Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 210969 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dadan Ramdani
"Petugas pengasapan berisiko terpajan insektisida, dosis pajanan insektisida akan bertambah jika selama proses pengasapan para petugas ini berperilaku tidak sehat. Penelitian ini bertujuan mendapatkan faktor determinan perilaku kerja petugas pengasapan. Desain penelitian ini adalah cross sectional, semua petugas pengasapan yang berjumlah 37 orang dijadikan sampel. Data yang diambil merupakan data primer dari kuesioner, dianalisis dengan regresi logistik untuk mengetahui variabel yang dominan menimbulkan perilaku tidak sehat.
Hasil penelitian menunjukkan variabel perilaku. Petugas Puskesmas sebagai pengawas pengasapan merupakan variabel yang paling dominan disamping variabel waktu kerja dan ketersediaan fasilitas APD yang juga mempunyai hubungan dengan perilaku petugas pengasapan. Disarankan kepada Dinas Kesehatan agar memberikan pelatihan dan fasilitas memadai kepada petugas puskesmas, menyediakan anggaran untuk melengkapi fasilitas APD, memberikan pelatihan kepada petugas pengasapan dengan masa kerja belum lama, dan mengembangkan SOP pengasapan. Kepada Petugas Puskesmas agar memberikan pengawasan yang ketat dan mamberi contoh yang baik kepada para petugas pengasapan. Kepada petugas pengasapan agar dapat mencontoh petugas puskesmas yang berprilaku baik.

Fogging personnel face the risk of being exposed to insecticides, the dosage of insecticides exposure would increase if, during the fogging process the personnel behave unhealthy. This research aims to obtain the behavior determinants of fogging personnel. The design of this research is cross-sectional, a total number of 37 fogging personnel were used as samples. The data used asprimary data obtained from questionnaires, analyzed using logistic regression to discover which dominant variable stimulates unhealthy behavior.
The research result reveals that the variable Public Health Center Officers? behavior as fogging supervisor is the most dominant factor aside from work time and availability of PPE facilities, both also have a relation towards the behavior of fogging personnel. For the Health Department, it is advised to provide training and adequate facilities for Public Health Center officer, provide the budget to ramp-up PPE facilities, provide training to inexperienced fogging personnel, and also to develop an SOP for fogging. For Public Health Center officer, it is advised to conduct strict controls and also to provide prime examples for the fogging personnel. For the fogging personnel, it is advised to follow Public Health Center offcer that showcase good conduct.
"
Depok: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2010
T33261
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Alfita Ayu Wirasati
"Penerapan perilaku kepatuhan pada protokol kesehatan COVID-19 seyogyanya dapat menurunkan penyebaran COVID-19, namun saat ini masih terjadi kasus di PT X. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis berbagai faktor yang berhubungan dengan perilaku kepatuhan protokol kesehatan COVID-19 pada Pekerja Perkantoran di PT X tahun 2022. Desain penelitian adalah cross sectional dengan pendekatan kuantitatif. Jumlah responden sebanyak 76 orang diambil secara acak sederhana. Data primer didapat dari kuesioner yang disebarkan dengan aplikasi googleform, dilengkapi dengan data observasi dan telaah dokumen. Hasil telitian menunjukkan tingkat kepatuhan protokol kesehatan COVID-19 sebesar 82,9%. Hasil analisis menunjukkan pada pria 5 kali lebih beresiko tidak patuh di banding Perempuan (OR 5,677), pada pekerja yang merasakan manfaat rendah 4 kali lebih beresiko tidak patuh (OR 4,329) dibanding yang merasakan manfaat tinggi, pada pekerja yang efikasi diri rendah 4 kali lebih beresiko tidak patuh (OR 4,329) dibandingkan yang efikasinya tinggi. Di samping itu, pada pekerja yang tidak mendapat dukungan lingkungan kerjanya 5 kali lebih berisiko tidak patuh (OR 5, 417) dibanding dengan pekerja yang mendapat dukungan lingkungan kerjanya, pekerja yang tidak mendapat dukungan keluarga 9 kali lebih beresiko tidak patuh (OR 9,02) dibanding dengan pekerja yang mendapat dukungan keluarga, begitu pula bagi pekerja yang merasakan tidak memadainya penghargaan dan sanksi 5 kali lebih beresiko tidak patuh (OR 5,211) dibanding pekerja yang merasakan penghargaan dan sanksi memadai. Penelitian ini mendapatkan tidak ada hubungan antara umur, status pernikahan, pengalaman, pengetahuan, ketersediaan instruksi, kerentanan yang dirasakan, keparahan yang dirasakan, hambatan yang dirasakan, isyarat untuk bertindak (faktor predisposisi), ketersediaan