan solusi bagi pengungkapan kasus miscarriage of justice terutama dalam kaitannya dengan persoalan bagaimana mengungkap bukti-bukti yang membebaskan yang dikecualikan atau ditahan oleh penyidik, karena selain tidak ada mekanisme yang tersedia, kedudukan advokat yang tetap sekedar menjadi sasaran tindakan masih dipertahankan dalam rancangan tersebut.

Miscarriage of justice, is a term that relates to wrong or erroneous court decisions,   that can take form in the conviction of a person even when there is not enough evidence to support it, or the conviction of a person who did not commit any crime. Miscarriage of justice is not caused by a single factor, but most of the cases of miscarriage of justice that occurred both in Indonesia and in other countries show that the investigator’s error at the investigation stage to be the most dominant factor. These errors took many forms, namely, misidentifying witnesses, misinterpreting forensic evidence, including the investigator’s criminal acts such as manipulating witnesses (fabricated witness) or distorting witness’ testimony, forcing a confession from the suspect, hiding or ignoring evidence that frees up (relieve) suspects or defendant, among others. These errors occur due to weak and ineffective control mechanisms provided by the law of criminal procedure, especially in the investigation stage. Pretrial which was originally a means or mechanism to control the course of the investigation turned out to be just testing the judiciary aspect (formal aspect) of a forced effort, while the deviation/irrelevancy that occurs in this stage is not only about the implementation of the forced effort. In addition to ineffective control mechanism, the position of an advocate in criminal proceedings only becomes the target of actions caused by it being limitedly regulated in law of criminal procedural. Draft of Criminal Procedure Code of 2012 has yet to provide a solution for the disclosure of the miscarriage of justice, especially in relation to the issue of how to uncover exempting evidence that is excluded or detained by investigators, because aside from there is no mechanism available, the position of advocate that still becomes the target of the action is still retained in the draft."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Panjaitan, Petrus Irwan, 1958-
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995
365 PAN l
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Bimo Wiroprayogo
"Skripsi ini membahas mengenai diversi yang dilakukan oleh Balai Pemasyarakatan (Bapas) berdasarkan pendekatan keadilan restoratif sesuai dengan UU No. 11 Tahun 2012. Pembahasan dilakukan dengan menganalisis teori mengenai perilaku delikuensi anak yang kemudian dapat menghasilkan anak yang berhadapan dengan hukum, diversi, dan pendekatan keadilan restoratif, serta peran serta Balai Pemasyarakatn sesuai dengan UU No. 11 Tahun 2012.
Penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif yang bertujuan untuk meneliti kepastian hukum berdasarkan studi kepustakaan (dokumen atau penelitian kepustakaan) dan hukum positif yang ada, serta dengan wawancara dengan narasumber yang mengatakan bahwa Balai Pemasyarakatan tidak mempunyai fungsi diversi secara penuh, dan diversi yang dilakukan tidak menyeluruh memenuhi aspek-aspek dalam pendekatan keadilan restoratif.

This thesis deals with the diversion is done by Balai Pemasyarakatan (Bapas) based on restorative justice approaches in accordance with The Juvenille Justice System Act Number 11 of 2012. The matters are done by analyzing the theories about the behavior of delinquent children who can then produce children who are dealing with the law, diversion, and restorative justice approaches, as well as the role of Balai Pemasyarakatan (Bapas) based on The Juvenille Justice System Act Number 11 of 2012.
This research is juridical normative research that aims to examine the legal certainty based on the study of librarianship (the document or research libraries) and the existing positive law, as well as with interviews with the speakers, conclude that Balai Pemasyarakatan (Bapas) has no function fully versioned, and not done thorough fulfilling aspects of restorative justice approaches.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S56722
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>