Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 151935 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Mas Teddy Sutriadi
"ABSTRAK
Penelitian dilaksanakan di Sub DAS Klakah DAS Serayu Kabupaten Wonosobo pada Musim Kemarau 2008 dan Musim Hujan 2008. Penelitian menggunakan pendekatan penelltian kuantitatif dengan fonnat deskriptif Ex Post Factr. Sebanyak 54 contoh air dari Sub OAS Klakah diamati kadar nitratnya dan sebanyak 75 petanl contoh diwawancarai. Kesimpulan yang didapat pada penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) Faktor pendorong petanl memupuk nitrogen dengan dosis berlebihan adalah untuk menlngkatkan produksi (0,39), kemudian berturut-turut peringkat kedua, ketiga, dan keempat adalah pendapatan (0,30), kesuburan tanah (0,22), dan harga sayuran (0,09); (2) Dosis pupuk N yang diterapkan petani lebih tlnggi 70%, dan 6% dari dosis rekomendasi untuk tanaman kentang dan kubis, sedangkan untuk tanaman jagung masih dl bawah dosls rekomendasi; (3) Produksi taliaman kentang, kubls, dan jagung pada wilayah studi lebih rendah dar! potensi hasllnya, tetapl maslh memberikan keuntungan usahatanl, dengan 13/C masing-masing 0,98; 1,44; dan 1,64; (4) Pemupukan N dosis tinggi menlngkatkan secara nyata konsentrasi nitrat dalam air sungai. Namun konsentrasl nitrat dl semua lokasl pengamatan masih menunjukkan nilai yang lebih rendah dan konsentrasi NOJ- yang diperkenankan untuk air mlnum ( 45 mgjl), dan (5) Sebanyak 58% petani menerapkan teknologi konservasl tldak sesual dengan kemiringan lerengnya; seria Upaya yang dapat dilakukan untuk memlnlmalkan dampak adalah a) penerapan pola tanam yang mengkomblnaslkan tanaman sayuran umbi, daun, dan blji (jagungkentang- kubls), b) penerapan dosis pemupukan sesual dengan rekomendasi, c) perbalkan teknologl konservasl tanah sesual dengan kemlringan lerengnya, d) penanaman tanaman tahunan atau tanaman legum pohon pacta batas kepemlikan lahan pada lahan dengan kemiringan kurang dari 15%, e) penanaman tanaman tahunan dan melarang penanaman tanaman semusim pada tanah dengan kemiringan lereng leblh besar dan 15%, dan f) peningkatan aktlvitas penyuluhan melalui kelompok tani secara berkala dan membuat demplot teknologl pemupukan dan konservasi tanah."
2009
T32836
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
MTH Sri Budiastuti
"ABSTRAK
Dewasa ini lahan pertanian di daerah bawahan makin terdesak oleh kepentingan lain yang bukan pertanian seperti perluasan jaringan jalan, pengembangan industri dan lain-lain, yang kegiatannya banyak menggunakan sumber air. Oleh karena itu perhatian harus diarahkan ke lahan atasan agar dapat dijadikan pangkalan pengembangan pertanian.
Daerah tapak waduk Kedung Ombo meliputi tiga wilayah kabupaten di Jawa Tengah yaitu Boyolali, Sragen dan Grobogan yang merupakan kawasan pertanian lahan kering dengan luas wilayah 4541 km2. Sebagian besar penduduknya hidup sebagai petani dengan mengusahakan tanaman pangan seperti jagung, kedelai, kacang tanah dan ketela pohon. Ketiga wilayah kabupaten ini memiliki topografi bergelombang sehingga termasuk lahan atasan, dan dalam kaitannya dengan lahan pertanian, maka lahan atasan adalah lahan pertanaman yang diusahakan tanpa penggenangan air pada petak pertanaman. Dengan demikian air hujan merupakan sumber air asasi di daerah tapak waduk Kedung Ombo.
Tanaman dapat tumbuh dengan baik apabila ketersediaan air dan hara terpenuhi, dengan kata lain persediaan 'air dan hara menentukan kemaujudan pertanian lahan kering. Ketersediaan air bagi tanaman terdapat dalam bentuk lengas tanah yang merupakan hasil saling tindak (interaction) antara tanah dan iklim(musim), sehingga peranan tanah dalam mengubah air menjadi lengas tanah dan kemampuan mempertahankannya serta kemampuan menyediakan hara, sangatlah penting.
Fakta menunjukkan bahwa daerah tapak secara potensial sangat rawan terhadap kerusakan, seperti erosi tanah dan kekeringan yang berarti ketersediaan lengas tanah terbatas dan kesuburan tanah rendah, sehingga dapat mempengaruhi kapasitas penghasilan pendapatan penduduk. Untuk itu diperlukan penelaahan potensi lengas tanah dan hara tanah sehingga dapat ditentukan tanaman pangan dengan sistem budidayanya yang menjamin kemanfaatan sumberdaya alam setempat serta berdasarkan konservasi'lengas tanah dan tanah. Mengingat hal tersebut, timbul beberapa pertanyaan penelitian: (1) teknik pengawetan tanah dan lengas tanah apakah yang dapat diterapkan, (2) sistem budidaya tanaman apakah yang mampu beradaptasi pada kondisi lengas tanah dan hara tanah serta mampu menekan erosi, (3) apakah sistem budidaya yang mampu beradaptasi dengan lengas tanah dan hara tanah di daerah tapak juga berpengaruh pada produksi tanaman dan kapasitas penghasilan pendapatan petani dan (4) kendala-kendala apakah yang terjadi di dalam menerapkan sistem budidaya yang paling tepat dan bagaimana upaya mengatasinya.
Tujuan umum penelitian ini, menemukan suatu cara memapankan pertanian lahan kering secara terlanjutkan menurut asas adaptasi pada regim lengas tanah dan regim hara tanah. Tujuan khusus: (1) menemukan teknik pengawetan tanah dan lengas tanah yang dapat diterapkan, (2) menemukan sistem budidaya tanaman yang terjamin kebutuhan lengas tanah dan mampu menekan erosi, (3) menemukan sistem budidaya tanaman yang paling tepat dan mampu meningkatkan produksi tanaman dan kapasitas penghasilan pendapatan petani dan (4) menemukan kendala-kendala di dalam menerapkan sistem budidaya yang tepat.