fasilitas dan sarana serta pelatihan dan promosi kesehatan (faktor pemungkin), dan tim inspektur (faktor penguat) dan perilaku kepatuhan prototol kesehatan COVID-19. Pandemi COVID-19 masih berlangsung hingga saat ini, maka Perusahaan masih perlu melakukan upaya pencegahan terhadap COVID-19 yaitu dengan meningkatkan program promosi kesehatan serta implementasi penghargaan dan sanksi. Promosi kesehatan disusun dengan melibatkan seluruh pekerja secara bottom up. Selain itu, mengikutsertakan keluarga pada program promosi kesehatan metode lebih interaktif dan dapat menjangkau seluruh usia. Penyusunan kriteria penghargaan dan sanksi dengan melibatkan pekerja dan diimplementasikans secara konsisten. Pekerja juga perlu untuk berkontribusi dengan saling mengingatkan untuk mematuhi protokol kesehatan COVID-19 dengan dukungan dari manajemen dan berperan aktif dalam penyusunan program promosi kesehatan dan kriteria penghargaan dan sanksi. Dan bagi peneliti selanjutnya dapat mengembangkan penelitian dengan menambah variabel, memperluas sasaran penelitian dan melanjutkan analisis multivariate

Implementation of compliance behavior with the COVID-19 health protocol should reduce the spread of COVID-19, but currently there are still cases at PT X. The purpose of this study was to analyze various factors related to establishing COVID-19 health protocol compliance behavior in office workers at PT. X year 2022. The research design was cross sectional with a quantitative approach. The number of respondents as many as 76 people were taken at simple random. Primary data were obtained from questionnaires distributed using the googleform application, completed with observation data and document review. The results showed that the level of compliance with the COVID-19 health protocol was 82.9%. The results of the analysis show that men are 5 times more at risk of non-compliance than women (OR 5,677), workers who feel low benefits are 4 times more at risk of non-compliance (OR 4,329) than those who feel high benefits, workers with low self-efficacy are 4 times were more at risk of non-compliance (OR 4,329) than those with high efficacy. In addition, workers who do not receive support from their work environment are 5 times more to be non-compliance (OR 5,417) compared to workers who do not receive support from their work environment, workers who do not receive family support are 9 times more likely to be non-compliance ( OR 9.02) compared to workers who received family support, as well as workers who felt inadequate rewards and sanctions were 5 times more likely to be non-compliance (OR 5,211) than workers who felt adequate rewards and sanctions. This study found that there was no relationship between age, marital status, experience, knowledge, availability of instructions, perceived susceptibility, perceived severity, perceived barriers, cues to action (predisposing factors), availability of facilities and facilities as well as training and health promotion (enabling factors), and a team of inspectors (reinforcing factors) and COVID-19 health protocol compliance behavior. The COVID-19 pandemic is still ongoing, so the Company still needs to take preventive measures against COVID-19, namely by increasing health promotion programs and implementing awards and sanctions. Health promotion is developed by involving all employees on a bottom-up basis. In addition, involving families in health promotion programs is more interactive and can reach all ages. Compilation of reward and sanction criteria by involving workers and implemented consistently. Workers also need to contribute by reminding each other to comply with the COVID-19 health protocol with support from management and take on the active role in the development of health promotion programs and award and sanction criteria. And for further researchers, they can develop research by adding variables, expanding research targets and continuing into multivariate analysis."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nancy Jelita
"Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa seberapa besar pengaruh Pengeluaran rumah tangga (pada pengeluaran non makanan sektor pendidikan dan kesehatan), pengeluaran pemerintah per kapita, serta kredit mikro, kecil dan menengah yang diberikan Bank Umum dan BPR terhadap Indeks Pembangunan Gender (IPG). Dalam mengukur dan menganalisa digunakan data runtun waktu (time series) dan silang tempat (cross section) atas 19 kabupaten/kota pada periode 2008 s/d 2012. Analisa data menggunakan metode efek tetap (Fixed Effext). Penggunaan metode ini dapat menjelaskan perbedaan karakteristik IPG di masing-masing kabupaten/kota di Jawa Tengah.
Hasil penelitian ini menunjukkan adanya pengaruh yang signifikan antara pola konsumsi/pengeluaran rumah tangga, pengeluaran pemerintah per kapita dan serta kredit mikro, kecil dan menengah terhadap Indeks Pembangunan Gender di Jawa Tengah. Dari analisis yang dilakukan menunjukkan bahwa seluruh variabel independen berhubungan positif dan signifikan dengan IPG. Pengeluaran pemerintah per kapita menunjukkan kontribusi yang terkecil, sedangkan kredit, mikro, kecil dan menengah menunjukkan kontribusi yang paling besar terhadap IPG. Besarnya pengaruh tersebut ditunjukkan oleh nilai koefisien variabel-variabel bebas, yakni 0,0170 untuk variabel pengeluaran rumah tangga sektor pendidikan dan kesehatan, 0,012245 untuk variabel pengeluaran pemerintah serta 0,011526 untuk kredit mikro, kecil dan menengah.

This study aims to analyze how much influence household spending (at the expense of non-food sectors and health education), government spending per capita, as well as micro-credit, small and medium-sized commercial banks and rural banks granted to the Gender Development Index (GDI). Used in measuring and analyzing time series data (time series) and a cross (cross section) over 19 districts / cities in the period of 2008 s / d 2012. Analysis of the data using fixed effects (Fixed Effext). The use of this method can explain the differences in the characteristics of IPG in each district / city in Central Java.
Results of this study showed a significant relationship between the pattern of consumption / household expenditure, government expenditure per capita and as well as micro-credit, small and medium enterprises against the Gender Development Index in Central Java. From the analysis showed that all independent variables associated positively and significantly with the IPG. Government expenditure per capita shows the smallest contribution, while credit, micro, small and medium showed the greatest contribution to the IPG. The amount of influence is shown by the coefficient of the independent variables, namely 0.0170 to variable household spending education and health sectors, 0.012245 to 0.011526 variable government spending as well as to credit for micro, small and medium enterprises.
"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2015
T45209
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Januardi Putra
"Perilaku tidak selamat adalah perilaku yang dapat mengizinkan terjadinya suatu kecelakaan atau insiden. Perilaku tidak selamat merupakan salah satu penyebab langsung terjadinya kecelakaan. Jenis perilaku tidak selamat yang terjadi di PT X Tahun 2014, yaitu gagal dalam mengamankan, tidak disiplin dalam pekerjaan, gagal dalam memberi peringatan, menggunakan peralatan yang tidak sesuai dan posisi atau sikap tubuh yang salah. Penelitian ini menggunakan kerangka konsep yang bedasarkan teori dari teori Lawrence Green dan E Soot Geller. Variabel yang diteliti yaitu faktor internal (persepsi,pengetahuan dan motivasi) dan faktor eksternal (pengawasan, peraturan K3 dan pelatihan K3). Hasil penelitian yaitu terdapat hubungan yang bermakna antara persepsi dengan perilaku tidak selamat, dan juga terdapat hubungan yang bermakna antara pelatihan K3 dengan perilaku tidak selamat.