Hipotesis yang diajukan: (1) teknik pengawetan tanah dan lengas tanah yang dapat diterapkan adalah teknik vegetatif melalui sistem pertanaman yang menyertakan tanaman tahunan, (2) sistem pertanaman lorong menurut penanaman dalam lajur yang menghasilkan pupuk hijau,terjamin kebutuhan lengas tanahnya dan mampu menekan erosi, (3) diduga sistem pertanaman lorong merupakan sistem budidaya tanaman yang mampu bertahan dengan balk pada kondisi setempat dan dapat meningkatkan produksi tanaman serta kapasitas penghasilan pendapatan petani, (4) kendala sosial ekonomi merupakan kendala utama di dalam menerapkan sistem pertanaman lorong.
Metodologi untuk memecahkan masalah dalam penelitian ini menggunakan analisis sistem dengan membuat acuan pengimakan menurut acuan geografi sebagai gambaran sistem lahan, yang dikerjakan dengan sistem pemutus matrik (decision matrix). Tiap-tiap unsur pengimakan disusun berdasarkan sistem grid (kelas-kelas) dan penetapan banyaknya kelas menurut tingkat kepentingannya. Hasii analisis dengan acuan pengimakan berupa peta agrohidrologi dan peta geografi agihan hara tanah yang digambarkan secara digital dan menjadi data dasar ketersediaan lengas tanah dan hara tanah secara alamiah untuk pertanaman dengan matra keruangan dan kewaktuan, kemudian dari paduan (overlay) peta agrohidrologi dan peta geografi agihan hara tanah diperoleh peta produktivitas alamiah yang menghasilkan kelas-kelas kesatuan lahan (KKL). Tahap kedua adalah menganalisis secara deskriptif, semua model pola tanam dengan sistem tumpangsarinya dan produksi dari tiap-tiap tanaman pangan yang diusahakan, yang berada di tiaptiap kelas kesatuan lahan. Tahap ketiga mengadakan penelitian erosi permukaan tanah dan aliran limpas yang dilakukan pada salah satu kelas kesatuan lahan terpilih karena kelas kesatuan lahan ini hampir berada di seluruh daerah tapak dan memiliki berbagai variasi kemiringan. Pengukuran erosi di lapangan digunakan sebagai pembanding pengukuran erosi potensial berdasarkan rumus USLE yang disajikan dalam bentuk peta kawasan erosi. Tahap terakhir adalah melakukan teknik tumpang tindih antara peta produktivitas alamiah dan peta kawasan erosi potensial sehingga menghasilkan kelas-kelas kesesuaian lahan.
Hasil analisis sistem dengan acuan pengimakan terhadap potensi lengas tanah menunjukkan bahwa daerah tapak memiliki ketersediaan lengas tanah cukup balk untuk tanaman semusim maupun, untuk tanaman tahunan, dan terhadap potensi hara tanah menunjukkan bahwa sebagian besar daerah tapak memiliki potensi hara yang rendah (miskin). Kedua potensi tersebut dipadukan, menghasilkan peta produktivitas alamiah dengan empat kelas kesatuan lahan yaitu: (1) kesatuan lahan yang lengas tanahnya tersedia sepanjang tahun dan potensi hara tanah sangat miskin, (2) kesatuan lahan yang lengas tanahnya tersedia sepanjang tahun dan potensi hara tanah miskin, (3) kesatuan lahan yang lengas tanahnya tersedia sepanjang tahun dan potensi hara tanah .sedang, (4) kesatuan lahan yang lengas tanahnya tersedia sepanjang tahun dan potensi hara tanah sangat subur. Keempat kelas kesatuan lahan memiliki model pola tanam dengan sistem tumpangsari antara beberapa jenis tanaman pangan, dan khususnya di kelas kesatuan lahan kedua (desa Genengsari Boyolali) dengan sistem tumpangsari antara tanaman pangan dan tanaman tahunan (legum) menurut pertanaman lorong (alley cropping) dalam sistem lajur.
Tanaman tahunan (legum) dalam sistem pertanaman lorong berfungsi sebagai tanaman pagar yang mampu menghasilkan pupuk hijau sebesar 28,6 ton per hektar per tahun. Pupuk hijau dalam sistem pertanaman lorong, disamping berfungsi menyuburkan tanah juga dapat mengurangi evaporasi yang berlebihan pada musim kemarau. Oleh karena sistem pertanaman lorong di desa Genengsari menurut penanaman dalam lajur dan disertai pembuatan teras bangku sederhana, maka terjadinya erosi relatif rendah (0,009 ton ha-1 th-1).
Produksi tanaman pangan dan perhitungan kapasitas penghasilan pendapatan petani menunjukkan bahwa model pola tanam dengan sistem tumpangsari menurut pertanaman lorong di KKL 2 memperoleh pendapatan bersih Rp. 3.516.000,- yang jauh lebih besar bila dibandingkan dengan pendapatan bersih di KKL yang lain. Hal itu disebabkan oleh jumlah pengusahaan dalam satu tahun, yakni dalam sistem pertanaman lorong dapat diusahakan 3-4 kali, sedangkan dalam sistem tumpangsari yang lain hanya 1-2 kali. Hal itulah yang secara langsung dapat meningkatkan kapasitas penghasilan pendapatan petani (dengan 5-6 kali panenan dalam satu tahun).
Hasil pengukuran erosi permukaan tanah dan aliran limpas di kelas kesatuan lahan yang mendominir daerah tapak (KKL kedua) pada kemiringan 35% adalah 0,031 t ha-1 th-1 (0,12 mm ha-1 th-1) dan jumlah aliran limpas 91 mm ha-1 th-1, berarti masih jauh di bawah tingkat erosi pada lahan dengan model pola tanam yang kurang memperhatikan sifat agronomi tanaman (3-12 mm ha-1 th-1 atau 0,775 t ha-1 th-1) dan juga masih di bawah tingkat erosi yang diijinkan untuk tanah dangkal di atas batuan (1,12 t ha-1 th-1). Adapun peta kawasan erosi potensial daerah tapak menunjukkan bahwa besarnya erosi potensial di tiap-tiap kemiringan lahan, bagaimanapun juga masih berada di bawah tingkat erosi yang diijinkan. Dengan demikian persoalan erosi di daerah tapak masih relatif kacil.