Unsafe behavior is behavior that may permit the occurrence of an accident or incident. Unsafe behavior is one of the direct causes of accidents. Type of unsafe behavior that occur at PT X, failed to securing, no discipline in work, failed to give a warning, using wrong equipment and posture. This research uses variables from the theory of Lawrance Green and E Scoot Geller. analysis of unsafe Behavior. The variables studied were Internal factors (perception, knowledge and motivation) and external factors (supervision, regulation and training ). The result show is relationship between perceptions with the unsafe behavior, and relationship between the training K3 with unsafe behavior."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2014
S55363
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anisah Suci Yanti
"Penelitian ini dilakukan pada petugas pemadam kebakaran yang memiliki aktivitas berisiko mengalami stres kerja dan kelelahan kerja. Tujuan dilakukan penelitian ini untuk mengetahui gambaran kelelahan kerja dan stres dengan melihat faktor risiko fisik dan psikososial. Penelitian dilakukan pada 80 orang petugas pemadam kebakaran dan tenaga administrasi dengan menggunakan desain penelitian cross-sectional dengan melakukan observasi, pengisian kuisioner, melakukan pengujian aktivasi enzim amylase dalam saliva dengan alat Cocorometer (Nipro Cocoro), pengukuran waktu reaksi dengan aplikasi smartphone Sleep 2 Peak (S2P), dan pengukuran tanda vital tubuh seperti suhu tubuh, denyut nadi dan tekanan darah Faktor risiko fisik (force, postur janggal dan manual handling), faktor risiko psikososial (usaha, penghargaan, over committment, stres terhadap peran, beban emosional, dukungan sosial dan non pekerjaan) dan faktor organisasi kerja (shift kerja dan status pekerja) menjadi faktor independen penelitian terhadap stres dan kelelahan kerja. Kuesioner yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Quick Exposures Checklist untuk menilai faktor fisik, kuesioner Effort Reward Imbalance, COPSOQ, NIOSH Generic Job Stress dan NIOSH Quality of Work Life (QWL) untuk menilai faktor risiko psikososial dan stres kerja. Kelelahan kerja diukur dengan menggunakan kuesioner Sweedish Occupational Fatigue Inventory (SOFI) dan Fatigue Assessment Scale (FAS). Hasil penelitian terdapat hubungan yang signifikan antara faktor risiko pada leher memiliki pengaruh terhadap kelelahan (CI 95% 1,75 sampai 16,16; OR 5,32), faktor psikosoial yaitu beban emosional (CI 95% 1,04 sampai 5,78; OR 1,56), stres terhadap peran (CI 95% 1,23 sampai 4,76; OR 1,52) dan dukungan sosial dari keluarga (CI 95% 1,27 sampai 5,43; OR 2,51) terhadap stres serta faktor organisasi pekerjaan terdiri dari jenis pekerjaan (CI 95% 0,05 sampai 0,55; OR 0,16), sistem shift (CI 95% 0,06 sampai 0,54; OR 0,18) dan status pekerja memiliki hubungan terhadap stres yang dialami oleh petugas pemadam kebakaran.

The object of this study is firefighters in fire and rescue department who are at risk having work related stress and fatigue due to their task. The purpose of this study is to identify the physical and psychosocial factors of work related stress and fatigue on firefighters. The design used in this study is cross-sectional design by conducting the observation, sharing questionnaires and do the test of Salivary Amylase Activation (SAA) with Cocorometer (Nipro Cocoro), test of time reaction with Sleep 2 Peak application on mobile phone and test of vital sign such temperature, heart rate and blood pressure to 80 workers at Fire and Rescue Department. The tools used in this study are Quick Exposure Checklist to assess physical factors, the combination of psychosocial questionnaire are Effort Reward Imbalance, COPSOQ, NIOSH Generic Job Stress dan NIOSH Quality of Work Life (QWL) to assess psychosocial factors and Salivary Amylase Activation testing to assess work uhrelated stress and fatigue among fire fighters. Fatigue subjective measurement use tools form Sweedish Occupational Fatigue Inventory (SOFI) and Fatigue Assessment Scale (FAS). Physic factors (force, awkward posture and manual handling), psychosocial factors (effort, reward, overcommittment, rolestress, emotional demand, social support and non work related factors) and organisational factors are the independent variables of work related stress and fatigue which are the dependent variable in this study. The result of this study shows that risk factor (neck) has correlation with fatigue (CI 95% 1,75-16,16; OR 5,32), psychosocial factors such emotional demand (CI 95% 1,04-5,78; OR 1,56), rolestress (CI 95% 1,23-4,76; OR 1,52) and family social support (CI 95% 1,27-5,43; OR 2,51) influence stress, organisational factors such type of work (CI 95% 0,05-0,55; OR 0,16), shift work (CI 95% 0,06-0,54; OR 0,18) and status of workers have correlations with stress."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2018
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jumiaty
"Meningkatnya jumlah pekerja menunjukkan nilai positif yaitu bertambahnya tenaga produktif, tetapi peningkatan tersebut tidak dibarengi dengan kualitas hidup yang baik pula sehingga berdampak pada penurunan produktivitas kerja. Tujuan penelitian adalah konfirmasi faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas hidup pegawai di Rumah Sakit ?X? Makassar Tahun 2010. Penelitian cross sectional melibatkan 389 pegawai, cara ukur dilakukan dengan pengisian sendiri terhadap kuesioner yang tersedia.
Variabel dilihat berdasarkan teori yang dikembangkan Lawrence Green dan Kreuter (1999), menyatakan bahwa kualitas hidup berkaitan dengan status kesehatan. Status kesehatan dipengaruhi oleh perilaku dan lingkungan, dimana perilaku dan lingkungan ditentukan oleh faktor predisposing, reinforcing dan enabling. CFA digunakan untuk menguji validitas dan reliabilitas indikator, model fit (GFI=0.77, PGFI=0.70, RMSEA=0.067, AIC=2763.03, CAIC=3259.38).
Hasil penelitian didapatkan faktor yang berperan tidak langsung terhadap kualitas hidup adalah predisposing (0.71) dan enabling (0.58). Faktor yang mempengaruhi kualitas hidup adalah faktor perilaku (0.25) dan status kesehatan (0.73). Tidak ditemukan bukti faktor reinforcing berpengaruh terhadap perilaku, lingkungan tidak berpengaruh terhadap status kesehatan dan kualitas hidup.
Kesimpulan adalah tidak semua faktor saling berhubungan mempengaruhi kualitas hidup. Disarankan Rumah Sakit ?X? membuat strategi internal yaitu sistim koordinasi dalam pelaksanaan tugas. Pegawai saling koordinasi dan saling memotivasi. Menanamkan perilaku hidup sehat bagi pegawai melalui regulasi dan motivasi dari pimpinan.

The increase in the number of workforce has indicated a positive implication in terms of increase in productivity. However such increase is not reinforced by the high quality of life which consequently has impacted on the reduced work productivity.
The objective of the research is confirm the factors that affect the quality of life of staff in the X Hospital Makassar in 2010. Cross sectional research involved 389 staff and employed self-filled out questionnaire for its method.
The variables researched are based on theory developed Lawrence Green and Kreuter (1999), postulated that quality of life has a correlation with health status. The health status is affected by behavioral and environment factors and these factors are determined by the predisposing, reinforcing and enabling factors. CFA is employed to evaluate validity and reliability of the indicator, model is to be fit (GFI=0.77, PGFI=0.70, RMSE=0.067, AIC=2763.03, CAIC=3259.38).
The research has found that factors that indirectly affect the quality of life are predisposing (0.71) and enabling (0.58). Factors that affect the quality of life are behavior (0.25) and health status (0.73). There is no evidence that shows reinforcing factor affects behavior and environment does not affect the health status and quality of life.
The research has concluded that not all factors are connected to affect the quality of life. It is suggested that the X Hospital develop an internal strategy in a form of system of coordination for implementing tasks and duties. It is expected that the staff will have a better coordination, cooperation and motivation. As a result staff behavior will be improved with the implementation of regulation and support from top level management."