Untuk menentukan sistem pertanaman menurut keterlanjutan fungsi sumberdaya, diperlukan kelas?kelas kesesuaian lahan. Kelas-kelas tersebut adalah: (1) lokasi pertama lengas tanah tersedia sepanjang tahun, hara tanah sangat miskin, tidak ada erosi potensial, sesuai untuk pola tanam tanaman pangan yang mendahulukan kacang tanah, dan sisa tanaman tersebut digunakan sebagai mulsa, lokasi kedua, erosi potensial 1,925 t ha-1 th-1, sesuai untuk tanamansayuran dengan pengelolaan searah kontur, (2) lengas tanah tersedia sepanjang tahun untuk tanaman semusim dan sedikit risiko untuk tanaman tahunan, hara tanah sangat miskin, erosi potensial 0,065 t ha-1 th-1, sesuai untuk pola tanam tanman pangan yang mendahulukan kacang tanah serta penanaman tanaman tahunan tahan keying, (3) lengas tanah tersedia sepanjang tahun, hara tanah miskin, erosi potensial berkisar antara 0,092 t hart th-1 sampai dengan 0,96 t ha -l th-1, sesuai untuk pola tanam dengan sistem pertanaman lorong, (4) lengas tanah tersedia sepanjang tahun, hara tanah sedang, erosi potensial 0,09 t ha-1 th-l, sesuai untuk pola tanam tanaman pangan dengan tanaman pokok padi pogo dan kacang tanah yang dapat disisipi jagung dan ubi kayu, (5) lengas tanah tersedia sepanjang tahun untuk tanaman semusim dan sedikit risiko untuk tanaman tahunan, hara tanah sangat subur,erosi potensial 0,60 t ha-l th-l, sesuai untuk tanaman sayuran dan tanaman tahunan (buah-buahan) yang mangkus (efisien) dalam menggunakan air.
Sebagian besar daerah tapak termasuk kolas kesesuaian lahan ketiga yaitu lahan yang sesuai untuk sistem pertanaman lorong. Bagaimanapun juga upaya mengatasi ketidakmampuan tanah mempertahankan lengas tanah dan meningkatkan.hara tanah, harus mengacu kepada sumber utama penghidupan penduduk yaitu usaha pertanian dengan penekanan utama pada sistem pertanaman. Sistem pertanaman yang dilakukan adalah sistem pertanaman yang dititik beratkan pada masukan bahan organik sebagai unsur yang menyokong, memperbaiki dan memelihara kesuburan tanah melalui proses daur ulang. Sistem ini disebut Sistem Gizi Tanaman Terpadu atau Integrated Plant Nutrition System. Dalam hal sistem gizi tanaman terpadu, maka sistem budidaya tanaman dengan sistem pertanaman lorong (alley cropping) menurut penanaman dalam strip sangat tepat untuk diterapkan karena dapat mengendalikan evaporasi, transpirasi, aliran limpas dan menghasilkan pupuk hijau yang dapat memperbaiki sifat fisik dan kimia tanah, sehingga mengurangi penggunaan pupuk buatan. Dalam hubungannya dengan persoalan erosi tanah, maka besarnya erosi pada model pola tanam dengan sistem pertanaman lorong adalah 0,009 t ha-1 th-l, yang berarti jauh di bawah besarnya erosi pada model pola tanam yang dilakukan rakyat yaitu 0,775 t ha-i th-l. Apabila dilihat dari segi kapasitas penghasilan pendapatan petani, maka pendapatan bersih terbesar juga terdapat pada kelas kesatuan lahan dengan model pola tanam menurut sistem pertanaman lorong. Oleh karena itu sistem pertanaman lorong merupakan sistem pertanaman yang mengarah ke keterlanjutan fungsi sumberdaya, ditinjau dari segi fisik (tingkat erosi) maupun segi ekonomi (kapasitas penghasilan pendapatan). Namun demikian, terdapat juga kendalakendala dalam melaksanakan sistem pertanaman lorong, yaitu tentang anggapan petani bahwa tanaman pagar dalam sistem pertanaman lorong dianggap mengganggu tanaman pangan dan mempersempit bidang olah. Usaha mengatasinya adalah dengan pendekatan manusiawi melalui penyuluhan maupun plot-plot percontohan yang secara langsung dapat dilihat olah petani.Dengan tercapai melalui suatu rangkaian proses. ;

ABSTRACT
The Establisment Of Upland Agriculture Based On The Concept Of The Sustainability Of Environmental Function (Case Of Kedung Ombo Dam Site Area)The current situation in Indonesia shows that the area of lowland agriculture is gradually decreasing due to conversion to other uses. The building of new and the expansion of existing roads, and land development for industrial estates, to mention just a few, are steadily encoding into productive paddy lands. Industrial and urban developments also claim much water from existing sources, posing a serious threat to lowland agriculture. This thesis tries to elucidate the potential and prospect of upland agriculture as an alternative approach to the problem of diminishing land areas for lowland agriculture and the increased competition for water used.
The catchments area of Kedung Ombo reservoir is within the area of three kabupatens, namely Boyolali, Sragen and Grobogan. It covers 4541 square km where most upland agriculture has been practice. The main crops are food crops like maize, soybean, peanut and cassava, cultivated as rain fed crops. The relief of the terrain is strongly undulating to rolling, so that the land is very susceptible to erosion and water deficit.
The sustain rain fed cropping it is compulsory to integrate soil and water conservation in the general practice of farming. In principle, soil conservation is intended to keep plant nutrient losses from the rooting zone at reasonable minimum, and to maintain a good rooting space. Water conservation is basically aimed at ensuring the effective transformation of precipitation water into available soil moisture for plants, and to hold the obtainable soil moisture as long as possible to used during rainless periods.
To design an appropriate system of soil and water conservation, it is necessary to define the prevailing soil condition in terms of nutrient and water supplies as related to the physical environment in which the soil exists. These are called the soil nutrient regime (SNR) and the soil moisture regime (SMR).
With the understanding of SNR and SMR of each land unit, the following questions can be raised and the relevant answers can be sought: (1) what kinds of soil and water conservation technique are required, (2) what kinds of cropping system may be alternatively introduce to each of the different land units which can accommodate the soil and water conservation techniques, (3) what will be the consequences of each alternative system on crop yields, and income producing capacity for farmers, and (4) what will be the constraints of each alternative system, and how may the be immigated. To seek the answers to the questions a number of hypothesis can be formulated: (1) a vegetative technique of planting method by using tree crops will be applicable as a method to conserve the soil and soil moisture, (2) alley cropping with row planting which produce green manure will stabilize the soil moisture and prevent soil erosion, (3) alley cropping as an agricultural system will be sustainable at local condition and increase plant production and income producing capacity for the farmers, (4) the social economics constraint is the main constraint in applying alley cropping.