Depok: Universitas Indonesia, 2010
T31674
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Aghnia Permatasari
"Kebutaan merupakan masalah yang ada di dunia, dimana penyebab utama masalah ini adalah katarak, baik di Indonesia maupun di dunia. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan data prevalensi katarak di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta pada tahun 2010 dan faktor-faktor yang berkaitan. Metode penelitian yang digunakan adalah studi potong lintang dengan menggunakan data sekunder berupa rekam medik sebanyak 904 sampel yang dipilih secara random dari 147.288 rekam medis pasien poliklinik RSCM tahun 2010.
Data variabel yang disertakan dalam penelitian ini meliputi usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, status pernikahan, pekerjaan, asuransi pembiayaan, status gizi, gaya hidup, dan riwayat penyakit sebelumnya. Analisis data dilakukan untuk mendapatkan angka prevalensi katarak di RSCM pada tahun 2010 dan faktor yang berhubungan dengan katarak.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa hanya 2 dari 11 variabel bebas yang terisi lengkap, yaitu usia dan jenis kelamin. Prevalensi katarak di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo pada tahun 2010 adalah sebesar 12,5% dan menempati peringkat pertama penyakit terbanyak. Berdasarkan uji hipotesis, didapatkan bahwa katarak lebih banyak terjadi pada pasien berusia > 40 tahun dari usia< 40 tahun dengan nilai kemaknaan p<0,001 dan terdapat peningkatan kejadian katarak seiring dengan penurunan tingkat pendidikan dengan nilai kemaknaan p=0,030.
Sementara, tidak didapatkan perbedaan bermakna antara variabel jenis kelamin (p=0,235), status pernikahan (p=0,624), pekerjaan (p=0,273), asuransi pembiayaan (p=0,865), status gizi (p=0,523), dan riwayat penyakit sebelumnya (p=0,403) dengan kejadian katarak. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa usia (>40 tahun) merupakan faktor risiko terjadinya katarak.

Blindness is the world's health problem, which the most common cause is cataract, even in Indonesia. This study aims to estimate the prevalence of cataract in Cipto Mangunkusumo Hospital (RSCM) in 2010 and its correlating factors using cross-sectional study design. Samples of this study were secondary data using medical record, with total amount of 904 samples which were randomly chosen from 147,288 medical records of RSCM policlinic patients in year 2010.
Variable data being included in this study were age, gender, education, marital status, jobstatus, utilization of health insurance, nutrient status, lifestyle, and disease history. Data analysis was done to estimate the prevalence of cataract in RSCM in 2010 and its relations with correlating factors.
The results showed that only 2 of 11 independent variables was complete, the age and the gender. The prevalence of cataract in Cipto Mangunkusumo Hospital in 2010 was 12.5% and it had the first rank of the disease. Based on hypothesis test, we obtained that cataract was more common in subject > 40 years old (p<0.001) and there was a trend of increasing cataract?s event with decreasing education (p=0.030).
However, other variables such as gender (p=0.235), marital status (p=0.624), job status (0.273), utilization of health insurance (0.865), nutrient status (p=0.523), and disease history (p=0.403) did not have significant different in cataract?s event. Based on the result, it can be concluded that age is the risk factor of cataract.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eka Purnamasari
"Kepatuhan petugas PBF yang berperan dan bertanggung jawab dalam pengelolaan cold chain di PBF dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah sikap. Sikap diperoleh melalui pengalaman dan interaksi yang terus menerus dengan lingkungannya, objek sosial atau peristiwa sosial.
Tujuan penelitian adalah Diketahuinya faktor-faktor yang berhubungan dengan sikap petugas PBF terhadap pengelolaan cold chain di empat PBF tahun 2010. Penelitian cross sectional melibatkan 188 petugas PBF, cara ukur dilakukan dengan pengisian sendiri terhadap kuesioner yang tersedia. Variabel dilihat berdasarkan teori yang dikembangkan dari Mar'at (1984), Sarwono (2009) dan Notoatmodjo (2010) yang menyatakan bahwa sikap berkaitan dengan pengetahuan. Pengetahuan dipengaruhi oleh pengalaman dan fasilitas. CFA digunakan untuk menguji validitas dan reliabilitas indikator, model fit (GFI=0.72, PGFI=0.64, RMSEA=0.073, AIC=5305,83, CAIC=5479.52).