The methodology which is appropriate for solving the research questions will be a system analysis which refer to the geographical models as an outlay of soil type, which is carried out by a decision matrix. Each element of the simulation models are arranged based on the grid system. The number of classes were decided according to needs. The analytical results based on simulations models is an agro hydrological mapping and a geographical distribution of soil nutrient mapping, which is presented in a digital form and will be as data base of soil moisture and soil nutrient regim. In so doing the agricultural system will be proposed according to time and space which is supported by the overlay agro hydrological and geographical mapping as a picture of natural productivity which produced the classes of unit land. The second step is to conduct a descriptive analysis of the production of every food crop, which is different on every class of unit land. The third step is the research on a soil erosion and run off on a unit land which is dominant in the effort supporting to solve the problem by using small scale for one rainy occasion. The measurement of soil erosion in the field has been done and the data were compared with the potential soil erosion according ISLE as based for drawing a regional map in soil erosion. The last phase of the technique of the overlay mapping among the natural land productivity and the potential soil erosion will give the land classification for the relevant land used.
The result of the system analysis referred to the simulation of the soil moisture showed that the region surrounding Kedung Ombo reservoir contain adequate soil moisture for food crops as well for annual crops. The soil nutrient showed that most part of the region have low potential in nutritious elements. By adding of the two potentials above, the natural land productivity was produced with four classes: (1) agricultural land where the soil .moisture are available all year long with very low nutritious elements, (2) agricultural land where the soil moisture are available all year long with low nutritious elements, (3) agricultural land where the soil moisture are available all year long with fair nutritious elements, (4) agricultural land where the soil moisture are available all year long with rich nutritious elements. These four classes of unit land were interplant with several variety of food crops. Especially for class number two (at Genengsari, Boyolali) were interplant with food crops and perennials (legumes) according to the system of alley cropping and row planting. The perennials crops of, the alley cropping had the function of fence which produced green manure of 28.6 tons per hectare per year. The green manure of the alley cropping will also fertilized the land beside decreasing evaporation in the dry season. Since the implementation of alley cropping and bench ' terracing at village Genengsari, accordingly the soil erosion were relatively low (0.009 t per hectare per year).
Food production and income producing capacity of the farmers by applying of the intercropping system and alley cropping at KKL 2 were Rp. 3,516,000,- per year, which were far above the average farmers income from other KKL's, due to the several painting periods in every year. In alley cropping 3-4 times a year, while in interplanting the farmers planted 1-2 times a year. Therefore, their income producing capacities were increased by 5-6 times.
The experimental data of soil erosion and run off of the most agricultural land (class of unit land number two) at KKL 2 where the slopes is 35%, were 0.031 ton per hectare per year, and the run off were 91 mm per hectare per year. This means under the soil erosion at land without any conservation farming method (0.775 t ha-1 th-1), and were sill under the tolerable erosion level (1120 kg per hectare per year). This means that the soil erosion of the region were relatively low.
For deciding a cropping system which will be sustainable in an agricultural land used, a suitable land classification is needed. Those classes are: (1) land where the soil moisture are available all the year, with poor in plant nutrition, without potential in soil erosion, is suitable for food crops, by planting peanut as the first crop, by planting peanut as the first crop, and using the hay as mulch; when soil erosion reached 1.925 t per hectare per year, those land can be used for horticultural crops, planted according to the contour, (2) land where the soil moisture are available all the year and can be used for annual crops and for trees with minimum risk, poor in plant nutrition, the potential in soil erosion is 0.065 tons ha-1 th-1, is suitable for food crops, with peanut as the first planting and annual crops which stand against drying, (3) land where the soil moisture available all the year, poor in plant nutrition, the soil erosion potential between 0.092 t per hectare per year and 0.96 t ha-1 th-1, is suitable for alley cropping, (4) land where the soil moisture available all the year, medium in plant nutrition, the soil erosion potential is 0.09 t ha-1 th-1, is suitable for food crop and "padi gaga" as main crop, with peanut and cassava for intercropping, (5) land where the soil moisture available all the year that can be used for annual crops and trees with a little risk, rich on plant nutrition, the soil erosion potential 0.060 t ha -1 thll is suitable for horticultural crops and fruit trees which efficient in using the soil moisture.
Most of the regime surrounding the dam are in the third class (group), therefore, suitable for alley cropping system. The way to maintain the soil moisture and soil nutrient during the dry season should be based on the farmers livelihood, namely by focusing on food crops planting by doing organic farming. That means that intake and outtake of organic matter should be equal. The system is an Integrated Plant Nutrition System. Alley cropping with row planting can be done to maintain evaporation, transpiration, run off, and produce green manure which improve the physical and chemical condition of the soil, so that the input of chemical fertilizers can be limited. Since perennial- crops which planted as fences competed food crops in using sunlight for photosynthesis, intensive extension services should be done, more demonstration plots should be held to give prove for farmers that alley cropping is a proper system on the upland as a sustainable farming system.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1992
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Riantama Sulthana Fauzan
"Sebagai sistem pertanian kearifan lokal Bali, kedaulatan pangan Subak terancam dalam menjaga keberlanjutan pangan di wilayah Bali. Hal ini disebabkan karena para petani tidak lagi sepenuhnya menjalankan prinsip Tri Hita Karana dalam kegiatan usaha taninya dan beralih pada sistem pertanian Revolusi Hijau. Kabupaten Tabanan yang memiliki prestasi ketahanan pangan terbaik di Indonesia juga ikut terancam, karena Subak sebagai garda terdepan penjaga kedaulatan pangannya sudah tidak seberdaya dulu. Maka dari itu, penilitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauh apa Revolusi Hijau telah mendegradasi kedaulatan pangan Subak yang menerapkan nilai-nilai Tri Hita Karana sehingga, dapat mengetahui akar permasalahan dan solusi yang dapat dilakukan untuk mempertahankan kedaulatan pangan. Tesis ini menggunakan desain penelitian kualitatif dan metode Life History untuk memahami berbagai perubahan yang terjadi di Subak secara mendalam. Pengumpulan data menggunakan observasi, literatur dan melakukan wawancara secara langsung kepada tiga Subak di kabupaten Tabanan. Hasil penelitian menunjukkan adanya pergeseran orientasi dari sistem pertanian berbasis manusia menjadi modal dan teknologi. Hasil dari pergeseran tersebut merubah beberapa aspek dalam Subak antara lain; sarana produksi yang mengandalkan input eksternal, sistem gotong royong yang tergantikan dengan upah, kesejahteraan petani yang memburuk, konsep pertanian yang menjadi tidak berkelanjutan, tradisi ritual yang mulai ditinggalkan dan perilaku petani yang individual membuat lemahnya posisi dan keberdayaan organisasi Subak. Tesis ini membuahkan temuan, bahwa Revolusi Hijau tidak secara langsung mempengaruhi kedaulatan pangan Subak, melainkan para petani yang terpengaruh oleh perubahan yang dibawa Revolusi Hijau menjadikan Subak menjadi tidak berdaulat. Kedaulatan pangan dapat tercapai dengan penerapan budaya yang kuat, salah satunya adalah menjalankan nilai-nilai Tri Hita Karana sebagai instrumen kedaulatan pangan berbasis budaya.

As a Balinese local wisdom agricultural system, Subak's food sovereignty is threatened in maintaining food sustainability in the Bali region. This is because the farmers no longer fully implement the principle Tri Hita Karana in farming activities and switch to the Green Revolution agricultural system. Tabanan Regency, which has the best food security achievements in Indonesia, is also under threat, because Subak, as the front line guard for food sovereignty, is no longer as empowered as before. Therefore, this research aims to find out to what extent the Green Revolution has degraded the food sovereignty of Subak which applies the values of Tri Hita Karana hence, can find out the root of the problem and solutions that can be done to maintain food sovereignty. This thesis uses a qualitative research design and methods Life History to understand the various changes that occurred in Subak in depth. Data collection used observation, literature and direct interviews with three subaks in Tabanan district. The results showed that there was a shift in orientation from human-based agricultural systems to capital and technology. The results of this shift changed several aspects of Subak, including; production facilities that rely on external inputs, mutual assistance systems that are replaced by wages, deteriorating farmer welfare, agricultural concepts that are becoming unsustainable, ritual traditions that are starting to be abandoned and individual farmer behavior weaken the position and organizational empowerment of Subak. This thesis led to the finding that the Green Revolution did not directly affect Subak's food sovereignty, but farmers who were affected by the changes brought about by the Green Revolution made Subak non-sovereign. Food sovereignty can be achieved through the implementation of a strong culture, one of which is by upholding the values of Tri Hita Karana as a culturally-based instrument for food sovereignty."
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nua Sinu Gabriel
"ABSTRAK
Pertanian tanaman pangan merupakan mata pencaharian penting bagi umat manusia. Tanaman' pangan yang paling digemari di Indonesia adalah padi atau Oryza Sativa L, yang banyak ditanam di sawah dan di ladang.
Penelitian tentang Teknologi Pertanian Padi pada Masyarakat Petani Flores Timur Periode 1967-1994 ini bertujuan menjelaskan proses perubahan yang terjadi pada masyarakat petani Flores Timur dalam budidaya tanaman padi selama periode penelitian. Secara khusus penelitian ini menjelaskan tingkat adopsi teknologi panca usaha tani oleh petani Flores Timur serta menjelaskan tingkat produktivitas lahan yang dicapai sebagai akibat adopsi teknologi tersebut. Data primer penelitian (metode sejarah) diperoleh dari dokumen .(arsip) pada instansi--instansi pemenintah Kabpaten Daerah Tingkat II Flores Timur dan dari wawancara dengan beberapa informan. untuk mencapai tujuannya, digunakan teori inovasi dari Rogers dan Shoemaker dalam menganalisis data.
Hasil penelitian menunjukkan tingkat adopsi teknologi panca usaha tani sebagai berikut: 1,23% dari seluruh petani Flores Timur digolongkan sebagai adopter pemula, 9,10% sebagai mayoritas awal, 39,13% sebagai mayoritas akhir, dan 50,54% sebagai kelompok laggard (yang paling terlambat). Meskipun demikian, teknologi inovasi yang masuk kedalam masyarakat petani melalui kontak selektif dan kontak terarah, diadopsi dalam proses yang cepat dan pada tingkat yang tinggi. Kelompok laggard mengalami hambatan pada kondisi fisik geografi dan iklim di Flores Timur. Adopsi teknologi inovasi telah membawa perubahan dalam teknologi pertanian padi, yaitu dari teknologi tradisional kepada teknologi modern. Perubahan tersebut membawa pula perubahan pads tingkat produktivitas lahan pertanian di Flores Timur.
Tingkat produktivitas sawah intensifikasi selama periode penelitian mencapai rata-rata 3,07 ton/ha, sedangkan pada sawah nonintensifikasi rata-rata 1,55 ton/ha, serta pada ladang intensifikasi dan ladang nonintensifikasi mencapai.2,61 ton/ha dan 1,29 ton/ha. Meskipun teknologi panca usaha tani menunjukkan adanya peningkatan produktivitas lahan pertanian, tetapi terbatasnya lahan yang memungkinkan petani mengadopsi teknologi inovasi tersebut secara sempurna, menyebabkan produktivitas yang tinggi itu tidak mampu memenuhi kebutuhan beras bagi penduduk Flores Timur. Kekurangan beras tersebut disubstitusi dengan produksi palawija (terutama jagung) dan dengan mendatangkan beras dari daerah lain."
1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dewa Agung Gede Agung
"ABSTRAK
Sejak Pelita I (1969) pemerintah melaksanakan pembaharuan di sektor pertanian dengan Panca Usaha Tani melalui Bimas dan Inmas. Kabupaten Tingkat II Bangli sebagai salah satu Kabupaten di Bali, juga tidak terlepas dari pelaksanaan program tesebut. Tujuan dari program ini untuk meningkatkan hasil pertanian sehingga swasembada pangan tercapai. Sistem Subak merupakan institusi yang bergerak dan mengatur segala aktivitas pertanian sawah dengan cara-cara yang bersifat tradisional dan turun-temurun. Ajaran Tri Hita Karana merupakan landasan filsafat kerja mereka untuk mencapai kemakmuran hidup. Dengan proses modernisasi dalam bidang pertanian, menyebabkan terjadi perubahan pada sektor usaha produksi pertanian. Fenomena ini menarik untuk dikaji. Studi ini akan berusaha mencari jawaban atas masalah pokok: bagaimana keberadaan institusi subak di Kabupaten Tingkat II Bangli dengan ditanamnya pada varietas unggul?. Dari masalah pokok ini dapat dijabarkan menjadi dua sub-masalah yaitu: (1) sejauh manakah pengaruh ditanamnya padi varietas unggul terhadap cara kerja Krama Subak?, dan (2) bagaimanakah pengaruh ditanamnya padi varietas unggul terhadap ekonomi pertanian?.