Hasil penelitian didapatkan faktor yang berperan tidak langsung terhadap sikap adalah fasilitas (0.75). Faktor fasilitas berhubungan dengan pengetahuan dalam mempengaruhi sikap. Faktor yang mempengaruhi sikap adalah faktor pengetahuan (0.61). Tidak ditemukan bukti faktor pengalaman berpengaruh terhadap pengetahuan.
Kesimpulan adalah tidak semua faktor saling berhubungan mempengaruhi sikap. Disarankan Pemerintah dalam hal ini Badan POM melakukan revisi terhadap materi yang terkait pengelolaan cold chain dan vaksin dalam pedoman CDOB dan dibuat standardisasi materi pelatihan teknis prosedur pengelolaan cold chain. PBF diharapkan meningkatkan kualitas kegiatan pelatihan baik dari segi materi maupun metode pelatihan.

Measure of Compliances for Therapeutic Product Distributors personnel who in charge in cold chain operation is depends on some factors such as personnel attitude. Attitude has been gained from experiences, continuing interaction with circumstances, social object as well as social accomplishment.
Objective of this research is to identify factors that have correlation with Therapeutic Product Distributors personnel attitude in term of cold chain management in area of four Therapeutic Product Distributors during 2010. This cross sectional research involved about 188 Therapeutic Product Distributors personnel using method of self assessment survey. Variables have been achieved based on theory that developed by Mar'at (1984), Sarwono (2009) and Notoatmodjo (2010) that said attitude has relationship with knowledge. Meanwhile knowledge is dependent on experience and facility. CFA has been used to examine both validity and reliability of indicator, model fit (GFI=0.72, PGFI=0.64, RMSEA=0.073, AIC=5305,83, CAIC=5479.52).
Result of this research attain that facility factor (0.75) has indirect association with attitude factor. Facility factor has correlation to knowledge factor. Meanwhile, knowledge (0.61) has been association with attitude. Additionally, there is no evidence that experience rely on knowledge. In conclusion, its not overall factor has relationship with attitude.
It is recommended to Government particularly Badan POM to revise guideline of cold chain management in the document of Good Distribution Practices and provide standard module of cold chain management training as well. Furthermore, Therapeutic Product Distributors have been expected to improve training activity both in module and method."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2010
T31361
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Eka Setya Ardiningsih
"Hiperglikemia merupakan masalah di Indonesia yang jumlahnya semakin meningkat dan berdampak pada tingginya angka kematian penduduk. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi faktor-faktor yang berhubungan dengan hiperglikemia pada orang dewasa di Kota Depok dan Kabupaten Lampung Tengah. Kedua daerah tersebut memiliki prevalensi hiperglikemia cukup tinggi, yaitu sebesar 14.4% di Kota Depok dan 7.7% di Kabupaten Lampung Tengah.
Desain penelitian adalah crossectional menggunakan data penelitian Strategi Nasional mengenai Faktor Risiko Penyakit Tidak Menular 2010 dengan jumlah sampel 362 orang dewasa.
Analisis data dilaksanakan dengan Regresi Logistik Ganda dan pada permodelan akhir menunjukkan variabel lokasi penelitian (OR=11.9, 95% CI 2.04 – 69.39), tingkat pendidikan (OR= 11.25, 95% CI 1.99 – 63.44), dan asupan lemak (OR=3.44, 95% CI 1.04 – 11.44) memiliki hubungan signifikan terhadap hiperglikemia.