Secara temporal kajian ini dari tahun 1969-1998. Penelitian ini termasuk jenis penelitian sejarah. Karena itu langkah yang dilakukan secara kronologis sesuai dengan tuntutan metode sejarah. Adapun langkah-langkah tersebut adalah; heuristik, kritik, interpretasi dan historiografi. Data yang tekumpul bersifat deskriptif, dengan sumber data arsip (nasional dan daerah), hasil wawancara, surat kabar, artikel dan buku.
Panca Usaha Tani adalah lima langkah yang harus dilakukan untuk meningkatkan produksi pertanian. Kelima langkah tersebut adalah; (1) irigasi, (2) pengolahan tanah, (3) pemilihan bibit unggul, (4) pemupukan, dan (5) pemberantasan hama. Ini menjadi pedoman bagi petani dalam aktivitasnya di sawah. Sejak itu juga petani mulai mengenal berbagai macam jenis pada baru seperti PB5, PB6, IR28 dan sebagainya, jenis pupuk seperti KCl, TSP dan berbagai jenis obat-obat pembasmi hama. Kebijakan ini mempunyai kelebihan diantaranya; (1) panen dapat dilakukan lebih dari dua kali setahun, (2) nasi beras bukan lagi menjadi makanan istimewa yang hanya dapat dikonsumsi oleh golongan tertentu, (3) proses penyuburan tanah tidak memerlukan waktu lama, karena menggunakan pupuk anorganik, (4) pemberantasan hama dapat dilakukan secara spontan, (5) lahan dapat dimanfaatkan dalam waktu seefektif mungkin.
Melalui peranan PPL, dalam dasa warsa pertama akibat dari semua itu sudah mulai nampak. Para petani mulai merasa tergantung dengan cara-cara mempercepat proses produksi pertanian yang bersifat non-alami dan non-tradisional. Diantaranya, (1) proses penyuburan tanah selalu menggunakan pupuk anorganik, memanfaatkan jerami dan sisa-sisa gulma sebagai bahan penyubur mulai ditinggalkan, (2) tergesernya cara-cara pemberantasan hama yang bersifat niskala, (3) mulai menghilangnya penanaman jenis padi lokal, (4) semakin menipisnya sifat gotong royong dalam aktivitas di sawah.
Sistem Subak dengan segala aktivitasnya mulai berubah. Fatelikan sebagai salah satu fungsionaris subak yang sangat sentral, karena bertanggung jawab terhadap pendistribusian air, mulai tidak nampak. Pengaturan air lebih banyak dilakukan oleh setiap petani yang membutuhkan saja. Penggantian tembukuan dari bahan kayu dengan beton tidak akan menjamin lagi proses pembagian air secara merata. Begitu juga dengan sistem religi, tidak berlakunya sistem penanggalan secara absolut dalam aktivitas petani di sawah. Pelaksanaan upacara dilakukan lebih bersifat individu sesuai dengan tingkat aktivitas masing-masing petani.
Dengan segala upaya yang dilakukan oleh pemerintah, ekonomi pertanian belum mampu memberikan daya tarik terutama golongan pemuda untuk berprofesi menjadi petani. Bermata pencaharian sebagai petani dimata masyarakat dianggap masih berstatus rendah. Apalagi dengan naiknya harga-harga pupuk, pestisida yang sudah menjadi kebutuhan pokok petani, menyebabkan profesi petani semakin terpuruk sehingga petani tetap hidup subsistem.

ABSTRACT
Subak System, The Five Agricultural Effort and Agricultural Developement in the Regent of BangliSince Five Years Plan I (1969) the Indonesia government has carried out new method in the agricultural sector by using Five Agricultural Effort through Bimas (Mass Guidance in Agricultural) an Inmas. Bangli, as one of the regencies in Bali, has also a part of the program. The goal of the program is to increase the agricultural product/agricultural fields for reaching self-fulfillment of food. Subak system is the institution operating conducting all the agricultural activities in the traditional ways that has been going on and continually for hundred of years. The Tri Nita Karana doctrine is the philosophical basic working by which they can live prosperity. This phenomena is very interesting to be studied. This Study is an endeavor to look for an answer to the main problem, that is: how this agricultural institution in Subak in the regency of Bangli have to use cultivate the superior rice seed. From this main problem can be sub-divided into two sub-divisions, those are: (1) how is the effect of cultivating superior rice seed on by using Krama Subak method?, and (2) how is the effect of superior seeds cultivation being used to the farmers economically?.
Temporarily this research has been done in the year of 1969-1998. This research is considered to be a research of history, within the steps taken here are carrying in a chronological ways in order to meet the requirement as a history method. The step mentioned are heuristic, criticism, interpretations and historiography. The datas being collected have descript character, with the sources taken the national archive, personal interview, news paper, articles and books.
The Five Agricultural Plan are those of five steps that has to be done for increasing the agricultural fields. Those five step are: (1) Irrigation, (2) land cultivating, (3) the choice of superior rice seeds, (4) fertilization, and (5) eradiation of pests. These five guidance have become the guidelines for the farmers in their activities in the rice fields. Since the farmers have known of new rice seeds like PB5, PB6, 1828 etc. Beside the kind of fertilizer -like KCl, TSP, and many other plant pests killer. This policy have many advantages, among them are: (1) harvests can be more than twice a year, (2) rice is not the very special food that can be consumed by the upper class in the society, (3) land fertilizing does not take long time, because of using an organic fertilizer, (4) plant pests killing can be done spontaneously, (5) land can be planned effectively in order to reach the most benefit.
In the first decade through the effort of Agricultural Field Tutors (PPL), the promoting result of realization of all those five guidance can be seen. The farmers were getting to feel dependent for quickening the production process by using methods that are no longer natural, using non-traditional techniques. Among them are: (1) the process of fertilizing the land by using an organic or chemical fertilizer, did not use straw and other gulma anymore as land fertilizer, (2) putting away all ancient techniques of getting rid of plan pests that was considered niskala, (3) their did not use the local seeds to cultivate they land, (4) individual mutual cooperation among those people were getting less, especially when they worked in flids.
Subak system with all its activities had changed. Patelikan: a man whose function as a leader in the farmer Subak system, supervised water distribution, is not longer seen. Water distribution has been done by the farmers in the individual way only by those who need it. The modification of tembukuan which was formerly made of wood and replaced by reinforced concrete will no longer guarantee the water distribution as smooth as well. And so with the religious system, the calendar system is no longer used absolutely in the fields by the farmers. Religious ceremony is no carried out individually, according to the farmers personal activities.
With all efforts endeavored by the government, agricultural economy has not been able to give much interests to younger farmers to become farmer. Job's farmer is considered lower in the social status. The higher pesticides price of fertilizer and pesticides which become farmer's basic need, has caused the profession as farmers has gone further down, so, that living as farmers, has made them lower in their status and they lived still sub-systemly.
"
1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ginting, Manipol
"Ketergantungan masyarakat pedesaan pada sumberdaya alam akan tetap tinggi, terutama sumberdaya lahan, sedangkan pemilikan tanah di kalangan petani makin menyempit. Kecenderungan penyempitan pemilikan lahan diakibatkan oleh pengalihan peruntukan lahan dari pertanian ke non pertanian. Pengalihan peruntukan lahan tersebut akan mengancam kehidupan masyarakat di desa. Jika sektor pertanian tidak mampu memenuhi kebutuhan masyarakat di desa, maka hal tersebut akan mendorong mereka mencari alternatif sumber penghasilan, yaitu sektor non pertanian di kota. Masyarakat pedesaan yang pada umumnya berpendidikan rendah dan kurang memiliki keterampilan akan menciptakan pengangguran di perkotaan yang kemudian menimbulkan penyakit sosial.
Dalam rangka mengurangi urbanisasi, diperlukan upaya yang dapat menciptakan supaya masyarakat tetap tertarik untuk hidup di desa. Salah satu upaya tersebut adalah melalui pembangunan pedesaan. Pembangunan tersebut bukan hanya tanggung jawab pemerintah semata, tetapi juga menjadi tanggung jawab dunia usaha. Program pemberdayaan masyarakat Riau.
PT. RAPP adalah salah satu bentuk tanggung jawab sosial perusahaan untuk membangun di wilayah operasinya. Program pemberdayaan tersebut di tuangkan dalam bentuk sistem pertanian terpadu (Integrated Farming System).
Permasalahan yang dikemukakan dalam penelitian ini adalah Adopsi Sistem pertanian terpadu yang dikembangkan perusahaan tersebut belum optimal. Faktor-faktor yang mempengaruhi adopsi inovasi tersebut adalah pengetahuan sistem pertanian terpadu petani, luas pemilikan lahan, dan pendidikan formal petani.
Penelitian ini bertujuan untuk: (a.) Mengetahui apakah terdapat pengaruh positif pengetahuan sistem pertanian terpadu, luas pemilikan lahan, dan pendidikan formal petani secara bersama-sama pada adopsi sistem pertanian terpadu, (b) Mengetahui peringkat pengaruh variabel bebas terkuat terhadap adopsi sistem pertanian terpadu.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif dengan metode survey. Penelitian dilakukan selama 3 bulan dari Januari 2003 sampai dengan Maret 2003 di Desa Tambak, Kecamatan Langgam, Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau. Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara purposive. Penentuan jumlah sampel dengan Cara sampling acak sederhana dari 85 KK komunitas PPMR PT. RAPP di Desa Tambak, diambil 40 KK sebagai sampel. Data primer dikumpulkan dengan teknik wawancara dengan instrumen penelitian yang sudah dipersiapkan_ Sebelum pelaksanaan survey instrumen diuji cobakan pada 20 KK komunitas PPMR di lokasi penelitian untuk mengetahui validitas dan reliabilitas instrumen. Data yang diperoleh diuji normalitas, homogenitas, dan linearitasnya. Kemudian dianalisis dengan metode regresi berganda, dan koefisien korelasi ganda, dan korelasi parsial. Variabel-variabel penelitian adalah adopsi sistem pertanian terpadu (Y); Pengetahuan sistem pertanian terpadu (XI); Luas pemilikan lahan (X2); dan pendidikan formal petani (X3).
Berdasarkan penelitian diperoleh hasil bahwa terdapat pengaruh yang positif pengetahuan sistem pertanian terpadu, luas pemilikan lahan, dan pendidikan formal petani secara bersama-sama pada adopsi sistem pertanian terpadu dengan persamaan regresi Y = 14,316 i-1,164X1 + 1,632 X2 + 0,0552 X3 yang sangat signifikan; urutan pengaruh kekuatan variabel dari variabel yang paling kuat sampai yang terlemah adalah Luas pemilikan lahan yang pertama, pengetahuan sistem pertanian terpadu yang kedua, dan pendidikan formal petani yang ketiga
Kesimpulan: (1) Terdapat pengaruh positif pengetahuan sistem pertanian terpadu, luas pemilikan lahan, dan pendidikan formal petani secara bersama-sama pada tingkat adopsi sistem pertanian terpadu, (2) Untuk meningkatkan adopsi sistem pertanian terpadu maka yang pertama-tama harus diperhatikan adalah luas pemilikan lahan, pengetahuan sistem pertanian terpadu, dan pendidikan formal petani.

Integrated Farming System Adoption (A Case Study: PT RAPP Riau Community Empowerment Program at Tambak Village, Langgam Resort, Pelalawan, District, Riau Province)The dependence of rural communities toward their natural resource will remain high, particularly for land resources while the land ownership by local farmers is getting narrow. The reason lies behind was the transformation of land use from traditional to modern agriculture system that have a tendency to narrowing the area of land ownership by locals. This will create threats to life and welfare of the villagers. If modem agriculture system fails to meet villagers' needs, they will make an effort to discover alternative income that definitely is a non-agriculture sector mainly set up in urban area. Lack of formal education background and skill possessed by rural community will direct them to be another unemployment that already exist in the cities and furthermore create social disease.
Effort to keep these villagers to live in their environment will strongly need to prevent their migration to urban area. One of the efforts is rural development, which is not only seen as government's responsibility but for business' sector as well. PT RAPP's community empowerment program is one example of social responsibility taken by the company to develop community in their operation area. The program then stated as Integrated Farming System.
Problem set for this research is that the adoption of integrating farming system developed by the company was not optimal yet. Influenced factors of this adoption were farmers' knowledge of integrating farming system, area of land ownership and farmers' formal education.
Objective of this research were a) to find out if there is positive influence of integrating farming system knowledge, together with area of land ownership and farmers' formal education to the adoption of integrating farming system, and b) to find out the rank of significance from independent variables to adoption of integrated farming system.
This research used qualitative and quantitative approaches with survey method and was conduct from January to March 2003. The research located at Tambak Village, Langgam Resort, Pelalawan District, Riau Province. The location established by using purposive method and sample size was taken using simple random sampling. The number of 48-house hold was taking from total 85-house hold from PPMR community of PT RAPP as respondents.