Lokasi penelitian memiliki nilai OR tertinggi sehingga merupakan faktor yang paling dominan terhadap hiperglikemia pada orang dewasa di Kota Depok dan Kabupaten Lampung Tengah. Kemudian terdapat enam variabel perancu (konfounder) yaitu variabel usia, variabel obesitas berdasarkan lingkar pinggang, variabel asupan energi, variabel konsumsi nasi, konsumsi mi, dan konsumsi singkong.

Hyperglycemia is a problem in Indonesia, which is increasing and contributes to the high mortality rate of the population. This study aimed to identify factors associated with hyperglycemia in adults in Depok and Central Lampung regency. Both of these areas have a high prevalence of hyperglycemia, which amounted to 14.4% in Depok and 7.7% in Central Lampung regency.
The study design was cross-sectional study used data on the National Strategy for Communicable Diseases Risk Factors in 2010 with 362 samples of adults.
Data analysis was performed with logistic regression modeling and the result shows the location of the study (OR = 11.9, 95% CI 2.04 - 69.39), educational level (OR = 11.25, 95% CI 1.99 - 63.44), and fat intake (OR = 3.44, 95% CI 1.04 to 11.44) have statistical relationship with hyperglycemia.
Location of the study had the highest OR value that is the most dominant factor for hyperglycemia in adults in Depok and Central Lampung regency. Then there are six confounding variables include age, obesity based on waist circumference, energy intake, rice consumption, noodle consumption, and cassava consumption.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2013
S52528
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vella Ovelia
"Kejadian HIV pada populasi menyuntik narkoba cukup tinggi yaitu lebih dari 40% dari kasus baru yang ada. Di Indonesia, kejadian HIV berkisar antara 50%-90% pada penasun. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui hubungan antara faktor sosiodemografi dan perilaku menyuntik dengan status HIV pada Pengguna NAPZA suntik di 4 kota di Indoneisa (Yogyakarta, Tangerang, Pontianak, Makassar tahun 2013. Desain penelitian adalah cross sectional menggunakan data Survei Terpadu Biologis Perilaku 2013. Sampel dalam penelitian ini adalah penasun pria atau wanita berumur 15 tahun atau lebih yang tinggal di Kota lokasi survey dan menyuntik NAPZA selama satu bulan terakhir.
Hasil penelitian diperoleh penasun dengan status HIV (+) sebesar 61,35%. Adapun variabel yang bermakna secara statistik yaitu usia (PR: 0,662; 95%CI: 0,519?0,844), lama menggunakan NAPZA suntik (PR: 1,844; 95%CI: 1,485?2,289) hubungan seksual (PR: 1,882; 95%CI: 1,271?2,788), akses pelayanan kesehatan (PR: 1,285; 95%CI: 1,048?1,576) dan akses LASS (PR: 0,811; 95%CI: 0,674?0,977). Oleh karena itu, perlu dilakukan pencegahan perilaku berisiko pada usia reproduktif dan memperluas akses pelayanan kesehatan dan layanan alat suntik steril.

HIV incidence in the population inject drugs is quite high at more than 40% of new cases are there. In Indonesia, HIV incidence ranges from 50% -90% in IDUs. The purpose of this study was to determine the relationship between the sociodemographic and behavioral factors injected with HIV status on injecting drug users in four cities in Indonesia (Yogyakarta, Tangerang, Pontianak, Makassar in 2013. The study design was cross sectional using data from Survei Terpadu Biologis dan Perilaku (STBP) 2013. Samples IDUs in this study were male or female aged 15 years or older who live in the city survey locations and injecting drugs during the last month.
The results obtained IDUs with HIV status (+) amounted to 61.35%. The variables are statistically significant age (PR: 0.662; 95% CI: 0.519 to 0.844), duration of injecting drug use (PR: 1.844; 95% CI: 1.485 to 2.289) sexual relations (PR: 1.882; 95% CI: 1.271 to 2.788), access to services health (PR: 1.285; 95% CI: 1.048 to 1.576) and access LASS (PR: 0.811; 95% CI: 0.674 to 0.977). Therefore, there should be the prevention of risk behavior of reproductive age and expand access to health care and services sterile syringe.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2016
S65164
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>