Instrument research used to collected primary data was questionnaire that prepared and tested to 20 respondents to find the reliability and validity of the instrument. Data collected then be tested their normality, homogeneity and linearity, and then statistically analyzed with multiple regression method, multiple regression correlation and partial correlation. Variables used were, adoption of integrating fanning system (Y); integrating farming system knowledge (XI), area of land ownership (X2) and the farmers' formal education (X3).
The result prove that there is positive influence of integrating farming system knowledge together with the area of land ownership and farmers' formal education to the adoption of integrating farming system with regression equation Y= 14,16 + 1,164X1 + 1,632X2 + 0,552X3 or the influence is significance. The factors put sequent by their significance from the strongest ones are, the area of land ownership, integrating farming system knowledge and farmers' formal education. Research conclusion are 1) There is positive influence of integrating fanning system knowledge, all together with area of land ownership and farmers' formal education to the adoption of integrating farming system; 2) To improve the adoption of integrating farming system, attention must put sequences from the area of land ownership, integrating farming system knowledge and farmers' formal education."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003
T 11062
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Khaerul Anwar
"Periode 1930-1980 ibarat “neraka dunia” bagi penduduk Lombok Selatan, Nusa Tenggara Barat, terutama di musim kemarau. Hari hujan berdurasi pendek (3 bulan) di musim hujan dibanding panjangnya musim kemarau (8-9 bulan) dalam setahun menjadikan sawah merekah bak lukisan abstrak, tidak bisa ditanami padi. Hampir tiap hari ada saja penduduk, dari anak-anak hingga dewasa, meninggal karena kelaparan dan malnutrisi. Ternak pun kekurangan pakan, bertubuh kurus-kering, lalu tewas. Namun, situasi menyedihkan selama setengah abad di Lombok Selatan itu berubah total, menyusul diterapkannya intensifikasi tanaman padi sistem Gogo Rancah (Gora), yaitu sistem bertani di lahan basah digabungkan dengan sistem bertani di lahan tadah hujan, dengan menyiasati curah hujan pendek agar tanaman padi selamat dalam proses tanam-petiknya"
Jakarta: PT Gramedia, 2023
338.1 KHA g
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Bogor : Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian - Deptan, 2007,
Majalah, Jurnal, Buletin  Universitas Indonesia Library
cover
Puji Wijianingsih
"Kabupaten Tangerang merupakan salah satu daerah tingkat dua yang menjadi bagian dari wilayah Propinsi Banten. Terletak pada posisi geografis yang strategis. Dipilihnya kawasan industri di Kabupaten Tangerang karena letak yang strategis tersebut menyebabkan Kabupaten Tangerang sebagai bagian dari pusat pertumbuhan industri wilayah Indonesia bagian barat. Analisa pada penelitian ini menggunakan analisa deskriptif yang menjelaskan terjadinya peralihan potensi lahan menjadi kawasan industri. Potensi lahan di dapatkan dari hasil scoring dan overlay. Pemberian nilai ini mengacu pada variabel (topografi, litologi, kemampuan tanah dan hidrologi) yang di jumlah dan di kali dengan variabel pembatas (banjir, erosi, dan salinitas tanah) untuk selanjutnya di analisa mengenai peralihan potensi lahan, dimana lahan yang harusnya sangat baik untuk pertanian beralih fungsi menjadi kawasan industri.

Tangerang District is one of the two levels that are part of the Banten Province. Located in a strategic geographical position. Choosing the industrial area in Tangerang District as a strategic location in the Tangerang District as a central part of the growth industry of the western part of the Indonesian. Analysis on this research using descriptive analysis that describes the potential of a transition into industrial land. Potential land available in the scoring and results from the overlay. The provision of this value to the variables (topography, litologi, the ability to land and hydrology) and the number of times in the variable divider (floods, erosion, and soil salinity) for further analysis on the potential of the land, where the land should be very good for agricultural area of its functions into the industry."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2008
S34131
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
"Kajian ini bertujuan untuk (1) Mengkaji tingkat perkembangan berbagai tipologi industri pertanian ;(2) mengindentifikasi permasalahan dlm peningkatan sistem pelayanan agribisnis dlm mendukung pengembangan industri pertanian dan (3)Menyusun strategi pengembangan industri pertanian melalui penguatan sistem pelayanan agribisnis. Industri pertanian skala kecil dan rumah tangga relatif banyak jumlahnya, namun berperan besar dlm penyerapan tenaga kerja, sementara nilai tambah yg diperoleh relatif kecil dibandingkan dengan industri besar dan sedang.Hasil kajian menunjukkan bahwa pengusahaan komoditas ubikayu, nenas, pisang dan kopi umumnya dilakukan secara sederhana sampai semi intensif. Dari analisis usahatani menunjukkan bahwa R/C dari empat komoditas tersebut berkisar antara 1,81 - 6,71, artinya tingkat penerimaan usahatani mencapai 1,81 - 6,71 dr total biaya yg dikeluarkan. Keempat komoditas di atas merupakan bhn baku industri pengolahan pd industri skala kecil dan rumahtangga, namun komoditas tsb sebagian besar hanya dipasarkan dlm bentuk segar. Hal ini antara lain disebabkan :(1) Pelaku industri pengolahan belem mampu mengakses pasar secara baik (2)Keterbatasan ketrampilan dan modal (3) penyuluhan masih bias ke usaha budidaya. Pada umumnya industri pengelohan masih berskala kecil, kecuali komoditas kopi. namun usaha kelompok terbentuk blm merupakan kelompok usaha bersama yg tumbuh secara mandiri sebagai suatu kebutuhan efisiensi usaha. Secara umum R/C industri pengolahan empat komoditas tsb berkisar antara 1.02 -2.03 artinya tingkat penerimaan usaha tani mencapai 1,02-2,03 dr total biaya yg di keluarkan. Untuk pengembangannya telah mulai dirintis kemitraan usaha dlm pemasaran hasil olahan, walaupun masih relatif terbatas. kemitraan usaha dpt memperpendek rantai peamasaran dan kepastian pemasaran hasil. Peranan subsistem pelayanan, seperti lembaga pembiayaan, penyuluhan dan penunjang lainnya masih relatif terbatas. Untuk itu kebijakan dan strategi yg dikembangkan diarahkan untuk : (1) Peningkatan akses pelaku agribisnis terhadap pembiayaan usaha agribisnis, (2) Peningkatan akses terhadap informasi pasar (3)Memperceapat penyampaian inovasi teknologi pertanian ke pelaku agribisnis, (4)Peningkatan kapasitas usaha pealaku agribisnis dan mutu produk, serta (5)Penguatan lembaga penyuluh pertanian."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>